LOGINDenzel melangkah keluar dari ruang istirahat pribadi, menarik napas dalam. Wajahnya yang tadi dipenuhi hasrat kini berubah dingin dan tanpa emosi. Ia merapikan dasinya, memastikan tidak ada jejak yang tertinggal. Di dalam, ia meninggalkan Audrey yang sedang menggigil di bawah selimut, wajahnya diliputi rasa penasaran.
Denzel membuka pintu ruangan pribadinya. Di sana, berdiri seorang pria muda dengan wajah yang tegang, nafasnya memburu. Pria itu adalah Aiden Trustin. ”Papa!" gumam Aiden, matanya menyala. "Akhirnya kamu keluar juga! Aku sudah memanggilmu berkali-kali! Kenapa kamu lama sekali keluarnya, Pa? Apa kamu sedang bersama seseorang di dalam sana?!" Denzel, dengan santai, kembali ke kursinya dan duduk, menyilangkan kaki. Tatapan mata Denzel setajam mata elang, mengunci pandangan seseorang yang kini tampak kacau didepannya. "Duduk, Aiden," perintah Denzel, suaranya tenang, kontras dengan badai emosi Aiden. "Aku sudah memberitahu Aksa agar tidak ada yang menggangguku. Kamu seharusnya tahu aturannya." Aiden tidak duduk, ia mondar-mandir di depan meja Denzel. "Aturan? Papa bicara tentang aturan di saat seluruh nama baik keluarga kita hancur! Pertunanganku batal, Pa! Batal!" "Aku sudah dengar," sahut Denzel datar. "Berita itu sudah menyebar. Memalukan. Sangat memalukan bagi nama keluarga." Aiden berhenti, menatap ayahnya dengan mata memohon. "Lalu, kenapa Papa tidak datang? Aku mencarimu! Kenapa kamu tidak ada disana?" Denzel mengambil sebatang cerutu dari lacinya, menyalakannya dengan korek api emas. Asap tipis mengepul, menciptakan tirai misteri di antara mereka. "Kenapa aku harus datang, Aiden?" Denzel menarik napas dalam. "Untuk melihat putraku berdiri di panggung yang sama dengan wanita yang dia hancurkan sendiri hatinya? Atau untuk melihat putraku yang sibuk bercinta dengan wanita lain di kamar mandi hotel, padahal cincin tunangan hanya tinggal menunggu waktu untuk disematkan?" Ucapan Denzel menusuk tajam, membuat Aiden seketika terdiam. Wajahnya yang tadi merah karena amarah kini memucat pasi. Jantungnya berdebar kencang. ‘Gak mungkin Papa tau, kan?’ batinnya. "B-bagaimana... bagaimana Papa tahu?" tanya Aiden terbata, suaranya nyaris berbisik. Denzel membuang asap cerutunya ke udara. Senyum sinisnya muncul. "Aku punya mata-mata di mana-mana, Aiden. Kamu pikir aku bisa menjadi Denzel Shaquille tanpa tahu apa yang dilakukan oleh orang disekitar ku?" "Itu.. Itu hanya kesalahan! Aku mabuk! Aku menyesal, Pa! Aku benar-benar menyesalinya sekarang!" Aiden mencoba membela diri. "Aku sedang berusaha memperbaiki semuanya, tapi Audrey meninggalkanku! Dia bahkan mengaku tidur dengan pria lain!" Mendengar pengakuan Aiden, garis rahang Denzel mengeras, namun ia berhasil menahan emosinya. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi besar. "Dia melakukan hal yang benar," kata Denzel, nada suaranya tegas. "Seorang pria sejati tidak akan mengkhianati wanitanya. Apalagi hanya beberapa jam sebelum mereka bertunangan. Kamu menghinanya, Aiden. Kamu menghina dirimu sendiri!" Aiden menundukkan kepalanya, rasa bersalahnya bercampur dengan amarah. "Tapi aku ingin dia kembali, Pa! Aku mencintainya! Aku tidak mau kehilangan proyek Ginnifer itu!" "Cinta atau Proyek?" Denzel mencibir. "Lupakan soal Ginnifer. Kamu datang kemari bukan hanya untuk menangisi wanita yang kabur itu, kan? Urus media. Bersihkan namamu. Jika kamu tidak bisa mengurus masalah pribadimu, bagaimana kamu akan mengurus proyek besar dengan Keluarga Patrick yang akan kuserahkan padamu?" "Aku janji, Pa! Aku akan membereskannya!" kata Aiden, semangatnya kembali bangkit karena ancaman proyek. "Aku akan mencari Audrey dan menyelesaikannya! Lalu aku akan mengurus media." Aiden melangkah menuju pintu. Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada satu benda kecil yang tergeletak di samping sofa kulit yang mahal. Sebuah gantungan ponsel dengan bandul inisial 'A'. Gantungan itu sangat familiar. ‘Persis seperti milik Audrey.’ Aiden mengerutkan dahi, berjalan mendekat. "Ponsel siapa ini, Pa? Gantungan ini... sepertinya aku pernah melihatnya." Jantung Denzel berdetak kencang. Ia memang meninggalkannya Audrey di ranjang, dan itu pasti ponsel Audrey yang tadi ia masukkan ke kantong jasnya tapi terjatuh. Dengan gerakan cepat dan tenang, Denzel bangkit dan meraih ponsel itu sebelum Aiden sempat menyentuhnya. Ia menggenggamnya erat di balik punggungnya. "Ponsel klien," jawab Denzel singkat, tatapannya menantang. "Klien yang datang ke sini untuk perjanjian rahasia, dan dia juga punya inisial 'A'. Apa ada masalah?" Aiden menatap Denzel dengan curiga. Pria itu terlihat terlalu protektif terhadap ponsel itu. Ia juga melihat rambut panjang hitam yang tersangkut di pinggiran sofa. Samar-samar, dan pasti rambut seorang wanita. "Tidak, Pa. Tidak ada masalah," jawab Aiden, meskipun ada keraguan besar di matanya. "Hanya saja, aneh melihat Papa di sini. Biasanya Papa ada di klub kalau ingin bersama wanita. “ "Aku tidak sepertimu yang suka main perempuan! Urus urusanmu sendiri, Aiden. Jangan ikut campur urusan ku!" Denzel memperingatkan, nadanya kembali dingin dan penuh otoritas. "Sekarang pergi. Aku sibuk. Dan jika kau tidak bisa mendapatkan proyek Patrick, lupakan keinginan mu jadi penerus ku!" Aiden mengangguk, masih menatap penuh curiga ke arah sofa dan pintu ruang istirahat pribadi. Ia merasakan ada aura aneh di ruangan ini. Aura yang begitu kuat, dan terasa seperti aroma parfum wanita yang sangat familiar. "Baik, Pa. Aku pergi," kata Aiden, lalu berbalik. Saat pintu tertutup, Denzel menarik napas lega. Ia kembali ke kursinya, menatap pintu ruang istirahat pribadi, tempat Audrey bersembunyi. Ia mengambil ponsel Audrey, mengusap gantungan inisial 'A' itu dengan ibu jarinya. Senyum predatornya muncul. Aiden sudah curiga, tapi Denzel suka permainan itu. “Semua akan baik-baik saja..” gumamnya. Denzel bangkit, berjalan kembali ke pintu ruang istirahat. Ia tahu Audrey pasti cemas dan ia harus segera menenangkan wanitanya. Denzel membuka pintu, melangkah masuk, dan menutupnya. Di sana, Audrey masih duduk meringkuk di bawah selimut, matanya menatap dengan penasaran. Denzel tidak berkata apa-apa. Ia hanya membuka jasnya, melemparnya ke kursi, dan kembali berbaring di samping Audrey, memeluknya erat. "Sudah aman, Sayang," bisik Denzel, mencium puncak kepala Audrey. ”Siapa yang datang, Denzel?" Audrey mengangkat wajahnya, penuh tanya. “Hanya seseorang yang merasa sedang frustasi karena kesalahannya sendiri..” jawab Denzel dengan santai. “Siapa..?!” Audrey seakan tidak puas dengan jawaban Denzel. “Aku akan menjawab setelah menyelesaikan satu ronde lagi, Audrey..” bisiknya tepat didepan wajah wanita itu. Dan tanpa aba-aba, Denzel sudah menyibakkan selimut Audrey, mengungkung wanita itu dalam dekapannya. Ciumannya begitu liar memuat Audrey terperanjat, tidak bisa menolaknya.. “Ahhh.. Denzel.. Aku harus kerja..” “Ini juga pekerjaan, Audrey..” “Denzel cukup.. Aahh!!” **Denzel bergeming mendengar kemarahan Audrey, baru kali ini wanita itu marah atau mungkin lebih tepatnya, cemburu..“Audrey, aku benar-benar mint maaf.. Aku..” Denzel menghentikan kata-katanya. Audrey menunjuk ke meja makan. "Lihat! Aku bahkan mencoba membuatkan makan malam untuk mu.. Aku memasak masakan yang kubuat sendiri. Tapi kamu.. Kamu mengabaikan pesan dan telepon ku.. Kamu terlalu sibuk dengan wanita itu..” lirihnya. Denzel memeluk Audrey sangat erat, menggendongnya ke sofa. Ia menyadari, kata-kata saja tidak akan cukup. Ia harus membuktikan perasaan dan penyesalannya. “Turunkan aku, Denzel! Aku benci kamu..! Kalian sama saja!” teriak Audrey penuh amarah. Denzel mendudukkan Audrey di sofa, tangannya menggenggam erat tangan wanita itu. "Aku minta maaf, Audrey. Aku minta maaf karena aku tidak jujur dan tidak memberitahumu bahwa meeting itu melibatkan wanita.. Tapi tolong, percayalah padaku. Aku tidak menyentuh wanita itu. Sentuhanku, hasratku, hanya untukmu, percayalah.." b
Denzel pulang hampir tengah malam. Keheningan di apartemen itu langsung menyambutnya. Rasa lelah karena meeting yang panjang bercampur dengan kekesalan karena tidak bisa pulang lebih cepat.Denzel melihat lampu di apartemen itu masih menyala. Pemandangan itu membuat hatinya menghangat, ia tahu Audrey menunggunya.Pandangannya kemudian tertuju pada meja makan. Di sana, masih ada masakan Audrey yang tidak tersentuh dan tertata rapi, sup, dadar jagung, perkedel. Aromanya masih samar tercium, dan jelas menunjukkan hasil kerja keras Audrey.'Apa Audrey sengaja memasak untukku? Ini masakan rumah. Masakan sederhana yang sepertinya ia buat sendiri. Betapa bodohnya aku membiarkan meeting sialan itu lebih penting daripada pulang cepat dan menghabiskan makan malam dengannya. Aku harus menemuinya. Jangan sampai dia berpikir aku mengabaikannya. Aku gak boleh membuatnya kecewa.’Denzel menghela napas panjang. Rasa bersalah langsung menyergapnya. Ia tahu Audrey pasti menunggunya untuk makan malam,
Tatapan mata Fiona tidak bisa lagi dia hindari dia tau, sahabatnya itu memang suka bergosip tapi selama ini dia tidak pernah bergosip tentang Audrey. Fiona bisa melihat kegelisahan dari tatapan sahabatnya itu, wanita itu menepuk lengannya. Senyum terukir di wajahnya membuat Audrey semakin gugup. “Tenang aja, aku gak akan sebarin gosip tentang kamu! Sorry tadi aku bener-bener keceplosan.. Kalau aku menilai Pak Denzel memang jauh lebih baik dari Aiden. Mungkin umurnya jauh lebih tua, tapi selama di perusahaan dia gak pernah terlihat main perempuan..” Entah kenapa kata-kata Fiona seperti memberinya informasi yang penting. “Menurut mu apa aku terlihat ada hubungan dengan Pak Denzel?” tanya Audrey, dia ingin tau apa hubungan mereka terlihat aneh selama ini. “Hmm.. Kalau aku perhatikan memang akhir-akhir ini kamu terlihat lebih sering di panggil ke ruangan Pak Denzel.. Apalagi setelah itu, kamu selalu ganti pakaian..” jawab Fiona sambil tersenyum.
Setelah keluar dari ruangan Stella, Audrey berjalan kembali ke kubikelnya. Langkahnya mantap, tetapi hatinya berdebar kencang. Ia merasa kesal karena harus berhadapan dengan drama murahan Stella, sekaligus puas karena berhasil menggertak wanita itu dengan kekuatan yang ia dapatkan dari Denzel.Namun, suasana hatinya tiba-tiba kembali tidak nyaman. Konfrontasi itu menguras energinya, dan ia tahu ancaman Stella tidak bisa diremehkan. Selain itu, Fiona, yang tampaknya sudah mengawasi sejak tadi, segera menghampiri Audrey saat ia duduk di kursinya. Wajah Fiona penuh rasa ingin tahu yang begitu mendalam.“Kenapa Bu Stella memanggilmu, Audrey? Apa yang kalian bicarakan? Dia terlihat sangat marah saat kamu keluar!” desak Fiona, berbisik heboh.Audrey berusaha tersenyum, senyum yang dipaksakan. “Hanya masalah pekerjaan, Fiona. Laporan mingguan yang harus segera selesai. Kamu tahu Stella selalu tegang dengan deadline.”Fiona menyipitkan mata, jelas tidak percaya dengan jawaban Audrey ya
Pertanyaan itu bukan lagi pertanyaan basa-basi. Itu adalah tuntutan yang muncul dari lubuk hati yang telah jatuh terlalu dalam.Tubuh Denzel menegang. Ia mengangkat kepalanya sedikit, menatap Audrey. Matanya yang biru tampak berkilat, tatapannya sulit diartikan, campuran antara keterkejutan, keinginan, dan perhitungan.Denzel membalas tatapan Audrey dengan mendalam. Ia membelai rambut Audrey yang basah oleh keringat, lalu membalik pertanyaan itu kembali pada wanita itu.“Kenapa kamu bertanya, baby? Apakah kamu mau menikah denganku?”Kini Audrey yang berdiam.Dia justru bingung. Ada keinginan besar yang mendorongnya untuk mengiyakan, sebuah kebutuhan untuk mengklaim pria ini sepenuhnya. Tapi juga ada rasa takut yang menusuk dalam dirinya. Takut akan penilaian dunia, takut akan Aiden, takut akan kehancuran yang mungkin ia sebabkan pada Trustin Group.“Aku… aku…” Audrey kehilangan kata-kata, matanya kembali berkaca-kaca.
Denzel tidak menunggu jawaban. Amarah, kecemburuan, dan hasrat posesif yang terpendam meledak. Ia mengunci pintu ruang pribadinya. Suara klik pintu terkunci menjadi tanda awal dimulainya hukuman yang akan Denzel lakukan.Denzel melampiaskan kemarahannya dengan ciumannya yang menuntut. Bibir Audrey dilahap kasar, lidahnya bergerak liar menjelajahi rongga mulut Audrey. Ciuman itu adalah hukuman, sebuah upaya untuk menghapus ciuman Aiden.Tangannya dengan kasar merobek kemeja Audrey.KREKKK!Mata Audrey terbelalak. Entah sudah berapa banyak pakaiannya yang menjadi korban Denzel saat pria itu tidak sabar dengan keinginannya.“Denzel! Pelan-pelan, kamu merusak pakaian ku lagi..!” keluh Audrey, suaranya teredam di antara ciuman mereka.“Akan aku ganti satu toko!” bisiknya, penuh janji dan kekuasaan, sebelum ciumannya turun ke ceruk leher Audrey.“Aahhh.. Denzel..!” desah Audrey. Ia merasakan lehernya digigit pria itu, sebuah tanda kepemilikan yang menyakitkan namun mendebarkan. Tapi







