"Tubuhmu..."
David tidak bisa berkata-kata, melihat Mirae telanjang bulat tanpa sehelai benangpun. Dia melihat perut dan payudara yang kendur, belum lagi bekas jahitan di atas vagina yang cukup besar. Kulitnya memang sangat putih, walaupun terdapat beberapa stretch mark yang menghiasi beberapa bagian tubuhnya. Dia terlihat sangat menyedihkan sekarang ini. "Aku tidak secantik dan semulus yang mungkin kau bayangkan. Tubuhku penuh dengan luka dan benar-benar menjijikan. Kau harusnya mencari wanita yang lebih sempurna, bukan aku yang hina ini." Mirae mengambil selimut yang ada di atas ranjang putih itu, lalu menutupi tubuhnya. Dia merasa malu, dengan lelaki yang begitu terosbesi mengejarnya. Dia malu, karena tidak bisa memuaskan ekspetasi lelaki tampan itu. Namun sebenernya David tidak merasa kecewa, atau jijik sekalipun. Dia malah merasa sangat kasihan dan sedih melihat keadaan Mirae yang seperti ini. Sedikit cerita pernah dia dengar dari orang-orang, jika Mirae telah melalui beberapa kehamilan dan operasi untuk mendapatkan seorang anak. Namun keberuntungan mungkin belum berpihak padanya, wanita itu terus kehilangan makhluk menggemaskan yang di inginkan banyak orang. Tubuh yang rusak itu adalah tanda sebuah perjuangan, bukan hal buruk yang harus di ejek. "Tidak ada hal yang harus kau khawatirkan, aku tidak mempermasalahkan tentang ini. Kau tetaplah Mirae yang cantik, tanpa ada kekurangan sedikitpun." David mengusap pipi cantik itu dengan lembut, lalu mencium bibirnya sekilas. Mirae hanya terdiam, tanpa bisa berkata-kata. Untuk pertama kalinya dia tidak mendapat cacian dari lelaki yang melihat tubuhnya telanjang, bahkan dalam kondisi seperti ini. "Kau, tidak merasa jijik padaku?" Tanya Mirae dengan tatapan hangatnya. David menggelengkan kepalanya, "Tidak sama sekali. Aku tahu jika kau banyak melewati perjuangan untuk mendapatkan seorang anak, dan ini adalah buktinya. Kau wanita hebat Mirae." "Aku sungguh tidak percaya, jika kau akan berkata seperti itu. Kau itu lelaki yang sempurna David, bahkan istrimu saja sangat cantik. Namun mengapa kau mendatangi wanita sepertiku?" Tanya Mirae pada lelaki itu. "Entahlah, aku merasa jika kau adalah orang yang sangat menarik. Aku bahkan merasa sangat nyaman ketika di dekatmu, kau itu istri yang sangat di idam-idamkan banyak lelaki. Namun sayang, nasibmu buruk karena bertemu suami yang salah," ucap David pada wanita itu. Mirae hanya tertawa, tanpa membalas ucapan lelaki itu. Dia terus menatap David, lalu membelai wajah tampannya. Ini memang sangat gila, karena dia mulai merasa tertarik dengan lelaki dihadapannya ini. Kata-kata yang keluar dari mulutnya begitu manis, dengan sikap yang membuat jantungnya berdebar-debar. "Mengapa suamiku tidak bisa bersikap seperti ini?" Mirae hanya bisa bergumam di dalam hatinya, sembari terus mengusap pipi David dengan lembut. Lelaki itu hanya bisa diam, dengan tatapan yang mulai berubah sayu. Sampai tanpa sadar, lengan mungil itu mulai membuka pakaian yang dikenakan oleh David. Mereka kini saling menatap satu sama lain, sampai akhirnya berciuman. Sebuah lumatan ringan lelaki itu lakukan, dengan tangan yang meremas gundukan besar milik Mirae. Benda itu masih sangat kenyal, walaupun sudah tidak sesempurna dulu. Keduanya saling memasukan lidah, ketika mendapatkan kesempatan yang pas. Mirae mulai merasakan sensasi panas dari tubuhnya, gairah yang selama ini jarang sekali muncul dalam pernikahannya bersama sang suami. Dia tak henti meremas rambut hitam panjang itu dengan gemasnya, sembari merasakan ciuman David yang mulai turun ke area leher. "Ahhh..." Desahan-desahan kecil mulai keluar dari mulutnya, ketika jilatan lelaki itu mulai menggila. David terus menciumi tubuh wanita itu penuh gairah, sampai turun ke daerah paling sensitif. Mirae kini berbaring sempurna di atas ranjang, dengan kaki yang terbuka lebar. Terlihat dengan jelas, vagina indah milik wanita itu. "Milikmu masih sangat bagus," ucap David dengan senyum nakalnya. "Jangan lihat itu! Aku malu," ucap Mirae dengan lengan yang menutupi daerah sensitifnya. David menyingkirkan lengan yang menghalanginya, kemudian mulai menjilati vagina yang sudah mulai basah itu. Lidahnya menari-nari di atas kitoris, belum lagi dengan hisapan-hisapan manja yang lelaki itu lakukan. Mirae terus mendesah tanpa henti, dengan tubuh yang terus menggeliat ke kiri dan ke kanan. Dia tak tahan dengan perlakuan bosnya itu, benar-benar menggila. "Cukup! Aku tidak tahan lagi ahh..." David menghentikan jilatannya, lalu mulai mencium kembali bibir wanita itu. Lengannya tak tinggal diam, untuk masuk dan mengocoknya sebentar. Mirae terus menahan klimaks yang sejak tadi sudah hampir memuncak, dia masih belum merasakan gempuran pedang sakti yang dimiliki lelaki itu. "Masukan sekarang!" Perintah wanita itu. David hanya tersenyum bangga, lalu mulai menunjukkan miliknya pada wanita itu. Mirae cukup kaget, karena melihat terong sebesar itu. Milik lelaki itu lebih besar dari suaminya, bahkan lebih sekali dan menggoda. Tanpa meminta aba-aba, Mirae memasukannya ke dalam mulut. Menjilat, menghisap, lalu memanjakannya beberapa saat. "Mmmhhh, ahhh... Mirae ahhh..." Lelaki itu terus mendesah tak karuan karna permainan lidah Mirae, dia tidak tahan dengan perasaan geli yang menyerbu tubuhnya. Sudah cukup pemanasan yang keduanya lakukan, kini saatnya untuk ke tahap akhir. Ketika Mirae ingin naik ke atas tubuh David, lelaki itu memintanya untuk berbaring. Tanpa perasaan canggung atau apapun, terong ungu itu masuk dengan sangat mudah. Sebuah lubang sempit menggigitnya dengan manja, menimbulkan sensasi yang luar biasa nikmat. David memasukannya sangat dalam, hingga menyentuh g spot milik wanita itu. Mirae mengeram kesakitan, namun bercampur kenikmatan yang luar biasa. Dia mengusap wajah tampan David dengan kedua lengannya, lalu mencium bibir itu sekilas. "Sudah kubilang aku akan memuaskan dirimu Mirae, jadi bersiaplah.." ucap David dengan suara seksinya. "Puaskan aku, buat aku lupa dengan semua masalah yang sedang aku hadapi David.." Mirae memejamkan kedua matanya, ketika lelaki itu mulai menghantam vaginanya kasar. Sebuah tusukan yang luar biasa dalam, brutal dan tanpa ampun. Cukup menyakitkan, namun Mirae juga merasakan kenikmatan dalam permainan ini. Dia terus mendesah tanpa henti, dengan mata yang terus menatap wajah tampan itu. Ini sangat gila! Karena dia merasa sangat di manjakan oleh lelaki yang bukan miliknya. Persetan dengan itu semua! Dia tidak akan memperdulikan itu malam ini. Mirae ingin kebebasan, kesenangan, yang tidak bisa dia dapatkan dari suaminya. "Mmmhhh.. lebih dalam lagi iya! Ahhh..." "Kau menyukainya cantik? Bersiaplah, aku akan keluar sebentar lagi ahhh... ahhh..." David mengganti posisi bercinta itu, agar Mirae melakukan doggy style yang sangat dia sukai. Sebuah tusukan yang sangat dalam kembali wanita itu rasakan, kini dia merasa jika terong ungu itu benar-benar memenuhi miliknya. Hentakan yang brutal kembali dia dapatkan, desahan-desahan seksi kian keluar dari mulut keduanya. David sudah sampai pada batasnya, dia akan menyemburkan cairan kenikmatan di rahim wanita itu. "Aku datang sayang, ahh... ahh... ahhhh....!" Sebuah cairan kental terasa menyembur di dalam sana. Mirae tergeletak lemas dengan David yang masih di di atas punggungnya. Lelaki itu mengusap kepala Mirae lembut, lalu membalikan tubuhnya agar mereka saling menatap. Sebuah ciuman akhir lelaki itu lakukan, untuk kemudian memeluk Mirae dengan penuh kasih sayang. Fantasi liar yang selama ini selalu dia khayalkan, terwujud begitu indah. David bisa bercinta dengan Mirae, tanpa ada paksaan diantara mereka. "Istirahatlah sebentar, kita akan melakukan ronde kedua." "Apa? Ronde kedua?! Aku harus pulang David." "Tidak, kau harus menemaniku malam ini Mirae..." 🍃 Basah nih, malah membayangkan hal yang tidak tidak wkwk. Kalian juga?Malam itu begitu sunyi. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar dari ruang tamu, berpadu dengan desau angin yang sesekali menyelinap lewat celah jendela. Rey sudah terlelap di kamar, napasnya berat dan teratur. Aroma alkohol masih samar tercium dari tubuhnya, membuat Mirae meringis pelan setiap kali angin malam membawa bau itu ke hidungnya. Dia menatap wajah suaminya lama dari tepi ranjang, wajah yang dulu membuatnya jatuh cinta, kini justru membuat dadanya sesak oleh rasa takut. Sudah cukup, batinnya berbisik. Malam ini semuanya harus berakhir. Pelan, Mirae turun dari ranjang. Langkahnya ringan, seolah takut udara pun mendengar. Dia sudah menyiapkan koper kecil sejak sore tadi, berisi beberapa pakaian, dokumen penting, dan sedikit uang yang dia simpan diam-diam. Dia mengenakan jaket tipis, mengambil ponsel, lalu menatap sekali lagi wajah suaminya yang tertidur pulas di bawah cahaya temaram lampu kamar. Ada sedikit rasa takut, tapi juga tekad yang tak bisa lagi ditahan
Sore itu langit tampak sendu. Awan menggantung berat di atas perumahan kecil tempat Mirae tinggal, seolah ikut menanggung beban yang terasa di dadanya. Suara televisi di ruang tamu menyala pelan, tapi hanya jadi latar kosong di antara kesunyian rumah itu. Rey belum pulang, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir setelah pertengkaran mereka, dia sedikit terbiasa. Dia duduk di lantai kamar, memeluk lutut, menatap koper besar di bawah ranjang. Koper itu sudah lama tak dia sentuh, tapi entah kenapa sore ini tangannya gatal untuk menariknya keluar. Tangannya gemetar saat membuka resletingnya, mencium bau kain yang lama tersimpan."Sudah cukup aku bersabar," bisiknya lirih pada diri sendiri. "Aku tidak mau hidup seperti ini lagi." Dia mulai melipat beberapa pakaian. Satu per satu, tanpa rencana yang jelas. Tapi hatinya tahu, ini langkah pertama menuju kebebasan. Setiap lipatan kain seperti mewakili kenangan pahit yang ingin Mirae tinggalkan. Malam-malam penuh tangis, s
Pagi itu terasa lebih dingin dari biasanya. Sinar matahari menembus tirai kamar, tapi bukannya memberi hangat, malah membuat dada Mirae terasa sesak. Dia duduk di tepi ranjang dengan mata sembab, masih mengenakan pakaian tidur yang kusut sejak semalam.Langkah kaki Rey terdengar dari arah dapur, berat dan tegas seperti dentuman yang memantul di dada. Lelaki itu muncul di ambang pintu, mengenakan kemeja kerja rapi, kontras dengan wajahnya yang masih menyimpan sisa amarah malam tadi."Kau tidak perlu pergi bekerja hari ini," katanya datar.Mirae mengangkat kepalanya perlahan. "Tapi Rey, aku-""Aku bilang, kau tidak perlu pergi."Nada suaranya tidak tinggi, tapi tajam. Seperti belati yang mengiris tenang tanpa suara.Mirae menelan ludahnya. "Aku harus bekerja, mereka butuh aku di sana."Rey mendekat. "Tidak ada yang butuh kau di luar sana. Kau akan tetap di rumah, paham?"Dia berhenti tepat di depan Mirae, menunduk sedikit hingga wajah mereka hanya berjarak sejengkal."Dan jangan coba-co
Hening menggantung setelah pertengkaran panjang itu. Bau alkohol dan serpihan kaca masih memenuhi ruang tamu. Mirae berdiri di antara kekacauan, sementara Rey menatapnya dari seberang ruangan dengan napas terengah. Wajah keduanya tampak lelah, tapi api di mata mereka belum padam. "Aku sudah cukup, Rey," suara Mirae akhirnya pecah, pelan tapi pasti. Rey menatapnya tajam. "Apa maksudmu?" Mirae mengangkat dagunya, menatap langsung ke arah suaminya. "Aku ingin bercerai." Kata itu jatuh seperti bom di udara. Hening. Rey hanya mematung selama beberapa detik sebelum tawa kecil keluar dari bibirnya, tawa yang tidak lucu sama sekali. "Kau bilang apa barusan?" "Aku ingin bercerai," ulang Mirae tegas, meskipun suaranya bergetar. "Aku tidak sanggup lagi hidup begini. Aku ingin berhenti jadi istrimu, Rey." Wajah Rey berubah. Tawa yang tadi terdengar perlahan lenyap, berganti dingin. "Jadi kau pikir kau bisa pergi begitu saja? Setelah semua ini?" Mirae mengangguk pelan. "Aku sudah be
Langkah Mirae cepat, hampir tergesa. Tumit sepatunya menghentak trotoar yang mulai dingin, sementara angin malam meniup rambutnya ke wajah. Nafasnya terengah, bukan karena lelah, melainkan karena amarah yang terus membara di dada. Dia tak peduli arah tujuannya. Yang penting jauh dari Rey. Namun suara langkah kaki di belakangnya terdengar semakin dekat, berat, dan tergesa."Mirae!" teriak Rey keras, suaranya menggema di sepanjang jalan. Wanita itu pura-pura tidak mendengar. Tapi tak sampai tiga detik kemudian, sebuah tangan kasar mencengkeram lengannya kuat. Tubuh Mirae tertarik ke belakang dengan kasar hingga hampir kehilangan keseimbangan."Lepaskan, Rey!" Mirae menepis, tapi genggaman itu tak bergeming."Aku bilang ikut aku!" suaranya rendah, serak, namun penuh tekanan."Aku tidak mau!" balas Mirae keras, menatap tajam suaminya. "Aku muak bicara denganmu di rumah. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan!" Namun Rey menariknya lebih dekat, begitu dekat hingga Mirae bisa mencium b
Matahari sore sudah condong ke barat ketika sebuah mobil silver akhirnya berhenti di depan rumah mewah keluarga David. Pagar otomatis terbuka perlahan, dan mesin mobil itu meraung pelan sebelum mati.David turun dengan langkah santai, meski wajahnya sedikit letih. Namun di balik keletihan itu, ada sisa senyum yang sulit disembunyikan. Senyum yang masih terbawa dari hotel, dari tatapan Mirae, dari pagi penuh kenangan di pelukannya.Begitu dia membuka pintu rumah, suasana berbeda langsung menyambutnya. Ruangan itu sunyi, tapi hawa panas menekan. Mina sudah berdiri di ruang tamu, kedua tangannya bersedekap di dada, wajahnya memerah menahan emosi.Begitu tatapan mereka bertemu, Mina langsung meledak."Kau baru pulang sekarang? Sudah jam berapa ini, hah?!" suaranya lantang, penuh amarah yang ditahan sejak semalam.David menutup pintu perlahan, tidak terkejut sama sekali. Dia sudah menduga ledakan ini akan datang. "Aku sibuk," jawabnya singkat, meletakkan kunci mobil di meja."Sibuk?!" Mina