LOGINDenzel bergeming mendengar kemarahan Audrey, baru kali ini wanita itu marah atau mungkin lebih tepatnya, cemburu..“Audrey, aku benar-benar mint maaf.. Aku..” Denzel menghentikan kata-katanya. Audrey menunjuk ke meja makan. "Lihat! Aku bahkan mencoba membuatkan makan malam untuk mu.. Aku memasak masakan yang kubuat sendiri. Tapi kamu.. Kamu mengabaikan pesan dan telepon ku.. Kamu terlalu sibuk dengan wanita itu..” lirihnya. Denzel memeluk Audrey sangat erat, menggendongnya ke sofa. Ia menyadari, kata-kata saja tidak akan cukup. Ia harus membuktikan perasaan dan penyesalannya. “Turunkan aku, Denzel! Aku benci kamu..! Kalian sama saja!” teriak Audrey penuh amarah. Denzel mendudukkan Audrey di sofa, tangannya menggenggam erat tangan wanita itu. "Aku minta maaf, Audrey. Aku minta maaf karena aku tidak jujur dan tidak memberitahumu bahwa meeting itu melibatkan wanita.. Tapi tolong, percayalah padaku. Aku tidak menyentuh wanita itu. Sentuhanku, hasratku, hanya untukmu, percayalah.." b
Denzel pulang hampir tengah malam. Keheningan di apartemen itu langsung menyambutnya. Rasa lelah karena meeting yang panjang bercampur dengan kekesalan karena tidak bisa pulang lebih cepat.Denzel melihat lampu di apartemen itu masih menyala. Pemandangan itu membuat hatinya menghangat, ia tahu Audrey menunggunya.Pandangannya kemudian tertuju pada meja makan. Di sana, masih ada masakan Audrey yang tidak tersentuh dan tertata rapi, sup, dadar jagung, perkedel. Aromanya masih samar tercium, dan jelas menunjukkan hasil kerja keras Audrey.'Apa Audrey sengaja memasak untukku? Ini masakan rumah. Masakan sederhana yang sepertinya ia buat sendiri. Betapa bodohnya aku membiarkan meeting sialan itu lebih penting daripada pulang cepat dan menghabiskan makan malam dengannya. Aku harus menemuinya. Jangan sampai dia berpikir aku mengabaikannya. Aku gak boleh membuatnya kecewa.’Denzel menghela napas panjang. Rasa bersalah langsung menyergapnya. Ia tahu Audrey pasti menunggunya untuk makan malam,
Tatapan mata Fiona tidak bisa lagi dia hindari dia tau, sahabatnya itu memang suka bergosip tapi selama ini dia tidak pernah bergosip tentang Audrey. Fiona bisa melihat kegelisahan dari tatapan sahabatnya itu, wanita itu menepuk lengannya. Senyum terukir di wajahnya membuat Audrey semakin gugup. “Tenang aja, aku gak akan sebarin gosip tentang kamu! Sorry tadi aku bener-bener keceplosan.. Kalau aku menilai Pak Denzel memang jauh lebih baik dari Aiden. Mungkin umurnya jauh lebih tua, tapi selama di perusahaan dia gak pernah terlihat main perempuan..” Entah kenapa kata-kata Fiona seperti memberinya informasi yang penting. “Menurut mu apa aku terlihat ada hubungan dengan Pak Denzel?” tanya Audrey, dia ingin tau apa hubungan mereka terlihat aneh selama ini. “Hmm.. Kalau aku perhatikan memang akhir-akhir ini kamu terlihat lebih sering di panggil ke ruangan Pak Denzel.. Apalagi setelah itu, kamu selalu ganti pakaian..” jawab Fiona sambil tersenyum.
Setelah keluar dari ruangan Stella, Audrey berjalan kembali ke kubikelnya. Langkahnya mantap, tetapi hatinya berdebar kencang. Ia merasa kesal karena harus berhadapan dengan drama murahan Stella, sekaligus puas karena berhasil menggertak wanita itu dengan kekuatan yang ia dapatkan dari Denzel.Namun, suasana hatinya tiba-tiba kembali tidak nyaman. Konfrontasi itu menguras energinya, dan ia tahu ancaman Stella tidak bisa diremehkan. Selain itu, Fiona, yang tampaknya sudah mengawasi sejak tadi, segera menghampiri Audrey saat ia duduk di kursinya. Wajah Fiona penuh rasa ingin tahu yang begitu mendalam.“Kenapa Bu Stella memanggilmu, Audrey? Apa yang kalian bicarakan? Dia terlihat sangat marah saat kamu keluar!” desak Fiona, berbisik heboh.Audrey berusaha tersenyum, senyum yang dipaksakan. “Hanya masalah pekerjaan, Fiona. Laporan mingguan yang harus segera selesai. Kamu tahu Stella selalu tegang dengan deadline.”Fiona menyipitkan mata, jelas tidak percaya dengan jawaban Audrey ya
Pertanyaan itu bukan lagi pertanyaan basa-basi. Itu adalah tuntutan yang muncul dari lubuk hati yang telah jatuh terlalu dalam.Tubuh Denzel menegang. Ia mengangkat kepalanya sedikit, menatap Audrey. Matanya yang biru tampak berkilat, tatapannya sulit diartikan, campuran antara keterkejutan, keinginan, dan perhitungan.Denzel membalas tatapan Audrey dengan mendalam. Ia membelai rambut Audrey yang basah oleh keringat, lalu membalik pertanyaan itu kembali pada wanita itu.“Kenapa kamu bertanya, baby? Apakah kamu mau menikah denganku?”Kini Audrey yang berdiam.Dia justru bingung. Ada keinginan besar yang mendorongnya untuk mengiyakan, sebuah kebutuhan untuk mengklaim pria ini sepenuhnya. Tapi juga ada rasa takut yang menusuk dalam dirinya. Takut akan penilaian dunia, takut akan Aiden, takut akan kehancuran yang mungkin ia sebabkan pada Trustin Group.“Aku… aku…” Audrey kehilangan kata-kata, matanya kembali berkaca-kaca.
Denzel tidak menunggu jawaban. Amarah, kecemburuan, dan hasrat posesif yang terpendam meledak. Ia mengunci pintu ruang pribadinya. Suara klik pintu terkunci menjadi tanda awal dimulainya hukuman yang akan Denzel lakukan.Denzel melampiaskan kemarahannya dengan ciumannya yang menuntut. Bibir Audrey dilahap kasar, lidahnya bergerak liar menjelajahi rongga mulut Audrey. Ciuman itu adalah hukuman, sebuah upaya untuk menghapus ciuman Aiden.Tangannya dengan kasar merobek kemeja Audrey.KREKKK!Mata Audrey terbelalak. Entah sudah berapa banyak pakaiannya yang menjadi korban Denzel saat pria itu tidak sabar dengan keinginannya.“Denzel! Pelan-pelan, kamu merusak pakaian ku lagi..!” keluh Audrey, suaranya teredam di antara ciuman mereka.“Akan aku ganti satu toko!” bisiknya, penuh janji dan kekuasaan, sebelum ciumannya turun ke ceruk leher Audrey.“Aahhh.. Denzel..!” desah Audrey. Ia merasakan lehernya digigit pria itu, sebuah tanda kepemilikan yang menyakitkan namun mendebarkan. Tapi







