MasukNada dering ponsel di meja samping ranjang terus bergetar, seolah menuntut perhatian. Nama Aiden berkedip di layar, memecah keheningan kamar hotel yang kini dipenuhi desahan dan napas berat.
Audrey menoleh, tapi tidak ingin meresponnya. Sekejap tubuhnya menegang. Namun bukannya meraih ponsel itu, tangannya justru melayang, meraih wajah pria asing yang masih menindih tubuhnya. Bibirnya bergetar, penuh emosi yang bercampur hasrat. Namun pria asing itu mengambil jarak, menatap Audrey, penuh tanya. “Ponsel kamu berdering, mau terima dulu?! “Aku.. Sudah gak peduli,” bisiknya dengan napas terengah. Tanpa berkata banyak, Audrey meraih ponsel itu, menekan tombol, dan mematikan panggilan masuk. Bunyi klik dari layar yang gelap seolah jadi tanda bahwa malam ini Audrey resmi mengambil keputusan paling gila dalam hidupnya. Jemari Audrey menekan dada bidang pria asing itu yang menatapnya mendalam, rahangnya tampak mengeras, tapi tatapan matanya dipenuhi hasrat yang tak kalah liar. “Siapa namamu..?!” tanya Denzel, suaranya nyaris berbisik. “Audrey..” jawabnya, “Kalau kamu, Om..?!” Denzel tersenyum tipis mendengar panggilan dari Audrey. “Denzel..” “Om Denzel.. Aku milikmu malam ini..” Audrey berbisik, tubuhnya bergetar menahan campuran amarah dan rindu yang tak pernah ia sadari. “Buat aku lupa semuanya.” Senyum tipis kembali muncul di bibir Denzel, kali ini lebih mirip dengan seringai penuh misteri. Ia menunduk, kembali menutup bibir Audrey dengan ciuman panas yang membuat perempuan itu mendesah lebih keras. Bibir mereka bertemu, menyatu, saling menuntut. “Mmhh.. Ahh.. Denzel! ” Audrey nyaris merintih, menyebut namanya meski baru saja ia tahu. Denzel menarik wajahnya sebentar, menatapnya dengan sorot tajam yang mampu melumpuhkan. “Katakan lagi,” suaranya dalam, berat, seolah perintah. Audrey menggigit bibir bawahnya, matanya berkaca penuh nafsu. “Den…zel…” ucapnya lebih pelan, tapi penuh desahan. Pria itu mendengus puas, lalu kembali melahap bibirnya. Jemari kasarnya bergerak, meluruhkan sisa pakaian yang masih menempel di tubuh Audrey. Setiap kain yang terlepas hanya membuat kulit mereka semakin lengket, panas, dan tanpa batas. Tubuh Audrey melengkung saat Denzel mengeksplor lehernya, meninggalkan jejak merah di setiap jengkal. “Ahh.. Jangan di situ.. Terlalu sensitif..” desahnya, tapi tangannya justru meremas sprei, tidak benar-benar ingin menghentikannya. “Tubuhmu.. Bergetar hanya dengan sentuhanku.” Denzel berbisik di telinganya, napasnya hangat, membuat Audrey semakin sulit bernapas normal. “Kamu manis sekali, Audrey.” Wanita itu mendongak, matanya setengah terpejam. “Aku.. Aku nggak pernah seperti ini sebelumnya..” “Bagus.” Denzel tersenyum miring, jemarinya menelusuri garis pinggangnya. “Karena aku tidak suka berbagi. Mulai malam ini, hanya aku yang boleh menyentuhmu.” Ucapan itu membuat darah Audrey berdesir lebih cepat. Ia merasa tubuhnya kian lemas, tapi hatinya anehnya justru merasa nyaman dalam genggaman pria asing ini. Gerakan Denzel semakin liar, setiap sentuhan membuat Audrey mengeluarkan desahan tertahan. “Mmhh… ahh… Den…zel… pelan… aku nggak kuat…” “Tahan sedikit lagi,” gumamnya dengan suara berat. “Kamu bahkan belum tahu seberapa jauh aku bisa buat kamu kehilangan akal sehat.” Audrey menggigit bibir, wajahnya memerah, tubuhnya bergetar dengan ritme yang semakin liar. Ia menatap pria di atasnya, dada bidang yang terus mendesak tubuhnya, mata tajam yang tidak pernah melepaskan pandangannya. Semua terasa begitu intens. Di antara napas yang terengah, Audrey sempat tertawa kecil, suaranya parau. “Aku gila… benar-benar gila… bisa-bisanya aku—mmhh… menyerahkan diri pada pria asing…” Denzel berhenti sejenak, wajahnya mendekat, hidung mereka hampir bersentuhan. “Aku bukan pria asing lagi untukmu. Ingat baik-baik namaku… Denzel Shaquille.” Audrey menatapnya lama, lalu tanpa sadar tangannya terangkat, menyentuh rahang keras pria itu. “Denzel…” ia mengulang, kali ini dengan nada penuh kepasrahan dan hasrat. Lalu sekali lagi, kamar itu hanya dipenuhi suara desah, ciuman liar, dan napas berat yang saling berpacu. Audrey melenguh, tubuhnya terguncang, sementara Denzel terus membisikkan kalimat yang membuatnya semakin tidak bisa mengendalikan dirinya.. “Kamu cantik sekali.. Aku tidak akan pernah melepaskanmu, Audrey..” “Ahh… Denzel… jangan berhenti… aku—aku ingin lebih…” Desahan Audrey bercampur dengan erangan rendah Denzel. Malam itu, waktu seolah berhenti. Semua rasa sakit, pengkhianatan, dan amarah yang tadi menyesakkan dadanya menguap bersama setiap sentuhan yang membakar. Napas Audrey masih terengah, tubuhnya berkeringat, kulitnya panas bagai terbakar. Jemarinya mencengkeram bahu Denzel erat, seakan takut pria itu melepaskannya. “Ahh… Den—zel…” desahnya parau, suaranya bergetar di sela ciuman yang mendarat di sepanjang lehernya. Denzel menahan rambut Audrey di satu sisi, memberi ruang pada bibirnya untuk melahap setiap jengkal kulit lembut itu. “Kamu makin manis… setiap kali kamu berdesah, aku makin gila.” Audrey menggigit bibir, wajahnya memerah. Tubuhnya seakan tidak lagi miliknya, hanya mengikuti ritme liar pria dewasa itu. “Mmhh… jangan berhenti… aku… aku butuh kamu…” Denzel menatapnya dalam, sorot matanya mengunci Audrey hingga tak bisa berpaling. “Aku sudah bilang, kan? Malam ini kamu hanya milikku.” “Ahhh…” Audrey menekup mulutnya dengan punggung tangan, menahan suara, tapi Denzel cepat menariknya. “Jangan tutupi,” bisiknya tajam, bibirnya menyentuh telinga Audrey, membuat wanita itu gemetar. “Aku ingin dengar semuanya… suaramu, desahanmu, bahkan rintihanmu. Biarkan aku tahu betapa kamu menikmatinya.” Air mata Audrey mengalir lagi, tapi bukan karena sakit hati, melainkan karena campuran nikmat dan lega yang ia rasakan. “Aku… aku gila… seharusnya aku marah, tapi aku justru…” “Justru apa?” Denzel menyelipkan jemarinya, mengangkat wajahnya agar menatap. “Justru aku merasa hidup lagi.” Audrey menutup mata, napasnya berat. “Kamu buat aku lupa kalau aku baru saja dihancurkan.” Denzel mendengus, senyum tipis muncul. “Bagus. Karena aku memang ingin kamu hanya mengingat aku.” Audrey menarik leher Denzel, mencium bibirnya lagi dengan rakus. Bibir mereka beradu liar, lidah saling mencari, membuat udara di kamar semakin panas. ** Ballroom hotel sudah ramai. Musik mengalun lembut, tamu-tamu undangan mulai duduk di kursi berlapis satin. Meja penuh kue dan champagne berjajar. Semua mata sesekali melirik ke arah pintu, menunggu pasangan utama malam itu: Aiden Trustin dan Audrey Ginnifer. Aiden sendiri gelisah. Ponselnya sudah berulang kali ia tempelkan ke telinga. Nada sambung masih ada, tapi tidak pernah dijawab. “Kenapa dia nggak angkat-angkat juga?!” Aiden mendesis, rahangnya mengeras. Seorang kerabat menepuk bahunya. “Tenang, Aiden. Mungkin Audrey lagi di ruang rias.” “Ruang rias kosong!” Aiden menepis kasar. “Aku sudah cek!” Ia mulai berjalan cepat, wajahnya memerah menahan emosi. “Dimana dia…? Audrey tidak mungkin pergi tanpa alasan. Apa dia marah karena aku…?” Pikiran tentang kamar mandi menghantam benaknya, membuat dadanya terasa sesak. Namun ia cepat menggeleng, mencoba menyangkal. “Tidak. Dia nggak mungkin tahu. Mustahil dia lihat.” Ponselnya kembali ia tekan. Nada sambung berdering panjang. Masih nihil jawaban. “AUDREY!” Aiden menggeram pelan, menendang pintu kecil di salah satu lorong ballroom yang ternyata kosong. Nafasnya mulai memburu karena marah bercampur panik. ***Denzel menyimpan kembali ponselnya, wajahnya yang tadi menunjukkan keragu-raguan saat berbicara dengan Bu Helena kini kembali digantikan oleh tatapan dingin penuh perhitungan. Audrey merasakan aura berbahaya itu kembali tampak dari wajah suaminya.“Kejutan apa lagi, Denzel?” tanya Audrey, penasaran campur khawatir. Setiap ‘kejutan’ Denzel selalu berarti kehancuran total bagi musuhnya.Denzel memutar tubuhnya, menghadap Audrey, dan mengusap pipinya lembut.“Giselle berani menuntut Shaquille Corporation? Itu artinya dia sedang menggali kuburnya sendiri, baby,” Denzel menyeringai. “Dia pikir aku hanya akan membiarkan dia menuntut ganti rugi? Tentu saja tidak. Aku akan memastikan dia tidak hanya bangkrut, tetapi juga menghadapi tuntutan kriminal.”“Kriminal? Untuk apa?” alis Audrey terangkat penuh tanya. “Untuk manipulasi saham. Ingat, Trustin masih sebagian besar di bawah kendali Papa. Giselle menjual saham Trustin di bawah harga pasar, baby. Padahal ia dapat saham itu dari Velove
Denzel mengabaikan panggilan masuk dan pertanyaan Audrey. Ia menoleh ke depan, kearah Aksa, ekspresi kemenangan kini tampak jelas di wajahnya.“Aksa, siapa yang meneleponmu?” tanya Denzel memastikan dugaannya. “Pemegang saham Trustin Group, Denzel. Sepertinya mereka panik,” jawab Aksa, tanpa menoleh.Denzel tertawa kecil, tawa yang dingin dan penuh kuasa. “Tentu saja. Mereka juga menelponku. Dan aku yakin, mereka sudah menghubungi Papa yang sekarang sedang sibuk berhadapan dengan Stella, Aiden dan Velove.”Audrey memiringkan kepalanya. “Kenapa mereka panik sampai menelponmu Denzel?”“Karena mereka pasti tau saat ini saham Trustin terus menurun drastis, baby. Dan yang lebih penting, kabar pengunduran diriku dari CEO Trustin telah tersebar ke publik. Aku pastikan itu tersebar. Mereka tahu, tanpa Denzel Shaquille di pucuk pimpinan, Trustin akan tenggelam, seperti dulu..” jelas Denzel.Denzel melihat sekilas ke ponselnya. Lalu ia tersenyum, senyum yang menunjukkan semua rencanany
Ciuman itu singkat, mendadak, dan mengejutkan. Aksa tidak meminta izin, ia mengambilnya. Dia menarik diri secepat dia datang, seolah-olah tidak terjadi apapun diantara mereka. Dia terlihat santai. Sementara Fiona masih membeku. ‘Dia… Dia menciumku?!’ batin Fiona, ia masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Dunia seolah berhenti berputar beberapa detik disekitarnya, seakan menjadi saksi apa yang baru saja ia alami. Fiona menatap Aksa dengan mata terbelalak, napasnya sedikit tersengal-sengal. Ciuman yang sangat profesional dan formal dari asisten CEO!Namun sebaliknya, Aksa, sudah kembali fokus mengemudi tangannya baru saja menyesuaikan kaca spion. Ekspresinya tenang, nyaris tanpa emosi.“Itu adalah peringatan, Fiona. Aku tidak suka digoda,” ujar Aksa datar, nadanya kembali dingin, kontras dengan apa yang baru saja terjadi.Fiona meledak. Ciuman itu menghancurkan semua batasan yang ia coba pertahankan.“Peringatan?! Itu bukan peringatan, Pak Aksa! Itu adalah pelec
Aksa justru tersenyum tipis, sebuah seringai kecil yang menawan. Ia tidak perlu melihat ke belakang untuk tahu apa yang terjadi. Goyangan itu adalah ulah Denzel, sebuah live action yang sekarang menjadi rahasia intim mereka berdua. “Bannya tidak kempes, Fiona,” bisik Aksa, suaranya semakin berat, kata-kata itu memancing imajinasi liar Fiona. Namun Fiona tetap memaksakan diri untuk menatap mata Aksa, mencari kebohongan. Tapi yang ia temukan hanyalah kejujuran yang membuatnya terpesona. Aksa selalu jujur, bahkan ketika kejujuran itu memalukan. “Lalu kenapa mobil ini bergoyang begitu tidak wajar?” tanya Fiona, suaranya kini benar-benar gugup, menyadari implikasi dari getaran itu. Aksa mendekatkan wajahnya sedikit ke Fiona. Aroma maskulin parfumnya langsung tercium, menenggelamkan Fiona dalam sensasi yang tidak pernah ia duga dari asisten Denzel yang selalu tampak kaku. “Itu adalah ‘hadiah’ Denzel untuk kita berdua, Fiona. Sebagai peringatan,” bisik Aksa, nadanya penuh makn
Aksa menoleh sebentar, matanya yang tajam dan dingin bertemu dengan mata Fiona yang penuh amarah. “Aku hanya memastikan kamu tidak hilang akal karena membayangkan yang tidak-tidak, Nona Fiona.”Fiona segera memalingkan wajahnya ke jendela, panik. “Apa?! Aku tidak membayangkan apa-apa! Aku hanya.. Aku hanya memikirkan detail dokumen yang harus kita urus selanjutnya!”Aksa tertawa kecil, suara tawa yang jarang terdengar, kering dan singkat. “Dokumen? Kamu baru saja melihat live action yang jauh lebih menarik daripada dokumen, Fiona. Apa yang sebenarnya kamu pikirkan, hmm?”Aksa kembali fokus pada jalanan, tetapi sudut bibirnya terangkat. Ia membiarkan Fiona gelisah dalam kebingungan dan kegugupan.Fiona merasakan pipinya panas. ‘Sialan!’ umpatnya dalam hati. ‘Bagaimana Aksa bisa tahu persis apa yang ia pikirkan?’**Di balik sekat buram, Denzel menarik Audrey lebih dekat, senyum puas bermain di bibirnya. Ia tahu, di tengah semua kekacauan, Audrey adalah kekuatan yang paling ia but
Audrey menatap Denzel dengan tatapan penuh tanya, matanya tampak rasa ingin tahu yang mendalam bercampur dengan kekhawatiran. Ia tahu, Denzel adalah pria yang kejam dalam strategi, tetapi ia tidak akan mengorbankan orang tanpa alasan yang sangat kuat.“Denzel, apa Stella hamil? Kenapa kamu diam saja? Jawab Denzel.. Apa yang kamu sembunyikan?!” Audrey mengernyitkan dahi, menunggu jawaban Denzel. Tuntutan pernikahan tanpa kehamilan adalah hal gila, tetapi tuntutan dengan bukti adalah bom waktu yang nyata di mansion itu.Denzel membelai lembut rahang Audrey. Senyumnya kini lebih tenang, penuh rasa puas.“Awalnya, aku tidak tahu, baby,” jawab Denzel, suaranya rendah dan jujur. “Aku hanya memanggilnya dan memberinya tawaran, ia mau tetap bekerja di Trustin Grub tanpa posisi yang jelas dan sewaktu-waktu bisa tersingkirkan atau menuntut pertanggungjawaban dari Aiden dan membuatnya mempunyai kedudukan dan status sebagai istri Aiden. Karena aku ingin dia mengikat Aiden agar fokus laki-laki







