Ruang kerja Sophia di kantor pusat Hartono Group terasa lebih sunyi dari biasanya. Sebagai Direktur Komunikasi Strategis, ruangannya biasanya dipenuhi suara telepon yang berdering, rapat dadakan dengan tim PR, dan aktivitas frenetik mengelola krisis komunikasi.Tapi hari ini berbeda. Hari ini, Sophia sedang melakukan aktivitas yang jauh lebih... personal.Di laptopnya, tersimpan folder yang ia beri nama "Dokumentasi Internal." Isinya adalah foto-foto email, rekaman pembicaraan, dan catatan detail tentang budaya kerja di Hartono Group selama lima tahun terakhir. Bahan yang, dalam tangan yang tepat, bisa menjadi bom waktu yang menghancurkan.Ponselnya berdering. Nomor yang familiar—wartawan senior dari media online terbesar di Indonesia."Sari," jawab Sophia."Sophia, ada update tentang situasi Adrian Hartono?""Banyak sekali. Tapi tidak bisa dibicarakan di telepon. Kita bertemu?""Kapan?""Hari ini. Tempat biasa."Dua jam kemudian, Sophia duduk di sudut kafe tersembunyi di kawasan Ment
Hotel Ritz-Carlton, ruang meeting eksklusif di lantai 35. Adrian duduk di ujung meja oval yang menghadap pemandangan Jakarta yang berkilauan di sore hari. Tapi kali ini, pemandangan itu tidak memberikan ketenangan seperti biasanya. Justru terasa seperti mengejek—dunia terus berputar sementara kerajaannya runtuh.Di sekeliling meja, duduk lima orang yang telah menjadi mitra strategis bisnisnya selama bertahun-tahun. CEO dari grup tekstil terbesar di Indonesia, pemilik jaringan hotel mewah, direktur utama dari konglomerat perbankan, kepala konsorsium properti, dan pemilik media group yang berpengaruh. Orang-orang yang dulu bersaing memperebutkan perhatiannya, kini menatapnya dengan campuran simpati dan kekhawatiran."Adrian," buka Richard Tanoesoedibjo, CEO Tanoe Group yang selama ini menjadi partner joint venture terbesar Adrian. "Kita semua sudah seperti saudara dalam bisnis ini. Makanya kami berkumpul hari ini, bukan sebagai pesaing, tapi sebagai... keluarga yang peduli."Adrian meng
Di apartemen kecil yang ia sewa setelah memutuskan untuk tidak pulang ke rumah orangtua lagi, Alena duduk terpaku di depan laptop, membaca artikel demi artikel tentang dampak skandal terhadap Hartono Group. Setiap judul terasa seperti tamparan yang menyakitkan."Saham Hartono Group Anjlok Karena Skandal CEO" "Klien Besar Putus Hubungan dengan Konglomerat yang Terkena Skandal" "Ratusan Pekerjaan Terancam saat Kerajaan Hartono Runtuh"Yang terakhir itu yang paling menyakitkan hatinya. Ratusan pekerjaan yang terancam. Ratusan keluarga yang mungkin akan terdampak karena keputusan-keputusannya.Nadira, yang sudah menginap di apartemen kecil itu selama tiga hari, duduk di sebelahnya dengan secangkir teh yang sudah dingin."Len, berhenti baca artikel-artikel itu. Kamu cuma menyiksa diri sendiri.""Nadi," suara Alena bergetar, "lihat ini. Empat puluh tiga orang mengundurkan diri dalam dua hari. Kepala pemasaran, manajer senior... orang-orang yang punya keluarga, yang punya tanggung jawab.""I
Ruang rapat dewan direksi Hartono Group yang biasanya dipenuhi aroma kopi premium dan diskusi bisnis yang dinamis, kini terasa sesak dengan ketegangan yang hampir bisa diraba. Adrian duduk di ujung meja mahoni panjang yang pernah menjadi simbol kekuasaannya, tapi kali ini ia merasa seperti terdakwa yang sedang menghadapi hakim.Di sekeliling meja, wajah-wajah yang selama ini menganggap Adrian sebagai visioner dan pemimpin yang tak tergoyahkan, kini menatapnya dengan campuran keraguan dan kekecewaan.Direktur Utama PT Hartono Investama, Budi Santoso, yang sudah bekerja dengan Adrian selama dua puluh tahun, membuka laptopnya dengan ekspresi murung."Adrian," katanya dengan suara yang lebih formal dari biasanya, "laporan kuartalan menunjukkan dampak yang... sangat signifikan.""Seberapa signifikan?" tanya Adrian, meskipun ia sudah bisa menebak jawabannya dari ekspresi semua orang di ruangan itu."Penurunan pendapatan 35% dalam dua minggu terakhir. Lima klien korporat besar sudah memutus
Di gedung pencakar langit tempat kantor pusat Hartono Group, suasana yang biasanya sibuk dan energik kini berubah menjadi mencekam. Karyawan berbisik-bisik di pantry, meeting-meeting ditunda, dan yang paling mencolok—beberapa ruangan eksekutif terlihat kosong.Adrian berdiri di ruang boardroom, menghadapi jajaran direksi dan investor utama perusahaan. Wajah-wajah yang dulu selalu mengangguk setuju pada setiap keputusannya kini terlihat skeptis dan khawatir."Gentlemen," kata Adrian membuka rapat darurat itu, "I know why we're all here. Dan aku mau address elephant in the room secara langsung."Robert Tanaka, investor Jepang yang sudah bekerja sama dengan Hartono Group selama sepuluh tahun, berdehem. "Adrian-san, we are very concerned about recent... developments. Our company in Japan is receiving many questions from media.""Dan kami sudah dapat pressure from our shareholders," tambah David Kim dari Korea. "They questioning why we still in business with company yang leadership-nya inv
Cafe Kopi Keliling di Kemang masih sama seperti yang Alena ingat—interior kayu yang hangat, aroma kopi yang menenangkan, dan sudut-sudut cozy yang pernah menjadi saksu bisu percakapan-percakapan manis mereka di masa pacaran. Tapi kali ini, suasananya terasa berat dengan ketegangan yang tidak terucapkan.Reno sudah duduk di meja pojok yang dulu menjadi favorit mereka, menatap cangkir kopi yang belum ia sentuh. Ketika melihat Alena masuk, ia tidak tersenyum seperti dulu. Hanya menatap dengan mata yang penuh pertanyaan dan kelelahan.Alena berjalan dengan langkah ragu, merasakan setiap pasang mata di cafe itu mengikutinya. Atau mungkin itu hanya perasaannya saja—efek dari menjadi pusat perhatian media selama berhari-hari."Hai," katanya pelan sambil duduk di hadapan Reno."Hai."Keheningan yang awkward. Alena memesan kopi yang sama seperti dulu—caffe latte dengan extra shot, tanpa gula. Reno masih ingat pesanannya, terlihat dari cara ia menatap pelayan yang mengambil order."Reno, aku—"