Di depan rumah Hasby ada tanah empang yang terbengkalai dan dibiarkan begitu saja.
"Saya pakai tanah empang itu untuk bikin pemancingan ya, Bang?" pinta Iman pada Hasby."Boleh aja, tapi emang Kamu punya duit?" reaksi Hasby."Ada sedikit, dari Mamanya Nisa.""Pake, dah! Asal jangan minta modal sama Abang, ya! " ujar Hasby tegas."Mah, kayaknya jual beli elektronik itu nggak jadi, deh." ujar Iman seraya mengelus perut buncit Nisa. Kelahiran anak ini tinggal menghitung hari."Ya udah. Uangnya Aku kembaliin sama Mama, ya?" Iman ganti mengelus rambut Nisa."Jangan.""Kok, jangan. Nanti uangnya terpakai, Pah.""Papah mau bikin pemancingan. Mamah bisa jualan kopi di sana.""Di mana?""Di tanah empang bang Hasby.""Kok sama Dia lagi sih, Pah?" berengut Nisa."Kata bang Hasby boleh, kok. Katanya, asal Kita jangan minta modal." Nisa tetap merasa tidak enak. Hasby ini memang baik tapi sikapnya seringkali tidak bisa ditebak."Aku takut." ujar Nisa pelan. Iman memegang dagu Nisa dan membuatnya tengadah."Kita hadapi berdua. Seperti biasa." Iman mendekatkan bibirnya ke bibir Nisa yang sudah menanti."Mmmhh.." Nisa mengeluh saat tangan Iman meremas bukit kembarnya. Iman langsung menindih Nisa.Iman tetap bergairah meski Nisa tengah hamil tua.Setelah pergumulan yang melelahkan.."Mama, bisnis Iman yang itu nggak jalan, tapi uangnya masih ada sama Nisa, kok." Nisa menelpon Mama Wida."Kenapa? Kok bisa nggak jalan?""Nggak tau. Nggak turun turun barangnya." terdengar helaan nafas sang mama . Wida menduga kalau Iman tidak cukup ulet berusaha."Ma, uangnya mau Iman pakai untuk membuat pemancingan. Boleh ya, Ma?""Terserah Kamu, Sayang. Uang itu udah Mama kasihin ke Kamu untuk modal usaha. Terserah Kamu mau buat usaha apanya.""Makasih, Mama." Nadin memutuskan telponnya dengan perasaan bahagia."Boleh." Nisa menjawab tatapan suaminya yang penuh harap."Besok uangnya Mamah ambil, ya? Kita mulai ngerapihin empangnya." pungkas Iman seraya meraih Nisa ke dalam pelukannya.Nisa mengangguk. Di bibirnya tersungging senyum penuh harapan.Tapi, kembali keluarga Iman mulai dengan kenyinyirannya."Lah, enak banget Dia pake tanah Abang!" usik Edi."Nggak puas nguasain yang di depan, ya?""Keahliannya cuma itu, sih! Dasar serakah!"Semua nyinyiran itu hanya terjadi di belakang."Beraninya ngomongin di belakang!" Nisa kesal. Di depan mereka mulut mereka sangat manis. Tapi tetap saja nyinyiran itu akan sampai ke telinga mereka.Kali ini Iman bersikap tidak perduli. Ia sedang mengubah empang tak terawat menjadi sebuah pemancingan sesuai dengan yang ia inginkan. Dan itu membutuhkan kepintaran otaknya yang selalu aktif bergerak. Tidak seperti saudara saudaranya yang otaknya beku karena terlalu julid sama urusan orang lain. Otak mereka dipakai untuk memikirkan cara untuk menjatuhkan orang lain, meski itu saudara mereka sendiri."Papah beli makan di mana?" tanya Nisa saat melihat orang orang yang membantu mereka sedang memakan nasi bungkus."Di warteg, lah!""Sebungkusnya berapa, Pah?" Nisa melihat ada 3 orang di sana, 4 orang dengan Iman."15 ribu." Nisa mulai berpikir."Uangnya kasih Mamah aja, ya? Nanti mamah yang masak. 50 ribu aja nggak papa, kok." Saat ini ia dijatah Iman 50 ribu per hari. Kalau ditambah 50 ribu lagi untuk memasak buat mereka pasti cukup. Pengeluaran Iman juga bisa dihemat 10 ribu. Lumayan, kan?"Tapi apa Mamah nggak capek?" Iman berusaha mengelak."Nggak. Biar Papah bisa lebih ngirit juga." Nisa tersenyum manis. Iman bingung. Yang dilihat Nisa memang hanya 4 orang. Tapi bagaimana dengan bang Mumu dan bang Edi? Bagaimana dengan jatah mereka?"Bisa di bikin 6 bungkus, Mah?" tanya Iman hati hati."Kok 6 bungkus? Buat siapa?" mata Nisa yang mendelik membuat Iman menelan ludahnya."Itu Mamah udah ngirit lho, Pah. Masa suruh diirit lagi? Ya nggak bisa, dooong.."Iman tidak tahu harus memberi alasan apalagi.Nisa menerima uang tambahan yang diberikan Iman dengan sukacita."Nasi Aku mana?" Mumu melotot saat tak mendapatkan jatahnya."Nisa yang masak, Bang.""Terus kenapa kalau Nisa yang masak? Aku sama Bang Mumu nggak dapat jatah, gitu?" Edi ikut mencak mencak.'Gimana mau dapat jatah. Kalian mbantuin juga kagak!' dumel Iman dalam hati."Pelit banget sih, istrimu!""Bilangin sama si Nisa, jangan pelit sama saudara!""Ngasih makan saudara tuh berkah, tau nggak?""Iya Iyaaa!" Iman mengangkat kedua tangannya."Ini Abang pada beli sendiri aja dah!" Iman mengeluarkan selembar uang berwarna hijau."Mana cukup, Maan!" teriak Mumu."Ini sih buat 1orang!" teriaknya lagi. Dasar tidak tahu diri. Minta makan saja sampai begitunya."Ya udah! Biarin Aku yang beliin!" seru Iman gusar."Tapi sama dengan yang Nisa masakkin buat Kalian, ya. Kayaknya enak tuh. Ayam goreng sama tumis kangkung. Bergedel sama sambal juga!" Waaaah.. Bener bener ngelunjak mereka ini. Dengan menu seperti itu di warteg memang tidak cukup 15 ribu. Iman mengucak rambutnya kasar.Hari berikutnya Nisa memasak daging cincang ala Padang."Weeei..! Mantap,nih!" teriak Juned alias Junaedi. Dan lagi lagi Mumu dan Edi menuntut masakan yang sama. Iman harus membelinya di rumah makan padang karena tidak ada daging cincang seperti itu di warteg.Iman pusing. Ia memikirkan bagaimana caranya agar Nisa berhenti memasak untuk mereka."Mana uangnya, Pah?" tagih Nisa karena Iman tidak kunjung memberinya uang. Iman mengulurkan selembar warns hijau."Lho kok cuma segini?" dahi Nisa berkerut."Diirit, Mah. Nggak usah masak yang enak enak." kerut di dahi Nisa makin bertambah."Diirit juga nggak cukup kalau buat makan berempat, Pah!" 5 ribu rupiah seorang, mau makan apa?"Ya harus cukup, Mah! " dicukup cukupin, tepatnya. Nisa mengembalikan uang duapuluh ribu itu."Papah cukup cukupin sendiri ajalah!" Iman pura pura menghela nafas. Padahal hatinya bersorak. Siasatnya berhasil.Berhasil, berhasil, berhasil Horre..!Iman bersorak seperti Film yang sering di tonton Deni, anak mereka yang nomor 2.Uang yang diberikan Wida tinggal sedikit lagi. Iman mulai bingung."Mah, bisa minta tambahan modal sama Mama?" katanya akhirnya. Nisa mengerutkan keningnya."Banyak yang masih harus dibeli tapi uangnya tinggal sedikit." lagi lagi Iman terlihat putus asa. Sejatinya ia ini mudah sekali menyerah. Dan lagi lagi Nisa merasa iba. Ia pun menelpon Wida untuk meminta bantuan. Meski seringkali pada saat ia membutuhkan bantuan hanya Nisa yang mendukungnya, Iman tak pernah menyadari itu. Ia tetap membela saudara saudaranya jika Nisa merasa terzolimi akan kelakuan mereka."Bagaimana, sih? Membuat sesuatu itu harus dipikirkan dulu masak masak. Cukup atau tidaknya dengan dana yang ada.""Iya, Mama. Maaf..""Ini ada 10 juta lagi. Tapi ini yang terakhir. Mama sudah tidak punya apa apa lagi. Katakan begitu pada Iman, ya.""Iya, Ma. Makasih, Mama."Nisa menatap suaminya yang terus menguping percakapan mereka. Saat ia memberikan jempolnya pada Nisa, saat itulah Nisa merasakan sakit yang hebat pada perutnya."Aawh..!" keluhnya seraya memegang perutnya. Sepertinya ia akan segera melahirkan.*******Ninoo..!" Iman menjerit memanggil Nino yang sedang main PS di ruang tengah. "Jagain Mamah sebentar!" katanya setelah Nino datang menghampiri mereka. "Aku manggil Teh Yanah, ya?" Iman yang panik langsung berlari keluar rumah untuk meminta tolong. Padahal ini kali yang ketiga Nisa akan melahirkan tapi Iman tetap panik dan kebingungan. Pembangunan pemancingan menjadi tersendat - sendat karena Iman harus menemani Nisa di klinik bersalin. Ia juga harus menjaga dan mengurus anak anak yang ditinggalkan di rumah. "Ternyata repot banget nggak ada Kamu di rumah, Sayang." Iman mengelus rambut istrinya dengan lembut. Ia tidak perduli meski anak ke 3 mereka laki laki lagi. Ia senang melihat Nisa dan bayi yang baru lahir sehat dan tidak kurang sesuatu apapun. Nisa tersenyum. "Bagaimana kabar pemancingan Kita, Pah?" "Papah tunda dulu. Kemarin itu waktu Papah pasrahin sama bang Edi, bukannya beres malah salah semua. Jadi harus dibongkar lagi. Mana minta upahnya gede, lagi.""Bang Edi minta upah
Iman mengurut dadanya. "Kirain ada apa. Ngaget ngagetin aja sih, Mah. Kirain ada yang gawat.""Ini memang gawat, Pah!""Gawat kenapa?""Kan nggak ada duit buat beli gas nya."Huuuuhhh! Iman mengucak rambutnya kasar. Mau makan sama telor aja Susah!Iman lalu bergegas keluar rumah. "Mau kemana, Pah?""Makan di rumah Teh Yanah!"Huuuhhh! Nisa cemberut. Begitulah Iman sekarang. Tidak bisa makan di rumah, ia akan makan di rumah kakaknya itu. Perutnya kenyang tanpa perlu memikirkan yang di rumah sudah makan atau belum atau tidak makan sama sekali. Batin Nisa menjerit."Kamu keterlaluan, Pah!!"Nisa kembali ke kamar dan memainkan hp nya. Tapi ia tidak lagi ingin bermain. Ia terlalu kesal!Angannya kembali melayang jauh...Nisa ini sangat suka anak kecil. Dia juga seorang bibi yang penyayang. Rumah kecilnya selalu penuh dengan keponakan keponakannya. "Bibi masak nasi goreng, ya? Tika mauu." Nisa tersenyum. Ia tidak pernah bisa memasak sedikit karena keponakan keponakannya itu sering ikut
"Arii..!" teriak Yanti gemas. Ia kehabisan akal. Tangan Yanti bergerak ke telinga Ari tapi tangan Nisa langsung menahannya. "1 lagi, Bang. Buat Abangnya." Nisa meminta si Abang jualan memberikan 1 potong baju lagi. Ari menerimanya dengan wajah bahagia. Nisa ikut bahagia melihatnya. "Tuh Yanti! Nisa mah sayang sama anak Kamu! Kamu sendiri gimana?" sama Nino, maksud si Ibu yang bertanya. "Ayo Ari! Pulang! Mandi!" gegas Yanti mengajak anaknya pulang. Tidak ada basa basi untuk mengucapkan terimakasih. "Pakai baju ini ya, Mah?" teriak Ari riang. "Idih, tuh orang. Bilang makasih atau gimana kek anaknya udah di beliin baju. Main ngeluyur aja! Kamu nggak kesel apa, Nisa?"Masih saja ada yang berniat menjadi kompor antara sesama ipar itu. "Nggak papa, Bu. Yang penting Ari senang." Nisa baru saja akan membayar baju baju Itu saat Tika tiba tiba datang dan menjerit. "Tika juga mau, Bibi!""Tika bilang Mamah sana." Kata teh Mani. "Mamah nya nggak adaaa!" Tika mengerucutkan bibirnya. Ingin
Sepertinya semua sudah beres. "Papah berangkat, ya?" Iman akan keluar dari kamar. "Papah nggak ada yang kelupaan?" langkah Iman terhenti. Ia berpikir. Sepertinya semua sudah ada. Tapi.."Iya, Mah. Sabun sama sikat gigi." pasta giginya bisa nebeng, begitu pikir Iman. Nisa mengambilkan sabun dan sikat gigi yang Iman minta. "Papah beneran lupa, ya? Atau emang sengaja?" Iman menautkan alisnya. "Apa?""Papah belum ninggalin duit belanja. Papah mau senang senang di luar ninggalin anak istri kelaparan?" "Papah nggak punya duit." hati Nisa terasa melorot turun. "Papah bisa pergi?" "Kan ada Bos yang bayarin semuanya." airmata Nisa mengalir turun. "Kamu nggak mikirin yang di rumah, Pah?""Kan ada Nino." selalu begitu. Mengandalkan anak sulungnya ini. "Ya udah. Pergi sana." Nisa melangkah ke kamarnya tanpa menoleh lagi. Iman termangu di tempatnya. Semangatnya yang menggebu hilang sudah. Ia keluar menemui Anto, yang sudah menunggunya sejak tadi. Anto ini sahabat sekaligus bosnya. "Aku
Kembali ke laptop, eh bukan. Kembali pada Iman, maksudnya.Anto sangat puas. Tidak sia sia ia membawa sahabatnya ini. Iman dengan kepintarannya bekerja dengan cekatan. Mobil mobil yang sudah ia pegang tidak ada yang tiba tiba ngadat di jalan. Bos mereka juga sangat puas."Bang Iman itu hebat sekali, ya!" sayang rumah mereka jauh, andai saja Imam juga tinggal di Jonggol, ia tidak akan memasukkan mobil mobilnya ke bengkel lagi. Cukup Iman yang pegang. Anto ikut bangga untuk Iman. Yang di banggakan malah terlihat cuek. Bahkan ia menolak saat ditawarkan untuk pindah ke Jonggol. Disediakan tempat tinggal pula. Ia juga boleh membawa anak istrinya ke sana. "Hijrah, Man. Hijrah.""Ogah!""Daripada di sono Kamu hidup susah?""Aku nggak susah!""Laah.. ! Istrimu nangis mulu itu?""Sok tau, Kamu!" Iman ngambek. Apa dia lapar lagi? Tatapan Anto menyelidik. Iman membuang mukanya. Ia tidak sanggup jika harus terpisah dengan saudara saudaranya. Meskipun mereka seringkali menyakiti hatinya tapi e
Nisa tidak menyangka, aksinya mencuri uang Iman itu tersebar ke seluruh keluarga Iman. Mereka juga tahu Nisa membayar hutang pada mamanya.Mereka mulai menghasut Hasby."Abang di kasih berapa sama Iman?" Hasby menggeleng. "Iman itu banyak duitnya, Bang. 'Kan pakai tanah Abang, harusnya Abang dapat bagian, dong?" "Iman baru merintis. Mungkin nanti." jelas Hasby. Tapi ia mulai terpancing. Ia memang mendapat jatah berupa sembako tiap bulan dari Nisa. Iman juga membayarkan listriknya jadi ia tidak pernah dipusingkan lagi dengan urusan bayar listrik."Apaan sih, Bang! Si Nisa tuh ngasih Mak nya satu setengah juta sebulan! Sekarang mereka bisa beli TV juga!"Hasby diam. Hatinya mulai panas. Pemancingan itu 'kan tanahnya? Kenapa Dia tidak mendapat bagian? Iman pun di panggil. Lagipula Iman ini terlalu terbuka pada saudara saudaranya itu. Kalau bukan ia yang memberitahu mereka mengenai Nisa yang membayar hutang pada mamanya, darimana mereka tahu? Akhirnya ia pusing sendiri."Iman.." bla b
Buat yang belum mengerti apa itu pemancingan Galatama Lele akan Author coba jelaskan sedikit.Di pemancingan Galatama lele itu, ikan yang sudah terkena kail atau memakan umpan, Ikan itu akan di ceburkan lagi ke dalam empang. Pemancing mendapat poin dari berapa ikan yang ia dapat, juga siapa yang mendapatkan ikan terberat atau disebut babon. Siapa yang mendapat terbanyak atau teberat, ialah juaranya. Ia mendapatkan uang yang mereka bayarkan bersama. Itu judi bukan, sih? Nisa mulai merasa cemas. "Itu lomba, Mah. Bukan judi.Kalau judi, Kita nggak ngapa - ngapain dapat uang. Cuma modal uang doang." pendapat Nino menenangkannya. "Kok gitu? Jadi harus beli ikan terus?"" Iyalah! ""Terus gimana bayar Mamanya?""Dari duit warung aja!" 'Kaaan!"Nggak bisa, Pah. Uang warung Mamah kumpulin buat biaya kuliah Nino." Tidak lama lagi Nino lulus SMA. "Emangnya Nino harus kuliah, ya?""Harus dong, Pah! Emang harus seperti Papahnya?" Iman cemberut mendengar celotehan Nisa. Ia kembali merasa dirend
Anto berdecak kesal."Kamu tega banget, Man! Kita pergi 3 hari 3 malam, lho! Duit yang kemarin pasti sudah habis. Gimana sih Kamu jadi suami?!" Iman melongo. Ia sama sekali tidak memikirkan itu. Karena senangnya, 3 hari kemarin itu serasa sehari baginya. "Jadi kurang, dong!" keluhnya. Anto menggeleng gelengkan kepalanya. Ia mengeluarkan lagi dompetnya. Kali ini ia mengeluarkan 2 lembaran berwarna merah. Itu uang pribadinya. "Ini buat Nisa. Kasihin! Awas kalau Kamu tilep lagi!" Iman menerimanya dengan senang hati. "Beli jorannya yang sejuta aja kali, ya? Buat Nisa cepek aja." Anto melotot. "Awas kalau berani! Aku patahin Kakimu sekalian!" ancamnya. Iman pun takut. Anto selama ini selalu menepati kata katanya. Ia bisa sangat galak pada orang lain, tapi pada sahabat sahabatnya ia lebih banyak mengalah."Ya udah sana!" balas Iman. "Ngusir nih, ceritanya?""Kagak, Bang! Kali Kamu udah kepagian!" Iman tertawa. Ia tau Anto paling tidak suka dipanggil Abang. Kesannya ia terlalu tua. Pada