Yessa membuka matanya, lalu refleks mendorong Isandro dengan kuat. Kali ini dia berhasil membuat pria itu mundur beberapa langkah ke belakang. Tangannya terangkat menutup mulutnya.
Isandro melirik tumbler hitam di tangan Yessa lalu merampasnya dengan cepat, membuat Yessa tak sempat menahannya. “Dok!” seru Yessa hendak merebut tumblernya. Namun pria itu mengangkatnya tinggi, membuat Yessa kesulitan meraihnya. “Sejak kapan, kamu minum alkohol?” tanya Isandro dengan tatapan dingin dan menusuk. Yessa menelan ludahnya kasar, “S-saya ....” ia menggigit bibirnya kuat, tak bisa menjawab yang sebenarnya. “Apa masalah rumah tangga kamu sangat berat sampai kamu harus minum alkohol, bahkan dengan santainya minum di rumah sakit, Yessa?” suara Isandro naik satu oktaf, membuat Yessa tersentak dan tubuhnya gemetar. Isandro membuka tutup tumbler itu—seolah ingin memastikan benar atau tidaknya. Padahal dia sudah yakin kalau Yessa memang minum alkohol, sebab dia tahu pasti aromanya. Tangan Yessa terkepal di samping tubuhnya, dia langsung berlutut di hadapan Isandro dan mengatupkan kedua tangannya di depan wajah. “Maafkan saya, dok. Saya janji, saya tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.” Isandro mengangkat sebelah alisnya, melirik Yessa yang terlihat ketakutan. Tatapannya datar tanpa ekspresi—tak menyangka Yessa yang dulunya sangat teladan bisa melanggar aturan. “Ikut ke ruangan saya, Yessa,” perintahnya tegas. Baru saja Isandro hendak berbalik, Yessa sudah lebih dulu menahan salah satu kaki Isandro. “Dok, saya mohon ... jangan pecat saya. Jangan blacklist saya dari rumah sakit ini. Saya butuh pekerjaan ini, dok. Saya janji, saya bersumpah tidak akan mengulanginya lagi.” Suaranya bergetar, antara cemas dan takut. Isandro menarik kakinya cukup kuat membuat Yessa terjengkang ke lantai rumah sakit yang dingin. “Berdiri, Yessa!” ucap Isandro tegas, sepasang netranya melirik Yessa yang bersimpuh di lantai. “Saya bilang berdiri!” Akhirnya dengan sisa tenaganya, Yessa bangkit berdiri meski kakinya sudah tak sanggup menopang tubuhnya sendiri. “Dok, saya mohon …!” Yessa kembali mengiba, berharap Isandro benar-benar memaafkannya. Namun Isandro menatapnya tanpa ekspresi, “Perbuatan kamu ini tidak bisa dimaafkan! Saya akan melaporkan kamu ke departemen perawat,” tangannya menarik bahu Yessa pelan, tapi wanita itu meringis seolah Isandro mencengkramnya kuat. “Kenapa?” “Sshh … lepas, dok. Sakit!” ringisnya sambil menurunkan tangan Isandro dari bahunya. Mata Isandro menyipit tajam, curiga, “Apa kamu ...? Ikut saya!” ia berjalan lebih dulu meninggalkan Yessa yang masih membeku di tempat sambil memegangi bahunya dan sesekali meringis pelan. Sementara Yessa, tubuhnya mendadak lemas seolah tak punya tenaga sedikit pun setelah ketahuan minum alkohol di rumah sakit. Waktu di mana dia harus menangani pasien, hal yang tak lazim dilakukan seorang perawat. Bagaimana tidak? Alkohol satu-satunya yang dapat membuat pikiran Yessa tenang, jauh dari bayang-bayang suaminya yang selalu memarahi dan memukulinya tanpa alasan yang jelas. Di dalam ruangannya, Isandro menatap tumbler di tangannya dengan tatapan dingin, lalu meletakannya ke atas meja. Bersamaan dengan itu, disusul sebuah ketukan di pintu—dan dia sudah bisa menebak siapa yang datang. “Masuk,” suaranya rendah, raut wajahnya datar tanpa ekspresi. Pintu terbuka dan menampilkan Yessa yang datang dengan wajah pucat. “Kunci pintunya,” suruh Isandro lagi. Yessa tercengang, menatap pria itu dengan sorot mata skeptis. Tapi tatapan Isandro yang seolah tak menerima bantahan, membuat Yessa menurut dan segera mengunci pintu ruangannya. “Dok, saya minta maaf, dok. Saya akan menerima apapun hukumannya, tapi jangan pecat atau blacklist saya dari rumah sakit ini, dok. Ini cita-cita dan pekerjaan saya satu-satunya, saya mohon,” ucap Yessa dengan nada lirih, sambil meremas tangannya dengan gugup. Isandro melipat kedua tangannya di dada, sorot matanya dingin, “Tentu, kamu harus menerima hukuman. Kamu sudah melanggar kode etik sebagai perawat, melanggar aturan rumah sakit. Dan masih banyak lagi. Kira-kira, hukuman apa yang pantas?” Yessa menggigit bibirnya kuat, lalu berkata pelan. “Bagaimana, kalau skors selama sebulan saja, dok? Atau, potong gaji saja?” Dahi Isandro mengernyit, “Kamu bercanda? Dengan kesalahan yang sangat fatal itu kamu hanya akan menerima hukuman sesimpel itu, Yessa?!” ia membuang napas kasar. “Ukuran kesalahan kamu ini memang paling benar di pecat atau pun di blacklist.” “Maaf, dok, saya mohon ... maafkan saya.” Yessa menunduk lebih dalam, matanya berkaca-kaca menahan tangis. Dalam hati, dia mengutuk dirinya sendiri atas perbuatannya yang tak dibenarkan ini. Isandro mengamati wanita itu dari atas sampai bawah, penuh penilaian. Lalu melangkah mendekat dan berhenti tepat di hadapannya. Tangannya terulur melepaskan kancing seragam perawat wanita itu. “Dok!” Yessa menahan tangan Isandro. “Apa yang mau Anda lakukan?” Isandro tak menghiraukan protes Yessa. Tangannya menepis tangan Yessa, sementara jemarinya terus bekerja, melepaskan satu per satu kancing seragam perawat itu hingga terbuka seluruhnya, menyisakan hanya bra yang menempel di tubuh bagian atasnya. Yessa tersentak, buru-buru menyilangkan kedua tangan di dada, tatapannya menusuk ke arah Isandro. “Saya akan laporin Anda atas pele—” “Luka ini … sejak kapan?” potong Isandro cepat, nada suaranya merendah namun tajam. Pandangannya menelusuri lebam-lebam yang masih segar di bahu, dada, dan perut Yessa, seolah menelanjangi rahasia yang selama ini disembunyikannya. Pria itu lantas memutari tubuh Yessa dengan pandangan dingin. Seketika rahangnya mengeras melihat luka lebam itu juga ada di bagian punggung kecil wanita rapuh itu, tangannya refleks mengepal. Kemudian dia bergerak lagi, berdiri di hadapan wanita itu yang menunduk malu—bola matanya berkaca-kaca. Isandro tak heran Kaveer akan melakukan hal ini. Ia tahu betapa kerasnya sikap sahabatnya itu—problematik dan sama sekali tak mau kalah dalam berdebat, bahkan pada perempuan sekalipun. “Apa sakit?” suara Isandro rendah, tapi mengandung emosi yang sulit dijabarkan. Yessa tak menjawab, dia menggigit bibirnya kuat agar isaknya tak keluar di hadapan Isandro. Dia tak mau terlihat lemah, dia tak mau dikasihani meski sebenarnya sangat butuh perhatian. “Jawab saya, Yessa!” desak Isandro dengan nada dingin. Setelah beberapa saat menolak untuk menjawab, akhirnya Yessa menjawab dengan gelengan kepala. “Luka ini masih baru,” ucap Isandro, tangannya terulur, jemarinya yang besar mengusap lembut bahu Yessa yang lebam. “Sshh …!” Yessa meringis, matanya terpejam. Air mata mulai mengalir, tak mampu ia bendung. Wajah Isandro mengeras menatap air mata kepedihan itu, rahangnya mengetat menahan emosi. “Tatap mata saya, Yessa.” Ia mencapit dagu wanita itu, mengangkatnya perlahan hingga tatapan mereka bertemu. Air mata Yessa masih mengalir, dan Isandro menghapusnya dengan ibu jarinya. Sentuhan itu lembut—begitu berbeda dengan sikap suaminya yang selalu menyentuhnya dengan kasar. “Sakit?” tanya Isandro lagi, suaranya merendah. Mustahil luka baru itu tidak sakit, pikirnya. “Nggak, dok …,” jawab Yessa bergetar, “Saya … saya udah terbiasa.” Isandro terkesiap. Sudah terbiasa? Itu artinya sudah sering Kaveer melakukan kekerasan pada istrinya, dan bisa jadi sudah lama berjalan. Ia menunduk, bibirnya mengecup sudut bibir Yessa dengan ciuman lembut yang membuat wanita itu menegang di tempat. Satu tangannya terangkat, menyelipkan anak rambut yang jatuh di wajahnya ke belakang telinga. “Saya sudah menduga, Kaveer akan melakukan ini pada kamu,” bisiknya pelan.Sore itu saat perjalanan pulang ke rumah dengan naik ojek online, Yessa terus memikirkan dan membayangkan yang dilakukan Isandro padanya pagi tadi. Bahkan ia tak bisa fokus bekerja setelah kejadian itu.Bayangan Isandro yang mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari Yessa. Suaranya turun menjadi bisikan hangat yang membelai telinga. Lalu bisikannya yang terdengar tegas namun tetap sensual.“Wanita itu … rapuh, Yessa. Mereka tidak diciptakan untuk menahan sakit, apalagi dari orang yang katanya mencintai. Kamu pantas dipeluk, dijaga, dimanjakan, bukan disakiti.”Tangannya mengusap pelan pipi Yessa, jemarinya menelusuri rahang kecil wanita itu hingga ke lehernya.“Kamu tahu kenapa saya peduli sama kamu? Karena saya bisa lihat di mata kamu, kalau kamu sudah terlalu lama menahan diri. Kamu cuma butuh seseorang yang mengerti kamu. yang tahu cara membuat kamu lupa semua luka itu. Dan saya, saya bisa jadi orang itu, Yessa. Kalau kamu mau.”Yessa menggigit bibirnya kuat, tatapannya kosong ke jal
“Dok …?” lirih Yessa, suaranya bergetar.“Hm?” sahut Isandro singkat, matanya tetap menatapnya dalam.“I-ini ….” Yessa menelan ludah, menatap pria di hadapannya yang berdiri terlalu dekat. Sangat dekat, bahkan tak ada jarak sedikit pun.Bahkan saat tadi Isandro mencium sudut bibirnya, ada perasaan aneh menjalar di seluruh tubuhnya—campuran antara takut, gugup, dan sesuatu yang selama ini tak pernah ia dapatkan dari Kaveer.Isandro tidak menjawab, hanya mendekatkan wajahnya lagi. Kali ini bibirnya benar-benar menyapu bibir Yessa, menuntut, menguji. Jemarinya menyusuri lengan Yessa, turun ke pinggang, lalu menarik tubuh itu hingga menempel rapat padanya.Ciuman itu lambat namun dalam, membuat napas Yessa tersengal. Pikirannya berteriak ini salah, tapi sentuhan lembut di punggungnya membuatnya lemah, tak kuasa menolak. Kaveer tidak pernah mencium atau menyentuhnya seperti ini—tidak pernah selembut ini.Yessa bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dia diperlakukan selembut dan seintens in
Yessa membuka matanya, lalu refleks mendorong Isandro dengan kuat. Kali ini dia berhasil membuat pria itu mundur beberapa langkah ke belakang. Tangannya terangkat menutup mulutnya.Isandro melirik tumbler hitam di tangan Yessa lalu merampasnya dengan cepat, membuat Yessa tak sempat menahannya.“Dok!” seru Yessa hendak merebut tumblernya.Namun pria itu mengangkatnya tinggi, membuat Yessa kesulitan meraihnya.“Sejak kapan, kamu minum alkohol?” tanya Isandro dengan tatapan dingin dan menusuk.Yessa menelan ludahnya kasar, “S-saya ....” ia menggigit bibirnya kuat, tak bisa menjawab yang sebenarnya.“Apa masalah rumah tangga kamu sangat berat sampai kamu harus minum alkohol, bahkan dengan santainya minum di rumah sakit, Yessa?” suara Isandro naik satu oktaf, membuat Yessa tersentak dan tubuhnya gemetar.Isandro membuka tutup tumbler itu—seolah ingin memastikan benar atau tidaknya. Padahal dia sudah yakin kalau Yessa memang minum alkohol, sebab dia tahu pasti aromanya.Tangan Yessa terkepa
Bisik-bisik pagi itu memenuhi koridor Rumah Sakit Gloria Medika. Para perawat, baik laki-laki maupun perempuan, sibuk membicarakan kabar terbaru—anak direktur rumah sakit itu dikabarkan telah kembali ke Indonesia dan akan aktif bertugas di rumah sakit keluarganya. Namanya Isandro San Atticus. Sosok yang dikenal tegas, kompeten, ambisius, dan sedingin es. Tatapan matanya tajam, seolah mampu menelanjangi siapa pun yang berani menatap balik. Pria itu bukan hanya dokter bedah saraf, tapi juga pewaris tunggal Rumah Sakit Gloria Medika—posisi yang membuat namanya dibicarakan lebih banyak daripada pasien hari itu, karena akan menjadi penanggung jawab di masa yang akan mendatang. “Kenapa gak menetap aja sih jadi dokter di Singapura, kenapa masih balik ke sini lagi?” keluh salah satu perawat yang dulunya sudah pernah kena tegur Isandro karena datang terlambat. “Bener, mana katanya lebih galak dari bapaknya,” yang lain menyahut sambil bergidik ngeri membayangkan Isandro ikut andil mulai
“Bu, saya mau beli tomatnya sepuluh ribu, ya?”“Iya, sebentar ya, Mbak.”Yessa lantas merogoh saku celananya untuk mengambil uang dari dompet, bersamaan dengan itu ponsel di dalam sakunya berdering panggilan masuk dari sang suami—Kaveer.Ia cepat-cepat meraih ponselnya dan menggeser ikon hijau dilayar, lalu menempelkan benda pipih itu ke samping telinga. Suara keras sang suami terdengar di seberang sana.“KEMEJA PUTIH AKU MANA GOBLOK?!”Yessa refleks menjauhkan ponselnya dari telinganya, lalu mengusap telinganya pelan sebelum kembali menempelkan ponselnya lagi ke telinga.“Mas, ada apa?” tanya Yessa dengan suara lembutnya yang berbisik pelan, sambil perlahan menjauh dari kedai tomat yang dia singgah tadi.“Ada apa? ADA APA KAMU BILANG?!” bentak Kaveer lagi membuat jantung Yessa berpacu cepat. “Kan kamu yang nyuruh aku kerja terus. Sekarang giliran aku mau cari kerja, kamu gak siapin kemeja putihnya. Emang istri kurang ajar ya kamu!” hardiknya dengan tajam.“Mas, aku udah siapin. Udah