Lidya tersenyum. "Ayana sudah tahu. Jadi aku menampakkan diri padanya. Untuk apa juga harus bersembunyi? Toh Ayana sudah tahu, kan?" Lidya menatap Ayana sambil tersenyum.Sedangkan Ayana tak menjawab. Dan wajahnya tak menunjukkan reaksi apa-apa."Hari ini kita ada rapat penting di kantor. Biarkan Ayana pergi dengan taksi langganannya atau kau bisa menyuruh Dokter Althan, bukannya dia Dokter merangkap asistenmu?" ucap Lidya menatap Dindar dengan senyuman kalem."Tidak. Althan memang bekerja denganku. Namun tak baik juga jika terlalu sering bertemu dengan Ayana." Dindar melirik Ayana sengit. Sontak membuat Ayana segera menundukkan wajahnya. Takut akan tatapan itu."Kau berangkatlah dengan taksi langgananmu," ucap Dindar, seketika membuat kelegaan di hatinya. Ah, entahlah. Jika sampai Dindar mengantar kepergiannya ke kampus, ia tak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Sungguh, ia sama sekali tak mengharapkan berdekatan dengan suaminya yang tak hanya bertemperamen tersebut, namum kej
"Maaf, Aham. Jika kau berusaha untuk kembali memanfaatkan aku agar bisa kembali terpengaruhi oleh dirimu, maka maaf. Aku sudah jera dengan omongan pria. Kau dan Dindar sama saja. Awalnya aja baik, tapi setelah itu, kalian menampakkan sifat aslinya." Setelah berucap dengan penuh penekanan, Ayana segera melangkah pergi.Aham tak tinggal diam saja, ia juga segera melangkah dan menarik kuat lengan Ayana dan memegangnya dengan erat. "Jika itu persamaanku dengan Dindar. Maka aku akan menampakkan perbedaanku dengan suamimu itu." Aham berucap dengan mata menatap lekat Ayana. Seolah-seolah ia ingin menunjukkan keseriusannya dalam ucapannya tadi, saat menyatakan perasaannya.Setelah cukup lama menatap mata Aham, Ayana segera memalingkan wajahnya."Kenapa, Ayana? Kenapa kau berpaling?" Aham kembali ingin membuat Ayana menatap dirinya. Namu Ayana menolaknya.Aham tersenyum kecut. "Kenapa kau takut menatap mataku?" tanyanya."Aku tidak takut!" Ayana berucap dengan masih tak melihat Aham."Kalau b
"Aku suka air matamu yang mengalir karena aku."Ayana segera menghempaskan tangan Aham. "Aku menangis bukan karenamu." Ayana tak jujur. Ia tak mau memberi peluang untuk Aham. Sebab, Ayana tahu, perasaan itu tak akan pernah berjalan dengan sesuai keinginan. Baik keinginan Aham."Lalu karena apa?" tanya Aham. Menatap serius pada wanita cantik di depannya tersebut."Aku sudah terbiasa menangis setiap harinya. Jadi kamu tidak perlu khawatir." Ayana berusaha memalingkan pandangannya. Menghindari tatapan Aham."Kau pikir kau bisa membohongiku, Ayana?" Aham memegang kedua tangan Ayana erat hingga membuat wanita itu tak bisa bergerak."Apa kau tak waras, heum?" Ayana berontak berusaha melepaskan tangan Aham yang mencengkeramnya."Ayana. Katakan, kenapa kau menangisiku?" Aham semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Ayana."Aku tak menangisimu," sangkal Ayana, keukeh."Kau menangis saat kau melihat kebenaran di mataku. Itu kau bilang tak menangisiku?" Aham tampak geram. Dan entahlah, kenapa ia
"Aham, ini…." Ayana seolah tak bisa melanjutkan kata-katanya. Matanya memandang takjub dengan pemandangan yang ada di depannya."Apa kau suka?" Aham maju berdiri di samping Ayana. Yang sekarang matanya tak hanya memandang takjub, melainkan bibirnya menyunggingkan senyuman manis. Ah, entah kenapa melinta senyuman wanita yang entah sejak kapan nya mengisi hatinya tersebut ia juga ingin tersenyum."Aku tak pernah melihat tempat seindah ini." Ayana masih memandangi takjub. Sedangkan Aham yang berdiri di samping Ayana begitu lekat menatap wajah cantik Ayana dengan tanpa berkedip. Wajah cantik itu tampak semakin cantik tatkala dihiasi senyuman."Ini tempat apa, Aham?" Ayana bertanya dengan mata tak lepas memandangi pemandangan yang begitu indah untuk pertama kali ia lihat."Ini namanya Danau. Namun bukan sembarang danau." Aham menjawab dengan mata tak lepas menatap wajah Ayana yang terus tersenyum."Kenapa?" Kali ini Ayana menoleh menatap Aham yang ada di sampingnya tengah bersedekap dad
Aham sengaja hari ini membuat Ayana bahagia. Ia mengajak Ayana menaiki Jet Ski mengelilingi pemandangan danau yang begitu luas. Setelah selesai, Aham berlanjut mengajak Ayana bermain-main di luar lingkungan danau untuk bermain sepatu roda dan bermain sepeda saling kejar-kejaran hingga Ayana melepas tawanya. Dan tanpa sadar mengabaikan panggilan Dindar yang sedari tadi masuk ke ponselnya. Lebih tepat tak terdengar sebab terlalu asyik dengan Aham.Sengaja Aham hari ini ingin membuat Ayana sejenak melupakan kesengsaraannya. Dan itu berhasil. Aham sendiri senang melihat tawa lepas Ayana yang tak pernah ia lihat di wajah cantik Ayana.Masih banyak lagi kesenangan yang Aham berikan hingga membuat Ayana hari ini begitu bahagia.Setelah selesai dan dirasa capek, Aham mengajak Ayana duduk di kursi panjang yang dekat dengan jembatan panjang yang membentang di atas danau."
"Kenapa kau hanya berdiri di situ? Kemarilah, Ayana!"Padahal nada suara Dindar terkesan nada biasa, namun Ayana begitu ketakutan."Itu…t-ta-tadi teleponku lowbat!" Ayana tergugu saat berusaha berbohong. Sebab jika tidak tentu ia dalam bahaya."Oh, ya. Tapi…panggilanku masuk!"Ayana menelan ludah. Ia tahu Dindar tak mudah dibohongi. "T-ta-tadi…aku…aku masih mampir sebentar ke rumah Lina.""Lina, Anggun, Farah dan…siapa lagi? Temanmu di kelas kuliahmu? Emh…." Dindar tampak berpikir dan mengingat-ingat. "Oh, ya. Satu lagi, aku baru ingat," lanjut Dindar.Ayana sudah gemetaran dan keringat dingin semakin membanjiri pelipisnya. Rupanya ia kalah akal sama Dindar."Mita!" Dindar segera berdiri menghadap Ayana, sontak membuat wanita yang semakin gemetaran itu sedikit mundur sebab kaget."Aku sudah menghubungi semua teman-temanmu. Baik yang kenal, dekat, bahkan diluar itu." Perlahan namun menakutkan, Dindar melangkah ke arah Ayana.Tentu hal itu membuat Ayana semakin ketakutan. Hingga semak
"Aham!" kata Ayana masih dengan keterkejutannya melihat kedatangan Aham.Perlahan Aham melangkah mendekati Ayana. Yang mana tangisan semakin menjadi dengan hadirnya Aham.Aham merengkuh tubuh wanita yang dicintainya itu dan membawanya ke dalam gendongannya, keluar dari kamar mandi dan mendudukkan tubuh Ayana di ranjang.Lalu pria gagah itu segera mengambil handuk dan mengelap tubuh wanitanya dengan penuh kelembutan."Aham, apa yang kau lakukan di sini?" Ayana bertanya dengan isakan yang belum juga reda.Aham tak menggubris pertanyaan Ayana, ia terus melanjutkan aktivitasnya yang saat ini mengelap rambut basah wanita itu."Aham. Pergilah…Dindar akan melihatmu." Ayana berucap dengan masih menangis."Jangan takut. Dindar sudah pergi dari sini.""Dari mana kau tahu?" Ayana menatap tajam.
Aham melepas pelukannya pada Ayana. Ditatapnya wajah Ayana dengan raut sendu. Lalu tangannya terangkat mengusap lembut wajah Ayana dan mengusap air matanya yang terus mengalir di pipi mulusnya."Jangan menangis, Aya!" ucap Aham. Ayana pun tersenyum dan berusaha menghentikan tangisnya sebisa mungkin.Aham pun ikut tersenyum. Lalu selanjutnya Aham melanjutkan niatnya. Yaitu mengobati luka bekas sayatan cambuk Dindar di punggung dan juga bagian lainnya yang terkena."Aku tak tega melihat lukamu ini, Aya. Aku gak sanggup menatap luka ini. Namun aku ingin mengobatinya. Ingin menyembuhkan luka yang selalu kau terima."Ayana bergeming. Namun bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman.Setelah selesai mengobati luka sebab cambukan Dindar, Aham beralih mengobati luka di wajah Ayana. Bekas kuku Dindar saat tadi mencengkram kuat rahang wajah Ayana.