“Far, nanti aku pulang agak sorean. Kalau Vier rewel dan tidak ada yang bisa mengatasi, minta tolong Andik antar ke kantor, ya?” titahku pada Farah yang sudah hampir sebulan ini bekerja menjadi pengasuh Vier.
Aku senang wanita itu ternyata dengan cepat bisa dekat dan akrab dengan Vier. Sepertinya Vier juga cocok dengannya.
“Baik,” ujarnya tersenyum. Memperlihatkan gigi gingsulnya yang membuat senyumnya manis.
Aku kasihan padanya.
Ketika pertama datang ke rumah ini dan pingsan setelah kehujanan, ternyata dia mengaku belum makan sejak hari sebelumnya.
Dirumah dia tingal sendiri karena orangtuanya memilih tinggal bersama sang kakak yang lebih berada.
Farah juga bilang orang tuanya kesal padanya, hinga usianya yang hampir 27 tahun masih menjadi beban tanggungan mereka saja. Sedangkan sang papa sudah tidak lagi bekerja
*Kemarahanku menggelegak saat pulang ke rumah hingga aku butuh banyak waktu untuk menenangkan diri di pos satpam sebelum aku masuk.Kuhabiskan beberapa gelintir rokok sembari mengalihkan pikiran dengan membicarakan hal lain bersama satpam rumahku yang kebetulan berjaga.Bicara apapun itu asal bisa membuatku melupakan tentang kemarahanku. Aku sungguh tak bisa terima jika benar Melati ternyata sampai butuh pria lain untuk menyenangkannya.Apa kurang selama ini perhatianku padanya?Kupenuhi kebutuhan lahir batinnya dengan baik. Dan jika sampai benar dia memang ada fair dengan gigolo itu, apa aku masih bisa hidup dengan baik?Untung saran Pomo masih bisa membuatku menahan diri. Tidak seharusnya aku bersikap begini apalagi semua belum pasti.Jadi ketika aku sudah merasa lebih tenang, aku pun beranjak masuk.Ada Dini dan Tuti yang masih mengerjakan sesuatu.“Baru pulang, Pak?” sapa mereka.“Ya,” tukasku dengan lelah dan terkesan dingin.Keduanya tak bertanya lagi. Tapi aku butuh tahu bag
*Rencana kami berantakan lantaran Vier jatuh dan kami harus lekas pulang. Sorenya aku kembali ke kantor karena Anwar mengatakan ada masalah dengan proyek yang lain.Untung Melati memahami kesibukanku jadi dia tak protes kalau aku harus pergi lagi padahal sudah sore dan putra kami juga sedang kurang enak badan.Hanya saja malam itu, tiba-tiba aku melihat ada notifikasi pesan dari emailku. Ada dana keluar sebanyak 50 juta dari rekening Melati.Sebenarnya dia punya dua kartu keuangan. Rekening untuknya sendiri di mana semua gajiku kutransfer padanya setiap bulan, dan akun rekening untuk urusan bisnisnya.Dan kebetulan Melati mentransfer menggunakan akun rekening bisnisnya yang memang sengaja kutautkan dengan emailku agar aku bisa ikut mengawasi perkembangan usahanya. Jadi, aku bisa tahu kalau ada dana yang keluar dan mencurigakan.[Dam, kakakmu mentransfer 50 juta ke seseorang, apa ada urusan dengan pekerjaan?] kutanya melalui pesan pada Iqdam karena dialah yang kupercaya untuk banya
~ Pov Fabian ~Waktu itu ada keributan di resepsionis dan sekretarisku menyampaikan bahwa ada wanita yang mendesak ingin menemuiku.“Siapa, Lia?” tanyaku pada sekretarisku itu.“Namanya Farah, Pak. Kalau tidak salah pernah datang ke kantor bersama Bu Melati.”Aku mengernyitkan dahiku. Mau apa lagi dia datang?“Tanyakan mau apa katanya?” ujarku pada Lia dan langsung menghubungi bagian resepsionis.Dengan segera aku mendapat jawaban Lia, “Katanya hanya ingin bertemu Pak Bian. Bagaiaman, Pak? Apa saya minta security mengusirnya saja?"Aku menghela lelah. Ini pasti karena Melati yang tiba-tiba memecatnya kemarin dan Farah merasa sangat tidak terima.Karenanya, mungkin sebaiknya kubiarkan dia menemuiku. Nanti biar aku beri pengertian baik-baik padanya. Ini juga untuk kebaikan Melati. Agar Farah tidak mengusik hidupnya.Aku memaklumi, sebagai wanita terkadang Melati mudah sekali bersikap gegabah menuruti perasaannya.Padahal aku yang paling tahu, Melati orangnya sangat tidak tegaan. Setela
*Dengan penuh semangat aku melangkah ke kamar.Sembari menunggu suamiku yang masih di kamar mandi. Aku langsung mengganti bajuku.Bukan lingerie tapi hanya daster rumahan . Kupilih itu karena Bian suka sekali kalau aku memakai pakaian tipis ini.Tak lupa kuperbaiki penampilanku dengan menambal lipstick agar tak terlihat pucat. Saat itu Bian keluar dari kamar mandi dan menatapku yang sedang mengoleskan lipstick.Buru-buru kututup benda itu dan jadi malu sudah kepergok berdandan.“Mas?” sapaku sembari melempar senyum padanya.Aku tak menghiraukan wajah dinginnya dan berharap setelah kupeluk nanti Bian sudah meleleh lagi.Hanya saja wajahnya tetap saja dingin dan tak ada sedikit senyuman sekedar membalas effortku yang sudah menyambutnya dengan penuh persiapan ini.“Aku lelah, Mel.” Hanya itu ujarnya sembari membuka lenganku yang memeluknya.Saat Bian berlalu keluar lagi dari kamar kami, aku baru merasa sungguh patah hati.Bukankah dia bilang tadi pagi akan segera pulang?Salahkah aku me
*Padahal aku sudah tergesa mempercepat urusanku di kamar mandi agar bisa segera keluar menyapanya.Tapi begitu keluar, aku malah tak melihatnya lagi.Hanya kemejanya yang kini tergeletak di sofa.Apa dia kelamaan menungguku di dalam kamar mandi tadi?Ingat belum sholat, kuselesaikan kewajibanku pada yang kuasa dulu, kemudian merapikan penampilanku dan segera keluar.Tidak meliaht Bian, kudapati Dini yang menyiapkan makanan bersama Tuti di dapur.“Kok kalian di sini berdua? Vier di mana?” tanyaku.“Vier sedang dimandiin Pak Bian, Bu,” jawab Dini.“Di kamar Vier?” tanyaku lagi.Keduanya kompak menjawab, “Iya, Bu.”Dan aku tak menunggu lama langsung melangkah ke kamar anakku.Pintu kamar Vier tidak tertutup dengan sempurna. Jadi aku masih bisa mendengar Bian bercanda dengan buah hatinya itu. “Ganteng kamu, mirip siapa sih?”“Milip papa, kan Vil cowok. Tidak mungkin milip mama.” Anak itu menyahuti ucapan papanya.Bian terkekeh. Aku ikut senang melihatnya. Artinya suasana hatinya sudah m
*“Mari, Bu!” Andik menggugah lamunku yang hanya berdiri tak bergerak di samping mobil. Dia kemudian membukakan pintu mobil itu.“Oh, i-iya, Ndik. Terima kasih,” ujarku baru bergerak masuk.Sepanjang jalan hanya terdiam mencoba menenangkan rasa yang sangat tidak enak di hati. Dadaku sesak dan sekujur tubuhku seolah tak memiliki daya dan kekuatan.Suamiku yang selama ini menjadi sumber kekuatanku, tanpanya tentu aku selemas ini.Kudengar Andik bertanya, “Apa kita langsung pulang, Bu?”Sesaat itu aku baru terbangun dari lamunku. Aku ingat harus menanyakan apakah Andik melakukan apa yang kusuruh semalam?Ini penting sekali agar Bian bisa percaya aku sedang dijebak.“Yang kusuruh semalam bagaimana, Ndik?”Andik baru menoleh ke belakang sebentar, tapi tidak langsung menjawab. Membuatku tidak sabar dan mengulangi pertanyaanku.“Andik? Bagaimana?”“Maaf, Bu. Petugas keamanannya mengatakan tidak boleh sembarang orang mengakses CCTV hotel kecuali memang ada perintah dari pihak kepolisian ata