“Maya?” suara Alena bergetar ketika menjawab panggilan itu. “Apa yang terjadi pada Maya? Apa dia baik-baik saja?”“Tenang dulu, Miss,” jawab suara perempuan di seberang, terdengar resmi dan dingin. “Teman Anda dalam kondisi stabil sekarang, tapi dia mengalami kecelakaan motor sekitar satu jam yang lalu. Dia sadar, tapi mengalami beberapa luka yang perlu penanganan medis.”Kedua lutut Alena melemas. Ia terpaksa bersandar pada dinding koridor untuk menopang tubuhnya. Buket mawar dan kotak perhiasan jatuh berantakan ke lantai. “Rumah sakit mana? Saya akan segera ke sana.”“Jakarta General, ruang gawat darurat. Tapi, Miss… dia terus-menerus menyebut nama seseorang. Adrian, kalau tidak salah. Dia terlihat sangat gelisah.”Klik. Sambungan telepon terputus begitu saja.Alena tertegun, napasnya memburu. Tangannya gemetar ketika ia memungut kembali mawar yang berjatuhan. Ini bukan kebetulan. Tukang antar tadi baru saja mengancam keselamatan Maya, dan kini Maya benar-benar berada di rumah sakit
"Aku rasa kamu salah orang," kata Alena, berusaha menjaga suaranya tetap tenang meski jantungnya berdebar kencang. Ia melangkah mundur dari elevator.Pria pengantar itu tersenyum lebar, senyuman yang terlalu dibuat-buat. "Alena Sari, kan? Apartemen 15B, Marina Bay Residences? Oh... tunggu," ia berhenti sejenak dengan gaya dramatis. "Kamu kan sudah nggak tinggal di sana lagi, ya?"Darah Alena terasa dingin. Jelas ini bukan kebetulan."Aku nggak tahu apa yang kamu maksud," katanya cepat, mundur lagi satu langkah."Ini bunga dari seseorang yang sangat mencintaimu. Seseorang yang sangat merindukanmu." Ia melangkah keluar dari elevator, mengulurkan buket mawar merah itu ke arahnya. "Dia minta aku langsung menyerahkannya, supaya kamu bisa terima pesannya dengan baik.""Aku nggak mau apa pun darinya. Tolong pergi.""Tapi ada kartu ucapan. Romantis sekali. Dia habiskan waktu lama untuk menulisnya."Tiba-tiba, pria itu menangkap pergelangan tangan Alena dengan tangan satunya. Cengkeramannya ku
"Alena, kamu baik-baik aja? Dari tadi wajahmu pucat banget," tanya Rania, rekan kerja barunya di Kreativitas Studio, sebuah agensi desain kecil di kawasan Menteng.Alena mengangkat kepala dari layar laptop. Sudah lebih dari sejam ia menatap file logo yang sama, tapi nyaris tak ada kemajuan. Sejak pesan dari Adrian masuk ke ponsel cadangan semalam, pikirannya tak bisa tenang."Aku cuma capek," jawabnya pelan sambil memijat pelipis. "Tadi malam begadang.""Begadang ngapain? Netflix, ya?" Rania terkekeh sambil duduk di kursi sebelahnya. "Aku juga, loh. Semalam maraton Hometown Cha-Cha-Cha sampai jam tiga pagi."Alena tersenyum tipis. Rania adalah desainer grafis senior di studio itu, mungkin sekitar dua puluh delapan tahun. Orangnya hangat, ceria, gampang bergaul. Biasanya, Alena akan senang punya teman baru seperti itu. Tapi sekarang, setiap usaha untuk membangun kedekatan terasa berbahaya.Bagaimana kalau Adrian menemukan celah lewat orang-orang di sekitarnya? Bagaimana kalau ia memanf
Tiga minggu setelah kejadian di rumah tua itu, Alena duduk sendirian di meja kecil apartemen barunya. Di depannya berserakan beberapa lembar uang kertas yang baru saja dihitung. Totalnya hanya lima ratus ribu rupiah—jumlah yang kecil, tapi bagi Alena ini adalah pencapaian besar. Untuk pertama kalinya dalam dua tahun terakhir, ia berhasil menabung untuk dirinya sendiri.“Lumayan juga,” gumamnya pelan, sambil memasukkan uang itu ke dalam amplop cokelat yang sudah agak kusam. Amplop yang sama sudah ia sembunyikan di balik laci lemari sejak hari pertama pindah ke apartemen ini.Pintu kamar mandi terbuka. Maya keluar dengan handuk masih melilit rambut. Ia menatap sahabatnya yang tampak sibuk.“Ngapain sih dari tadi? Mukamu serius banget, kayak auditor lagi hitung pajak.”Alena buru-buru menutup amplop itu dan memasukkannya ke dalam tas. “Cuma... lagi beresin barang,” jawabnya cepat.Maya mengerutkan alis. Ia sudah lama memperhatikan perubahan kecil dalam diri Alena. Sejak penculikan itu, A
Kegelapan total menyelimuti rumah tua itu. Alena tidak bisa melihat apa pun—bahkan siluet Adrian yang tadi berdiri tepat di depannya pun lenyap. Yang terdengar hanyalah napasnya sendiri yang memburu dan detak jantung yang menghentak di telinganya."Adrian?" bisiknya lirih, suaranya bergetar.Tidak ada jawaban. Hanya hening yang mencekam.Ia meraba dinding di belakangnya, berharap menemukan saklar lampu, pintu, atau apa pun yang bisa membantunya keluar. Tangannya gemetar saat menyentuh permukaan kayu yang kasar dan dingin.Tiba-tiba, dari arah lain, terdengar langkah kaki pelan. Adrian bergerak… tapi ke mana?"Romantis, kan?" suara Adrian terdengar dari sudut ruangan yang berbeda. "Seperti waktu kita makan malam ditemani lilin di apartemen. Ingat?""Adrian, nyalakan lampunya," ucap Alena, mencoba terdengar tenang meski hatinya berpacu tak karuan."Kenapa harus? Kita bisa bicara dalam gelap. Kadang… kegelapan justru membantu kita melihat lebih jelas."Langkah kaki itu kembali terdengar,
Rumah tua itu tampak jauh lebih menyeramkan dari dekat. Cat dindingnya mengelupas, lantai kayunya berderit setiap diinjak, dan bau lembap menusuk hidung. Adrian menyeret Alena masuk sambil tetap mencengkeram pergelangannya erat-erat."Maaf kalau tempatnya tidak sebagus apartemen kita dulu," ucap Adrian sambil menyalakan lampu yang redup. "Tapi di sinilah kita bisa bicara tanpa ada yang mengganggu."Alena menyapu pandangan ke seluruh ruangan dengan rasa ngeri. Ruang tamu sempit itu tertutup rapat—jendela-jendela dipaku dengan papan kayu, dan satu-satunya pintu keluar kini dijaga dua orang pendukung Adrian."Kamu sudah merencanakan ini sejak lama, kan?" tanya Alena, suaranya bergetar antara marah dan takut."Merencanakan? Tidak." Adrian melepaskan genggamannya, lalu duduk santai di sofa lusuh. "Aku hanya… bersiap. Kalau-kalau kita butuh tempat untuk memperbaiki hubungan, jauh dari orang-orang yang ikut campur."Wanita berambut pendek yang tadi memegangi lengan Alena kini berdiri di depa