Langkah kakiku baru sampai di ruang tamu, tapi Tante Ema sudah kembali memanggilku. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini nada bicara Tante Ema dibuat lembut dan pelan. Sepertinya tanteku itu khawatir jika Aldo sampai mendengar karena posisi ruang tamu dan teras depan tidaklah terlalu jauh.
“Suguhkan ini untuk Aldo. Ingat, kalau kau memang menolak, beri kesempatan Aldo dan Vanya untuk lebih dekat,” pesan Tante Ema sembari menampilkan senyuman.
Senyum pembelaan untuk Vanya, begitulah aku menilainya. Aku tidak membantah, tapi juga tidak mengiyakan pesan Tante Ema. Sikapku sengaja aku buat datar. Berharap Tante Ema akan sadar bahwa sebenarnya aku enggan.
Lagkah kakiku kembali terayun menuju teras depan rumah sambil membawa setoples kue mawar dan segelas air mineral lengkap dengan sedotannya.
Seperti sebelum-sebelumnya, Aldo selalu menampilkan senyum ramah ketika menyambutku. Sayangnya, aku telah tahu bahwa senyuman itu palsu.
“Halo, Mika. Selamat malam,” sapa Aldo sembari menerima setoples kue mawar yang aku sodorkan.
“Selamat malam. Duduklah dan silakan dimakan kue mawarnya! Itu, sekalian minumnya habiskan biar tidak tersedak saat makan,” ujarku panjang lebar tanpa sungkan.
Sejak awal bertemu, yakni dua pekan lalu, aku sudah terbiasa berbicara panjang lebar kepada Aldo. Apa lagi tujuannya kalau bukan untuk mengakrabkan diri dengan lelaki yang menurut Tante Ema tertarik padaku.
Ya, aku mengenal Aldo dari Tante Ema sekitar sebulan lalu, terpaut beberapa hari sebelum pertengkaran hebat dengan adikku. Namun, aku baru mau bertemu dengan Aldo dua pekan lalu. Pertemuannya pun terbatas hanya di toko bunga yang aku kelola. Selebihnya, kami tidak pernah jalan-jalan keluar, makan bersama, apa lagi sampai kencan.
Ketika masa perkenalan yang semula aku anggap sungguhan, aku merasa nyaman karena Aldo tidak pernah menuntutku untuk ini dan itu. Topik bahasan yang kami pilih di setiap pertemuan juga lebih sering membahas tentang hobi.
Hanya sebatas itu sampai akhirnya Aldo mulai banyak bertanya tentang Vanya. Sejak saat itu rasa nyamanku berkurang. Aku menyimpulkan bahwa Aldo tidak pernah tertarik padaku. Dia mendekatiku hanya untuk mencari tahu segala hal tentang Vanya, adikku.
“Mika, kamu cantik sekali malam ini,” puji Aldo tiba-tiba usai menghabiskan sebutir kue mawar yang aku suguhkan.
“Terima kasih atas pujiannya. Tapi, benarkah aku cantik?” tanyaku dengan sengaja untuk memancing kalimat selanjutnya.
“Ya. Kamu cantik, Mika. Aura cantikmu terpancar natural meski ….”
“Meski tanpa lipstik?” sahutku dengan segera, memotong ucapan Aldo begitu saja.
Tampak Aldo menggelengkan kepala, lantas menampilkan senyuman ramah.
“Mika, bukan itu yang mau aku katakan.”
“Lalu, apa?”
“Aura cantikmu terpancar natural meski kamu tidak suka dandan,” imbuh Aldo dengan ringan kata dan ekspresi yang tetap ramah.
Omong kosong. Jujur saja, dadaku bergemuruh ketika mendengar ucapan Aldo. Perihal dandan yang semula menjadi perdebatan bersama Tante Ema dan Vanya di meja makan, kini kembali dibahas oleh Aldo. Wajar bila aku merasa sesak di dada karena sebal berkelanjutan.
“Mika, kamu kenapa? Apa ada ucapanku yang salah?” tanya Aldo yang pastinya sudah menangkap perubahan mimik wajahku.
“Ucapanmu tidak salah, Aldo. Aku memang jarang dandan, apa lagi memakai lipstik.”
Aku memilih membenarkan agar tidak terkesan terlalu menyudutkan. Lagi pula memang benar, aku jarang sekali dandan. Jadi, tidak ada yang salah dengan ucapan Aldo. Momennya saja yang kurang pas, sehingga hatiku memanas.
“Oh, ya. Aku punya hadiah untukmu. Semoga kamu suka,” ungkap Aldo tiba-tiba yang seketika itu mengubah topik bicara.
Aldo menyodorkan paper bag berukuran kecil. Entah apa isi di dalamnya. Aku berharap bukan sesuatu yang bisa membuatku kembali dipenuhi amarah.
Aku ambil hadiahku, tapi tidak langsung melihat isi paper bag-nya. Satu hal yang kini begitu membuatku penasaran dan ingin segera mendapat jawaban. Yakni, tentang alamat palsu dan fakta tentang Aldo yang ternyata tidak tersesat jalan.
“Aldo, aku lupa bertanya padamu. Apa kamu kesulitan menemukan rumahku?” tanyaku sambil menggenggam erat ujung paper bag yang berisi hadiah dari Aldo.
“Awalnya iya. Untungnya Tante Ema segera mengirimiku pesan.”
“Pesan apa?” tanyaku yang sudah semakin penasaran. Aku khawatir Tante Ema menjelaskan yang macam-macam.
“Tante Ema bilang, kamu salah kirim pesan. Lalu, aku dikirimi alamat yang benar. Beruntungnya lagi, tempatku tersesat tidak jauh dari rumahmu ini.”
Penjelasan Aldo membuatku sedikit lega. Aku kira Tante Ema juga akan menceritakan perdebatan kecil di ruang makan. Syukurlah karena yang dikirimkan hanya pesan alamat yang benar.
“Aku … minta maaf tentang alamat yang aku kirimkan padamu,” ucapku tanpa membeberkan alasan yang sebenarnya.
“Tidak masalah. Aku pun kadang sering salah mengirim pesan kalau sedang kebingungan. Pasti kamu gerogi, ya, karena aku akan datang bertamu?”
Entah harus bagaimana aku menyikapi ucapan Aldo. Ingin senang, tapi yang aku rasakan tidaklah demikian. Ingin marah, tapi Aldo belum tahu bahwa aku sudah mengetahui niatan terselubungnya untuk mendekati Vanya.
“Boleh aku intip hadiahku?” tanyaku yang akhirnya memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.
“Silakan. Semoga kamu menyukainya, ya. Aku yakin sekali, begitu kamu memakainya, pasti aura kecantikanmu semakin bertambah.”
Deg!
Baru saja Aldo selesai berucap, dadaku kembali bergemuruh hebat. Seketika rasa kesal dalam diriku bertambah seiring dengan jenis hadiah yang kini sudah tertangkap bola mata.
“Lipstik?” ucapku lirih sembari memegang hadiahku.
“Bagaimana? Kamu suka? Aku yakin sekali kamu akan terlihat berkali-kali lipat lebih cantik kalau memakai lipstik. Seperti adikmu, Vanya.”
Deg!
Kenapa harus dibandingkan lagi dengan Vanya? Iya, dia memang lebih terlihat menarik karena sering tampil cantik dengan lipstik. Tapi, tidakkah lelaki di hadapanku ini tahu perasaanku? Bisakah dia membuatku merasa cantik tanpa menyamakan apa lagi sampai membandingkan diriku dengan adikku?
Aku rasa Aldo tidak akan bisa seperti itu karena yang sedari awal dia incar adalah Vanya, bukan aku. Sedari awal dia hanya tertarik pada Vanya, bukan aku.
“Mika, ada apa denganmu? Kamu terlihat sedang menahan sesuatu?” tanya Aldo ketika mendapati aku menarik nafas dalam lantas menghembuskannya dengan kasar.
“Iya. Aku sedang kesal!” sahutku ketus.
“Kesal kenapa? Apa ada kata-kataku yang menyinggungmu?”
“Iya. Kata-katamu menyinggungku! Hadiahmu ini juga menyinggungku!”
Nada bicaraku meninggi karena tidak lagi bisa menahan emosi.
“Maaf, Mika. Bagaimana bisa hadiah ini menyinggungmu?”
Sebenarnya aku enggan menjelaskan, karena prasangka orang siapa yang tahu. Sejauh ini, begitu aku mencoba memberi penjelasan, seperti pada Tante Ema ataupun Vanya, prasangka yang aku dapatkan justru membuatku semakin tersudutkan.
Oleh mereka, aku diaggap iri dengan adikku sendiri. Sungguh, aku sama sekali tidak iri. Aku hanya sebal karena terus disindir dengan menjadikan lipstik sebagai pembanding.
“Kenapa diam? Coba jelaskan salahku di bagian mana?” tanya Aldo dengan mimik wajah serius.
“Niatmu yang salah. Caramu pun salah, Aldo. Sekarang, jujurlah padaku! Kamu sama sekali tidak tertarik padaku, kan? Vanyalah yang kamu incar, bukan aku. Benar begitu?”
Aku memberondong tanya kepada Aldo. Tak lagi aku pedulikan jika nanti Tante Ema akan memarahiku habis-habisan. Aku harus menyudahi semuanya. Sungguh, aku tidak ingin menjumpai adanya suatu drama dalam hal cinta. Aldo akan segera aku lepas begitu dia mengakui niat terselebungnya. Namun, kenapa Aldo belum juga membuka suara?
Silakan tinggalkan jejak komentar agar author bersemangat melanjutkan bab novel ini. Ikuti juga - FB author : Bintang Aeri -
Langkah kaki Putra terayun maju hingga lebih dekat ke arahku. Kini, jarak kami hanya terpaut setengah meter saja. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat indahnya sorot mata Putra yang terbingkai kacamata.“Mika, aku mengenalmu sebagai sosok wanita yang penuh luka di hatimu. Ditambah lagi, aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana adik dan tantemu itu memperlakukanmu.”Ada jeda sebentar lantaran bulir air mata yang tak sanggup kutahan. Ya, aku menangis. Gara-gara ucapan Putra yang benar-benar tak terbantahkan. Benar apa yang Putra katakan. Aku penuh luka di hatiku lantaran perasaanku sering tersakiti akibat sikap pilih kasih. Hatiku pun sering terlukai akibat tutur kata dari adikku sendiri. Tante dan adikku, mereka berdua bukanlah orang jauh. Mereka saudara dekat dan begitu aku kasihi. Nyatanya, yang terkasihlah yang lebih sering melukai hatiku ini. “Menangislah dulu jika kamu ingin menangis. Tuntaskan tangismu, Mika. Jika perlu, kamu boleh bersandar di bahuku meski m
“Lipstik? Untuk apa kakak tanya lipstik segala? Mau coba pakai lipstik juga? Percuma, Kak. Kak Mika tidak akan pernah lebih cantik dibandingkan aku dan Tante Ema!”Pahit sekali kata-kata adikku. Tidakkah dia menyadari bahwa kata-katanya itu telah melukaiku? Cantik, lipstik, ah! Aku sungguh tak lagi peduli dengan itu. Yang aku sayangnya kali ini hanya satu, yakni sikap adikku.“Vanya, sebenarnya apa salahku hingga kau jadi sebenci ini?” tanyaku dengan lebih mencoba menurunkan intonasi.“Oh, kakak masih tanya salah kakak di mana? Lipstik, Kak. Kakak salah karena tidak memakai lipstik,” terang Vanya sembari kembali menyedekapkan tangannya.“Omong kosong! Perjelas alasanmu, Vanya! Jangan bawa-bawa lipstik di saat seperti ini!”Yang terakhir itu aku setengah membentak hingga Vanya pun terhenyak. Alhasil, sempat terjadi jeda beberapa detik lamanya yang membuat kami berdua sama-sama membungkam kata.“Katakanlah alasan yang sebenarnya!” desakku.“Baik. Akan kukatakan. Sejujurnya aku masih sak
“Nathan!” panggilku dengan segera mencegah Nathan untuk melangkah lebih jauh.Berhasil. Nathan menghentikan langkahnya, lantas kembali menoleh ke arahku.“Jangan memanggil Putra! Kumohon!” pintaku penuh harap.“Kenapa? Bukankah tadi kamu sangat ingin tahu alasannya?”“Iya, sih. Tapi ….”Aku pun sebenarnya bingung dengan diriku. Di satu sisi sangat ingin tahu, tapi di sisi lainnya lagi enggan bertemu.Agaknya Nathan memahamiku. Dia tersenyum, lantas memintaku untuk tenang.“Tenanglah, Mika! Jika kamu masih belum ingin bertemu dengan Kak Putra, maka aku pun tidak akan memaksa.”Ah, syukurlah! Nathan sungguh pengertian. Kalau begini dia jadi serupa malaikat pembagi kebaikan.“Tapi, bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanya Nathan tiba-tiba.“Silakan saja jika ingin bertanya.”Lebih dulu aku mendapati senyum yang mengembang di wajah Nathan. Entah kenapa dua makhluk tampan penghuni ruko sepatu itu hobi sekali mengembangkan senyuman.“Kenapa diam?” tanyaku sekaligus sebagai kode agar Nathan lek
Aku terbangun saat matahari belum muncul. Tidurku begitu nyenyak usai mandi air hangat sebelum tidur. Aku cukup bersyukur, tidur nyenyakku mampu membuatku terlupa sejenak dengan huru-hara kehidupan. Semalam, aku batalkan niatan untuk menghubungi Putra. Kumatikan telponku pula demi mendapat rasa nyaman sepanjang malam. Sempat aku abaikan pula perasaan menyesal yang menggelayut pikiran, hingga di pagi ini pun aku kembali kepikiran. “Putra, maafkan aku. Semalam itu aku seolah tengah mempermainkanmu. Mau jadi pacar pura-pura, tapi justru menolak saat kamu benar-benar menawarkan cinta,” ucapku sembari menatap ke arah langit-langit kamar hotel. Usai mandi, aku bingung mencari pakaian ganti. Semalam itu memang dadakan sekali hingga aku sama sekali tidak memiliki persiapan untuk pergi. Terpaksa aku hidupkan kembali ponselku demi meminta bantuan dari kedua karyawan di toko bungaku. Ya, niat awalku seperti itu. Nyatanya, pesan lain yang masuk ke ponselku justru mengalihkan perhatianku. Ada
Bagiku, Putra adalah sosok lelaki yang berhasil membuatku nyaman dalam waktu singkat. Bahkan, hatiku telah terjerat di awal pertemuan. Mungkin, diriku seolah terlalu cepat menjatuhkan perasaan. Karena, siapa pula yang dapat mendustai gejolak cinta yang hadirnya saja tiada bisa disangka-sangka. Dalam kondisi yang demikian, ketika tawaran cinta itu datang, pastilah akan aku iyakan meski hanya berpura-pura. Tapi, kenapa harus datang ke rumah? Aku sedang bermasalah dengan Vanya dan Tante Ema. “Putra, apa kamu lupa kalau aku sedang bertengkar dengan mereka yang ada di rumah?” tanyaku sembari menatap Putra dengan sendu. Kudapati Putra terdiam sembari menunjukkan perubahan mimik wajah. Dia tampak merasa bersalah hingga menunjukkan tatapan sendu yang serupa denganku. “Maaf, Mika. Aku melupakan yang satu itu.” Senyumku kubuat merekah, lantas kuhembuskan nafas perlahan hingga membuat hatiku sedikit lega. Ada satu keputusan yang berusaha kuubah. “Tak apa jika kamu lupa. Mungkin, tadi kamu
Aku adalah perempuan yang mudah sekali penasaran. Begitu terbersit satu tanda tanya dalam pikiran, segera saja aku utarakan. Apa lagi, aku dan Putra dapat dibilang cukup akrab meski baru mengenal. “Putra, apa semua pujian darimu itu hanya untuk menghiburku?” tanyaku sembari menoleh demi bisa menatap bola mata Putra dengan lebih jelas. Putra memang balas menatapku, tapi tak kudapati mulutnya berucap untuk menjawab pertanyaanku. Lagi-lagi yang dia suguhkan adalah senyum manis yang tak pernah gagal membuat dadaku berdebar-debar. “Kamu … kenapa senyum-senyum begitu, sih?” tanyaku sembari mencebik. “Kamu sendiri kenapa begitu bibirnya?” Putra balik bertanya. “Ya habisnya kamu bukannya menjawab pertanyaanku malah senyum-senyum begitu.” Kudapati Putra tertawa ringan, lantas merogoh saku jaketnya. Bola mataku terus memperhatikan hingga akhirnya aku bisa melihat sebuah benda pipih canggih milik Putra, yakni ponselnya. “Mika, coba kamu foto selfie pakai ponselku,” pinta Putra tiba-tiba.