Share

Bab 39

Penulis: Zidan Fadil
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-17 07:00:21

Langit telah kembali tenang. Setelah cahaya, setelah tameng putih menahan gelombang merah, setelah suara-suara dari masa lalu menggema... akhirnya hanya ada keheningan.

Mereka bertiga berjalan menyusuri lereng yang mengarah ke timur, turun dari Sabana Sangsaka menuju daratan yang lebih hijau. Di bawah sana, lembah-lembah mulai hidup kembali. Sungai mengalir jernih, burung-burung bernyanyi, dan warna mulai kembali pada dedaunan.

Tirta mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, lalu menjatuhkannya sambil mendesah puas. “Akhirnya tempat yang gak menyeramkan. Aku bisa tidur di rerumputan tanpa mimpi diserang bayangan!”

Ayu tersenyum, kali ini tidak setipis biasanya. “Mungkin kita memang butuh istirahat. Warga desa pun berhak cuti, apalagi kita.”

Rakasu

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Gelang Langit   Bab 39

    Langit telah kembali tenang. Setelah cahaya, setelah tameng putih menahan gelombang merah, setelah suara-suara dari masa lalu menggema... akhirnya hanya ada keheningan.Mereka bertiga berjalan menyusuri lereng yang mengarah ke timur, turun dari Sabana Sangsaka menuju daratan yang lebih hijau. Di bawah sana, lembah-lembah mulai hidup kembali. Sungai mengalir jernih, burung-burung bernyanyi, dan warna mulai kembali pada dedaunan.Tirta mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, lalu menjatuhkannya sambil mendesah puas. “Akhirnya tempat yang gak menyeramkan. Aku bisa tidur di rerumputan tanpa mimpi diserang bayangan!”Ayu tersenyum, kali ini tidak setipis biasanya. “Mungkin kita memang butuh istirahat. Warga desa pun berhak cuti, apalagi kita.”Rakasu

  • Gelang Langit   Bab 38

    Langit telah pecah.Bukan pecah seperti badai atau perang petir. Tapi retak perlahan, seperti kulit lama yang mengelupas dari tubuh yang tumbuh. Retakan itu membentang di atas Sabana Sangsaka, membentuk celah cahaya yang tak menyilaukan—justru terasa menatap balik. Seolah langit itu bukan hanya langit, tapi mata. Mata tua yang selama ini tertutup.Rakasura berdiri di tengah sabana, gelang di lengannya kini memancarkan cahaya keperakan yang tenang, tapi dalam. Ia seperti diselimuti aura tak kasatmata yang membuat angin pun tak berani menyentuhnya.Tirta berjalan perlahan ke sisinya. “Kau... baik-baik saja?”“Tidak,” jawab Rakasura jujur. “Tapi aku siap.”Ayu berdiri tak jauh, matanya m

  • Gelang Langit   Bab 37

    Angin di puncak Gunung Simbar tidak lagi dingin. Ia hangat dan lembut, seperti sapaan langit kepada anak-anaknya yang pulang. Cahaya dari gelang Rakasura perlahan-lahan meresap ke udara, membentuk lapisan tipis yang nyaris tak terlihat. Namun kekuatannya bisa dirasakan. Seolah bumi menarik napas lega setelah ribuan tahun menahan beban yang tak dikenal.Tapi bahkan dalam keheningan itu, bahaya tidak sepenuhnya pergi.Mereka bertiga duduk di batu besar di tepi puncak. Di bawah mereka, dunia tampak seperti lautan hijau dan kabut. Rakasura menatap cakrawala dengan dahi mengernyit.“Kau merasa sesuatu?” tanya Ayu, yang duduk di sampingnya.“Gelang ini... belum stabil. Ia menyatu, tapi belum tenang.”Tirta,

  • Gelang Langit   Bab 36

    Kabut malam telah surut. Di langit, bintang-bintang bersinar lebih tajam dari biasanya, seolah memperhatikan perjalanan mereka dari jauh. Tapi Gunung Simbar belum tampak. Yang terlihat hanyalah punggung bukit dan jurang, lembah dan akar-akar pohon yang seperti tangan-tangan tua merangkak keluar dari tanah.“Kalau kita nggak nyasar, gunungnya harusnya udah kelihatan dari sini,” ujar Tirta sambil menepuk-nepuk peta usang yang sudah beberapa kali basah dan robek.“Gunung ini tak bisa dilihat jika kita hanya mencarinya dengan mata,” jawab Rakasura pelan. “Ia hanya muncul jika jiwa yang mencari sudah siap mendakinya.”“Ah, jadi ini semacam pintu spiritual lagi?” keluh Tirta. “Kenapa gak ada tangga aja gitu?”Ayu mena

  • Gelang Langit   Bab 35

    Langit pagi menjelang dengan lambat, seolah ragu untuk menyapa dunia yang masih beristirahat. Embun menggantung di ujung daun, memantulkan sinar mentari yang baru menetas dari balik bukit. Di depan kuil Cahaya Senja, tiga sosok duduk bersisian di atas batu rata yang menghadap ke jurang.Rakasura menatap kejauhan tanpa bicara. Di tangannya, gelang langit perlahan-lahan menunjukkan pola cahaya baru. Empat fragmen telah kembali menyatu, dan kini seluruh lingkar gelang itu berdenyut seperti jantung hidup—masih belum lengkap, tapi sudah bangkit dari tidur panjangnya.“Dari sini… ke mana arah kita?” tanya Ayu pelan. Suaranya masih dibalut kelelahan, tapi ketegasan mulai kembali di matanya.Rakasura menjawab setelah diam sejenak. “Kita akan menuju Gunung Simbar. Tempat tertinggi yang bisa dis

  • Gelang Langit   Bab 34

    Langit belum sepenuhnya terang ketika mereka tiba di dataran tinggi yang disebut oleh para penjaga sebagai Ambang Cahaya—sebuah wilayah suci yang dijaga kabut dan suara gema angin. Tanahnya tampak biasa saja, berumput dan bergelombang, tapi udara di sekitarnya terasa berbeda, seolah satu langkah ke depan bisa berarti melangkah ke dimensi lain.Rakasura berjalan paling depan, langkahnya mantap meski matanya terus menyisir garis horizon. Gelang di lengannya berdenyut pelan, seakan memberi tanda bahwa mereka telah mendekati tujuan.Tirta menguap lebar. “Ini dataran tinggi, ya? Kenapa nggak ada yang jual wedang jahe? Dinginnya nyusup ke tulang.”Ayu tersenyum kecil, wajahnya masih menyimpan ketegangan dari malam sebelumnya. “Kau yakin ini tempatnya, Sura?”“Di sinilah batas dunia mulai menipis,” jawab Rakasura. “Jika kita melangkah lebih jauh, kita akan sampai ke Gerbang Cahaya. Tapi hanya jika kita benar-benar siap.”Tirta berhenti. “Siap dalam arti...?”“Gerbang ini tidak dibuka dengan

  • Gelang Langit   Bab 33

    Langit malam itu berwarna ungu kelam, seperti tinta yang ditumpahkan di atas kanvas hitam. Tak ada bintang, hanya lengkung samar bulan sabit yang tergantung seperti senyuman miring di langit. Angin yang berhembus dari utara membawa aroma aneh: bau logam, bunga kering, dan sesuatu yang seperti... api yang belum menyala.Rakasura membuka matanya perlahan. Ia duduk bersila di atas batu besar, dikelilingi lingkaran kecil yang ia ukir sendiri: simbol-simbol pelindung, simpul roh, dan garis pemisah antara alam sadar dan tak sadar. Gelang di lengannya bersinar lembut, seluruh fragmen yang telah terkumpul kini menyatu dalam satu lingkar penuh, namun masih tampak retakan kecil yang belum terisi cahaya."Sudah siap?" suara Ayu terdengar pelan dari belakang.Ia berdiri tak jauh dari Rakasura, mengenakan jubah tipis yang ia tem

  • Gelang Langit   Bab 32

    Hutan yang mereka masuki selepas Lembah Kabut terasa lebih liar, lebih sunyi, seakan suara burung pun enggan tinggal di antara pohon-pohon tinggi yang daunnya menyaring cahaya matahari menjadi bayangan hijau kebiruan. Angin hanya berhembus pelan, membawa aroma basah dari dedaunan tua dan tanah yang belum disentuh langkah manusia selama bertahun-tahun."Ini bukan jalur biasa, ya?" tanya Tirta sambil menepis ranting yang menjulur.Rakasura mengangguk pelan. "Ini bukan tempat yang ditemukan lewat peta. Tempat ini memilih siapa yang bisa masuk.""Dan kita... dipilih?" Tirta melirik ke Ayu, yang hanya mengangguk dengan waspada."Untuk sementara," gumam Rakasura. "Jika niat kita berubah, hutan ini bisa menutup jalan."Hari sudah me

  • Gelang Langit   Bab 31

    Setelah rentetan pertemuan gaib dan pertarungan batin, pagi itu akhirnya datang juga. Bukan dengan kilatan cahaya atau denting kemenangan, tapi dengan embun yang diam-diam menetes dari ujung dedaunan, dan sinar matahari pertama yang malu-malu menyusup dari celah akar raksasa.Tirta adalah yang pertama bangun. Rambutnya awut-awutan, dan ia menggeliat seperti anak kucing yang baru keluar dari selimut. Setelah menengok ke kanan dan kiri, ia menarik napas panjang lalu menggumam, "Masih hidup... Alhamdulillah."Di dekatnya, Ayu duduk bersandar pada akar, matanya masih sayu, tapi lebih tenang. Rakasura sendiri masih bermeditasi, wajahnya bersinar lembut oleh cahaya samar gelang di tangannya."Kalau ini hari libur, aku pilih tidur lagi," keluh Tirta, mengambil sisa roti dari tasnya dan menggigitnya pelan. "Tapi ya sudahlah, petualangan belum selesai."Ayu tersenyum tipis. "Petualangan atau penderitaan terselubung?""Dua-duanya," sahut Tirta sambil duduk d

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status