Tama menarik tangan Lolita setelah menunggu lima menit untukbersiap-siap. Jono menutup bagasi belakang, kemudian membersihkan ceceran tanahdi halaman rumah majikannya.Lolita memandang bunga-bunga itu dengan sayang. Menyesalkankarena mereka sudah ia rawat sekian hari. Pun sama dengan pot-pot yang masihterlihat baru.“Besok kita beli lagi. Kan libur, sekalian pergi keluarnyari koleksi bunga buat menempati rak-rak yang sudah kosong.”Tama menepuk pundak Lolita yang terus mengarahkan pandanganke belakang.“Di mana?” tanya Lolita sambil membenahi posisi duduknya.“Mama yang pilih. Asal gak dari tokonya Deka.”Lolita menahan senyum mendengar suaminya yang terang-teranganmenunjukkan rasa cemburunya.“Kenapa tertawa? Papa gak suka ada laki-laki lain yangmengagumi Mama.”Lagi-lagi Tama berucap yang membuat sisi sanubari Lolitadipenuhi kelegaan. Ternyata, Tama sebegitu cemburunya sehingga rela tanpaistirahat langsung mengantarkan bunga-bunga kiriman Deka.“Sudah lama mama gak melihat pemandang
“Mungkin Tiara nyariin mama. Kan selalu begitu kalau pagi-pagibegini.” Lolita beranjak bangun, lalu mengenakan piyama. “Buruan pakai baju.” Lolitamenyerahkan piyama pada Tama yang masih malas-malasan untuk bangun.Lolita membuka hendel pintu setelah memastikan Tama sudah mengenakanpakaiannya.Ia terkejut ketika mendapati Jono menunggu dengan membelakangipintu.“Kenapa, No?” tanya Lolita. Jono terkejut mendengar sambutanLolita. Pria yang masih mengikatkan sarung di pinggang itu berbalik.“Bu, saya mau melapor kalau bunga-bunganya sudah sampai lagidi tempat semula,” ucap Jono.“Ada apa?” Belum sempat menjawab, Tama sudah berdiri bersisiandengan Lolita di ambang pintu.“Entah ini Jono gak jelas ngasih taunya,” jawab Lolita mengambilalih.“Begini Pak, Bu, bunga-bunga yang kemarin saya naikkan mobil,sekarang sudah ada lagi di tempatnya.” Jono menjelaskan. Lolita mengeryitkan dahi.“Maksudmu, ada yang meletakkan bunga-bunga itu kembali ke asalnya, begitu?” Tama memperjelas ucapan Jono.“Bet
“Gak apa-apa. Kita kirimkan rekamannya dulu ke Deni. Tapikayaknya betul kata Mama, gak perlu melapor. Nanti kalau dia datang lagi, barukita bertindak.”Lolita sedikit bisa bernafas lega. Sedikit banyak, ia jugamengkhawatirkan Deka. Ia tahu, pria itu tidak bermaksud jahat. Ia juga yakin,jika Deka sedang mati-matian berusaha menunjukkan perasaannya kembali.Lolita tak ingin menjadi penyebab hancurnya Deka untuk yang kedua kali. Untuk itu, ialebih memilih cara elegan. Tak pernah menganggapnya ada, walaupun setiap kalibertemu dengannya, selalu menyisakan sakit. Namun, Lolita harus bersikap tegas,bahwa tak akan pernah ada kata kita antara dirinya dan Deka.**Tama menyusuri lorong kantor menuju divisi lain kantornya. Ia harus turun satu lantai,kemudian melewati beberapa ruang khusus sebelum masuk ke lorong yang takseberapa panjang untuk sampai di ruangan Deka.Beberapa karyawan sengaja menunggu Tama melewati mereka,lalu baru beranjak pergi. Sebab, jarang sekali pemilik perusahaan itu sampa
“Aku tak percaya kalau bukan Deka pelakunya. Bagaimana mungkin ada orang lain yang mengetahui hubungan mereka berdua di masa lalu? Lalu sengaja mengadu domba. Masa iya Namira?”Ponsel di tangannya hampir terlempar karena terkejut panggilan masuk saat Tama sedang melamun.“Mama bikin kaget aja,” gumamnya sebelum mengangkat panggilan.“Halo, assalamualaikum, Ma,” sapa Tama.“Waalaikumsalam. Pa, sudah ketemu di siapa pelakunya?” Lolita menelpon dengan suara panik.“Mama kenapa? Kayaknya panik gitu?” Tama menangkap kegelisahan Lolita dari caranya berucap yang terdengar tergesa-gesa.“Bukan Deka, kan?” Lolita langsung menyebut nama pria itu,sontak membuat Tama mendidih.“Yakin banget bukan dia pelakunya,” balas Tama menunjukkan kekecewaan.“Iya, Pa.” Dengan suara terburu-buru.“Mama kenapa, sih? Kenapa panik begitu?”“Soalnya ada orang di luar pagar. Mengamati ke kamar mama,Pa. Orangnya di dalam mobil.”Lolita menerangkan.“Mama di mana sekarang? Jono ke mana? Ada mang Diman jugakan?” ucap
Dalam perjalanan, ia malah berpikir bahwa bukan Deka pelakupenyusupan itu. Otaknya terus berputar, mengingat kejadian demi kejadian yangmenimpa keluarganya akhir-akhir ini.Berawal dari perselingkuhannya yang terkuak oleh Lolita.Namira yang tidak bisa lagi dikendalikan, lalu Deka yang tiba-tiba memaksamemberikan perhatian khusus pada Lolita.Mendadak otaknya menangkap satu nama di antara keduanya.“Namira,” gumamnya. “Selama ini, tak ada orang lain yang paham seluk beluk rumahku.”Tama membuka ponselnya. Mengamati nomor kontak dengan fotoprofil wajah yang pernah ia kagumi kecantikannya.“Masa iya kamu orangnya, Na.”Terlarut dalam pikirannya, Tama tersentak karena ponselnya berdering.“Namira?”Tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Layar ponsel menunjukkanwajah Namira. Seperti mendapat kesempatan, Tama segera mengangkat ponselnya. Berharapbisa menjawab tanya dalam pikiran yang berkecamuk.“Halo,” ucap Tama.“Halo, Mas Tama. Wah, cepet ya, ngangkat teleponnya. Kangen,ya? Sama, dong.”
“Nggak bisa, Na. Kita gak mungkin seperti dulu lagi. Kamuistri sah orang lain sekarang. Jadilah istri yang baik untuknya. Apalagisepertinya, semua keinginanmu bisa dia kabulkan.”“Aku tidak mencintainya.”“Sudahlah. Apapun alasannya, aku gak bisa. Sekarang akuhanya ingin menyelesaikan masalah teror itu. Perintahkan orang suruhanmu untukberhenti meneror rumahku.” Tama menyesap minumannya. Sementara Namiraberpura-pura tidak mendengar, bahkan ia tak menanggapi ucapan Tama.“Punya telinga kan?” bentak Tama. Namira mencebik.“Sudah kubilang, aku Cuma iseng,” jawabnya dengan santai,tanpa merasa bersalah.“Gila. Masalah seperti ini kamu bilang iseng? Astaga, Na! Dimana nuranimu, padahal Lolita sudah sangat baik. Dengan tidak membalas sakithatinya, itu sudah beruntung untuk kamu.”“Gak membalas bagaimana? Mas lupa, bagaimana perlakuan mbakLita saat melemparkan telur-telur busuk itu di hadapan teman-temannya? Lalu membuatvideo dan menyebarkan di media sosialnya. Mas lupa, hah?”“Maafkanlah. D
“Tadi papa menemui dia.”Lolita terperanjat. Ia langsung bergeser menjauhi Tamasebagai respons.“Kan sudah dibilang Jangan marah dulu.”“Dia ... maksud Papa dia, Namira?” tanya Lolita tak percaya.Tama menggaruk kepalanya.“Iya.”“Ngapain?” Lolita langsung menyahut dengan suara meninggi.“Dia dalang di balik teror itu, Ma.”Lolita ternganga. Tersenyum getir sebagai responsketerkejutannya.“Sudah mama duga. Dia pasti pelakunya. Siapa yang paham tentangrumah ini kalau bukan dia. Keterlaluan.”“Sabar. Papa akan bikin perhitungan dengan dia,” Tamamenimpali.Lolita menatap Tama dengan pandangan tak percaya.“Mama yang mestinya turun tangan, bukannya Papa. Malah gakpercaya Papa bakal memberinya perhitungan. Yang ada, ntar kecantol lagi,” ketusLolita dengan suara merendah.“Mama masih curiga aja. Papa gak mungkin khilaf kedua kali.”“Halah. Bisa aja dia nyosor. Terus, di mana ketemuannyatadi?” Lolita sudah terpancing. Dengan sekali menyebut nama Namira, makaemosinya langsung tersulut.“Pa!”
“Oya, aku tinggal ke belakang. Kalian ngobrol berdua gakapa-apa kan?” Mita meminta izin. Lolita memberikan senyuman sebagaimana tanda persetujuan.Setelah Mita pergi, Deka mengambil alih tempat duduknya.Kini ia bisa memandang Lolita dari jarak dekat, bahkan tanpa sekat.Lolita salah tingkah sendiri. Rasa bersalah mulai merayapi,mestinya ia tidak membiarkan Deka sedekat ini.“Hai,” sapa Deka seperti baru bertemu, lebih tepatnya isengsaja.Lolita tak menjawab. Ia malah mengaduk-aduk makanan dihadapannya hingga setengah lumat.“Itu kasihan makanannya jadi korban,” celetuknya. “Ada yangingin kamu sampaikan?”Rupanya Deka bisa menebak tujuan Lolita datang ke kafe Mita.“Em ....” Lolita bingung ingin memulai ucapannya.“Aku tau, kamu gak akan sengaja datang kemari jika bukankarena ada tujuan tertentu. Sekarang, katakan apa yang ingin kamu ketahui.” Deka berucapdengan sangat santai, berbeda jika sedang berhadapan dengan Tama.“Mengenai bunga-bunga itu,” ucap Lolita. Tak perlumenjabarkan, Dek