Share

CHAPTER 04 | HASRAT TERPENDAM

Author: Langit Parama
last update Last Updated: 2025-07-22 09:01:47

“Dok …?” lirih Yessa, suaranya bergetar.

“Hm?” sahut Isandro singkat, matanya tetap menatapnya dalam.

“I-ini ….” Yessa menelan ludah, menatap pria di hadapannya yang berdiri terlalu dekat. Sangat dekat, bahkan tak ada jarak sedikit pun.

Bahkan saat tadi Isandro mencium sudut bibirnya, ada perasaan aneh menjalar di seluruh tubuhnya—campuran antara takut, gugup, dan sesuatu yang selama ini tak pernah ia dapatkan dari Kaveer.

Isandro tidak menjawab, hanya mendekatkan wajahnya lagi. Kali ini bibirnya benar-benar menyapu bibir Yessa, menuntut, menguji. Jemarinya menyusuri lengan Yessa, turun ke pinggang, lalu menarik tubuh itu hingga menempel rapat padanya.

Ciuman itu lambat namun dalam, membuat napas Yessa tersengal. Pikirannya berteriak ini salah, tapi sentuhan lembut di punggungnya membuatnya lemah, tak kuasa menolak. Kaveer tidak pernah mencium atau menyentuhnya seperti ini—tidak pernah selembut ini.

Yessa bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dia diperlakukan selembut dan seintens ini. Atau mungkin, tidak pernah sama sekali?

Tanpa sadar, Yessa membalas. Jemarinya bahkan meraih kerah jas Isandro, seolah mencari pegangan—kemudian melingarkan lengannya di leher pria itu. Jantungnya berpacu, tubuhnya mulai larut. Isandro merasakan itu, dan tangannya naik mengusap punggungnya lebih dalam.

Satu tangan Isandro menahan tengkuknya, memastikan Yessa tak akan melepaskan ciuman terlalu cepat. Dan tangan satunya menyusuri punggung kecilnya, bergerak terampil melepas pengait bra.

Mata Yessa spontan terbuka saat bra-nya melorot membuat dua gundukannya menggantung, tapi ciuman itu tak memberinya kesempatan untuk menarik diri—dia sudah larut ke dalamnya.

“Mmhh .…” suaranya pecah di antara desahan.

Isandro mengangkat tubuh Yessa, menggendongnya ala koala tanpa melepaskan ciuman, lalu mendudukkannya di atas meja. Kedua kaki Yessa dibuka, membiarkan tubuh Isandro berdiri di antaranya, tetap mengurungnya.

“Dok!” suara Yessa bergetar saat bibir mereka akhirnya terpisah. Kedua tangannya buru-buru bersilang menutupi dadanya yang terpampang di hadapan Isandro.

Isandro berdiri di depannya, napasnya berat, tapi senyum tipisnya tak goyah. Tangannya terangkat, melonggarkan dasi yang terasa mencekik sambil menatap Yessa seakan membaca isi pikirannya.

“Mulutmu menolak, tapi tubuhmu? Dia jujur pada saya.” Jemarinya meraih kedua tangan Yessa, menahannya di atas meja. “Saya bisa kasih lebih dari yang pernah suami kamu kasih—baik di ranjang, maupun di hidup kamu.”

Tatapannya jatuh pada gundukan Yessa sekilas lalu beralih pada matanya—menusuk, nada suaranya licin seperti racun manis. “Jadi, Yessa … mau lanjut?”

Yessa tak menjawab. Ia ingin mengangguk, tapi malu dan sadar bahwa ini salah. Ingin menolak, tapi dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Kapan lagi? Dan siapa yang bisa menyentuhnya selembut dan seberani ini?

“Saya tidak akan memaksa kamu, Yessa. Tapi kamu bisa datang kapan saja kalau kamu membutuhkan saya. Saya tahu, kamu kekurangan perhatian dan haus akan sentuhan.”

Tatapan Isandro begitu dalam membuat Yessa menelan ludah, terhanyut dalam kata-kata itu. Yessa membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar dari sana.

Isandro mencondongkan tubuhnya ke depan, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Yessa. Suaranya turun menjadi bisikan hangat yang membelai telinga. Lalu bisikannya yang terdengar tegas namun tetap sensual.

“Wanita itu … rapuh, Yessa. Mereka tidak diciptakan untuk menahan sakit, apalagi dari orang yang katanya mencintai. Kamu pantas dipeluk, dijaga, dimanjakan, bukan disakiti.”

Tangannya mengusap pelan pipi Yessa, jemarinya menelusuri rahang kecil wanita itu hingga ke lehernya membuat Yessa menahan napas.

“Kamu tahu kenapa saya peduli sama kamu? Karena saya bisa lihat di mata kamu, kalau kamu sudah terlalu lama menahan diri. Kamu cuma butuh seseorang yang mengerti kamu. yang tahu cara membuat kamu lupa semua luka itu. Dan saya, saya bisa jadi orang itu, Yessa. Kalau kamu mau.”

“A-anda serius, dok?” tanya Yessa pelan, seolah masih ragu dengan apa yang baru saja ia dengar. Namun dia langsung melipat bibirnya, seolah baru sadar bahwa dirinya melontarkan pertanyaan absurd.

Isandro hanya tersenyum tipis. “Tentu saja.”

Ia kemudian menjauhkan diri dari Yessa, membuka jas putihnya, lalu dengan hati-hati memakaikannya ke tubuh wanita itu. Jas itu jatuh menutupi bahunya yang terlihat rapuh, membuat Yessa menunduk tanpa berani menatapnya.

“Tunggu di sini,” ucapnya lembut. Tangannya terulur meraih ponsel di meja, lalu menekan nomor cepat. “Antarkan ke ruangan saya, salep untuk luka lebam,” perintahnya singkat pada seseorang di seberang. Setelah menutup telepon, ia memasukkan ponsel itu ke dalam saku celananya.

“Dok!” panggil Yessa saat pria itu melangkah pergi.

Isandro tidak menoleh. Ia berjalan ke sudut ruangan, menuangkan air mineral dari dispenser ke dalam gelas. Setelah itu ia kembali menghampiri Yessa yang masih duduk di atas meja, menunduk sedikit untuk menyerahkan gelas tersebut.

“Minum. Kamu pasti haus,” ujarnya, nada suaranya begitu tenang namun tegas.

Yessa meraih gelas itu dengan kedua tangannya, jari-jarinya menyentuh jemari Isandro tanpa sengaja, membuatnya refleks menarik napas pelan.

“Ma-maaf,” ucapnya merasa bersalah. Kemudian Yessa meneguk air itu sampai tandas, lalu meletakannya ke atas meja. “Terima kasih, dok.”

“Sama-sama,” balas Isandro singkat.

Tak lama kemudian, suara ketukan terdengar dari pintu, membuat Yessa menoleh kaget.

Isandro melangkah ke arah pintu, membukanya sedikit. Seorang perawat berdiri di luar dengan sebuah salep di tangannya.

“Ini, dok,” ucap perawat itu sambil menyerahkannya pada Isandro.

Isandro menerimanya dengan anggukan singkat, tak banyak bicara. Pintu kembali ditutup dan tak lupa juga dikunci, meninggalkan hanya dirinya dan Yessa di ruangan itu.

Tatapan Yessa langsung jatuh pada benda di tangan Isandro. Bibirnya sempat terbuka, seperti hendak bertanya, namun ia mengurungkan niatnya saat melihat tatapan pria itu.

“Biar saya yang oleskan,” ucap Isandro pelan. Ia menarik kursi, duduk di hadapan Yessa, lalu membuka tutup salep itu. Aroma obat yang samar memenuhi udara.

“Luka seperti ini harus rutin diberi salep,” lanjutnya, tangannya terulur mendekati luka di bahu Yessa. Sentuhannya hati-hati, nyaris seperti takut menyakiti. “Kalau tidak, nanti bekasnya susah hilang.”

Yessa menunduk, tubuhnya kaku saat jari-jari hangat Isandro menyentuh kulitnya yang memar. Setiap olesan terasa pelan, namun ada sesuatu di balik gerakan itu—perhatian yang selama ini tidak pernah ia dapatkan dari Kaveer.

Begitu Isandro hendak memberikannya pada bagian gundukannya, Yessa langsung menahan tangan pria itu. “Biar saya oles sendiri, dok.”

Ia langsung meraih salep itu dari tangan Isandro, lalu memperbaiki jas putih pria itu agar bisa menutupi seluruh tubuhnya. Tiba-tiba saja, kewarasannya kembali dan merasa malu mengingat dia tak mengenakan bra.

“Bagaimana cara kamu mengoleskan lukamu kalau jasnya tidak dilepas?” tanya Isandro dengan alis terangkat.

Yessa menunduk malu dan menggigit bibirnya.

“Saya ke kamar mandi dulu, selesaikan dengan cepat!” kemudian dia berbalik pergi meninggalkan Yessa seorang diri.

Yessa hanya menatap punggung pria itu yang menjauh, sampai menghilang dari balik pintu toilet. Ada perasaan nyaman yang diam-diam tumbuh tanpa izin.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Marlien Cute
Dokter Isandro perhatian sekali with Yessa...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Gairah Terlarang: Sahabat Suamiku, Nafsu Rahasiaku   CHAPTER 77 | DIJEMPUT LAKI-LAKI

    “Ma-mas ...!” suara Yessa bergetar mendengar ucapan Isandro yang sangat menohok, menusuk sampai ke relung hatinya yang paling dalam seolah dirinya manusia yang begitu munafik. “Jangan khawatir, saya tidak minta balasan. Saya cuma heran … bagaimana bisa kamu melakukan ini setelah apa yang saya lakukan untuk kamu?” Tangan Isandro mengepal, rahangnya mengeras menahan kata-kata yang mungkin jika dia teruskan lagi akan semakin melukai hati Yessa. “Kamu bisa pura-pura tidak butuh saya lagi, tapi tatapan kamu tidak bisa bohong, Yessa. Kamu cuma berusaha terlihat kuat, padahal sebenarnya kamu rapuh.” Bibir Yessa bergetar, ingin membalas ucapan itu. Mulutnya terbuka, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari sana—napasnya tercekat di tenggorokan. Bola mata Yessa mulai berkaca-kaca, namun ia menggigit bibirnya kuat-kuat, berusaha menahan isakan yang sudah mendesak keluar.

  • Gairah Terlarang: Sahabat Suamiku, Nafsu Rahasiaku   CHAPTER 76 | DISINDIR ISANDRO

    Usai dari cek kandungan, Yessa langsung berbelanja keperluannya di apartemen. Termasuk makanan yang bisa dimakan olehnya selama hamil trimester pertama ini. Tak lupa juga dia membeli susu khusus buat ibu hamil dengan tiga varian rasa, coklat, strawberry dan juga vanila. Begitu tiba di apartemen, dia segera mengemasi semuanya seorang diri, buah-buahan dan sayuran ke dalam kulkas. “Aku mulai sekarang harus nabung buat biaya lahiran dan hidup kedepannya,” gumamnya sambil menata buah-buahan segar. Yessa menarik napas panjang, lalu menghembuskannnya perlahan. Sepanjang perjalanan tadi, dia terus memikirkan nasib kedepannya untuk dirinya dan sang anak. Hingga akhirnya dia memutuskan akan tetap melahirkannya. Dan rencananya, dia akan meninggalkan kota ini setelah perutnya mulai terlihat jika hamil. Kata-kata Isandro masih terngiang di telinganya saat dia menanyakan

  • Gairah Terlarang: Sahabat Suamiku, Nafsu Rahasiaku   CHAPTER 75 | USIA DUA MINGGU

    “Yessa, selamat ya karena kamu menang sidang ini,” ucap Salma pada mantan calon menantunya yang baru resmi beberapa menit lalu. Yessa tersenyum manis, “Terima kasih, Ma.” “Maafin Mama ya, Yessa. Karena anak Mama, banyak hal buruk yang harus kamu lewati. Kamu pasti trauma banget ya, Nak,” Salma meraih tangan Yessa dan mengusapnya lembut. Sementara di sebelahnya, Isandro masih berdiri tenang menunggu kedua wanita itu selesai bicara. Kini mereka sudah berdiri di luar kantor pengadilan. “Pasti sakit banget disiksa sama Kaveer. Sekali lagi atas nama Kaveer, Mama minta maaf Yessa.” Salma semakin menggenggam tangan Yessa erat, berharap masih ada pintu maaf. “Mama gak perlu minta maaf, Ma. Ini bukan salah Mama, tapi salah Mas Kaveer,” balas Yessa dengan suara lirih. “Tapi Mama selaku orang tua sudah gagal mendidik anak Mama,” sahut Salma, bola matanya berkaca-kaca. “

  • Gairah Terlarang: Sahabat Suamiku, Nafsu Rahasiaku   CHAPTER 74 | SIDANG KEDUA

    Empat hari berlalu, di dalam ruang sidang penuh sesak. Yessa duduk di deretan depan, mengenakan blus putih sederhana dan rok hitam. Wajahnya tenang, tapi kedua tangannya bergetar halus di pangkuannya. Ada Salma yang juga hadir dan sempat bertemu Yessa, serta memberi kekuatan. Yessa tak menyangka ibu mertuanya itu justru mendukung keputusannya. Di sana juga ada Isandro yang duduk tegak, tatapannya lurus ke depan memperhatikan prosesi sidang yang tengah berlangsung. Namun saat menatap Kaveer, tatapannya dingin dan menusuk. Suasana menegang ketika panitera mulai membacakan gugatan penganiayaan, penyekapan, kekerasan psikis, dan penelantaran rumah tangga. Bukti visum, laporan kepolisian, hingga foto-foto luka ditunjukkan satu per satu. Semua mata beralih pada Kaveer yang duduk dengan kaos tahanannya, tangan terborgol di depan. Rahangnya mengeras, matanya penuh am

  • Gairah Terlarang: Sahabat Suamiku, Nafsu Rahasiaku   CHAPTER 73 | KECUALI SELINGKUH

    “Arby, lain kali jangan bahas soal adek ya di depan tante Yessa,” ucap Isandro pada sang anak yang duduk di kursi sebelahnya. Saat ini mereka dalam perjalanan pulang ke mansion karena jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam, waktunya sang anak tidur. Awalnya Arby ingin menginap, tapi karena besok bukan weekend—Isandro tidak membiarkannya, takut telat besok saat ke sekolah. “Memang kenapa, Papa?” tanya bocah itu sambil menatap pada sang ayah yang fokus mengemudi. “Karena tante Yessa bukan Mama kamu, harusnya kamu tanya sama Mama kalau soal adek,” balasnya, meski dia tahu mustahil untuk itu, karena Aurora tidak akan mau hamil lagi. “Memangnya, kalau tante Yessa punya anak gak bisa jadi adeknya Arby, Pa?” Pertanyaan polos itu membuat Isandro menyunggingkan senyum tipis. Tentu saja bisa kalau dia mau menghamili wanita itu, pikirnya.

  • Gairah Terlarang: Sahabat Suamiku, Nafsu Rahasiaku   CHAPTER 72 | ARBY INGIN ADEK

    “Yessa kamu di dalam?” tanya Isandro lagi, suaranya semakin terdengar cemas karena Yessa tak kunjung menyahut. Yessa buru-buru berdiri, dia kalut harus diapakan lima testpack tersebut. Ia lantas membersihkan semuanya dan membuangnya ke tong sampah tanpa menyisakan satu. “Yessa!” suara Isandro semakin meninggi, ketukan di pintu juga semakin keras namun Yessa tak kunjung merespon. Wanita itu panik karena matanya merah sehabis menangis, ia masih kaget dan tak terima dirinya hamil mengingat sudah minum obat kontrasepsi selama ini tanpa ketinggalan. Ia segera mencuci wajahnya dengan air dingin, sementara Isandro semakin panik dibuatnya. “Buka pintunya Yessa!” desak pria itu, “Atau saya dobrak sekarang!” “Iya, Mas ....” sahut Yessa cepat sebelum pintu kamar mandinya benar-benar di rusak oleh pria itu. Buru-buru tangannya membuka pintu kamar man

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status