Sore itu saat perjalanan pulang ke rumah dengan naik ojek online, Yessa terus memikirkan dan membayangkan yang dilakukan Isandro padanya pagi tadi. Bahkan ia tak bisa fokus bekerja setelah kejadian itu.
Bayangan Isandro yang mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari Yessa. Suaranya turun menjadi bisikan hangat yang membelai telinga. Lalu bisikannya yang terdengar tegas namun tetap sensual. “Wanita itu … rapuh, Yessa. Mereka tidak diciptakan untuk menahan sakit, apalagi dari orang yang katanya mencintai. Kamu pantas dipeluk, dijaga, dimanjakan, bukan disakiti.” Tangannya mengusap pelan pipi Yessa, jemarinya menelusuri rahang kecil wanita itu hingga ke lehernya. “Kamu tahu kenapa saya peduli sama kamu? Karena saya bisa lihat di mata kamu, kalau kamu sudah terlalu lama menahan diri. Kamu cuma butuh seseorang yang mengerti kamu. yang tahu cara membuat kamu lupa semua luka itu. Dan saya, saya bisa jadi orang itu, Yessa. Kalau kamu mau.” Yessa menggigit bibirnya kuat, tatapannya kosong ke jalan sampai abang ojek online membuyarkan lamunannya. “Mbak, udah sampai,” kata abang ojek itu begitu tiba di rumah Yessa. “Oh, iya, Mas,” Yessa buru-buru turun dari motor, lalu segera membayar biaya ongkosnya. “Makasih, Mas.” Begitu kakinya berputar hendak melangkah ke rumahnya, matanya langsung menangkap dua orang pria dengan pakaian gelap seperti preman berdiri di depan rumahnya seolah menunggu. Yessa melangkah masuk melewati pagar rumahnya dan menatap kedua pria itu dengan tatapan penuh tanya, “Siapa, ya?” “Kita ke sini mau ketemu sama Kaveer,” ujar salah satu dari mereka dengan nada sinis. “Mas Kaveer? Ada keperluan apa?” tanya Yessa, perasaannya mulai tak nyaman. “Tapi sebelum itu, kamu siapanya Kaveer? Istrinya atau ... adeknya?” Yessa menelah ludah, seolah malu mau mengakuinya. “Saya istrinya,” jawabnya datar tanpa ekspresi. Kedua pria itu langsung menyeringai tipis, “Pas banget. Kita ke sini mau nagih hutang suami kamu,” ucapnya membuat mata Yessa membulat kaget. “Hutang? Hutang apa?” seru Yessa tak percaya. “Ya mana kita tahu, kan suami kamu yang minjem. Buat apanya mana kita tahu. Harusnya kamu sebagai istri tahu,” balas pria itu dengan nada sinis, matanya menelusuri penampilan Yessa yang rapi. “Dilihat-lihat istrinya cantik, perawat lagi. Kalau bukan dipake buat perawatan istrinya ya buat apa lagi?” lanjut pria itu mengejek, senyum sinis tersungging di bibirnya. Mata Yessa menyipit tajam, kesal dituduh kalau dia juga menggunakan uang yang dipinjam Kaveer. Justru dia baru tahu, dan Yessa lebih kaget lagi karena selama ini Kaveer juga kerap meminta uang padanya. “Memangnya berapa hutangnya?” “Lima ratus juta.” “Hah?” seru Yessa kaget, mulutnya terbuka lebar karena hampir tak percaya. “Banyak sekali, untuk apa?” gumamnya pelan, lalu menatap pria itu dingin. “Kalian pasti bohong, kan? Untuk apa suami saya pinjam uang sebanyak itu?” “Bohong? Kalau gak percaya, tanya aja sama Kaveer. Kita ke sini bukan buat basa-basi. Jadi sebagai istri, kamu harus bayar hutang suami kamu sekarang!” desak pria itu tak mau tahu. “Saya gak punya uang sebanyak itu,” “Aduh, jangan pelit-pelit sama suami sendiri. Lagian kamu kerja jadi perawat gajinya lumayan, kan? Udah dibiayain suami kuliah, kenapa pas udah jadi perawat suami punya hutang gak mau bayarin?” ledek pria itu. Yessa tercengang mendengar ucapan pria itu yang mulai melantur. Sejak kapan Kaveer yang membiayai dirinya kuliah? Yessa bahkan kuliah sebelum menikah dengan suaminya. “Kalau kalian mau hutang Mas Kaveer dibayar, tagih sama orangnya—bukan sama saya!” balas Yessa sinis, lalu melewati mereka tanpa bicara lagi. “Buset, pelit amat jadi istri. Padahal ikut makan juga ke uang itu.” Yessa yang tengah membuka pintu sama sekali tak merespon ucapan mereka, dan dia juga tidak merasa harus klarifikasi soal dirinya yang tak tahu apa-apa dengan uang sebanyak itu. Begitu pintu terbuka, dia menutupnya dengan cukup keras sampai membuat mereka terlonjak. “Heh, sialan! Ngutang mau, bayar gak mau!” Yessa memejamkan mata sejenak dan membuang napas kasar. Ia kemudian segera masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri dan mulai menyiapkan makan malam. Dan malam itu, sekitar pukul sepuluh malam dia berdiam diri di ruang tamu sambil meminum alkohol milik suaminya. Ia tahu ini salah, tapi saat dia meminumnya—cairan itu berhasil membuatnya lupa akan beban berat yang dia pikul sendiri selama ini. “Maaf, apa suami kamu main judol?” Tiba-tiba Yessa teringat akan pertanyan Ana tadi di rumah sakit. “Kayaknya gak mungkin deh, uangnya pasti dia buat ...,” Yessa menggigit jari jempolnya kuat. “Tapi kalau cuma buat mabuk, gak mungkin sebanyak itu. Apalagi dia sampe hutang segala.” Yessa pikir Kaveer selama ini hanya minta uang untuk rokok dan alkohol padanya. Dia bahkan baru tahu hari ini kalau sang suami punya uang sebanyak itu tanpa dia ketahui. Klek. Pintu rumah terbuka, menampilkan Kaveer yang baru saja tiba—seperti biasa, usai mabuk bersama teman-temannya. “Kamu dari mana, Mas?” tanya Yessa seraya berdiri menghampiri Kaveer yang masih sadar. “Kenapa sih kamu masih pake tanya segala, padahal jawabannya kamu udah tahu.” Jawab Kaveer sengit. “Apa bener kamu punya hutang 500 juta, Mas?” tanya Yessa to the poin, membuat Kaveer langsung menoleh kaget padanya. Yessa menyeringai tipis, “Jadi itu bener?” “Tahu dari mana kamu?” “Mereka tadi sore dateng dan nagih ke aku,” jawab Yessa dingin dan menusuk, sementara Kaveer berdecak pelan, “Uangnya buat apa? Kenapa kamu gak pernah kasih tahu aku?” Kaveer tak menjawab, namun tatapannya serius pada Yessa. “Jangan pernah kasih tahu ini sama Mama aku. Dan hutang ini, kamu yang bayar.” “Aku? Kenapa aku yang bayar?” kening Yessa mengkerut, tatapannya tak terima. “Heh, jangan lupa ... resepsi pernikahan kita, aku yang biayain semuanya. Kamu cuma perawat, gak pantes dapet uang panai sampai lima ratus juta. Harusnya seratus juta cukup. Jadi lebihnya kamu yang bayar!” “Aku gak mau!” balas Yessa tak terima. “Aku dari awal udah bilang, gak perlu resepsi. Dan yang ngebet mau ada resepsi itu orang tua kamu. Jadi jangan salahin aku kalau kamu ngeluarin paling banyak.” Kaveer menyeringai miring. “Jadi jawabannya, kamu gak mau bayar?!” suaranya rendah, namun tajam. “Mas,” Yessa menatap suaminya sinis, “Apa kamu main judol?” Raut wajah Kaveer seketika menegang, membuat Yessa hanya mampu tersenyum miris. “Jadi bener? Kamu berubah karena itu? Uang kamu selama ini habis buat judol? Mama kamu tahu? Kalau nggak, apa perlu aku yang kasih tahu?!” “YESSA!” bentak Kaveer, nadanya melengking penuh amarah. “Apa?!” sahut Yessa tegas, meski di dalam hatinya terselip rasa takut karena ia tahu bagaimana biasanya semua ini akan berakhir. “Aku kasih kamu kesempatan buat berubah, Mas. Tapi kalau kamu masih sama, terpaksa aku pulang ke rumah orang tua aku!” Yessa berbalik, berniat meninggalkan ruangan. Namun tiba-tiba rambutnya dijambak dari belakang, membuat kepalanya mendongak paksa. “Mas, sakit!” serunya menahan perih. Kaveer tak menghiraukan. Dorongan kuat dari tangannya membuat tubuh Yessa terpental, lengannya membentur keras pinggiran meja. “Aduh!” pekiknya, menahan rasa nyeri yang menusuk. Namun amarah Kaveer belum reda. Ia melangkah cepat, hendak mengayunkan tendangan. Tapi belum sempat ia melakukannya, suara ketukan pintu terdengar dari luar, memecah ketegangan di ruangan. “Tch! Siapa datang malam-malam begini!” gerutunya kesal, menatap Yessa dengan sorot peringatan. “Awas kamu kalau berani macam-macam. Masuk ke kamar!” Kaveer bergegas menuju pintu, menariknya dengan kasar. Begitu melihat siapa yang berdiri di ambang, bola matanya langsung membesar. “I-Isandro?” ucapnya tergagap. Mendengar nama itu, Yessa yang baru saja mencoba bangkit sontak membeku di tempat. Jantungnya berdentam keras, tubuhnya menegang tanpa ia sadari.Sore itu saat perjalanan pulang ke rumah dengan naik ojek online, Yessa terus memikirkan dan membayangkan yang dilakukan Isandro padanya pagi tadi. Bahkan ia tak bisa fokus bekerja setelah kejadian itu.Bayangan Isandro yang mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari Yessa. Suaranya turun menjadi bisikan hangat yang membelai telinga. Lalu bisikannya yang terdengar tegas namun tetap sensual.“Wanita itu … rapuh, Yessa. Mereka tidak diciptakan untuk menahan sakit, apalagi dari orang yang katanya mencintai. Kamu pantas dipeluk, dijaga, dimanjakan, bukan disakiti.”Tangannya mengusap pelan pipi Yessa, jemarinya menelusuri rahang kecil wanita itu hingga ke lehernya.“Kamu tahu kenapa saya peduli sama kamu? Karena saya bisa lihat di mata kamu, kalau kamu sudah terlalu lama menahan diri. Kamu cuma butuh seseorang yang mengerti kamu. yang tahu cara membuat kamu lupa semua luka itu. Dan saya, saya bisa jadi orang itu, Yessa. Kalau kamu mau.”Yessa menggigit bibirnya kuat, tatapannya kosong ke jal
“Dok …?” lirih Yessa, suaranya bergetar.“Hm?” sahut Isandro singkat, matanya tetap menatapnya dalam.“I-ini ….” Yessa menelan ludah, menatap pria di hadapannya yang berdiri terlalu dekat. Sangat dekat, bahkan tak ada jarak sedikit pun.Bahkan saat tadi Isandro mencium sudut bibirnya, ada perasaan aneh menjalar di seluruh tubuhnya—campuran antara takut, gugup, dan sesuatu yang selama ini tak pernah ia dapatkan dari Kaveer.Isandro tidak menjawab, hanya mendekatkan wajahnya lagi. Kali ini bibirnya benar-benar menyapu bibir Yessa, menuntut, menguji. Jemarinya menyusuri lengan Yessa, turun ke pinggang, lalu menarik tubuh itu hingga menempel rapat padanya.Ciuman itu lambat namun dalam, membuat napas Yessa tersengal. Pikirannya berteriak ini salah, tapi sentuhan lembut di punggungnya membuatnya lemah, tak kuasa menolak. Kaveer tidak pernah mencium atau menyentuhnya seperti ini—tidak pernah selembut ini.Yessa bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dia diperlakukan selembut dan seintens in
Yessa membuka matanya, lalu refleks mendorong Isandro dengan kuat. Kali ini dia berhasil membuat pria itu mundur beberapa langkah ke belakang. Tangannya terangkat menutup mulutnya.Isandro melirik tumbler hitam di tangan Yessa lalu merampasnya dengan cepat, membuat Yessa tak sempat menahannya.“Dok!” seru Yessa hendak merebut tumblernya.Namun pria itu mengangkatnya tinggi, membuat Yessa kesulitan meraihnya.“Sejak kapan, kamu minum alkohol?” tanya Isandro dengan tatapan dingin dan menusuk.Yessa menelan ludahnya kasar, “S-saya ....” ia menggigit bibirnya kuat, tak bisa menjawab yang sebenarnya.“Apa masalah rumah tangga kamu sangat berat sampai kamu harus minum alkohol, bahkan dengan santainya minum di rumah sakit, Yessa?” suara Isandro naik satu oktaf, membuat Yessa tersentak dan tubuhnya gemetar.Isandro membuka tutup tumbler itu—seolah ingin memastikan benar atau tidaknya. Padahal dia sudah yakin kalau Yessa memang minum alkohol, sebab dia tahu pasti aromanya.Tangan Yessa terkepa
Bisik-bisik pagi itu memenuhi koridor Rumah Sakit Gloria Medika. Para perawat, baik laki-laki maupun perempuan, sibuk membicarakan kabar terbaru—anak direktur rumah sakit itu dikabarkan telah kembali ke Indonesia dan akan aktif bertugas di rumah sakit keluarganya. Namanya Isandro San Atticus. Sosok yang dikenal tegas, kompeten, ambisius, dan sedingin es. Tatapan matanya tajam, seolah mampu menelanjangi siapa pun yang berani menatap balik. Pria itu bukan hanya dokter bedah saraf, tapi juga pewaris tunggal Rumah Sakit Gloria Medika—posisi yang membuat namanya dibicarakan lebih banyak daripada pasien hari itu, karena akan menjadi penanggung jawab di masa yang akan mendatang. “Kenapa gak menetap aja sih jadi dokter di Singapura, kenapa masih balik ke sini lagi?” keluh salah satu perawat yang dulunya sudah pernah kena tegur Isandro karena datang terlambat. “Bener, mana katanya lebih galak dari bapaknya,” yang lain menyahut sambil bergidik ngeri membayangkan Isandro ikut andil mulai
“Bu, saya mau beli tomatnya sepuluh ribu, ya?”“Iya, sebentar ya, Mbak.”Yessa lantas merogoh saku celananya untuk mengambil uang dari dompet, bersamaan dengan itu ponsel di dalam sakunya berdering panggilan masuk dari sang suami—Kaveer.Ia cepat-cepat meraih ponselnya dan menggeser ikon hijau dilayar, lalu menempelkan benda pipih itu ke samping telinga. Suara keras sang suami terdengar di seberang sana.“KEMEJA PUTIH AKU MANA GOBLOK?!”Yessa refleks menjauhkan ponselnya dari telinganya, lalu mengusap telinganya pelan sebelum kembali menempelkan ponselnya lagi ke telinga.“Mas, ada apa?” tanya Yessa dengan suara lembutnya yang berbisik pelan, sambil perlahan menjauh dari kedai tomat yang dia singgah tadi.“Ada apa? ADA APA KAMU BILANG?!” bentak Kaveer lagi membuat jantung Yessa berpacu cepat. “Kan kamu yang nyuruh aku kerja terus. Sekarang giliran aku mau cari kerja, kamu gak siapin kemeja putihnya. Emang istri kurang ajar ya kamu!” hardiknya dengan tajam.“Mas, aku udah siapin. Udah