Share

Gara-Gara Status Palsu
Gara-Gara Status Palsu
Penulis: Risma Dewi

Gedubrak!

"Buuu … Ibu … tolong, dong. Aku mau foto di sini." Aira meminta tolong pada Bu Indarti untuk mengambil fotonya. Bu Indarti tersenyum seraya mengambil handphone milik Aira kemudian menjepretnya beberapa kali.

 

"Udah, ayuk pulang! Sebentar lagi sore, kamu belum masak," ajak Bu Indarti.

 

"Bentar lagi, Bu … belum dapat posisi yang bagus." Aira menawar. 

 

Sementara Bu Indarti hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah pembantunya yang masih sangat muda.

Aira yang kurang puas dengan hasil jepretan Bu Indarti, akhirnya mengambil swafoto berkali-kali dengan berbagai pose. Ia sengaja memperlihatkan posisinya yang sedang berada di sebuah toko, seolah sedang memilih-milih berlian. Jari-jari centilnya langsung menyentuh aplikasi berwarna hijau. Dia pilih satu gambar terbaik untuk dipajang di kolom history W* miliknya. Tak lupa tertulis caption di sana. 'Edisi jenuh di rumah terus, cuci mata di sini dulu'.

 

Aira sedang berusaha menarik perhatian seorang lelaki tampan, yang baru dikenalnya sebulan lalu. Zayen, lelaki yang selalu berpenampilan rapi dan memakai barang-barang mewah nan bermerk adalah targetnya. 

 

Gadis itu bertekad melakukan apa pun untuk mendapatkan Zayen. Dulu, ia pernah gagal menarik perhatian anak majikannya. Aira gagal melancarkan aksinya, karena anak Bu Indarti itu pergi ke luar negeri untuk melanjutkan S2. Aira kerap kali merasa sebal jika mengingat anak majikannya yang tak peka pada kemauannya. 

 

Padahal, mereka berdua seringkali ke sana-kemari bersama. 

Sekarang, Aira tidak ingin gagal lagi. Gadis itu akan membuktikan kepada anak majikannya, bahwa ia bisa mendapatkan yang setara dengannya.

 

"Walaupun aku hanya seorang pembokat, aku juga berhak dapat suami kaya. Aku boleh datang dari desa, tapi rezekiku harus tetap rezeki kota. Kamu lihat aja, Niko." Begitu kata hati Aira untuk menguatkan tekadnya.

 

Beberapa menit setelah memasang status di W******p, Aira membuka kembali untuk melihat apakah pujaan hatinya sudah mengintip statusnya hari ini.

 

"Yess!" 

 

Aira bersorak kegirangan. Target sudah melihat statusnya yang sok kaya.

 

"Wow …!" Kini, giliran Aira yang takjub, ketika membuka status Zayen yang di-upload beberapa menit setelah statusnya dipasang tadi. 

 

Zayen mengunggah sebuah gambar sepatu bola merk Nike Mercurial Superfly 7 Elite seharga 4 juta rupiah, dengan caption … 'kado pilihanku'.

 

"Buat kado aja dia keluarin duit segitu. Benar-benar pria idaman, udah tajir-melintir … murah hati pula. Tak akan kulepas," batin Aira sambil berbasa-basi membalas status W* Zayen.

 

[Keren!]

 

Beberapa menit kemudian, masuk balasan yang diawali dengan emoticon senyum lebar.

 

[Enggak semahal berlian.] 

 

[Enggak penting mahalnya, yang penting hatinya.] 

 

Aira dapat peluang mengeluarkan jurus rayuan gombalnya.

 

[Masa sih?] balas Zayen.

 

[Ya, iyalah. Masa ya-iya, dong.]

 

Zayen membalas dengan sticker jempol dan senyum lebar.

Sejak saat itu, Aira dan Zayen sering berbalas komentar di status mereka. Keduanya menjadi semakin akrab. Maka dari itu, Aira selalu memanfaatkan kesempatan bila sedang mengantar majikannya jalan-jalan, terutama saat pergi ke pusat-pusat perbelanjaan kaum elite.

 

Aira akan berfoto, dan tentu saja hasilnya langsung dipasang di status W*. Orang yang paling pertama membuka statusnya adalah Zayen.

 

Dikarenakan Aira takut Zayen keburu diambil orang, ia bertekad untuk mengatakan rasa sukanya secara terang-terangan. Tepat di hari Minggu, keduanya bertemu dan duduk-duduk santai di Taman Samarendah. Aira memberanikan diri untuk menyatakan tentang perasaannya.

 

"Zayen, aku … mau jujur tentang sesuatu." Aira mulai berbicara sambil menggigit bibir, berusaha menebalkan muka.

 

"Ngomong aja," jawab Zayen singkat.

 

"Aku … aku … suka sama kamu," ucapnya terbata, lantas menunduk.

 

"Kamu … yakin sama perasaanmu?" Zayen memandangnya untuk memastikan.

 

Aira mengangguk. Gayung pun bersambut. Gadis itu tak menyangka jika Zayen akan membalas perasaannya. Aira makin terhipnotis untuk menguasai lelaki itu. Ia rela melakukan apa pun, dan akan membuka status asli setelah Zayen menikahinya nanti.

 

Kadang, terbesit rasa takut di hati Aira jika Zayen akan meninggalkannya setelah status asli gadis itu terbongkar. Namun, Aira lekas berpikir … bukankah kelemahan kaum lelaki ada pada matanya? Jika setelah menikah nanti Zayen tidak terima, Aira tinggal menyusun siasat.

 

 Laki-laki normal itu gampang dirayu, seperti anak kecil yang sedang merajuk. Tinggal dibelikan paket KFC, dan diberi pilihan. Mau bagian paha atau dada? Pasti langsung senang. Begitu juga kaum lelaki, pasti akan langsung klepek-klepek.

 

Untuk saat ini, Aira akan fokus mengikat lelaki itu lebih dekat dengannya. Jika Zayen mengajaknya ke luar untuk jalan, Aira akan meminjam barang-barang bermerk milik anak majikannya yang  berusia 5 tahun lebih muda darinya. Postur tubuh mereka pun hampir sama.

 

Karena itu, dari segi pakaian pun cocok semua. Itu akan meyakinkan Zayen untuk tetap berada di sampingnya.

Aira beruntung karena memiliki majikan yang sangat baik. Mereka menyayanginya bagai anggota keluarga sendiri. Apabila dia ingin memakai barang-barang milik Ninda, dengan mudah akan didapatkannya. 

 

"Biar ajalah. Masa iya aku pakai tas dan sandal pasar, sedangkan Zayen datang menjemput dengan mobil mewah. Kan, enggak seimbang." Aira menepis sendiri rasa tak enak hati apabila ingin meminjam barang-barang Ninda.

 

"Jadi perempuan yang kondisional, diajak susah enggak nyusahin. Diajak berkelas enggak malu-maluin," tambahnya pada diri sendiri.

 

Begitulah prinsip Aira. Walaupun terkesan memanfaatkan kebaikan hati majikannya, dia tidak peduli. Baginya, menjadi pembantu hanyalah batu loncatan untuk menggaet lelaki kaya. Suatu saat, Aira yakin dirinya pun akan menjadi nyonya di rumah mewah.

 

***

"Mau makan apa, Ra?" tanya Zayen saat keduanya menikmati embusan angin di suatu sore. 

 

"Terserah yang ada di sini aja," jawab Aira sok kalem.

 

"Oke. Kamu memang super, mau aja makan di pinggir jalan kayak gini," Zayen memuji Aira yang tersipu.

 

Laksana dua insan yang sedang jatuh cinta, mereka berdua terlihat begitu romantis menikmati cendol dawet dan opak, cemilan khas kota tepian. Suasana bertambah romantis manakala Zayen mengeluarkan sebuah kotak perhiasan berbentuk hati. Lelaki itu membukanya di depan Aira.

 

"Aira, maukah kamu menikah denganku?" ucap Zayen.

 

Jantung Aira berdegup kencang, ia tak menduga Zayen akan melamarnya secepat itu. Gadis itu tidak menjawab dengan kata-kata, tetapi hanya tersenyum dan mengangguk bahagia.

 

"Kalau begitu, besok aku akan datang untuk melamarmu secara resmi." Zayen melanjutkan ucapannya.

 

"Ehm … Zayen, keluargaku sudah lama merestui hubungan kita. Mereka bahkan ingin kita cepat-cepat menikah. Enggak perlu lamaran secara resmi, kita langsung nikah aja." 

 

Aira menolak kemauan Zayen yang ingin melamar ke rumahnya. Tentu saja Aira takut Zayen dan keluarganya mundur teratur jika mengetahui bahwa dia hanyalah pembantu di rumah majikannya.

 

"Kamu yakin, Ra? Keluargamu enggak bakal nolak aku? Kalau nanti aku datang langsung bawa penghulu?" Zayen kurang yakin dengan keinginan Aira.

 

"1000 persen, yakin!" Aira menjawab mantap untuk meyakinkan Zayen.

Debur ombak kecil karena embusan angin di pinggiran sungai Mahakam menjadi saksi, Aira dan Zayen sebentar lagi akan mengikrarkan janji suci.

 

***

Seminggu lagi, Zayen akan menjadi suaminya. Aira mengutarakan hal tersebut kepada Pak Margono dan Bu Indarti. Tentu saja majikannya itu sangat senang. Mereka merasa lega karena akan ada seseorang yang akan menjaga Aira. Dulu, mereka menjemput Aira dari kampung dalam keadaan sebatang kara. Nenek yang membesarkannya meninggal dunia. 

 

Pak Margono dan bu Indarti berharap, calon suami Aira kelak, akan menjadi pelindungnya seumur hidup.

 

Bu Indarti begitu menyayangi Aira. Mengetahui pembantunya akan menikah, maka wanita itu mengajak Aira untuk berbelanja pakaian. Ia juga sudah memesan sebuah kamar di hotel yang tergolong mewah sebagai hadiah pernikahan untuk bulan madu Aira selama seminggu.

 

Aira sengaja memilih baju-baju seksi yang tipis. Hampir semua lingerie yang dipilihnya tanpa lengan dan tembus pandang. Aira tidak ingin Zayen pergi, jika nanti setelah menikah mengetahui status palsunya. Dengan baju-baju itu, dia yakin Zayen akan bertekuk lutut.

 

Setelah seminggu berlalu, sampailah saatnya keluarga Zayen datang. Sesuai kesepakatan, mereka langsung mengadakan pernikahan. Ada dua rombongan dari mobil berbeda yang datang dengan membawa beberapa bingkisan. 

 

Aira tidak peduli dengan bawaan mereka. Ia hanya ingin cepat mendengar kata 'sah' dari mulut penghulu dan para saksi yang turut serta dalam rombongan Zayen.

 

Majikan Aira terlihat begitu akrab dengan kedua orang tua Zayen. Mereka rupanya sudah saling mengenal. Sebentar lagi, ijab kabul akan dimulai. Aira yang menggunakan kebaya berwarna putih tampak cantik sekali. Semua mata terpana menatapnya, tak terkecuali Zayen. 

 

Aira menghampiri calon mertuanya dan mencium tangan keduanya dengan takzim. Setelah itu, ia duduk di sebelah Zayen yang mengenakan jas warna hitam. Sungguh pasangan yang serasi.

 

Ijab kabul berjalan dengan lancar. Setelah semua saksi mengatakan 'sah', Aira menarik napas lega. Sekarang, dia resmi menjadi nyonya Zayen. Impiannya sudah tercapai. 

 

"Aira …." Suara lembut seorang perempuan memanggil namanya. "Terima kasih, ya, sudah menerima Zayen apa adanya. Semoga kalian langgeng sampai maut memisahkan," lanjut wanita paruh baya tersebut sambil mengelus punggung tangan Aira.

 

"Eh, i–iya, Ma. Eh … iya, Bu!" Aira bingung ketika pertama kali berhadapan dengan mertuanya.

 

"Enggak usah sungkan. Panggil saja saya Ibu atau Bu May, seperti Zayen biasa memanggil saya. Zayen sudah Ibu anggap seperti anak sendiri," jelasnya lagi.

 

"Ma–maksud Ibu?" Aira menjadi bingung mengartikan ucapan mertuanya.

 

"Zayen sudah hampir 5 tahun bekerja sebagai sopir saya. Orang tuanya ada di pulau Jawa, jadi enggak bisa hadir. Dia anak yang baik sehingga saya menganggapnya seperti anak sendiri. Sama seperti kamu yang sudah dianggap anak sendiri oleh Pak Margono dan Bu Indarti," jawab Bu May yang terlihat bahagia sekali.

 

"Iya. Enggak nyangka kalian berjodoh," timpal Bu Indarti.

 

Ucapan Bu May bagai petir di siang bolong. Sungguh jauh ekspektasi dari realita yang di dapatkan Aira.

 

"Oh, Tuhan! Kenapa begini …? Kenapa Engkau tak merestui hamba-Mu yang ingin merubah nasib …." Hati kecil Aira menjerit.

 

Akhirnya, Aira pun pingsan di depan Bu Indarti dan Bu May.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status