Share

POV Zayen

 

 

Namaku Zayelani, atau panggil saja aku Zayen. Tempat kelahiranku adalah pulau Jawa, dan aku besar di sana. Sebuah daerah yang terkenal dengan kebun apelnya. Orang-orang dari luar daerah, setiap musim liburan akan berbondong-bondong datang ke tempat asalku.

 

Kota Batu memang memiliki wahana beragam. Selecta yang memanjakan mata dengan keindahan bunga-bunga. Predator Fun Park mengenalkan hewan-hewan dari bangsa predator, termasuk buaya darat seperti diriku. 

 

Sore sampai malam hari, BNS atau Batu Night Spektakuller menyuguhkan permainan yang memacu adrenalin. Jatimpark 1, 2, dan 3 dengan ciri khas masing-masing, dan banyak lagi tempat wisata lainnya yang ditawarkan kota asalku. 

 

Namun, entah mengapa aku memilih merantau ke Kalimantan daripada mencari pekerjaan di Kota Batu. Samarinda adalah kota yang kupilih. Aku mengabdi pada keluarga kaya yang baik hati, Pak Gunawan dan Bu May.

 

Aku sering dibelikan barang-barang mewah. Mereka memperlakukan aku bukan seperti seorang supir pribadi, melainkan seperti anak sendiri. Jika semua kewajibanku sudah terlaksana, aku diperbolehkan membawa mobil ke mana saja aku suka. Tentu saja, aku tak melewatkan kesempatan tersebut untuk tebar pesona. 

 

Nasib orang … siapa yang tahu, sih? Aku ingin memberikan hadiah seorang menantu yang bisa mengangkat derajat keluarga.

 

Suatu hari, aku berkenalan dengan seorang gadis yang cantik dan berpenampilan modis. Sepertinya dia orang kaya. Aira, ia menyebut namanya. Perkenalan kami terjadi saat dia sedang  melintas dan dompetnya terjatuh di dekatku. Mungkin itu kesempatan yang Tuhan berikan padaku untuk mengenalnya.

 

Aku langsung berinisiatif untuk menjadi seorang pahlawan. Dengan penuh percaya diri aku mengejarnya untuk menyerahkan dompet yang terjatuh. Sambil tersenyum manis, dia menerima dompetnya kembali dan berkali-kali mengucapkan terima kasih.  Dia meminta nomor handphone-ku, dan berkata akan mengajakku makan sebagai ucapan terima kasih. Sebab, aku menolak saat ia ingin memberiku uang.

 

"Aseeeeek!"

 

Aku berjingkrak-jingkrak dalam hati. Umpanku kena!

 

Sejak saat itu, kami sering berhubungan melalui W******p secara intens. Setiap hari, aku mengintip statusnya yang selalu mengunjungi tempat-tempat yang serba wah. Aku tak mau kalah. Setiap Pak Gun membelikanku barang mewah, maka segera kupajang di status.

 

Pernah juga Pak Gun memintaku mencarikan kado untuk anak temannya. Aku disuruh membeli sepatu bola yang harganya fantastis untuk ukuran kantongku. Kesempatan lagi buatku untuk posting barang-barang mahal di history W*.

 

Aku semula ragu mengartikan kedekatan kami ketika sering bersama. Jujur, Aku ingin memiliki Aira. Di mataku, dia seorang gadis yang sangat manis. Ia cantik, modis, dan sederhana. Terbukti apabila diajak makan, Aira selalu memilih menu-menu yang sederhana. 

 

Namun, Aku ragu … apakah dia memiliki rasa yang sama terhadapku? Aku ingin mengungkapkan, tapi selalu saja keberanianku hilang bila berhadapan dengan Aira. Kadang terbesit keinginan untuk mengungkapkan lewat chat. Namun, kesannya kurang gentleman. 

 

Tak kusangka, Aira berani mengungkapkan rasa sukanya padaku. Ah, wanita! Ternyata enggak butuh usaha keras menaklukkan hati mereka. Tak ingin berlama-lama, aku berniat membawa keluarga majikanku melamarnya. Aku khawatir, jika dia keburu tahu tentang aku yang sebenarnya, lalu kabur. 

 

Akan tetapi, di luar dugaanku … ternyata dia ingin langsung meresmikan hubungan lewat pernikahan. Bak ketiban durian runtuh, aku segera mengurus semuanya. Dia harus menjadi istriku. Aku takut kalau terlalu lama mengulur waktu, Aira tahu tentang kebenarannya dan meninggalkanku.

 

Bagaimana jika dia marah setelah tahu? Ah, gampang! Perempuan itu kelemahannya satu, yaitu anak. Cepat-cepat saja kubuat dia hamil. Pasti dia akan berpikir seratus kali jika ingin meninggalkanku. Eh, tapi … apa Aira akan mau melayaniku setelah dia mengetahui rahasia ini?

 

Oh, iya! Aku lihat di online shop banyak yang jual obat perangsang untuk wanita. Kupesan saja 5 botol sekalian sebelum hari pernikahan. Nanti dia yang akan kepanasan mendekatiku. Aku, sih, tinggal nyanyi saja, hareudang … hareudang … hareudang …. Panas, panas, panas …, sambil buka semuanya.

 

Ah, senangnya. 

Membayangkan hal itu … sering membuatku mesem-mesem sendiri. Sebentar lagi, gadis cantik yang kaya itu akan jatuh ke pelukanku.

 

Sayangnya, orang tuaku tidak bisa hadir menyaksikan prosesi akad nikah. Mereka menyerahkan sepenuhnya kepada Pak Gun dan Bu May. Karena itulah, semua persiapanku dibantu oleh Pak Gun, termasuk menyiapkan penghulu. Sebenarnya, ada rasa tak enak hati karena melihat ketulusan mereka mengurus keperluan pernikahanku. 

 

Hari yang ditunggu pun tiba. Rombongan kami menuju ke rumah Aira. Selama ini, aku hanya mengantar atau menjemputnya sampai depan pagar saja. Aira melarangku ikut masuk karena kedua orang tuanya selalu tidak ada di rumah. Takut menimbulkan fitnah tetangga … begitu alasannya.

 

 Sungguh sempurna Aira-ku ini, begitu menjaga kehormatannya sebagai wanita.

Sebuah kejutan kecil menyambut kedatangan kami, ternyata majikanku kenal dekat dengan orang tuanya Aira. Ternyata, mereka adalah sahabat lama. Mereka terlihat berbincang dengan sangat akrab. 

 

Tiba saatnya hal tersakral dalam hidupku. Aku mengucap janji suci di depan penghulu. Namun … detik itu juga aku baru tahu nama lengkap Aira adalah Sumaira, dan yang kupikir calon mertuaku … ternyata adalah majikannya juga. 

 

Ya, Allah!

Apess! Ngenes!

 

Sirna sudah harapanku mendapatkan istri orang kaya. Jika tidak ingat ketulusan Pak Gun dan Bu May menyiapkan pernikahanku, mungkin aku sudah melarikan diri dari pernikahan ini. Namun, aku tak tega mematahkan binar bahagia dari orang yang sudah menyayangiku selama ini. 

 

Aku hanya bisa menarik napas panjang, tapi dalam hati aku meratap,

 

"Tuhan … jauh-jauh aku mencari jodoh ke pulau Kalimantan, dapat yang begini juga. Ini, sih, stoknya banyak di kampung dan sekitar rumahku."

 

Dengan terpaksa, kulanjutkan serangkaian acara sakral yang semula membuatku menggebu, seketika terasa hambar. Kulihat Bu May dan Bu Indarti berbicara pada Aira, entah apa yang mereka bicarakan. Mungkin tentang statusku. Entahlah!

 

Tiba-tiba, terdengar teriakan panik dari mulut orang-orang.

 

 "Aira pingsan!"

 

Aku menengok sebentar ke arah sumber kepanikan. Benar saja, perempuan itu roboh di depan majikanku dan majikannya. Dasar! Belum apa-apa sudah membuat keributan saja!

 

Anehnya, aku tidak panik layaknya seorang suami yang mengkhawatirkan sang istri. Apalagi istri yang baru saja dihalalkan. Dalam hati, malah aku ingin senang.

 

"Huh! Pingsan aja, Ra, enggak usah bangun-bangun!  Aku ikhlas, kok, kalau langsung menduda."

 

Perempuan ini … belum apa-apa sudah merepotkan. Kulihat majikannya panik dan berupaya menyadarkan Aira. Sedangkan aku? Malah bingung.

 

Entahlah! Setelah ini bagaimana aku menjalani hidup dengan Aira. Apakah kami bisa membangun rumah tangga? Atau kami malah membangun rumah duka? 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status