Selamat membaca... 💖💖💖
*“Mas Bian?” panggilnya, tatapannya lekat ke arahku. Dia mengenaliku.Mau tak mau, kubuka masker dan kacamata. “Astaga, kau cepat sekali mengenaliku, ya?” ujarku pura-pura terkejut.“Emang aku seperti Mas Bian yang tidak pernah mengenaliku? Cara berjalan bahkan helaan napasmu saja aku sudah hafal!” balas Melati, nada sindiran tipisnya terdengar jelas.“Siapa bilang? Buktinya aku mengenalimu di balik cadar itu?” sangkalku cepat.“Hmm, orang tadi di lift lewat begitu saja!” Melati mengingatkanku.“Ya sudah. Kamu mau makan buburnya tidak?” Aku mengalihkan pembicaraan agar kami tidak bertengkar di tengah pasar. Aku tahu Melati sudah sangat ingin menyantap bubur ini, jadi aku mengalah mencari tempat yang nyaman.Dia hanya mengangguk, mungkin saking laparnya. Kuajak dia ke tempat yang agak sepi: sebuah restoran cepat saji. Sekalian aku bisa memesan makanan untuk Vier dan Dini, sembari menunggu ibu hamil ini menyantap Bubur Madura dari cup tinwall-nya.“Kamu ngidam, Sayang?” pura-pura aku be
*Saat pintu lift terbuka, aku bersimpangan dengan seorang wanita bercadar yang menunggu untuk masuk. Langkahku sudah terburu-buru. Aku tak sabar menemui istri dan anakku di unit.Kemarin, Melati sudah mulai membuka suara walau intonasinya masih dingin dan sinis. Hari ini, aku harus mencoba lagi. Pokoknya, aku akan pantang menyerah.Begitu sampai di apartemen, hanya Dini yang kulihat, sedang menemani Vier bermain robot.“Ke mana Melati?” tanyaku pada Dini. Melati tak ada di ruang mana pun.“Baru saja keluar, Pak. Katanya mau cari sesuatu,” Dini memberitahu.Barusan tadi aku bersimpangan dengan wanita bercadar dan memakai topi di lorong. Jangan-jangan… itu dia.“Yang pakai cadar itu?” tanyaku memastikan.“Iya, Pa. Mama bilang biar tidak kepanasan jadi pakai baju besar dan bermasker.” Kali ini Vier yang menyahut, tangannya asyik memainkan robot i-lik-nya. Anak itu pasti sudah menginterogasi mamanya sebelum pergi.Aku mendengus. Wanita itu memang seharusnya diikat saja di ranjang agar ti
*“Laporan tentang pencemaran nama baik Bu Melati sudah masuk ke polisi, Pak. Mungkin prosesnya akan lebih dipercepat,” ujar Pomo.Dia mantan orang kepolisian, punya banyak kenalan dan teman dekat di sana. Pasti urusannya lebih mudah.“Bagus. Terima kasih, Mo,” ujarku pada orang kepercayaanku itu. “Bagaimana dengan kabar video yang katanya akan disebarkan itu?”“Ini masih kita usut, Pak.”"Baik, Mo. Kita bicarakan nanti."Panggilanku kuakhiri, karena orang yang sedang kutunggu datang juga. “Maaf Alicia, kalau aku menganggu waktumu sebentar,” tukasku bangkit memberi hormat pada wanita itu.“Tidak apa, Pak Bian. Papaku kenal baik denganmu. Jadi dia membiarkanku menemuimu.” Alicia langsung duduk setelah kupersilahkan.“Aku bisa kok menemuimu di rumahmu atau di mana yang kau mau aku menemuimu. Kau tidak harus yang datang menemuiku,” ujarku. Aku yang butuh bicara dengannya jadi etikanya akulah yang harus datang.“Jangan segan begitu Pak Bian. dengan kau mau menemuiku sudah membuatku punya
*“Jangan sedih, masih ada harapan. Apalagi Melati hamil. Masa idahnya sampai melahirkan. Selama masa itu, kalau kalian sewaktu-waktu rujuk, keputusan pengadilan agama itu dianggap tidak berlaku lagi,” tutur Om Damar saat malam itu datang ke Surabaya. Sekalian aku minta sarannya.Beruntung beliau tidak banyak tanya kenapa Melati menggugat cerai. Om Damar seorang pria, sama sepertiku. Tidak terlalu ingin ikut campur urusan rumah tangga orang lain, tapi akan selalu siap kalau sewaktu-waktu dibutuhkan.“Sepi. Tidak ada kabar apa-apa? Tiba-tiba saja kamu bilang sudah cerai,” Om Damar akhirnya menanyakan hal itu. Karena memang mereka sama sekali tidak tahu.“Mungkin pengaruh hormon kehamilannya, Om. Sensitif. Hanya masalah sepele saja langsung dijadikan hal besar,” tukasku. Aku tidak bohong. Alasan yang dijadikan Melati untuk menggugatku adalah karena aku tidak pulang selama tiga hari dan karena cemburu pada kedekatanku dengan Elis.“Bukan hanya hormon kehamilan. Melati juga sedang krisis
“Pak Bian mau apa bawa pistol?” tanya Pomo, panik. Dia bangkit, berusaha menghadang langkahku yang sudah tak bisa dikendalikan.Pomo tahu bagaimana aku. Kalau sudah emosi tak terbendung begini, mati pun aku tidak takut.“Menghabisi pria itu, Mo!”“Pak, jangan gila. Kevin itu tidak sendirian. Dia punya banyak pengawal.”“Aku tidak takut!” bentakku. Kudorong Pomo yang mencoba menahanku dan bergegas keluar mencari mobil.“Kalau begitu, saya ikut!” seru Pomo sambil mengejar.Dia yang menyetir. Kutunjukkan tempat yang mungkin jadi persembunyian Kevin. Tapi aku tahu dia sengaja memperlambat laju mobil, memilih rute yang lebih jauh, memberi waktu agar aku bisa berpikir jernih.“Pikirkan Bu Melati, Pak. Pikirkan Vier. Mereka masih butuh Pak Bian. Banyak
*Kucoba mengaktifkan ponselku dan kulihat beberapa pesan dan panggilan dari Melati yang terbiar terabaikan. Dadaku kembali sesak membayangkan istriku menjerit dalam diam atas semua keputusannya itu.Dia terdesak, dia ditekan, dan diancam. Tapi Melatiku masih memikirkan harga diriku, kepentinganku, juga keselamatan putra kami. Sedangkan aku malah menambahi luka batinnya dengan membuatnya bertambah cemburu atas kedekatanku dengan Elis.Kucoba menghubunginya. Namun tidak ada suara yang tersambung. Sepertinya Melati tidak mengaktifkan ponselnya.“Tadi pagi sidang putusan perceraian, Pak. Aku sendiri yang mengikutinya dari jauh. Bu Melati tampak rapuh dan sembunyi-sembunyi mencari tempat sepi untuk meluapkan kesediahannya dengan menangis.” Pomo bercerita dengan mata memerah.Pomo bisa merasakan bahwa selama ini Melati terbiar tanpa sebuah perlindungan. Dia benar-benar sendi