Share

Bab 9

Di depan rumah Hasby ada tanah empang yang terbengkalai dan dibiarkan begitu saja.

"Saya pakai tanah empang itu untuk bikin pemancingan ya, Bang?" pinta Iman pada Hasby.

"Boleh aja, tapi emang Kamu punya duit?" reaksi Hasby.

"Ada sedikit, dari Mamanya Nisa."

"Pake, dah! Asal jangan minta modal sama Abang, ya! " ujar Hasby tegas.

"Mah, kayaknya jual beli elektronik itu nggak jadi, deh." ujar Iman seraya mengelus perut buncit Nisa. Kelahiran anak ini tinggal menghitung hari.

"Ya udah. Uangnya Aku kembaliin sama Mama, ya?" Iman ganti mengelus rambut Nisa.

"Jangan."

"Kok, jangan. Nanti uangnya terpakai, Pah."

"Papah mau bikin pemancingan. Mamah bisa jualan kopi di sana."

"Di mana?"

"Di tanah empang bang Hasby."

"Kok sama Dia lagi sih, Pah?" berengut Nisa.

"Kata bang Hasby boleh, kok. Katanya, asal Kita jangan minta modal." Nisa tetap merasa tidak enak. Hasby ini memang baik tapi sikapnya seringkali tidak bisa ditebak.

"Aku takut." ujar Nisa pelan. Iman memegang dagu Nisa dan membuatnya tengadah.

"Kita hadapi berdua. Seperti biasa." Iman mendekatkan bibirnya ke bibir Nisa yang sudah menanti.

"Mmmhh.." Nisa mengeluh saat tangan Iman meremas bukit kembarnya. Iman langsung menindih Nisa.

Iman tetap bergairah meski Nisa tengah hamil tua.

Setelah pergumulan yang melelahkan..

"Mama, bisnis Iman yang itu nggak jalan, tapi uangnya masih ada sama Nisa, kok." Nisa menelpon Mama Wida.

"Kenapa? Kok bisa nggak jalan?"

"Nggak tau. Nggak turun turun barangnya." terdengar helaan nafas sang mama . Wida menduga kalau Iman tidak cukup ulet berusaha.

"Ma, uangnya mau Iman pakai untuk membuat pemancingan. Boleh ya, Ma?"

"Terserah Kamu, Sayang. Uang itu udah Mama kasihin ke Kamu untuk modal usaha. Terserah Kamu mau buat usaha apanya."

"Makasih, Mama." Nadin memutuskan telponnya dengan perasaan bahagia.

"Boleh." Nisa menjawab tatapan suaminya yang penuh harap.

"Besok uangnya Mamah ambil, ya? Kita mulai ngerapihin empangnya." pungkas Iman seraya meraih Nisa ke dalam pelukannya.

Nisa mengangguk. Di bibirnya tersungging senyum penuh harapan.

Tapi, kembali keluarga Iman mulai dengan kenyinyirannya.

"Lah, enak banget Dia pake tanah Abang!" usik Edi.

"Nggak puas nguasain yang di depan, ya?"

"Keahliannya cuma itu, sih! Dasar serakah!"

Semua nyinyiran itu hanya terjadi di belakang.

"Beraninya ngomongin di belakang!" Nisa kesal. Di depan mereka mulut mereka sangat manis. Tapi tetap saja nyinyiran itu akan sampai ke telinga mereka.

Kali ini Iman bersikap tidak perduli. Ia sedang mengubah empang tak terawat menjadi sebuah pemancingan sesuai dengan yang ia inginkan. Dan itu membutuhkan kepintaran otaknya yang selalu aktif bergerak. Tidak seperti saudara saudaranya yang otaknya beku karena terlalu julid sama urusan orang lain. Otak mereka dipakai untuk memikirkan cara untuk menjatuhkan orang lain, meski itu saudara mereka sendiri.

"Papah beli makan di mana?" tanya Nisa saat melihat orang orang yang membantu mereka sedang memakan nasi bungkus.

"Di warteg, lah!"

"Sebungkusnya berapa, Pah?" Nisa melihat ada 3 orang di sana, 4 orang dengan Iman.

"15 ribu." Nisa mulai berpikir.

"Uangnya kasih Mamah aja, ya? Nanti mamah yang masak. 50 ribu aja nggak papa, kok." Saat ini ia dijatah Iman 50 ribu per hari. Kalau ditambah 50 ribu lagi untuk memasak buat mereka pasti cukup. Pengeluaran Iman juga bisa dihemat 10 ribu. Lumayan, kan?

"Tapi apa Mamah nggak capek?" Iman berusaha mengelak.

"Nggak. Biar Papah bisa lebih ngirit juga." Nisa tersenyum manis. Iman bingung. Yang dilihat Nisa memang hanya 4 orang. Tapi bagaimana dengan bang Mumu dan bang Edi? Bagaimana dengan jatah mereka?

"Bisa di bikin 6 bungkus, Mah?" tanya Iman hati hati.

"Kok 6 bungkus? Buat siapa?" mata Nisa yang mendelik membuat Iman menelan ludahnya.

"Itu Mamah udah ngirit lho, Pah. Masa suruh diirit lagi? Ya nggak bisa, dooong.."

Iman tidak tahu harus memberi alasan apalagi.

Nisa menerima uang tambahan yang diberikan Iman dengan sukacita.

"Nasi Aku mana?" Mumu melotot saat tak mendapatkan jatahnya.

"Nisa yang masak, Bang."

"Terus kenapa kalau Nisa yang masak? Aku sama Bang Mumu nggak dapat jatah, gitu?" Edi ikut mencak mencak.

'Gimana mau dapat jatah. Kalian mbantuin juga kagak!' dumel Iman dalam hati.

"Pelit banget sih, istrimu!"

"Bilangin sama si Nisa, jangan pelit sama saudara!"

"Ngasih makan saudara tuh berkah, tau nggak?"

"Iya Iyaaa!" Iman mengangkat kedua tangannya.

"Ini Abang pada beli sendiri aja dah!" Iman mengeluarkan selembar uang berwarna hijau.

"Mana cukup, Maan!" teriak Mumu.

"Ini sih buat 1orang!" teriaknya lagi. Dasar tidak tahu diri. Minta makan saja sampai begitunya.

"Ya udah! Biarin Aku yang beliin!" seru Iman gusar.

"Tapi sama dengan yang Nisa masakkin buat Kalian, ya. Kayaknya enak tuh. Ayam goreng sama tumis kangkung. Bergedel sama sambal juga!" Waaaah.. Bener bener ngelunjak mereka ini. Dengan menu seperti itu di warteg memang tidak cukup 15 ribu. Iman mengucak rambutnya kasar.

Hari berikutnya Nisa memasak daging cincang ala Padang.

"Weeei..! Mantap,nih!" teriak Juned alias Junaedi. Dan lagi lagi Mumu dan Edi menuntut masakan yang sama. Iman harus membelinya di rumah makan padang karena tidak ada daging cincang seperti itu di warteg.

Iman pusing. Ia memikirkan bagaimana caranya agar Nisa berhenti memasak untuk mereka.

"Mana uangnya, Pah?" tagih Nisa karena Iman tidak kunjung memberinya uang. Iman mengulurkan selembar warns hijau.

"Lho kok cuma segini?" dahi Nisa berkerut.

"Diirit, Mah. Nggak usah masak yang enak enak." kerut di dahi Nisa makin bertambah.

"Diirit juga nggak cukup kalau buat makan berempat, Pah!" 5 ribu rupiah seorang, mau makan apa?

"Ya harus cukup, Mah! " dicukup cukupin, tepatnya. Nisa mengembalikan uang duapuluh ribu itu.

"Papah cukup cukupin sendiri ajalah!" Iman pura pura menghela nafas. Padahal hatinya bersorak. Siasatnya berhasil.

Berhasil, berhasil, berhasil Horre..!

Iman bersorak seperti Film yang sering di tonton Deni, anak mereka yang nomor 2.

Uang yang diberikan Wida tinggal sedikit lagi. Iman mulai bingung.

"Mah, bisa minta tambahan modal sama Mama?" katanya akhirnya. Nisa mengerutkan keningnya.

"Banyak yang masih harus dibeli tapi uangnya tinggal sedikit." lagi lagi Iman terlihat putus asa. Sejatinya ia ini mudah sekali menyerah. Dan lagi lagi Nisa merasa iba. Ia pun menelpon Wida untuk meminta bantuan. Meski seringkali pada saat ia membutuhkan bantuan hanya Nisa yang mendukungnya, Iman tak pernah menyadari itu. Ia tetap membela saudara saudaranya jika Nisa merasa terzolimi akan kelakuan mereka.

"Bagaimana, sih? Membuat sesuatu itu harus dipikirkan dulu masak masak. Cukup atau tidaknya dengan dana yang ada."

"Iya, Mama. Maaf.."

"Ini ada 10 juta lagi. Tapi ini yang terakhir. Mama sudah tidak punya apa apa lagi. Katakan begitu pada Iman, ya."

"Iya, Ma. Makasih, Mama."

Nisa menatap suaminya yang terus menguping percakapan mereka. Saat ia memberikan jempolnya pada Nisa, saat itulah Nisa merasakan sakit yang hebat pada perutnya.

"Aawh..!" keluhnya seraya memegang perutnya. Sepertinya ia akan segera melahirkan.

*******

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status