Share

Tidak di bela

Author: Lyrik wish
last update Last Updated: 2025-10-14 11:15:16

Malam itu berlalu begitu saja. Setelah semua amarah yang meledak di ruang kerja Bara, keheningan menjadi pengganti segalanya.

Kinanti menunggu—entah menunggu penjelasan, penyesalan, atau sekadar satu kalimat permintaan maaf dari pria yang dulu ia cintai. Tapi yang datang justru suara pintu tertutup keras.

Bara meninggalkannya begitu saja.

Kini, Kinanti duduk di tepi ranjang kamarnya. Tangannya yang sempat terluka sudah diperban oleh salah satu maid, tapi nyerinya masih terasa. Luka itu kecil, tapi baginya seolah menandai betapa mudahnya sesuatu bisa pecah... sama seperti pernikahannya.

Ia menatap kosong ke arah jendela. Hujan masih turun, deras dan dingin. Setiap tetesan seolah menyatu dengan air matanya yang tak kunjung berhenti.

Dengan tangan gemetar, Kinanti meraih ponsel di atas nakas, lalu menekan nomor yang sudah sangat ia hafal—nomor ibunya.

Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara lembut menyapanya dari seberang.

“Halo, Kinan...” Sapa suara hangat itu.

Kinanti menggigit bibirnya. Suara itu biasanya menenangkan, tapi malam ini justru membuat air matanya pecah lagi.

“Bu...” suaranya lirih, hampir tercekik isak.

“Kinan, ada apa, nduk?” tanya ibunya pelan.

Kinanti tak langsung menjawab. Dadanya terasa sesak. Ia menahan napas, lalu berkata dengan suara bergetar,

“Bu... Bara... dia selingkuh, Bu.”

Keheningan seketika mengisi sambungan telepon.

“Apa?” suara ibunya meninggi sedikit. “Tidak mungkin, Kinan. Bara lelaki baik. Menantu Ibu tidak mungkin seperti itu.”

Kinanti menutup matanya, air matanya mengalir deras.

“Bu, aku tidak berbohong... dia benar-benar berselingkuh. Dan—” suaranya patah, “selingkuhannya... hamil.”

Kali ini, hanya terdengar napas berat dari seberang sana. Sunyi. Seolah sang ibu tengah berusaha mencerna sesuatu yang sulit dipercaya.

Beberapa detik kemudian, suara itu kembali terdengar, tenang tapi jauh.

“Nduk... lebih baik kamu istirahat dulu, ya. Besok kamu datang ke rumah. Ayah dan Ibu tunggu di sini, Nak.”

Kinanti mengernyit. Ia berharap mendengar empati, pelukan lewat kata-kata, tapi yang ia dapatkan hanyalah jarak.

“Iya, Bu... besok Kinan ke rumah Ibu,” ucapnya lemah.

Sambungan pun terputus. Kinanti menatap layar ponselnya sesaat, sebelum melemparnya ke arah nakas.

Ponsel itu jatuh, dan tangisnya kembali pecah.

“Bahkan reaksi Ibu...” bisiknya parau. “Sama sekali tidak menunjukkan kekhawatiran untuk putrinya.”

Ia memeluk dirinya sendiri di tengah kesunyian malam. Hanya suara hujan yang menemani, menjadi saksi dari kepedihan yang tak bisa ia bagi kepada siapa pun.

•••

Keesokan harinya.

Langit Jakarta masih mendung ketika mobil hitam yang ditumpangi Kinanti berhenti di halaman rumah mewah milik orang tuanya. Gerbang besi tinggi terbuka otomatis, memperlihatkan halaman luas dengan taman yang terawat sempurna—semuanya tampak sama seperti dulu. Tapi bagi Kinanti, rumah itu kini terasa asing.

Seorang maid segera membukakan pintu mobil.

“Selamat pagi, Non Kinan,” sapanya sopan.

Kinanti hanya mengangguk tipis dan berjalan masuk. Dari arah ruang keluarga terdengar suara ayah dan ibunya yang sedang berbincang. Suara mereka terdengar ringan, seolah tidak ada badai yang baru menghantam hidup putri mereka.

“Ayah... Ibu...” panggil Kinanti dengan suara pelan saat melangkah masuk.

Kedua orang tuanya menoleh bersamaan. Ibunya, Nimas Asih, segera mempersilakan Kinanti duduk di sofa di dekatnya.

“Duduk di sini, Kinan,” ucapnya lembut.

Begitu duduk, Kinanti langsung memeluk ibunya. Tangis yang ia tahan sejak pagi pecah begitu saja di pelukan itu.

“Bu... Kinan sudah tidak sanggup...” suaranya nyaris seperti anak kecil yang kehilangan arah.

Nimas mengusap punggung putrinya perlahan. “Sabar, nduk... ini ujianmu,” katanya lembut, meski tanpa nada tegas yang diharapkan Kinanti.

Dari seberang meja, sang ayah, Raden Gibran Atmadja, hanya menatap mereka dengan wajah keras.

“Apa yang harus kau tangisi, Kinan?” ucapnya datar.

Kinanti menoleh cepat, menatap ayahnya dengan mata merah dan wajah kecewa.

“Apa maksud Ayah? Putri Ayah sedang hancur!” serunya parau. “Aku ingin bercerai dengan Bara, Ayah.”

Brakk!

Suara tangan Gibran menggebrak meja ruang keluarga membuat Kinanti terlonjak.

“Jangan asal berbicara, Kinan! Sampai kapan pun, perceraian itu tidak akan pernah terjadi!” tegasnya.

Kinanti terdiam beberapa detik sebelum suaranya naik, penuh amarah dan luka.

“Ayah... apa maksud Ayah? Apa aku harus menerima semuanya? Bara punya wanita lain, Ayah! Aku yang dipermalukan, tapi kenapa aku yang harus diam?”

Ibunya cepat menggenggam tangan Kinanti, mencoba menenangkan. “Jangan dengan emosi, Kinan...” bisiknya pelan.

Kinanti menggigit bibirnya kuat-kuat, berusaha menahan tangis yang hampir pecah lagi.

Ayahnya menatap tajam, nadanya tak terbantahkan.

“Dengarkan Ayah. Wanita itu tidak mungkin akan diterima oleh keluarga Pramayudha. Dia akan selamanya tersembunyi, dan kau akan tetap menjadi Nyonya Pramayudha, Kinan.”

Air mata kembali mengalir di pipi Kinanti. Ia menatap ayahnya tak percaya.

“Aku ingin bahagia, Ayah... Aku tidak ingin menjadi Nyonya Pramayudha jika harus terus tersakiti.”

“Jangan bicara tidak masuk akal, Kinanti. Perceraian itu tidak akan pernah terjadi.”

Suara ayahnya tajam, dingin, dan mutlak.

Kinanti menatap dua orang yang selama ini menjadi sandaran hidupnya. “Ayah... Ibu...” suaranya pecah, seperti permohonan terakhir untuk dimengerti. Tapi tidak ada pembelaan, tidak ada pelukan. Hanya keheningan dan pandangan pasrah dari sang ibu yang menunduk.

Air matanya jatuh lagi. Ia berdiri perlahan, meraih tas tangannya yang tergeletak di lantai.

“Aku kira... setelah tahu putrinya dihianati, Ayah dan Ibu akan membelaku. Akan berada di sisiku...” suaranya bergetar. “Tapi ternyata... ini lebih menyakitkan daripada dihianati oleh Bara.”

Ia menatap mereka untuk terakhir kalinya.

“Aku pergi, Bu... Ayah.”

Tanpa menunggu jawaban, Kinanti berbalik dan berjalan keluar. Langkahnya cepat, tapi air matanya jatuh semakin deras.

Dari dalam, suara ibunya terdengar, bergetar menahan tangis.

“Mas... Kinanti...”

Namun Gibran hanya mengangkat tangannya.

“Biarkan dia, Asih. Dia harus mengerti, bahwa perceraian bukan jalan pintas untuk masalah ini.”

Nimas Asih menunduk, menggenggam erat ujung gaunnya. Ia ingin membantah, ingin berlari menyusul putrinya—tapi tidak berani.

Yang tersisa di ruangan itu hanyalah keheningan... dan jarak yang mulai tumbuh di antara seorang anak dan orang tuanya.

•••

To be continued—

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ganendra | Obsesi Sahabat Suamiku   Perlawanan Kinanti

    Ponsel Kinanti bergetar lagi, nada dering yang sama berulang tanpa henti. Nama Bara terus muncul di layar, berkali-kali, seolah pria itu tak akan berhenti sampai wanita itu mengangkatnya.Namun Kinanti hanya menatap sekilas, bibirnya mengerucut jengkel. Dengan gerakan cepat, ia menekan tombol merah lalu menonaktifkan ponselnya.Tidak ada niat sama sekali untuk menjawab, apalagi berurusan dengan Bara malam ini.Gerakan kecil itu ternyata membuat Ganendra terusik. Ia sempat membuka mata yang terpejam, lalu melirik ke arah Kinanti yang tengah meraih nakas untuk meletakkan ponselnya."Ummhhh... ada apa, Kinan? Kau belum tidur?" suara beratnya terdengar serak, masih lelah setelah bercinta.Ia bergeser pelan, mengganti posisi. Kini tubuh Kinanti yang mungil justru bersandar nyaman di dadanya yang bidang, seperti menemukan sandaran yang sempurna.Kinanti menarik napas panjang sebelum bersuara."Apa kita harus memiliki tempat khusus?" tanyanya tiba-tiba, suaranya datar tapi serius."Hmmm?" al

  • Ganendra | Obsesi Sahabat Suamiku   Jika kau selingkuh, akupun bisa selingkuh

    Basement Penthouse, Malam Itu.Blugh!Suara pintu mobil tertutup keras, menggema di parkiran bawah tanah yang sunyi. Lampu neon putih keperakan memantulkan kilau mobil sport berwarna hitam yang baru saja diparkir.Kinanti Atmadja baru saja melangkah keluar. Tumit stilettonya beradu dengan lantai marmer abu-abu, meninggalkan denting elegan di ruang yang lengang.Tubuh rampingnya bersandar di kap mobil, tangan kanan menahan tubuhnya, sementara tangan kirinya merogoh tas kulit mewah.Ia menarik ponselnya, layar menyala, menyorot wajah cantiknya yang pucat namun tetap memesona. Jemarinya mengetik cepat.Kinanti: Kau dimana?Beberapa detik kemudian, layar ponsel bergetar. Notifikasi balasan masuk—sebuah foto.Gambar itu memperlihatkan Ganendra Adipati shirtless, tubuhnya berbaring di atas ranjang king-size, dada bidangnya terbuka, otot-otot sixpack perutnya jelas, kulitnya berkilau samar tertimpa cahaya lampu kamar. Tatapannya ke kamera dalam, menggoda, penuh undangan.Ganendra: Aku di ata

  • Ganendra | Obsesi Sahabat Suamiku   Terabaikan

    Dua hari kemudian, di Rumah Mode Kinanti.Gedung modern itu berdiri anggun di kawasan elit SCBD, dinding kaca memantulkan cahaya matahari siang yang terik.Di lantai tiga, ruang kerja pribadi Kinanti terasa begitu rapi, elegan, namun sekaligus dingin—persis seperti pemiliknya.Kinanti duduk di meja kerjanya, rambut hitam panjangnya tergerai ke satu sisi. Sejak tadi, pensil di tangannya hanya menari di atas kertas putih, membentuk coretan-coretan acak yang bahkan tak bisa disebut sketsa.Tangannya bergerak, tetapi pikirannya jelas jauh melayang entah ke mana.Wanita itu menarik napas dalam-dalam, lalu meletakkan pensil. Jemarinya menekan pelipis. Seorang fashion designer muda yang namanya sedang melambung di kalangan sosialita, selebriti, bahkan politikus ibu kota.Dia dicari-cari untuk gaun gala, pesta pernikahan, hingga sekadar private fitting. Namun di balik semua itu, hari ini dia justru duduk bengong.Ceklek.Pintu ruang kerja terbuka."Halo, kak." Suara ceria terdengar. Dari bali

  • Ganendra | Obsesi Sahabat Suamiku   Aku harus hamil

    Satu bulan berlalu... Keringat mengalir di pelipis Kinanti, tubuhnya bergetar di bawah desahan panjang yang lolos dari bibirnya."Ngghhh... Ganendra... aku... aku sudah tidak kuat..." suaranya parau, bercampur antara kenikmatan dan kelelahan.Ganendra menunduk, wajahnya hanya sejengkal dari milik Kinanti, napasnya memburu, tubuhnya menegang hingga urat di lehernya mencuat."Kinanti... aku tidak memakai pengaman..." bisiknya, nyaris seperti ancaman sekaligus pengakuan.Mata Kinanti terpejam rapat, kepalanya terhentak ke belakang."Keluarkan... di dalam saja..." ia meliuk, tubuhnya menegang dalam kepasrahan yang nikmat."Aku ingin seorang anak... ahhh..."Hembusan napas berat Ganendra terdengar di telinganya."Kinantiiii... Arrrggghhh!!"Tubuh atletis lelaki itu akhirnya terkulai, dadanya naik turun dengan cepat, sementara peluh membasahi kulitnya.Ia menindih Kinanti sejenak, merasakan detak jantung keduanya berpacu gila.Dengan sisa tenaga, Ganendra menggulingkan tubuhnya ke samping,

  • Ganendra | Obsesi Sahabat Suamiku   Pertemuan Dengan Ganendra

    Beberapa hari kemudian, tibalah hari yang dinanti—malam reuni kampus Universitas Azzura.Kinanti berdiri di depan cermin besar di kamarnya, memandangi bayangan dirinya sendiri yang tampak begitu memukau dalam balutan gaun hitam sederhana dengan potongan elegan yang menonjolkan lekuk tubuhnyaMeski desainnya tidak berlebihan, kemewahan tetap terpancar dari setiap detailnya, terutama dari perhiasan berlian yang menghiasi leher dan pergelangan tangannya. Aura anggun dan mahal benar-benar keluar dari sosoknya malam itu.Tangannya sempat bergetar sedikit saat ia merapikan anting, bukan karena gugup, melainkan karena hatinya masih menyimpan bara amarah yang belum padam. Luka batin akibat pengkhianatan Bara belum kering sepenuhnya, tapi malam ini, Kinanti bertekad tampil sempurna—untuk menunjukkan pada dunia bahwa dirinya tidak hancur.Suara langkah sepatu terdengar mendekat. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka, menampakkan sosok pria dengan jas hitam rapi. Bara berdiri di ambang pintu, w

  • Ganendra | Obsesi Sahabat Suamiku   Lelaki bernama Ganendra

    RUMAH MODE KINANTI. Kinanti Atmadja, mengenakan kemeja putih dan rok pensil hitam, berjalan melewati deretan kain satin dan manekin yang dipajang rapi di lorong utama. Tatapannya fokus, wajahnya tenang—nyaris tak menunjukkan bahwa hidup pribadinya baru saja porak-poranda.“Kak,” panggil seseorang di belakangnya.Asisten pribadinya, Hana, berlari kecil menyusul sambil membawa tablet di tangannya.“Nanti siang ada klien, Kak. Kakak tahu kan influencer yang lagi booming itu? Tarina?” ucapnya cepat sambil menyesuaikan langkah.Kinanti melirik sekilas, bibirnya membentuk senyum tipis.“Ah, yang viral karena video dia nangis itu, kan?” tanyanya datar.Ceklek.Pintu ruang kerja Kinanti terbuka. Aroma teh melati langsung menyambut begitu ia masuk. Ia meletakkan tas tangan di atas meja kerja kayu mahoni yang bersih dari berkas, hanya ada tumpukan sketsa dan laptop terbuka.“Iya, Kak, yang itu,” lanjut Hana sambil berdiri di depan meja. “Dia mau bikin pesta ulang tahun mewah minggu depan, dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status