Kubantu memasang dasinya juga merapikan rambutnya. Bian masih curi-curi cium saja. Apa tidak puas kami sudah melakukannya berkali-kali tadi?“Miranda terus menghubungi, Mas. Sempatkan membalas pesannya atau hubungi dia balik,” tuturku padanya. Bian tak menyahut.Aku tidak mengerti masalah apa yang sedang terjadi antara mereka. Hanya tak mau banyak percaya diri saja dengan pikiranku. Karena kalau mereka ada banyak masalah, tentu Bian tidak lagi selalu menurutinya.Dengan Bian mengajak Miranda ke pertemuan ini, artinya mereka masih baik-baik saja.Ahhh, bisa jadi karena otak pria ini mesum saja padaku. Biasanya pria tidak bisa sebebas itu pada istrinya demi rasa hormat atau rasa cintanya.Jadi, sepertinya pria ini memang hanya butuh tubuhku untuk bersenang-senang saja.“Mikir apa?” Bian mencolek hidungku karena aku sempat melamun di depannya.“Mikir, Mas Bian pasti tidak bisa menggauli Miranda dengan begitu bebas karena takut membuatnya tidak nyaman. Tapi kalau bersamaku pasti asal
“Bukannya mas sudah bersenang-senang bersama istrimu itu!” tanyaku setelah memenuhi hasrat pria itu.Kurapikan bajuku lagi tapi belum sempat keramas. Seringnya Bian akan minta lagi. Dia tak akan cukup dengan sekali berhubungan denganku.Ini kulakukan karena sudah ada pesan dari deliveri makanan yang menyampaikan akan segera sampai.“Jangan dihitung, aku menagih yang hakku darimu,” tukasnya meski matanya terpejam.Dia butuh sedikit waktu untuk mengumpulkan energinya baru kembali beraksi dengan ganas memperkosaku.Bel berbunyi, dan aku segera membuka untuk mengambil pesanan makananku.Karena tidak tahu Bian akan datang, aku hanya pesan seporsi untukku saja.Walau begitu, aku masih menawarkan barangkali dia mau makan juga.“Boleh!” ujarnya bangkit untuk ikut makan. “Cuci tangan dan mukanya dulu!” kataku menahannya saat langsung ingin makan. Mungkin sudah lapar pasca babak pertama selesai..Bian tak menolak, dia langsung ke kamar mandi. Saat itu ponselnya yang ada di meja tak jauh dar
~ POV Melati ~“Jadi, tolong kerjasamanya, Bu. Nanti jangan berkeliaran di hotel kalau tidak ada kepentingan!”Sambil menyetir Pomo menjelaskan gimana-gimananya nanti aku di sana.Aku hanya menghela.Untuk apa juga Bian masih mengajakku kalau dia sudah bersama Miranda?Apalagi memintaku tetap di kamar saja.Padahal belum tentu juga dia bisa menemuiku karena sudah pasti dia akan tidur bersama istri tercintanya itu.“Baik, Pak Pomo!” ujarku menyembunyikan raut kesal.Tentu saja aku berpikir akan lebih baik kalau aku tidak ikut saja. Aku jadi bisa ke salon Vivi sekedar cari kesibukan bantu-bantu di sana.Di apartemen, meski dengan barang-barang mewah dan semua kebutuhan sudah terpenuhi, aku merasa mudah jemu.Apalagi kalau Bian tidak datang. Etlis sepanjang hariku hanya baca novel online, lihat TV, atau jalan-jalan tipis di area apartemen.Membosankan bukan?Sudah seperti wanita simpanan saja.Aku ini kan istrinya juga.Kalau memang niat tidak melepasku, harusnya Bian bisa lebih tegas be
“Aku cantik tidak, Sayang?” Miranda sudah tampak bersiap karena mau ikut aku ada urusan bisnis di Batu. Pakaiannya sedikit terbuka dan aku kurang menyukainya. “Cantik, Mir. Tapi kalau boleh aku kasih saran, bisa tidak ganti bajunya?” ujarku. “Sayang, kau serius bilang cantik tidak sih? Kalau bilang cantik ya tidak perlu pakau embel-embel ‘tapi’. Pasti terpaksa ya bilang aku cantik?” gerutu Miranda. “Bukan begitu, Sayang. Di Batu dingin. Beda dengan di Surabaya dan Semarang. Kau pasti kedinginan.” Kucoba menjelaskan dengan baik-baik menggunakan alasan keadaan cuaca di sana agar Miranda tidak ngambek. Dia selalunya suka tampil yang sedikit terbuka dan menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya. Padahal yang kumau, di depanku saja dia begitu. Tak perlu pengakuan orang lain untuk mengaguminya. Karena aku sudah cukup mengaguminya. “Bilang saja kalau tubuhku tidak lagi seksi seperti dulu, kurus kerempeng, tak menarik.” Miranda kembali berulah. “Tidak, kau tetap cantik.” Masih kucoba menahan di
~ POV Bian ~“Sayang, aku menunggumu dari tadi.”Miranda menyambutku saat aku baru datang. Kulihat senyumnya merekah dan dia juga sudah berdandan seksi.Pemandangan seperti ini yang selalu kudambakan setiap kali aku pulang dari rasa kepenatan seharian berkutat dengan pekerjaan.Hanya saja aku kurang percaya lagi dengan sikap manisnya, karena seringnya itu tidak akan bertahan lama. Ada saja hal yang akan membuat Miranda berubah menjadi bawel dan mengerikan setelah kami berdebat kecil.Mudah-mudahan kali ini tidak. Apalagi rumah sedang sepi. Di mana mertuaku sedang mengunjungi rumah mereka di Semarang. Jadi tidak akan ada yang tiba-tiba nimbrung ikut campur dengan urusan kami.“Ada urusan apa mama ke Semarang?” tanyaku setelah membersihkan diri.“Entahlah, tapi dia bilang harus ke Semerang sementara waktu,” tukas Miranda duduk manja di sampingku bergelanyut di lenganku.“Bian, aku minta maaf, ya? Terkadang aku labil. Itu juga karena aku mencintaimu, Sayang,” tukas Miranda merapatkan tu
“Auw!”Aku terpekik kaget karena ada yang menarik lenganku.Ternyata Bian.Tak kudapati Miranda di sampingnya. Kulihat sekitar dan bertanya-tanya, ke mana wanita itu?“Mas, kenapa ke sini?” tanyaku mencoba melepas genggaman tangannya.“Darimana kamu?” Bian tak mau menjawab tapi malah menanyaiku dengan mendesak.“Enggak kemana-mana, di sini saja,” jawabku.“Mana ada, kau pasti mengunjungi pria brengsek itu, kan?”Bian pasti mendengar ucapan saat Vivi mengajakku pergi. Dia terlihat sangat tidak suka.“Hanya sebentar,” ujarku jujur.Bian langsung menarik lenganku lagi menyeretnya ke sebuah tempat yang sepi dan memepetkan tubuhku ke dinding untuk di kukungnya. Jemarinya mencubit daguku karena kesal.“Bisa ya, kau masih menemui pria yang hampir memperkosamu?”“Auw, sakit, Mas!” keluhku mencoba mendorong tubuh pria ini. Tapi aku tak bisa.“Tidak tahu malu! Untuk apa kau menemuinya?” cecar Bian kembali tak menghiraukan keluhanku.“Aku tidak tahu kalau Miranda juga akan ke kantin, jadi daripa