MasukHai readers.. Salam kenal ya. Aku penulis baru di Goodnovel.. Napen ku Cynta, di apk lain aku pakai M Purie, mungkin ada yang pernah tau.. Hehehe.. Oh ya, boleh dong minta komentar dan bintang kejora kalian buat dukung karya baru ku.. Selain itu bantu follow akun ku dong.. agar aku semangat nulisnya dan kalian dapat info tentang buku baruku.. Makasih banyak semuanya.. Semoga kalian selalu sehat dan bahagia..
Setelah keluar dari ruangan Stella, Audrey berjalan kembali ke kubikelnya. Langkahnya mantap, tetapi hatinya berdebar kencang. Ia merasa kesal karena harus berhadapan dengan drama murahan Stella, sekaligus puas karena berhasil menggertak wanita itu dengan kekuatan yang ia dapatkan dari Denzel.Namun, suasana hatinya tiba-tiba kembali tidak nyaman. Konfrontasi itu menguras energinya, dan ia tahu ancaman Stella tidak bisa diremehkan. Selain itu, Fiona, yang tampaknya sudah mengawasi sejak tadi, segera menghampiri Audrey saat ia duduk di kursinya. Wajah Fiona penuh rasa ingin tahu yang begitu mendalam.“Kenapa Bu Stella memanggilmu, Audrey? Apa yang kalian bicarakan? Dia terlihat sangat marah saat kamu keluar!” desak Fiona, berbisik heboh.Audrey berusaha tersenyum, senyum yang dipaksakan. “Hanya masalah pekerjaan, Fiona. Laporan mingguan yang harus segera selesai. Kamu tahu Stella selalu tegang dengan deadline.”Fiona menyipitkan mata, jelas tidak percaya dengan jawaban Audrey ya
Pertanyaan itu bukan lagi pertanyaan basa-basi. Itu adalah tuntutan yang muncul dari lubuk hati yang telah jatuh terlalu dalam.Tubuh Denzel menegang. Ia mengangkat kepalanya sedikit, menatap Audrey. Matanya yang biru tampak berkilat, tatapannya sulit diartikan, campuran antara keterkejutan, keinginan, dan perhitungan.Denzel membalas tatapan Audrey dengan mendalam. Ia membelai rambut Audrey yang basah oleh keringat, lalu membalik pertanyaan itu kembali pada wanita itu.“Kenapa kamu bertanya, baby? Apakah kamu mau menikah denganku?”Kini Audrey yang berdiam.Dia justru bingung. Ada keinginan besar yang mendorongnya untuk mengiyakan, sebuah kebutuhan untuk mengklaim pria ini sepenuhnya. Tapi juga ada rasa takut yang menusuk dalam dirinya. Takut akan penilaian dunia, takut akan Aiden, takut akan kehancuran yang mungkin ia sebabkan pada Trustin Group.“Aku… aku…” Audrey kehilangan kata-kata, matanya kembali berkaca-kaca.
Denzel tidak menunggu jawaban. Amarah, kecemburuan, dan hasrat posesif yang terpendam meledak. Ia mengunci pintu ruang pribadinya. Suara klik pintu terkunci menjadi tanda awal dimulainya hukuman yang akan Denzel lakukan.Denzel melampiaskan kemarahannya dengan ciumannya yang menuntut. Bibir Audrey dilahap kasar, lidahnya bergerak liar menjelajahi rongga mulut Audrey. Ciuman itu adalah hukuman, sebuah upaya untuk menghapus ciuman Aiden.Tangannya dengan kasar merobek kemeja Audrey.KREKKK!Mata Audrey terbelalak. Entah sudah berapa banyak pakaiannya yang menjadi korban Denzel saat pria itu tidak sabar dengan keinginannya.“Denzel! Pelan-pelan, kamu merusak pakaian ku lagi..!” keluh Audrey, suaranya teredam di antara ciuman mereka.“Akan aku ganti satu toko!” bisiknya, penuh janji dan kekuasaan, sebelum ciumannya turun ke ceruk leher Audrey.“Aahhh.. Denzel..!” desah Audrey. Ia merasakan lehernya digigit pria itu, sebuah tanda kepemilikan yang menyakitkan namun mendebarkan. Tapi
Denzel mondar-mandir di ruang kerjanya yang luas, langkah kakinya yang berat memantul di lantai marmer. Udara di ruangan itu terasa lebih dingin, dipenuhi amarah dan kecemasan yang mendalam. Ponsel Denzel tergeletak di meja, menampilkan riwayat panggilan tak terjawab ke nomor Audrey."Aksa! Kenapa dia tidak menjawab?! Cepat cek CCTV di lobi dan lacak ponselnya lagi!" perintah Denzel, suaranya seakan menggema dalam ruangan. Ia tidak bisa menahan rasa frustrasi dan cemasnya. Audrey sudah menghilang lebih dari satu jam tanpa kabar.Aksa berdiri tegak di samping meja. "Aku sudah mencoba melacak, Denzel. Ponsel Audrey sempat terdeteksi di area belakang kantor, dekat restoran lama yang tersembunyi. Tapi sekarang, sinyalnya mati.""Mati?!" Denzel menggerutu, rahangnya mengeras. "Dia tahu aku benci diabaikan! Dia tahu ada Aiden yang mengincarnya! Kenapa dia berani mematikan ponselnya?!"Denzel tiba-tiba teringat Aiden mengikut Audrey di mall, dan Aksa memberitahu kalau Aiden melihatnya be
lAudrey akhirnya menuruti permintaan Aiden untuk bertemu. Mereka memilih sebuah restoran tempat mereka dulu sering bertemu saat masih pacaran. Letaknya tidak jauh dari perusahaan tapi cukup tersembunyi, jauh dari keramaian pusat kota karena masuk ke lokasi perkampungan di belakang gedung.Suasana di antara mereka terasa dingin dan tegang, seperti ada dinding es balok di antara mereka.Aiden duduk berhadapan dengan Audrey. Wajahnya keras, matanya memancarkan campuran amarah dan rasa sakit yang dalam. Dia tidak memesan apa pun, hanya meletakkan ponselnya di atas meja."Aku tidak akan membuang waktumu, Audrey," kata Aiden, suaranya tajam. "Aku ingin penjelasan dari mu."Aiden menggeser ponselnya ke depan Audrey. Di layar ponsel itu, terlihat sebuah foto yang buram namun masih tampak begitu jelas. Foto itu menunjukkan Audrey di lobi mal, tubuhnya dipeluk posesif oleh seorang pria tinggi yang punggungnya tampak familiar, bagi Aiden.Audrey merasakan tenggorokannya tercekat. Meskipun f
Stella memperhatikan reaksi Aiden yang terdiam. Rasa sakit di hatinya bagitu terasa. "Kenapa diam, Aiden?" desak Stella, ia mendekat, mencium lembut bibir Aiden. "Aku mencintaimu, Aiden. Dan aku tahu kamu membutuhkan aku. Kita sudah tidur bersama berkali-kali. Bukankah ini yang kita inginkan? Menikah, dan mengambil alih proyek itu bersama?"Aiden memalingkan wajahnya. Mencium Stella lagi hanya akan memperpanjang kegilaan ini. "Aku.. Aku tidak tahu, Stella. Aku butuh waktu.""Waktu untuk apa, Aiden?!" Stella menarik dagu Aiden, memaksanya menatapnya. "Waktu untuk kembali mengejar Audrey? Setelah dia tidur dengan Papamu?! Sadarlah, Aiden! Audrey sudah tidak menghargaimu! Aku di sini, menunggumu, mencintaimu!"Kata-kata Stella menusuk. Meskipun kejam, itu adalah kebenaran yang pahit. Audrey sudah tidur dengan Papanya. Kenyataan itu membakar harga diri Aiden."Aku akan bicara dengan Papaku," kata Aiden, suaranya penuh tekad. "Aku akan memberitahunya bahwa aku setuju menikah denganmu







