Share

Bab 2. Lipstik Hadiah

Langkah kakiku baru sampai di ruang tamu, tapi Tante Ema sudah kembali memanggilku. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini nada bicara Tante Ema dibuat lembut dan pelan. Sepertinya tanteku itu khawatir jika Aldo sampai mendengar karena posisi ruang tamu dan teras depan tidaklah terlalu jauh.

“Suguhkan ini untuk Aldo. Ingat, kalau kau memang menolak, beri kesempatan Aldo dan Vanya untuk lebih dekat,” pesan Tante Ema sembari menampilkan senyuman.

Senyum pembelaan untuk Vanya, begitulah aku menilainya. Aku tidak membantah, tapi juga tidak mengiyakan pesan Tante Ema. Sikapku sengaja aku buat datar. Berharap Tante Ema akan sadar bahwa sebenarnya aku enggan.

Lagkah kakiku kembali terayun menuju teras depan rumah sambil membawa setoples kue mawar dan segelas air mineral lengkap dengan sedotannya.

Seperti sebelum-sebelumnya, Aldo selalu menampilkan senyum ramah ketika menyambutku. Sayangnya, aku telah tahu bahwa senyuman itu palsu.

“Halo, Mika. Selamat malam,” sapa Aldo sembari menerima setoples kue mawar yang aku sodorkan.

“Selamat malam. Duduklah dan silakan dimakan kue mawarnya! Itu, sekalian minumnya habiskan biar tidak tersedak saat makan,” ujarku panjang lebar tanpa sungkan.

Sejak awal bertemu, yakni dua pekan lalu, aku sudah terbiasa berbicara panjang lebar kepada Aldo. Apa lagi tujuannya kalau bukan untuk mengakrabkan diri dengan lelaki yang menurut Tante Ema tertarik padaku.

Ya, aku mengenal Aldo dari Tante Ema sekitar sebulan lalu, terpaut beberapa hari sebelum pertengkaran hebat dengan adikku. Namun, aku baru mau bertemu dengan Aldo dua pekan lalu. Pertemuannya pun terbatas hanya di toko bunga yang aku kelola. Selebihnya, kami tidak pernah jalan-jalan keluar, makan bersama, apa lagi sampai kencan.

Ketika masa perkenalan yang semula aku anggap sungguhan, aku merasa nyaman karena Aldo tidak pernah menuntutku untuk ini dan itu. Topik bahasan yang kami pilih di setiap pertemuan juga lebih sering membahas tentang hobi. 

Hanya sebatas itu sampai akhirnya Aldo mulai banyak bertanya tentang Vanya. Sejak saat itu rasa nyamanku berkurang. Aku menyimpulkan bahwa Aldo tidak pernah tertarik padaku. Dia mendekatiku hanya untuk mencari tahu segala hal tentang Vanya, adikku.

“Mika, kamu cantik sekali malam ini,” puji Aldo tiba-tiba usai menghabiskan sebutir kue mawar yang aku suguhkan.

“Terima kasih atas pujiannya. Tapi, benarkah aku cantik?” tanyaku dengan sengaja untuk memancing kalimat selanjutnya.

“Ya. Kamu cantik, Mika. Aura cantikmu terpancar natural meski ….”

“Meski tanpa lipstik?” sahutku dengan segera, memotong ucapan Aldo begitu saja.

Tampak Aldo menggelengkan kepala, lantas menampilkan senyuman ramah.

“Mika, bukan itu yang mau aku katakan.”

“Lalu, apa?”

“Aura cantikmu terpancar natural meski kamu tidak suka dandan,” imbuh Aldo dengan ringan kata dan ekspresi yang tetap ramah.

Omong kosong. Jujur saja, dadaku bergemuruh ketika mendengar ucapan Aldo. Perihal dandan yang semula menjadi perdebatan bersama Tante Ema dan Vanya di meja makan, kini kembali dibahas oleh Aldo. Wajar bila aku merasa sesak di dada karena sebal berkelanjutan.

“Mika, kamu kenapa? Apa ada ucapanku yang salah?” tanya Aldo yang pastinya sudah menangkap perubahan mimik wajahku.

“Ucapanmu tidak salah, Aldo. Aku memang jarang dandan, apa lagi memakai lipstik.”

Aku memilih membenarkan agar tidak terkesan terlalu menyudutkan. Lagi pula memang benar, aku jarang sekali dandan. Jadi, tidak ada yang salah dengan ucapan Aldo. Momennya saja yang kurang pas, sehingga hatiku memanas.

“Oh, ya. Aku punya hadiah untukmu. Semoga kamu suka,” ungkap Aldo tiba-tiba yang seketika itu mengubah topik bicara.

Aldo menyodorkan paper bag berukuran kecil. Entah apa isi di dalamnya. Aku berharap bukan sesuatu yang bisa membuatku kembali dipenuhi amarah.

Aku ambil hadiahku, tapi tidak langsung melihat isi paper bag-nya. Satu hal yang kini begitu membuatku penasaran dan ingin segera mendapat jawaban. Yakni, tentang alamat palsu dan fakta tentang Aldo yang ternyata tidak tersesat jalan.

“Aldo, aku lupa bertanya padamu. Apa kamu kesulitan menemukan rumahku?” tanyaku sambil menggenggam erat ujung paper bag yang berisi hadiah dari Aldo.

“Awalnya iya. Untungnya Tante Ema segera mengirimiku pesan.”

“Pesan apa?” tanyaku yang sudah semakin penasaran. Aku khawatir Tante Ema menjelaskan yang macam-macam.

“Tante Ema bilang, kamu salah kirim pesan. Lalu, aku dikirimi alamat yang benar. Beruntungnya lagi, tempatku tersesat tidak jauh dari rumahmu ini.”

Penjelasan Aldo membuatku sedikit lega. Aku kira Tante Ema juga akan menceritakan perdebatan kecil di ruang makan. Syukurlah karena yang dikirimkan hanya pesan alamat yang benar.

“Aku … minta maaf tentang alamat yang aku kirimkan padamu,” ucapku tanpa membeberkan alasan yang sebenarnya.

“Tidak masalah. Aku pun kadang sering salah mengirim pesan kalau sedang kebingungan. Pasti kamu gerogi, ya, karena aku akan datang bertamu?”

Entah harus bagaimana aku menyikapi ucapan Aldo. Ingin senang, tapi yang aku rasakan tidaklah demikian. Ingin marah, tapi Aldo belum tahu bahwa aku sudah mengetahui niatan terselubungnya untuk mendekati Vanya.

“Boleh aku intip hadiahku?” tanyaku yang akhirnya memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.

“Silakan. Semoga kamu menyukainya, ya. Aku yakin sekali, begitu kamu memakainya, pasti aura kecantikanmu semakin bertambah.”

Deg!

Baru saja Aldo selesai berucap, dadaku kembali bergemuruh hebat. Seketika rasa kesal dalam diriku bertambah seiring dengan jenis hadiah yang kini sudah tertangkap bola mata.

“Lipstik?” ucapku lirih sembari memegang hadiahku.

“Bagaimana? Kamu suka? Aku yakin sekali kamu akan terlihat berkali-kali lipat lebih cantik kalau memakai lipstik. Seperti adikmu, Vanya.”

Deg!

Kenapa harus dibandingkan lagi dengan Vanya? Iya, dia memang lebih terlihat menarik karena sering tampil cantik dengan lipstik. Tapi, tidakkah lelaki di hadapanku ini tahu perasaanku? Bisakah dia membuatku merasa cantik tanpa menyamakan apa lagi sampai membandingkan diriku dengan adikku?

Aku rasa Aldo tidak akan bisa seperti itu karena yang sedari awal dia incar adalah Vanya, bukan aku. Sedari awal dia hanya tertarik pada Vanya, bukan aku.

“Mika, ada apa denganmu? Kamu terlihat sedang menahan sesuatu?” tanya Aldo ketika mendapati aku menarik nafas dalam lantas menghembuskannya dengan kasar.

“Iya. Aku sedang kesal!” sahutku ketus.

“Kesal kenapa? Apa ada kata-kataku yang menyinggungmu?”

“Iya. Kata-katamu menyinggungku! Hadiahmu ini juga menyinggungku!” 

Nada bicaraku meninggi karena tidak lagi bisa menahan emosi. 

“Maaf, Mika. Bagaimana bisa hadiah ini menyinggungmu?”

Sebenarnya aku enggan menjelaskan, karena prasangka orang siapa yang tahu. Sejauh ini, begitu aku mencoba memberi penjelasan, seperti pada Tante Ema ataupun Vanya, prasangka yang aku dapatkan justru membuatku semakin tersudutkan. 

Oleh mereka, aku diaggap iri dengan adikku sendiri. Sungguh, aku sama sekali tidak iri. Aku hanya sebal karena terus disindir dengan menjadikan lipstik sebagai pembanding.

“Kenapa diam? Coba jelaskan salahku di bagian mana?” tanya Aldo dengan mimik wajah serius.

“Niatmu yang salah. Caramu pun salah, Aldo. Sekarang, jujurlah padaku! Kamu sama sekali tidak tertarik padaku, kan? Vanyalah yang kamu incar, bukan aku. Benar begitu?”

Aku memberondong tanya kepada Aldo. Tak lagi aku pedulikan jika nanti Tante Ema akan memarahiku habis-habisan. Aku harus menyudahi semuanya. Sungguh, aku tidak ingin menjumpai adanya suatu drama dalam hal cinta. Aldo akan segera aku lepas begitu dia mengakui niat terselebungnya. Namun, kenapa Aldo belum juga membuka suara?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status