Ada rasa bersalah menelusup di hati Aira. Apalagi saatmengingat bagaimana Niko menjaganya di rumah sakit. Aira berusaha menyingkirkan rasa curiganya sejenak. Bagaimanapun juga, Niko adalah anak dari orang yang sudah memberinya kehidupan kedua. Perlahan ia mendekat daj menyentuh tangan Niko untuk membangunkannya. Alangkah terkejutnya Aira saat ia menyentuh lengan Niko. Kulit lelaki tersebut terasa menyengat. Rupanya Niko demam akibat tidur di luar semalaman bersama angin malam. "Nik ... Niko ... bangun Nik!" Aira menggoyang lengannya pelan.Niko membuka matanya dan langsung mengedarkan pandangannya ke sekeliling, seperti baru tersadar dari mimpi. Niko memegang kepalanya yang terasa pusing."Kenapa enggak pulang, sih Nik! Kalau kamu pulang kan enggak kaya gini jadinya. Mana di rumah enggak ada stok obat penurun panas lagi," sesal Aira.Niko menggeleng dengan lemah. Aira bingung harus berbuat apa. Akhirnya Aira membawa Niko kembali masuk dengan menggandengnya pelan. "Berbaringlah di si
"Baik, Bu." Karena memang masih dilanda rasa bersalah, Aira langsung menyanggupi permintaan Bu Indarti. Aira segera menuju ke kamar Niko.Aira menatap punggung Niko yang membelakanginya. Lagi-lagi ia berhalusinasi jika Niko adalah Zayen."Zayen," desisnya tanpa sadar. Niko sontak membalikkan badan dan menatap Aira dengan wajah sayu dan pucat. "Za ... Eh, Nik!" Panggilnya gugup karena menyadari salah menyebut nama.Aira mendekat dan langsung mengangkat nampan, memindahkannya ke dekat Niko."Makanlah," ucap Aira dengan nada kaku."Hemm ... suapin!" Rengek Niko manja.Aira menarik napas kesal. Tapi tak ingin menambah rasa bersalah, Aira segera meraih sendok dan mulai meyuapkan makanan ke mulut Niko.Hati Aira tiba-tiba merasa sangat sedih. Ia membayangkan sedang menyuap Zayen makan. Hayalan konyol yang membuatnya tersenyum getir, karena tau itu tak akan pernah terjadi.Aira melihat Niko memandangnya seperti orang keheranan setiap ia habis menyuapi makanan. Hingga sampai suapan terakhi
Pagi-pagi Aira sudah menyibukkan dirinya di dapur. Walaupun Bu Indarti melarangnya untuk bekerja, tapi ia menolak dengan dalih sudah sehat dan tak enak jika berdiam diri. Sesungguhnya Aira berusaha mengalihkan pikirannya dari Zayen. Setiap teringat Zayen, Aira selalu ingin menangis."Aira, kamu antarkan makanan lagi buat Niko, ya?" ucap Bu Indarti setelah mereka selesai menyiapkan makananan.Aira terdiam. Enggan sekali rasanya. Tapi untuk menolak juga sungkan."Ra! Kamu keberatan ya?"Aira menggeleng sambil menyunggingkan senyum yang sangat dipaksakan."Sepertinya, Niko selera makannya muncul kalau kamu yang antar, Ra!" tutur Bu Indarti."Baik, Bu," jawab Aira sambil mengangguk.Bu Indarti menyunggingkan senyum sambil meletakkan semua makanan untuk Niko yang masih terbaring di kamarnya ke dalam nampan."Sudah nih! tinggal kamu bawa," ucap Bu Indarti pada Aira.Aira meraih nampan dan melangkah dengan berat hati menuju kamar Niko. Pintu kamarnya sudah terbuka, jadi Aira langsung saja ma
"Udah selesai makannya, Ra?" tanya Bu Indarti melihat Aira melangkah dengan tergesa menuju dapur. "Udah, Bu. Emang Niko lagi enggak selera makan. Ini cuma dimakan separuh," sahut Aira sambil menuang sisa makanan Niko ke tempat pembuangan. "Oh, tapi mendinganlah, daripada enggak makan. Selama Niko sakit dan kamu juga belum sehat total, kamu enggak usah ngerjain apa-apa dulu di dapur, ya. Biar saya yang urusin semuanya. Tugasmu cuma nemanin Niko makan, terus kamu istirahat.""Kok gitu, Bu?" Aira mengerutkan dahi. "Ya ... biar kalian berdua sama-sama cepat pulih. Kalau perlu, kamu sama Niko sering-sering makan bareng. Biar selera makan. Atau kalian mau makan di luar berdua? Siapa tahu bosan sama masakan rumah?" tawar Bu Indarti sambil tersenyum. Penawaran Bu Indarti sontak membuat Aira menggeleng tegas. "Sa-ya ... permisi ke kamar dulu, Bu," pamit Aira. Ia merasa Bu Indarti seperti sedang berusaha mendekatkan dirinya dengan Niko."Iya, silahkan," sahut Bu Indarti sambil tersenyum ra
Aira memandang Niko. Niko membuang muka berpura-pura memandang ke arah lain. Malu rasanya jika ia mengingat bagaimana ia memaksa perasaannya pada Aira di Taman Cerdas saat itu. Apalagi status Aira saat itu masih sebagai istri orang."Benar, Pak!" Kali ini Aira bersuara menjawab. Dalam hatinya masih kesal dan menganggap Niko biang masalahnya dengan Zayen."Niko!" Panggil Pak Margono.Niko terperanjat. Sungguh dia tak siap jika papanya bertanya macam-macam."Kamu benar-benar menyukai Aira? Sejak kapan?"Niko menggaruk-garuk tengkuknya. Ingin rasanya ia melarikan diri dari depan keluarganya saat itu juga. Ia benar-benar malu akibat tingkahnya sendiri."Niko! Benar kamu menyukai Aira?" ulang Pak Margono setengah membentak.Niko mengangguk sambil menunduk. Sungguh ia merasa sangat malu mengakui perasaannya yang tak lazim di depan seluruh keluarganya."Sejak kapan?" Pak Margono menatap putranya lekat-lekat.Niko menggeleng dengan kepala yang semakin tertunduk.Pak Margono menghela nafas be
Aira memandang wajah Bu Indarti yang nampak penuh pengharapan. Majikan yang sedari dulu memang selalu memperlakukan dirinya seperti anak sendiri. Demi melihat wajah teduh itu tetap bahagia, Aira meraih kembali pulpen yang semula terlepas dari genggaman.Aira segera meraih surat cerai tersebut. Walaupun tangannya masih gemetar namun, Aira tetap berusaha menandatangani kolom di atas nama lengkapnya.Setelah ditandatangani oleh Aira, Bu Indarti kembali meraih surat cerai tersebut dan memasukkan ke dalam amplop semula. Setelah itu ia meletakkan surat cerai tersebut di samping tempat duduknya.Sejak detik itu, Aira mengakhiri kisahnya dengan Zayen. Namun demikian, rindunya masih tersimpan dan berlanjut untuk Zayen di dalam segumpal daging bernama hati.Usai menandatangi surat cerainya, Aira kembali menangis sesenggukan. Aira beranjak meninggalkan Bu Indarti, Pak Margono, dan Niko ke kamarnya. Ada rasa sakit yang tak terhingga menempel di hatinya. Dulu Aira pernah menginginkan berpisah dar
Tok ... tok ... tok ....Aira yang masih terlelap samar-samar mendengar pintu kamarnya di ketuk. Aira mendorong selimut yang masih menutupi kakinya lalu beranjak bangun. Aira menatap wajahnya di cermin. Terlihat sembab dan pucat, kantung matanya tampak jelas, akibat terlalu banyak menangis dan kurang tidur. Aira menatap jam dinding."Astaga! Sudah jam 07. 00. Belum menyiapkan sarapan!" Aira bergumam pada dirinya sendiri dengan panik. Aira segera membuka pintu, tampak Bu Indarti berdiri di depannya."Maaf, Bu ... semalam Saya tidur kemalaman. Jadi kesiangan, kenapa Ibu enggak bangunin?" Aira menunduk sambil bertanya sekaligus meminta maaf. Harusnya jam segini sarapan sudah siap di meja makan."Hehehehh ... kenapa Ibu harus membangunkan calon menantu Ibu, sedangkan kondisinya sedang tak sehat," ucap Bu Indarti membuat Aira tertegun sejenak mengingat malam tadi ia menerima permintaan keluarga majikannya. Aira yang baru bangun tidur, masih seperti orang linglung mengikuti langkah Bu I
Aira meletakkan tas dan sebuah koper kecil di depan, lalu duduk memegang stang bersiap menuju rumah lamanya. Aira bersiap meninggalkan kediaman Bu Indarti walaupun besok tetap kembali lagi untuk bekerja seperti biasanya. Aira melajukan kecepatan motornya dengan santai, membelah jalanan yang tampak rame di jam orang-orang bersantai.Beberapa saat kemudian, Aira tiba di rumah kecil yang begitu ia rindukan. Setelah memarkirkan sepeda motor Zayen yang kini menjadi miliknya, Aira terdiam sejenak memandang rumah mungil yang menyimpan banyak cerita tentang dirinya dan Zayen. Airmatanya menetes membasahi pipi, kesedihan seakan-akan mengucapkan selamat datang padanya.Aira menyeka air mata lalu melangkah memasuki rumahnya dengan penuh harapan, agar dapat menggapai kehidupan yang lebih baik lagi di hari esok dan seterusnya.Dengan tangan gemetar, Aira membuka pintunya perlahan-lahan. Baru saja ia melangkahkan kaki melewati pintu, ingatannya kembali melayang ketika pertama kali memasuki rumah te