“Lelaki itu tidak akan datang ke sini, Tante. Dia sudah aku beri alamat palsu,” ungkapku sembari mencomot salah satu hidangan yang baru saja selesai disiapkan oleh tanteku, Tante Ema.
“Kau memberi Aldo alamat palsu? Kenapa, Mika?” tanya Tante Ema terheran-heran.
“Biar Aldo tersesat, putus asa, kemudian pulang ke rumahnya.”
Mimik wajah Tante Ema mengeras, tidak seramah sebelumnya. Gurat amarah yang tergambar di wajahnya pun memancarkan aura intimidasi yang belum pernah aku lihat.
“Bod*h! Kau bod*h, Mika! Aldo itu tertarik padamu, tapi kau justru memberinya alamat palsu. Dasar bod*h!”
“Aldo sama sekali tidak tertarik padaku, Tante. Aldo mendekatiku agar bisa mencari tahu segala hal yang disukai Vanya.”
Aku menunjuk Vanya, adikku satu-satunya. Sedari tadi dia duduk di ujung meja makan sembari memperhatikan aku yang baru kali ini berani berdebat dengan Tante Ema.
Ya, aku baru kali ini menyuarakan isi hatiku bahkan kekesalanku kepada seorang tante yang hampir setiap saat mengaturku. Biasanya aku menurut dengan tutur katanya, karena beliaulah yang menjagaku sejak enam tahun lalu, yakni sejak ibu dan ayahku resmi berpisah.
“Aku? Ada apa denganku, Kak? Aku bahkan tidak mengenal lelaki yang kakak sebutkan.” Vanya angkat bicara.
“Kau memang tidak mengenalnya, tapi kau begitu menarik di matanya.”
“Oh. Ya wajar saja kalau aku terlihat lebih menarik. Aku, kan, pakai lipstik. Tidak seperti kakak.”
“Vanya!” seruku pada adikku sembari melebarkan bola mataku.
Adikku itu sungguh keterlaluan. Sudah berulang kali dia menyindirku yang memang tidak suka memakai lipstik. Sindiran itu sering diucap sejak sebulan lalu, yakni sejak aku memergoki dia yang hampir bercumbu dengan kekasihnya.
Vanya mengabaikan seruanku lantas menuju kamarnya. Kini, tersisa aku bersama Tante Ema.
“Mika, apa benar yang kau katakan tadi? Aldo tertarik pada Vanya?” tanya Tante Ema yang sudah mengganti mimik wajahnya, dari yang semula dipenuhi amarah, kini yang tergambar di wajahnya adalah rasa penasaran yang teramat nyata.
“Tante, apa aku terlihat sedang berbohong?”
“Tinggal jawab saja apa susahnya, sih? Aldo tertarik dengan Vanya atau tidak?” tanya Tante Ema sekali lagi dengan nada kesal.
“Iya,” jawabku singkat.
“Rasa-rasanya itu tidak mungkin terjadi. Vanya itu sudah punya kekasih.”
Entah lupa atau memang Tante Ema pura-pura lupa, aku tidak mengetahuinya. Padahal, Tante Ema sendiri yang sebulan lalu menjadi saksi ketika aku bertengkar hebat dengan adikku. Pertengkaran itu terjadi setelah aku mengusir kekasih adikku dari rumah usai aku memergoki mereka berdua.
“Tunggu? Apa Vanya putus dengan kekasihnya gara-gara kau usir dia dari rumah?”
Melihat dari pertanyaan Tante Ema, sepertinya tanteku itu memang tidak tahu kejadian setelahnya. Lekas kupejamkan mata sebentar, meredam gejolak amarah dalam dada yang tak karuan, lantas kutegaskan dengan gamblang.
“Iya. Vanya putus dengan kekasihnya gara-gara aku. Dan, itu jauh lebih baik daripada mereka berbuat sesuatu di luar batasan sebelum halal.”
“Ck! Kasihan sekali Vanya. Pantas saja sikapnya jadi dingin akhir-akhir ini,” ujar Tante Ema yang tak segan menunjukkan simpatinya pada Vanya.
Aku tidak terima dengan sikap pilih kasih yang sejak lama diperlihatkan oleh Tante Ema. Ya, tanteku itu memang lebih menyayangi Vanya. Alasannya cukup sederhana, karena adikku itu memiliki selera yang sama dengan Tante Ema. Cara berpakaian, cara dandan, bahkan selera mereka dalam memandang seorang lelaki pun sama.
“Mika, sekarang juga kau hubungi Aldo! Kirimi dia alamat rumah ini!” perintah Tante Ema tiba-tiba.
“Buat apa lagi, Tante? Aldo tidak tertarik padaku. Sedari awal dia hanya tertarik pada Vanya!” tegasku dengan nada bicara yang lebih meninggi.
“Kau masih tanya alasannya apa? Tentu saja biar Aldo berkenalan dengan Vanya.”
Ucapan Tante Ema benar-benar menyakiti hatiku. Semakin terlihat saja, sedang di pihak mana Tante Ema membela. Jelas-jelas bukan di pihakku, dan itulah yang tengah menyakiti hatiku.
“Aku tidak mau!” tolakku dengan tegas.
“Sejak kapan kau berani membantah perintah tantemu, Mika?”
“Sejak sekarang dan seterusnya. Aku lelah selalu mengalah dari Vanya.”
“Kau iri dengan adikmu yang bisa selalu tampil cantik? Iya?”
“Aku tidak mengatakan seperti itu, Tante. Aku sama sekali tidak iri. Aku juga cantik, kok, meski tanpa lipstik.”
“Kalau kau cantik, kenapa sampai sekarang tidak ada yang melirik, ha?”
Deg!
Aku tersinggung, tapi aku tidak mau terlihat lemah di depan Tante Ema. Sudah cukup aku menjadi Mika yang penurut, tapi selalu direndahkan dan dibanding-bandingkan dengan Vanya. Aku akan berubah menjadi seorang Mika yang lebih tegas agar memiliki kehidupan yang lebih bebas.
“Jika Tante Ema mau menjodohkan Aldo dengan Vanya, silakan saja! Tapi, jangan melibatkan aku di dalamnya! Permisi!”
Aku beranjak dari kursi lantas mengambil dua roti keju yang tadinya akan dihidangkan untuk Aldo. Roti-roti itu aku bawa serta menuju kamar tanpa menghiraukan gerutuan Tante Ema.
Pintu kamar aku tutup perlahan. Aku duduk di tepian kasur, lantas memakan salah satu roti keju yang sebelumnya aku ambil. Aku marah, tapi aku cukup rasional untuk tidak mengabaikan rasa lapar.
“Aku cantik. Aku baik. Aku menarik,” ucapku memberi afirmasi positif pada diriku.
Usai menghabiskan sepotong roti, langkah kaki kuayunkan menuju depan cermin yang tertempel di almari pakaian. Aku perhatikan pantulan diriku yang ramping, tinggi, dan cukup berisi.
“Banyak yang menginginkan tubuh ideal yang aku miliki. Lalu, kenapa aku harus berkecil hati?” Aku bermonolog sembari tetap memperhatikan pantulan diri.
“Umurku masih dua puluh delapan tahun. Belum terlalu tua juga untuk bisa dikatakan tidak laku-laku karena usia. Aku belum menikah karena belum bertemu dengan lelaki yang tepat saja. Bukan gara-gara tidak pakai lipstik seperti yang dikatakan Tante Ema ataupun Vanya.”
Kalimat yang baru saja aku ucap tak lain untuk memberiku semangat. Karena, siapa lagi yang mau membelaku di rumah ini? Vanya tidak akan menghiraukanku. Sementara Tante Ema, dia sudah pasti lebih memedulikan Vanya dibanding diriku.
Roti keju yang tinggal sepotong aku lahap pula demi mengembalikan mood. Dalam sekejab roti itu habis, tapi moodku belum membaik.
Perhatianku teralih ke arah meja yang biasa aku gunakan untuk meletakkan beberapa perlengkapan make up. Ya, meski kurang suka dandan, tapi aku memiliki beberapa alat make up. Akan tetapi, perlengkapan make up yang ada di kamarku tidak selengkap di kamar Vanya.
Aku hanya memiliki pelembab wajah, bedak, dan lip balm. Ada foundation pula, tapi jarang sekali aku gunakan. Lipstik? Aku pernah membelinya, tapi lama sekali tidak aku gunakan karena kurang nyaman. Entah kenapa, rasa-rasanya kepercayaan diriku menurun begitu memakai lipstik.
“Apa aku salah jika memilih tampil natural tanpa lipstik? Bukankah setiap orang punya hak untuk memilih rasa nyamannya sendiri? Tapi, kenapa Tante Ema dan Vanya justru menyindirku? Apa karena seleraku tidak sama seperti mereka?” Aku kembali bermonolog, melontar banyak tanya tanpa mendapat satu pun jawaban.
Bug!
Kepalan tangan kananku mendarat di atas meja rias dengan spontan sebagai luapan rasa kesal. Lantaran hentakan tanganku terlalu keras, beberapa benda sampai terjatuh dan menggelinding.
Rupanya, kegaduhan yang baru saja kubuat terdengar dari luar sampai membuat Tante Ema menggedor pintu kamarku.
“Mika! Ribut-ribut apa itu di dalam? Cepat keluar!” seru Tante Ema di depan pintu kamarku.
Aku enggan menanggapinya, apa lagi usai kejadian beberapa menit lalu. Jika aku meladeni lagi, ujung-ujungnya pasti aku dibanding-bandingkan lagi dengan Vanya.
“Mika! Cepat keluar!”
Seruan kedua dari Tante Ema menjadi tanda bahwa aku harus segera keluar menemuinya. Baik, aku putuskan untuk keluar kamar demi mengakhiri gedoran keras yang semakin membuat kegaduhan.
“Keluar juga kau akhirnya.”
Aku tidak menjawab. Sejujurnya aku masih kesal dengan kejadian tadi.
“Ada Aldo di teras depan. Temui dia!” ungkap Tante Ema tiba-tiba.
Aku terheran. Ada Aldo di teras depan? Kenapa bisa? Bukankah aku sudah memberinya alamat palsu? Juga, bukankah aku sudah terang-terangan mengungkap fakta tentang Aldo di hadapan Tante Ema dan Vanya? Lantas, untuk apa Tante Ema memintaku menemui Aldo?
“Malah bengong kau! Buruan ke teras depan!” desak Tante Ema yang sama sekali tidak menunjukkan mimik wajah ramah.
“Tapi, Tante.”
“Tidak ada tapi-tapian. Temui dia sekarang. Jawab pertanyaannya tanpa dilebih-lebihkan. Dan, ingat! Jaga sikap!”
Tante Ema berlalu pergi sebelum aku benar-benar membuat opini. Jadilah, aku putuskan untuk menemui Aldo di teras depan rumah.
Langkah kakiku baru sampai di ruang tamu, tapi Tante Ema sudah kembali memanggilku. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini nada bicara Tante Ema dibuat lembut dan pelan. Sepertinya tanteku itu khawatir jika Aldo sampai mendengar karena posisi ruang tamu dan teras depan tidaklah terlalu jauh. “Suguhkan ini untuk Aldo. Ingat, kalau kau memang menolak, beri kesempatan Aldo dan Vanya untuk lebih dekat,” pesan Tante Ema sembari menampilkan senyuman. Senyum pembelaan untuk Vanya, begitulah aku menilainya. Aku tidak membantah, tapi juga tidak mengiyakan pesan Tante Ema. Sikapku sengaja aku buat datar. Berharap Tante Ema akan sadar bahwa sebenarnya aku enggan. Lagkah kakiku kembali terayun menuju teras depan rumah sambil membawa setoples kue mawar dan segelas air mineral lengkap dengan sedotannya. Seperti sebelum-sebelumnya, Aldo selalu menampilkan senyum ramah ketika menyambutku. Sayangnya, aku telah tahu bahwa senyuman itu palsu. “Halo, Mika. Selamat malam,” sapa Aldo sembari menerima set
Keadaan benar-benar tidak pernah bisa aku duga. Aldo terdiam bukan karena memikirkan jawaban atas pertanyaanku, melainkan karena ada adikku berdiri di ambang pintu. “Kakak ketus benar, sih, sama Kak Aldo!” gerutu Vanya yang sepertinya sudah banyak mendengarkan obrolanku dengan Aldo.“Kamu nguping, ya?” tanyaku blak-blakan.“Iya. Aku memang menguping.”Entah apa yang ada di pikiran Vanya kali ini. Apa iya dia mau balas dendam atas kejadian di bulan lalu? Tapi, mana mungkin? Adikku itu bukanlah tipe pendendam. Dia hanya ketus dan lebih suka blak-blakan menyindirku sejak sebulan lalu. Mungkinkah Tante Ema yang menyuruhnya?Pertanyaan itu terbersit begitu saja di benakku. Aku curiga kepada Tante Ema. Lekas kuedarkan pandangan menuju dalam rumah, tapi tidak kujumpai sosoknya di dalam sana.“Untuk apa kamu menguping pembicaraanku dan Aldo?” tanyaku pada adikku.“Sengaja, buat jaga-jaga seandainya Kak Aldo jadi korban kegalakan Kak Mika.”“Inisiatifmu atau kamu disuruh?” tanyaku lagi, memas
Semalam, aku putuskan untuk tidak terbawa arus perasaan. Buat apa menjadi orang lain, di saat orang lain begitu ingin berada di posisiku? Pikiran itulah yang semalam berhasil membuatku lebih tenang, lantas aku pun tertidur lelap hingga pagi menjelang. Aku adalah seorang pebisnis muda yang bisa dikatakan cukup berhasil mengelola toko bunga yang aku rintis sejak tiga tahun lalu. Saat ini aku memiliki dua orang karyawan serta mitra kerja dari beberapa kota. Perihal fisik, ya, aku cantik. Bukan bermaksud ke-PD-an, tapi memang itulah yang kerap orang katakan. Orang bilang, hanya satu kekuranganku, yakni jarang terlihat dandan khususnya memakai lipstik dalam keseharian. “Kak Mika mau berangkat ke toko bunga pukul berapa?” tanya Vanya dengan senyum ceria. Tanpa aku bertanya pun sudah dapat kutebak jawabannya. Perubahan sikap yang mendadak ramah di pagi ini terjadi lantaran Vanya telah kembali mendapat seorang kekasih. “Seperti biasa. Pukul setengah delapan pagi. Kamu mau mencoba cari p
Tubuhku terpaku, sementara pandangan mataku tetap tertuju pada Tante Ema dan Om Aldi. Ya, pria paruh baya yang masih duduk santai di sofa tunggu itu lebih pantas aku juluki om-om.“Gimana, Al? Apa kalian sudah saling mengenal?” tanya Tante Ema kepada Om Aldi.Kudapati Om Aldi tidak menjawab. Akan tetapi, pandangan matanya tiba-tiba saja tertuju padaku. Secepat kilat, kuubah perhatianku menuju arah lainnya. Aku sungguh tidak ingin melihat kedipan genit seperti sebelumnya. Lantas, ah, sepertinya firasatku memang benar tentang Tante Ema yang akan memperkenalkan Om Aldi padaku.“Mika,” panggil Tante Ema tiba-tiba.Mau tidak mau aku harus membalikkan badan dan melihat ke arah Tante Ema.“Ke mari sebentar!” titah tanteku.Sebenarnya aku enggan, tapi aku tidak ingin membuat kegaduhan. Aku tahu betul watak Tante Ema. Meski sekarang ini aku sudah berani membela diri, tapi adanya perang kata benar-benar harus aku hindari.“Iya, Tante. Ada apa?” tanyaku dengan mimik wajah biasa.“Kenalkan. Ini n
Semua mata tertuju pada sang lelaki berkacamata. Kehadirannya yang tak disangka benar-benar mencipta aksi heroik yang teramat nyata. “Lepaskan tanganku!” seru Tante Ema sembari menghempaskan tangannya dengan kasar hingga terlepas. “Tangan Anda sudah terlepas. Itu artinya dia bebas!” tegas sang lelaki sembari menunjuk ke arahku. Wajah Tante Ema tampak merah padam. Amarahnya membuncah lantaran lelaki berkacamata itu memberiku pembelaan. “Berani-beraninya kau membela dia, ha? Siapa kau?” tanya Tante Ema seraya meninggikan suara, bahkan bola matanya pun melebar dengan disengaja. “Saya hanya orang asing yang kebetulan melihat adegan perundungan,” ungkap sang pria dengan masih menampilkan keberaniannya kepada Tante Ema. “Perundungan katamu? Dia ini keponakanku! Mana mungkin aku tega melakukan hal merugikan seperti itu!” ucap Tante Ema sembari makin meninggikan suara. Ingin rasanya aku menyuarakan protesku atas jawaban Tante Ema. Tidak tega katanya? Lalu, apa yang baru saja hendak Tant
Fakta tentang Putra yang telah memiliki kekasih, membuatku patah hati. Perasaan indah itu aku lambungkan sendiri, lantas aku pun terjatuh seorang diri. Sekuat tenaga aku mencoba tetap berdiri tegak sembari menyembunyikan mimik wajah kecewa. Buket bunga mawar merah yang telah jadi itu terus aku pegang sambil menampilkan senyuman palsu. “Wahai hati, tenanglah!” seruku dalam hati. Tidak butuh waktu lama bagi Putra untuk segera mengakhiri telepon dengan kekasihnya. Hanya lima menit saja. Tapi, waktu lima menit itu bagiku terasa sewindu. Bagaimana tidak terasa sewindu kala hatiku merasakan kekecewaan, pikiranku tak karuan, tapi aku harus tetap terlihat tegar. Lelah nian mengusahakan untuk bertahan di saat setiap kalimat yang aku dengar dari Putra tersemat kata sayang untuk kekasihnya. “Semangat!” ucap Putra tiba-tiba. “Eh?” Aku yang tak paham justru menampilkan mimik wajah heran. Semangat? Semangat untukku atau untuk siapa? Apa iya Putra benar-benar cenayang? Kenapa dia bisa tahu k
Bukan hanya aku yang terheran, Tante Ema pun demikian. Sementara Vanya, adikku itu masih saja menampilkan mimik wajah kecewa. Kedua telapak tangannya juga tampak mengepal sabagai tanda adanya gemuruh rasa kesal. “Vanya, jangan bercanda!” seru Tante Ema yang kalimatnya masih mengandung unsur ramah. Perlakuannya benar-benar berbeda ketika tadi Tante Ema menuduhku. “Aku tidak sedang bercanda! Aku kecewa! Kecewa pada kalian berdua!” sahut Vanya yang samakin lama semakin meninggikan suaranya. “Vanya, Sayang. Tenang dulu, dong! Ceritakan baik-baik apa yang sebenarnya telah terjadi,” ucap Tante Ema yang justru nada bicaranya semakin ramah, seolah memaklumi Vanya. Oh Tuhan, ingin rasanya aku cemburu dengan perlakuan berbeda yang kini terpampang nyata di hadapanku. Kenapa Tante Ema begitu baik pada Vanya? Bahkan, ketika Vanya mengaku berbuat salah pun masih saja dimaklumi olehnya? Lalu, bagaimana dengan aku di sini? Bukankah aku juga keponakannya? Kenapa Tante Ema memberiku perlakuan yang
Sungguh baru kali ini aku melihat Tante Ema membentak Vanya. Terkejut? Sudah pasti iya. Bukan hanya aku saja yang terkejut, Vanya sampai tersentak kaget juga. “T-tante bilang aku bodd*oh?” tanya Vanya dengan setengah terbata. “Iya. Kau tidak salah dengar. Mencintai lelaki itu boleh saja, tapi jangan sampai buta karenanya!” tegas Tante Ema menasihati Vanya dengan nada meninggi yang biasa ditujukan padaku. Aku melihat perubahan ekspresi adikku itu. Agaknya dia belum terbiasa dengan sikap Tante Ema yang demikian. Kalau aku … ah, jangan ditanya lagi. Sekarang aku sudah jadi seberani ini lantaran telah fasih. “Sekarang kau malah diam saja. Sudah paham?” Sekali lagi Tante Ema bertanya dengan nada yang dibuat meninggi. Sungguh, ini baru pertama kalinya bagiku melihat Vanya dibentak-bentak Tante Ema. Adikku itu terlihat tak berdaya, buktinya tadi sampai terbata dan kini diam saja. Lebih tak terduga lagi, satu anggukan juga diberikan olehnya. Syukurlah jika Vanya telah memahami. Hatiku le