Carlton menatap kesal petugas resepsionis yang datang kepadanya."Ada apa lagi?" tanyanya.Petugas resepsionis itu tersenyum dan memberi hormat kepada Carlton."Kami minta maaf kepada bapak, karena sudah mengganggu," ucapnya dengan sopan.Membuat rasa kesal Carlton berkurang sedikit."Ya!" jawabnya singkat. Carlton memberikan kunci mobilnya kepada petugas keamanan itu."Ini! Jaga mobil saya dengan baik dan ... Kamu harus ingat, jika saya adalah salah satu petinggi di Perusahaan ini!" ucapnya dengan tegas."Ba-baik pak! Saya minta maaf! Kalau begitu, saya minta izin untuk memindahkan mobil anda," pamit sang petugas keamanan."Ya! Pergilah!" jawab Carlton dengan tangan melambai."Terima kasih pak!" petugas keamanan itu segera pergi dan tersisa petugas resepsionis yang berdiri di depan Carlton."Pak Carlton! Ada yang bisa saya bantu? Maaf sebelumnya, mengapa anda datang sendirian? Biasanya anda datang dengan asisten anda?" tanyanya dengan tatapan menyelidik.Carlton yang malas berbasa b
Adelia mengangguk."Ya, dibatalkan semuanya termasuk rencana pernikahan kami, aku tidak bisa hidup bersama pria yang sudah mengkhianati ketulusan cintaku itu dan aku takut, setelah menikah, Alvin akan melakukan hal semacam itu lagi, karena penyakit selingkuh sulit untuk diobati selain kematian itu yang datang menjadi obatnya." Adelia tersenyum dan memegang tangan Rahma."Terima kasih sudah mau memberitahu aku, maaf kalau aku akan sedikit menyusahkan kamu," ucap Adelia, dia tersenyum menatap Rahma yang jauh lebih naik daripada sahabat yang dia percayai selama ini."Emm ... Ya, sama-sama Adel! Aku harap kamu bisa kuat menghadapi semua ini dan tenang saja, aku pasti akan selalu disamping kamu sampai kamu bisa selesai dengan semuanya." Rahma tersenyum dan itu membuat Adelia merasa senang, karena setidaknya masih ada satu teman yang baik padanya setelah dikhianati sahabat yang dia percaya selama ini.Keduanya berbincang sebentar sampai Adelia merasa cukup tenang, lalu setelah sudah baik-ba
Adelia bersembunyi di salah satu bilik dan dia sangat penasaran dengan panggilan telepon yang hendak di jawab oleh mantan sahabatnya itu."Siapa yang menelepon dia? Apakah itu Alvin?" tebak Adelia secara sembarangan, tapi dia tetap memasang telinganya untuk mendengarkan percakapan Lusi dengan orang yang jadi lawan bicaranya."Ha-halo, iya mami!" jawab Lusi dengan suara gugup dan wajahnya terlihat pucat ketika Adelia mengintip melalui celah kecil dari dalam bilik kamar mandi itu."Mami? Siapa dia? Setahu aku, Lusi memangggil ibunya dengan panggilan mama, bukan Mami?" Adelia semakin penasaran dan dia ingin tahu, siapa Mami itu dan kenapa Lusi terlihat sangat pucat.Entah apa yang dikatakan si mami itu, Lusi langsung panik."Ma-afkan saya mam, saya tidak bermaksud untuk menipu anda, tapi saya benar-benar mengantarkan teman saya itu ke hotel tempat yang mami beritahu dan pagi itu, saya juga melihat kalau teman saya tidak ada dan mengapa jadi wanita lain yang ada bersamanya, sa-saya minta
Saat Carlton sedang terkekeh sendiri.Tiba-tiba saja.Tok' tok' tok'Suara ketukan terdengar dan secepatnya Carlton menghentikan senyuman di wajahnya dan mengubahnya menjadi tegas kembali."Masuk!" teriaknya sambil mematikan layar ponselnya."Mengganggu saja!" umpatnya dengan perasaan sedikit kesal.Krekk!Pintu pun terbuka.Muncullah sosok pria paruh baya tersenyum ramah kepadanya."Pak Carlton! Selamat siang, maaf sudah membuat anda menunggu," ucapnya dengan sopan."Ini sudah mau sore, bukan siang lagi!" ucapnya dengan ketus.Membuat pria bernama Bramantyo langsung memerah karena malu."Emmm ... Maafkan saya pak! Saya pikir ini masih siang tapi ternyata sudah mau sore ya! Hahaha ... Saya jadi malu sendiri," ucapnya dengan tawa paksa walaupun sebenarnya dia merasa kesal di dalam hatinya."Anak muda sialan! Kalau bukan kamu pemilik saham terbesar di Perusahaan ini, kamu tidak mungkin bisa seenaknya menindasku seperti ini!" umpatnya di dalam hati.Bramantyo masih memasang senyum palsu
Setelah Lusi selesai dengan panggilan teleponnya dan dia bergegas pergi meninggalkan kamar mandi menuju tempat yang belum selesai dia bersihkan.Di dalam salah satu bilik di kamar mandi itu.Adelia sedang menangis, karena dia benar-benar sangat kecewa dengan sahabat yang dia sayangi dengan tulus dan dia sangat mempercayai Lusi dengan sepenuh hati."Hiks ... Hiks ... Tuhan! Ini jauh lebih menyakitkan daripada saat aku tahu, kalau dia sudah menjadi selingkuhannya Alvin. Dia ... Dia bahkan tega menjual aku demi keuntungan dia sendiri! Tuhan, apa salah aku? Mengapa Lusi bisa sejahat ini padaku? Kenapa Tuhan?" Adelia terus terisak dengan perasaan kecewa teramat dalam terhadap sahabatnya itu.Hancur! Itulah yang dia rasakan bahkan hatinya sudah berubah mati, karena orang yang paling fia percaya malah menghancurkan hidupnya.Membuat Adelia semakin tenggelam dalam kesedihannya dan melupakan segalanya.Namun.Saat Adelia masih tenggelam dengan kesedihannya.Tiba-tiba saja.Drrrttt ....Ponseln
"Ka-kamu!" Adelia segera menutup mulutnya dengan telapak tangannya saat dia sadar jika masih ada Siska didepannya."Sial! Ada apa lagi ini? Kenapa dia ada di sini? Bukannya tadi dia ...." Adelia yang sibuk bergumam sendiri langsung tersentak saat Siska menoleh ke arahnya."Pak! Saya membawa karyawati yang bernama Adelia dan kebetulan hanya ada dia saja," ucapnya dengan tatapan tidak suka ke arah Adelia, namun saat beralih ke arah Carlton, dia langsung tersenyum manis mencari perhatian kepadanya.Carlton tak peduli dengan tatapan Siska, tatapan dia hanya tertuju untuk Adelia."Ya! Kamu masuk, saya ingin bicara sama kamu," pinta Carlton dengan senyuman tipis, membuat Adelia bergidik."Sial! Apa maksud dari senyuman dia itu? Kenapa aku merasakan perasaan tidak tenang seperti ada sesuatu yang mau dia lakukan padaku!" gumam Adelia yang segera menundukkan kepalanya, untuk menghindari tatapan Carlton.Siska langsung tertawa senang.
Beberapa detik, Adelia yang merasa canggung hanya diam. Membuat suasana menjadi sunyi, hanya terdengar suara nafas keduanya dan tatapan Carlton tak berpaling sedikitpun darinya."Sial! Mengapa jadi canggung seperti ini? Sekarang aku harus apa?" gumam Adelia, dia menundukkan kepalanya. Carlton tersenyum melihat tingkah Adelia yang masih malu-malu sampai tak berani membalas tatapannya."Lucu sekali!" gumamnya sambil mengeratkan pelukannya."Kenapa tidak berisik lagi? Bukannya tadi, kamu berusaha untuk menghindari aku?" tanya Carlton tepat di dekat telinga Adelia."A-aku ...." Adelia merasakan tubuhnya merinding, karena hembusan nafas dari bibir Carlton."Hahahaha ... Sayang! Kenapa berubah jadi pemalu sih? Tadi saja kamu ...." bibir Carlton langsung dibungkam oleh telapak tangan Adelia."Diam! Kamu berisik sekali, Carl! Kamu belum menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di sini!" Adelia mendongakkan kepalanya dan menatap wajah Carlton."Jelaskan kenapa kamu ada di sini? Lalu, kenapa ta
[Adel, malam ini datang ke hotel The Sultan, ya! Ada kejutan yang ingin buatmu dan Alvin.] Adelia sontak tersenyum saat membaca pesan dari sahabatnya itu. Hari ini memang harusnya Adelia merayakan hari jadiannya yang ketiga tahun dengan sang kekasih. Namun, pekerjaan dan kesibukannya mengurus pernikahan membuatnya tak sempat. Terlebih, Alvin juga sedang sibuk mengurus project di perusahaannya dua minggu ini. Siapa sangka, sahabat Adelia begitu perhatian padanya. [Terima kasih, Lusi! Kamu memang yang terbaik.] balas Adelia cepat. [Santai saja. Itulah gunanya sahabat. Nanti datang ke kamar no. 171, ya] Menahan kebahagiaan yang meluap, Adelia lantas segera menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan, dia mampir ke salon sebentar untuk berdandan agar hari ini tak bisa terlupakan. Adelia terus membayangkan betapa manisnya pertemuan mereka malam ini. DING! Pintu lift The Sultan terbuka menunjukkan bahwa dirinya telah sampai di lantai 17. Adelia lantas keluar dari sana dan berjalan menuju