4 tahun kemudian ....Sebuah keluarga kecil beranggotakan 4 orang melangkah turun dari pesawat. Kedua orang tuanya tersenyum lebar, doa mereka terkabul untuk bisa kembali menjajakkan kaki di pulau Kalimantan.Setengah berlari mereka mengejar langkah kedua bocah yang tak pernah lelah berlari."Ragil ... Rasya ... jangan lari-lari terus, bunda capek, Nak!" Seru Ibunya yang menggunakan baju gamis berwarna merah maron dengan jilbab hitam. Ia nampak kesulitan, mengejar dua bocah yang sedang lincah-lincahnya.Sang Bapak, yang mengenakan jaket berwarna senada, hanya geleng-geleng kepala sambil tertawa melihat tingkah kedua bocahnya.Dari jauh tampak dua orang berdiri, untuk menyambut kedatangan mereka. "Ibuuuu ....""Airaaa ...."Kedua wanita tersebut saling berpelukan menumpahkan kerinduan. Sementara kedua bocah yang tadi berlari-lari menyembunyikan wajah di belakang ayahnya."Hey, Ragil! Rasya! Sini ... ini juga Nenek dan Kakek" ucap Aira memperkenalkan Bu Indarti dan Pak Margono pada ked
Aira dan Zayen baru saja selesai salat subuh. Zayen masih saja mengajak Aira bermanja-manjaan dan melarang Aira keluar dari kamar. Aira terpaksa menuruti kemauan bayi besarnya tersebut."Zayen, Bank jauh gak dari sini?" Tiba-tiba Aira bertanya.Zayen diam tak menjawab."Zayeeen! Dengar enggak sih Aku nanya!" Sungut Aira kesal."Enggak!""Enggak kok jawab.""Panggil Aku, Mas dulu ... baru aku jawab!""Hedeeh! Iya ... iyaaa ... Mas Zayen Zeyeeeenggg. Bank jauh enggak dari sini?""Mau ngapain ke Bank?"Aira duduk di samping Zayen dan meraih tangan suaminya. "Kalau aku panggil sayang aja, enggak papa kan?"goda Aira tanpa menghiraukan pertanyaan Zayen sebelumnya."Terserah dah, penting jangan panggil nama, ya! Mau ngapain ke Bank?" Ulangnya."Ya ... ya ... ya ... Sayaang, tadi malam, Bu Indarti transfer uang kita yang udah masuk untuk bayar rumah sama motor yang disana dia bayar juga. Karena rumahnya sekarang ditempatin sendiri ama Niko, jadi uang kita total di ganti.""Oh, Gitu! Tapi bia
Zayen melihat raut wajah istrinya yang nampak gelisah. Ingin sekali ia membawa istrinya ke kamar dan bertanya. Tapi kerabat dan tetangga masih datang silih berganti. Bisa jadi bulan-bulanan dia, jika siang bolong ketahuan mengajak Aira ke kamar.Zayen tersenyum sendiri, ingat bagaimana pernikahan pertamanya dengan Aira yang penuh kepalsuan, bagaimana Aira pingsan setelah ia mengucapkan Ijab qobul, bagaimana mereka bertengkar sepanjang bulan madu yang penuh kepalsuan.Zayen sedikit heran dengan reaksi sebagian orang. Ia diam-diam memperhatikan mereka seperti menemoohkan istrinya. Mungkin itu sebabnya Aira gelisah. "Ah ... lambat kali matahari tenggelam," gumam Zayen dalam hati.Menjelang Ashar, kerabat sudah mulai pulangan. Rumah mereka mulai sepi. Aira dan Alya membersihkan sisa-sisa piring kotor yang belum di cuci. Sebagian tadi sudah di cuci oleh orang-orang yang berdatangan secara bergantian. Sementara itu Zayen membersihkan sisa-sisa sampah tisu dan Aqua yang masih berceceran.K
"Ada yang ngebet minta di halalin nih! Kayaknya ....""Ihhh ... Zayeeen!" Aira memukul lengan Zayen pelan."Eh, bukan ngebet ... kebelet!""Iiihhhh ...." Aira mencubit tangan Zayen sambil menunduk malu.Zayen tertawa gemas melihat tingkah Aira. Jika tidak berada ditempat umum sudah pasti di peluknya wanitanya itu."Yakin? Mau dihalalin lagi sama aku?"Aira mengangguk malu-malu."Tapi ..."Aira mendongakkan wajahnya harap-harap cemas, mendengar kata tapi dari mulut Zayen."Tapi apa?" Aira tak sabar."Tapi, aku enggak punya mobil. Enggak bisa beliin kamu berlian," ucap Zayen sambil tersenyum simpul.Aira mencubit pinggang Zayen berkali-kali dan menjawab," tapi kamu masih punya uang buat bayar penghulu kan?Lalu mereka tertawa berdua."Tapi, Zayen! Darimana dulu kamu bisa berpikir menyerahkan aku ke Niko, kaya barang aja!" Aira kembali merengut.Zayen menarik nafas panjang. Lalu mulai bercerita."Waktu malam, sebelum pagi-pagi Aku marah itu, ada nomor enggak kukenal ngirim video ke Aku."
"Tunggu!" Suara wanita memanggilnya. Aira membalikkan badan, rupanya mempelai wanita yang memanggil."Apa ... kamu bernama Aira?" Tanyanya."I-iya!" Aira menganggukkan kepalanya dan lanjut menunduk lagi."Masuklah!" Perintahnya kembali.Aira diam, tidak melangkah masuk juga tidak meneruskan keluar. Mempelai wanita tersebut berbisik ke telinga calon suaminya. Lalu suaminya mengangguk-angguk.Mempelai wanita tersebut mengisyaratkan kepada seseorang untuk membawanya ke kamar."Ayo!" Ia menghampiri Aira dan membawanya masuk ke kamar yang nampaknya merupakan kamar pasangan yang akan menikah. Aira menurut saja arah wanita tersebut menariknya, ia tak mengerti maksud perlakuan mereka."Disini dulu, ya! Sampai akad selesai. Kami khawatir kamu membuat keributan lagi!" ucap wanita tersebut sambil mengunci pintu kamar dari luar.Aira yang masih bingung dan malu hanya pasrah. Entah setelah itu apa yang akan mereka lakukan padanya, ia benar-benar sudah pasrah.Aira duduk di pinggir ranjang yang su
Aira mengecek jarak tempatnya berada dengan alamat Zayen. 30 menit, tertera. Aira segeara memanggil Gojek."Selama janur kuning belum melengkung, masih ada harapan," Aira nekad ingin menggagalkan akad nikah Zayen bagaimanapun caranya.Beruntung jalanan tampak senggang. Aira bisa sampai di alamat tujuan sesuai perkiraan waktu. Aira membayar gojek lalu melangkah menuju ke sebuah rumah yang nampak ramai. Aira melirik ke kanan-kiri, alamat tidak mencantumkan nomor rumah. Tapi ia yakin, di tempat yang ramai itulah akan berlangsung akad nikah.Aira berlari dan menerobos kerumunan orang. Belum nampak kedua mempelai yang akan melangsungkan akad nikah, karena acaranya masih setengah jam lagi."Hentikan!" Teriak Aira dengan suara lantang.Orang-orang yang semula riuh melihat kedatangannya, mendadak diam. "Ada apa ini? Kamu siapa?"Seorang lelaki tua menghampiri Aira yang masih berdiri dengan tubuh bergetar."Aku Aira, aku calon istri dari mempelai laki-lakinya," jawab Aira lantang.Suara orang