LOGIN
Hujan deras mengguyur kota Jakarta malam itu. Butiran air menampar kaca depan mobil dengan suara berisik, menimbulkan pantulan cahaya lampu jalan yang temaram.
Di balik kemudi, duduk seorang wanita muda berusia dua puluh empat tahun—Kinanti Atmadja. Wajahnya pucat, matanya sembab, dan jemarinya gemetar di atas setir. Baru saja, dunia yang ia kenal selama tiga tahun terakhir runtuh begitu saja. Baru malam itu ia mengetahui perselingkuhan suaminya—Barata Pramayudha—dengan sekretarisnya sendiri, Nadia. “Tiga tahun, Bara...” suara Kinanti bergetar pelan, hampir tidak terdengar di antara derasnya hujan. “Tiga tahun pernikahan kita. Aku mengira kau hanya sedang... bosan denganku.” Air matanya jatuh perlahan di pipi. Ia menunduk, menatap ponsel yang masih tergenggam erat di tangannya—layar yang menampilkan percakapan terakhir antara Bara dan Nadia. Kalimat-kalimat mesra yang menusuk jantungnya seperti bilah pisau yang dingin. “...Kau bahkan sudah memulainya sejak tahun kedua pernikahan kita.” Suaranya makin parau. Kinanti menutup mata sejenak, mencoba bernapas di tengah sesak yang menekan dadanya. Tangannya gemetar hebat. Ia tahu wanita itu sedang hamil—hamil anak dari suaminya sendiri. “Sudah cukup...” bisiknya pelan. “Aku masih bisa menerima sikap dinginmu, Bara. Tapi tidak dengan perselingkuhan.” Ia menyeka air matanya dengan punggung tangan. Wajahnya kini tidak lagi hanya menampakkan kesedihan—ada amarah, ada kehancuran, dan ada keputusan bulat di balik tatapan matanya. Dengan satu tarikan napas panjang, ia menyalakan mesin mobil dan menancap gas. ••• Tiga puluh menit kemudian, mobilnya berhenti di depan rumah besar bergaya klasik yang selama ini menjadi istananya—atau mungkin lebih tepat disebut sangkarnya. Brakkk! Pintu utama terbuka kasar. Kinanti masuk dengan langkah cepat dan tatapan yang menusuk. Seorang maid yang kebetulan sedang melintas di ruang tengah buru-buru menghampirinya, mengambil tas tangan sang nyonya dengan wajah panik. “B–Bu Kinanti... sudah pulang?” “Bara sudah di rumah, Bi?” tanya Kinanti tanpa menoleh, suaranya dingin dan datar. “Tu... tuan di ruang kerja, Bu...” jawab si pembantu dengan nada ragu. Kinanti tidak membalas. Ia langsung melangkah menuju tangga marmer yang mengarah ke lantai dua. Suara hak sepatunya bergema di antara keheningan rumah besar itu—ritmenya seperti dentang perang. Brakkk! Tanpa mengetuk, ia mendobrak pintu ruang kerja suaminya. Bara, yang sedang duduk di balik meja kerjanya dengan setumpuk dokumen, sontak menoleh dengan wajah terkejut. “Kinanti! Apa-apaan ini?” bentaknya, berdiri dari kursi. Kinanti melangkah lurus, berdiri tepat di depan meja. Tatapannya tajam, matanya merah, suaranya bergetar penuh luka. “Apa-apaan ini? Itu pertanyaan yang seharusnya aku ajukan kepadamu, Bara!” serunya keras. “APA maksudmu dengan semua ini, hah?!” Wanita yang biasanya selalu tampak anggun dan berkelas, kini berubah. Ia masih terlihat rapih, tapi di balik rambut basah dan wajahnya yang pucat, tampak bara kemarahan yang belum pernah Bara lihat sebelumnya. Dengan satu gerakan, ia melemparkan ponselnya ke arah Bara. Ponsel itu jatuh di atas meja, layar masih menyala memperlihatkan percakapan mesra antara Bara dan Nadia. Bara menatap layar itu sekilas. Tidak ada sedikit pun kegugupan di wajahnya. Ia hanya menghela napas panjang, seolah sudah lelah menutupi rahasia yang kini terbongkar. “Jadi, kau sudah tahu sekarang, Kinanti,” ucapnya datar. Kinanti menatap suaminya tak percaya. “Apa maksudmu, Bara? Kau bahkan... tidak merasa bersalah?” suaranya meninggi, tangannya mengepal kuat hingga buku jarinya memutih. Bara bersandar pada meja, mendongak menatap istrinya dengan tatapan kosong. “Apa lagi yang kau harapkan? Pernikahan kita hanya pernikahan bisnis, Kinanti. Kau pikir ada cinta di rumah ini?” Kalimat itu menghantam Kinanti seperti petir yang menyambar dada. Sraaakkk! Braaaakkk! Dengan satu hentakan marah, Kinanti menepis semua benda di atas meja kerja Bara—dokumen, bingkai foto, dan vas kaca terlempar ke lantai, pecah berantakan. “Kinanti!” Bara langsung berdiri, terkejut melihat kekacauan di hadapannya. Air mata jatuh lagi di pipi wanita itu. “Aku mencintaimu, Bara...” suaranya lirih, hampir seperti isak. “Sejak kita kuliah dulu... sejak pertama kali aku bertemu denganmu...” Darah menetes dari telapak tangannya, luka akibat pecahan kaca yang tak ia sadari. Tapi rasa sakit fisik itu tak ada artinya dibanding luka di hatinya. Bara hanya menatapnya datar. “Tapi aku tidak mencintaimu, Kinanti. Aku mencintai Nadia.” Kinanti menatap suaminya lama sekali, seolah berharap kata-kata itu hanya mimpi buruk. Tapi tatapan Bara terlalu tenang untuk disebut kebohongan. “Kalau memang itu yang kau mau,” suaranya pecah, “kenapa tidak kau ceraikan saja aku, Bara?! Kenapa kau harus menghancurkan aku seperti ini?” Jeritannya menggema di seluruh ruangan. Ia jatuh terduduk di lantai, menangis terisak. Sementara Bara... hanya berdiri membeku. Wajahnya tetap datar—dingin, seolah tidak ada sedikit pun rasa bersalah yang tersisa di dirinya. ••• To be continued—Kinanti buru-buru menghapus air matanya menggunakan punggung tangan. Kelopak matanya memerah, hidungnya bergetar menahan sesenggukan. “Ayah… Ibu, aku pergi membeli makanan dulu…” ucap Kinanti pelan, berusaha terdengar normal meskipun suaranya serak. Dia berbalik. Pandangannya dan pandangan Ganendra bertemu—singkat, tapi cukup untuk membuat dada keduanya terasa sesak. Ingin sekali pria itu menarik tubuh Kinanti ke dalam pelukannya, menghapus air matanya satu per satu, sambil berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun keberadaan orang tua Kinanti menahan gerakannya. Kinanti mengangguk pelan, lirih. “Aku duluan… Ganendra.” ucapnya. Saat ia melangkah melewati lelaki itu, jemari mereka sempat bersentuhan. Hanya sepersekian detik—ringan, tidak disengaja—tapi cukup untuk membuat napas Kinanti bergetar. Sentuhan itu seperti pengingat bahwa dia tidak sendiri, meski dunia terasa kacau. Setelah Kinanti keluar, Ganendra maju beberapa langkah mendekati Gibran—menunjukkan sopan santu
𝙒𝙤𝙧𝙠𝙨𝙝𝙤𝙥 𝙆𝙞𝙣𝙖𝙣𝙩𝙞. “Kak… tempat embroidery biasa cancel,” ucap Hana begitu membuka pintu ruang desain Kinanti tanpa sempat menarik napas.Kinanti yang sejak tadi fokus pada sketsa gaun pengantin untuk klien VIP langsung mendongak. Ia melepas kacamatanya pelan, menaruh pensil di atas meja kaca, lalu memusatkan perhatian pada asistennya itu.“Hah? bagaimana bisa?” tanyanya cepat, suara sudah penuh tegang.Hana menelan ludah sebelum menjawab, “Iya, Kak. Barusan dia kirim email… semua pesanan untuk tiga bulan ke depan di-cancel. Katanya… dia harus menemani ibunya berobat ke luar negeri.”Dalam hitungan detik, wajah Kinanti berubah pucat.Bukan karena marah—tapi karena membayangkan efek domino dari masalah itu.Kebanyakan klien mereka adalah keturunan Chinese, dan elemen seperti embroidery, beading, serta detail kerajinan tangan tradisional adalah napas utama kualitas gaun yang ia buat. Jika bagian itu berhenti, reputasi workshop bisa porak-poranda.“Ya Tuhan…” Kinanti memij
“Katakan padaku… apa yang Bara lakukan padamu di dalam mobil semalam?” Deg! Pertanyaan itu menghantam jantung Kinanti seketika. Tangannya yang semula memegang sisir terhenti di udara, sementara tatapannya membeku menatap bayangannya sendiri di cermin. Jantungnya berdetak cepat, seolah darahnya berhenti mengalir. Ia tidak menoleh, tidak juga menjawab. Suasana ruangan langsung berubah senyap, hanya terdengar suara detik jam di dinding dan desiran napas Ganendra di belakangnya. Pria itu mempererat pelukannya lagi, kini bukan karena manja, tapi karena khawatir—dan marah pada waktu yang sama. “Aku melihatnya, Kinanti,” lanjutnya pelan namun tegas. “Aku melihat Bara menarikmu dengan kasar malam itu. Aku bahkan sempat menyuruh sekuriti datang ke arah mobilnya.” Mata Kinanti perlahan terpejam. Air hangat mulai menggenang di sudut matanya, tapi ia tetap diam. Ganendra menunduk lebih dekat ke telinganya. “Kau tidak perlu berbohong padaku…” bisiknya nyaris tak terdengar. “Aku hanya ingin
“Ganendra…” Dan dengan langkah tenang, ia mulai melepas satu per satu pakaiannya, membiarkan gaun tidurnya meluncur jatuh ke lantai marmer. Setelah itu, tanpa ragu, ia melangkah masuk menuju kamar mandi Kinanti membuka sisa kain ditubuhnya, dan masuk ke bilik shower menghampiri Ganendra. Grepp! “Apa kau merindukan ku? ”bisik Kinanti. Ganendra tersenyum smirk, lalu berbalik. “Aku sengaja menunggumu di dalam sini, Kinan...”ucap Ganendra. “Aku akan membantumu, menyabuni tubuhmu...”bisik Kinanti. Dia mengambil satu pump sabun cair ke tangannya, lalu mulai menggosok telapak tangannya hingga menghasilkan busa. Kinanti mulai menyabuni bagian dada bidang Ganendra. “Kita saling menyabuni... Bagaimana?”Tanya Ganendra. “Ide yang bagus... Lebih efisien, dan menghemat waktu.”jawab Kinanti. Ganendra mulai melakukan hal yang sama, setelah tubuh Kinanti basah oleh air dari shower. Dia mulai memakaikan sabun ke setiap lekuk tubuh Kinanti. “Nngghhhh... ”Kinanti mulai m
Keesokan paginya, suasana di kamar rawat Tuan Gibran masih tenang. Aroma antiseptik samar bercampur dengan wangi bunga segar di vas kecil di atas meja. Dari kamar mandi terdengar suara lembut air mengalir—Kinanti baru saja selesai membersihkan diri setelah semalaman menunggui ayahnya yang sempat tak sadarkan diri. Begitu keluar dengan rambut yang masih agak lembap, wanita anggun itu melihat sosok sang ayah sudah terbangun. Tuan Gibran bersandar pada sandaran ranjang rumah sakit, tampak lemah tapi sadar sepenuhnya. Di sisi ranjang, Nimas—ibunda Kinanti—sedang menyuapi bubur hangat perlahan, memastikan setiap sendoknya habis. Kinanti tersenyum kecil dan segera mendekat. “Ayah…” panggilnya lembut. Nimas menoleh, wajahnya sedikit lega. “Ayahmu baru bangun, Kinanti. Barusan saja, pas kamu masih di kamar mandi.” Namun, tidak ada balasan dari Gibran. Tatapannya tidak diarahkan pada putrinya, seolah sengaja menghindar. Wajahnya kaku, dingin, dan penuh ganjalan. Kinanti menarik napas dal
Kinanti menarik napas dalam sebelum membuka pintu mobil. Ia menatap Ganendra yang masih menunggu dengan tatapan lembut di balik kemudi.“Sebaiknya kau pulang, Ganendra… aku harus kembali ke ruangan ayah. Ibu di sana bersama Bara,” ucapnya pelan.Pria itu menoleh, menatapnya dengan cemas.“Apa kau sudah merasa lebih baik sekarang?”Kinanti mengangguk kecil, lalu jemarinya yang halus menyentuh sisi rahang Ganendra dengan lembut.“Aku merasa lebih baik setelah bertemu dan memelukmu,” katanya tulus.Ganendra tersenyum. “Baiklah… besok aku akan menjenguk Tuan Gibran. Aku bawakan makanan untukmu, ya?”Kinanti menatapnya sebentar, lalu mengangguk lagi.“Terima kasih, Ganendra…”Ia membuka pintu dan bersiap turun.“Langsung pergi saja setelah ini, ya. Jangan berlama-lama di sini… aku takut ada wartawan yang mengintai,” ucapnya cepat, sedikit cemas.“Baiklah, hati-hati, Tuan Putri,” balas Ganendra dengan nada lembut yang membuat wanita itu tersenyum tipis sebelum menutup pintu.Mobil itu perla







