تسجيل الدخول“Usia kandungannya memasuki minggu ke empat,” ucap dokter kandungan itu tenang, matanya fokus pada layar monitor USG. Yessa berbaring di atas brankar, satu tangannya menggenggam seprai tipis, sementara tangan lainnya digenggam erat oleh Isandro. Rasa haru semalam belum benar-benar menguap, masih tersisa di dada mereka berdua—terutama Isandro yang paling antusias. “Bagaimana dengan kandungannya, dok? Apa sehat?” tanya Isandro, suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya, penuh kehati-hatian. Dokter tersenyum tipis sebelum mengangguk. “Sejauh ini kondisinya baik. Kantung kehamilan sudah terlihat jelas, posisinya juga bagus di dalam rahim. Untuk usia empat minggu, ini termasuk perkembangan yang normal.” Yessa menghembuskan napas lega, tanpa sadar bahunya yang semula tegang sedikit mengendur. “Syukurlah,” gumam Isandro pelan. Dokter kembali melanjutkan pemeriksaan, menggerakkan ala
“Sayang, ini beneran punya kamu?” Isandro masih tak percaya, tangannya sampai gemetar menahan lengan sang istri sebelum dia beralih meraih testpack itu. Matanya menatap dua garis merah di sana. Jelas. Tak ada keraguan lagi, istrinya benar-benar hamil lagi—setiap doa yang dia panjatkan dibakulkan oleh Tuhan. “Iya, Mas. Aku tahu tadi pas di rumah Laras. Kebetulan dia punya testpack, dan aku coba sekalian,” ucap Yessa pelan, senyum tipis terulas di wajah cantiknya. “Siapa sangka, aku beneran hamil. Maaf kalau temen-temen aku harus jadi yang pertama tahu soal ini, bukan kamu,” lanjut Yessa lirih, merasa bersalah. Isandro menggeleng tegas. “Gak apa-apa, yang terpenting sekarang kamu hamil. Dan aku, udah janji akan selalu ada buat kamu selama kehamilan ini sampai lahiran.” Pria itu beralih memeluk istrinya lagi, kali ini lebih erat. Yessa membalasnya, mengusap punggung lebar sang suami dengan gerakan lembut naik tu
“PAPA…!” Isandro otomatis menghentikan langkahnya. Keningnya langsung mengernyit ketika Arby berlari sekencang itu, wajahnya tegang, suaranya hampir pecah. “Ada apa, By?” tanya Isandro pelan sambil berjongkok agar sejajar dengan putranya. “Mama gak ada sama adek!” Arby menjawab cepat, napasnya tersengal, tatapannya cemas seperti seseorang yang baru saja kehilangan pegangan. Isandro menghela napas pelan, mencoba menenangkan. “Mama pergi ke rumah temennya, By. Mungkin belum pulang.” “Tapi tadi Arby cari Mama di kamar,” suaranya melemah, bibirnya menggembung, “Adek juga gak ada.” Isandro mengusap kepala putranya. “Adek sama Mama, sayang. Mereka pergi bareng. Papa kan bilang, Mama mau main ke rumah tante Laras.” “Tapi kok lama banget?” Arby memeluk pinggang ayahnya, wajahnya menempel di bahu Isandro. Kekhawatirannya jelas bukan karena takut ditinggal, tapi karena terbiasa melihat Yes
Hari ini Yessa dan Ana janjian bertamu ke rumah Laras, teman baik mereka sejak masih menjadi perawat di Rumah Sakit Gloria Medika. Sudah lama mereka tidak berkumpul bertiga, dan undangan kecil dari Laras akhirnya membuat mereka menyempatkan waktu. Ana yang kini hamil tiga bulan tampak memegangi perutnya sesekali. Kehamilan pertamanya itu membuat wajahnya bersinar berbeda—lebih lembut, lebih dewasa. Setelah menikah enam bulan lalu, tepat ketika Yessy berusia enam bulan—hidup Ana benar-benar berubah. Ia bisa merasakan jadi seorang istri dan calon ibu seperti kedua temannya. “Semalem anak kamu genap satu tahun, ya, Yes?” tanya Ana, duduk di jok tengah sambil melirik Yessy yang sedang dipangku Yessa. Yessa mengangguk sambil mengusap rambut lembut putri kecilnya. “Iya. Cepet banget ya, Na ... rasanya baru kemarin aku lahiran.” Ana menyengir kecil. “Aku aja baru hamil tiga bulan udah ngerasa semuanya
“Arby satu minggu ini bakal nginep di rumah Aurora sama Luke,” ucap Isandro siang itu, suaranya tenang namun jelas, saat ia memasuki kamar. Yessa yang tengah menepuk-nepuk punggung Yessy di atas ranjang langsung menoleh. “Jadi, tadi habis jemput Arby, kamu langsung anter dia ke rumah Mbak Aurora, Mas?” tanya Yessa pelan. Ia bergeser sedikit, memberi ruang ketika Isandro ikut naik ke ranjang dan berbaring di sisi putri kecil mereka. Yessy yang hampir terlelap menggumam kecil, dan Isandro otomatis mengusap perut bayi itu dengan gerakan pelan menenangkan. “Iya,” jawab Isandro sambil menatap Yessa. “Katanya mau main sama Arsy selama ada di sana, gantian sama adek Eci-nya. Aurora juga bilang dia gak keberatan jagain.” Yessa mengangguk, tersenyum tipis meski sedikit cemas. “Mudah-mudahan dia gak rewel di sana. Dan Mamanya gak buat masalah lagi.” “Arby gak akan rewel, tergantung gimana sikap Mamanya selama dia ada di sana nanti,” Isandro meraih tangan Yessa, mengecup punggungnya lembu
Pagi itu matahari masih lembut, hangatnya seperti selimut tipis yang memeluk bumi. Di halaman belakang, Aurora duduk di bangku taman dengan rambut diikat seadanya, sementara Luke mendorong stroller kecil berisi Arsy yang sudah bangun sejak pagi buta. “Arsy udah siap jemur, ya?” Aurora mengusap pipi chubby putrinya yang menyembulkan ekspresi penasaran melihat burung-burung kecil berkicau di pohon. Luke mendekat, membawa mangkuk bubur hangat yang uapnya masih mengepul tipis. “Kita jemur sambil makan, ya. Biar tambah sehat.” Aurora tertawa kecil. “Coba kita lihat, dia semangat atau enggak.” Begitu sendok pertama mendekat ke bibirnya, Arsy langsung membuka mulut lebar—seolah dunia akan runtuh kalau dia tidak segera mendapat suapan itu. Namun tak sampai dua detik setelah bubur itu masuk, Arsy menatap kedua orang tuanya lekat-lekat, lalu tertawa tanpa alasan jelas. “Kenapa dia ketawa, Ra?” Luke mengerutkan dahi, tapi ikut tersenyum. “Entah. Kayaknya dia bahagia banget hidup,” jawab







