LOGINGea terkejut bukan main.
Tiga hari kemarin, dia terus mencari Aris, terutama ketika dia mau berangkat wawancara untuk posisi sekretaris. Tapi apa? Aris tidak ada di rumah. Dia mungkin berjudi dengan teman-teman lain sampai Gea tidak habis pikir dengan kelakuan suaminya. Nina masih kecil, butuh kasih sayang seorang ayah, tapi Aris? Sebenarnya Gea masih bisa menahan diri, tapi tiga hari terakhir, Aris benar-benar keterlaluan! Gea bahkan menjual dirinya demi pengobatan Nina. Gea rela sehina itu. Sedangkan Aris, tidak memberi apapun ke Gea. Dia hanya datang untuk marah dan meminta uang Gea saja! Emosi Gea sudah tidak tertahankan lagi. Setelah keluar dari resepsionis, dia langsung meluapkan semuanya dan pulang ke rumahnya. “Kamu yang selama ini kemana saja, Mas? Aku disini berjuang demi anak kita, tapi kamu malah asik-asikan mabuk, main judi sama teman kamu.Bahkan berhutang dimana-mana, dan sekarang kamu bilang aku istri gak becus??” Air mata Gea seketika langsung tumpah dari pelupuk matanya tanpa bisa ditahan. Hatinya hancur, seperti ditusuk ribuan duri. Tubuhnya bahkan sampai gemetar. "Apaan sih ribut-ribut? Udah sih sekarang kamu masak buat aku! Aku lapar Gea. Gak usah banyak bacot kamu ini! Masak makanan buat aku sekarang, bukannya malah menyalahkan aku ini itu, dasar istri bodoh!” ucapnya mengalihkan topik. Gea terdiam, matanya panas. “Mas … kamu nggak dengar aku bilang apa? Nina sakit, dia sedang diinfus sekarang! Aku harus kembali ke klinik sek—” “Yaelah, anak sakit mah biasa. Jangan lebay! Aku lapar, ngerti nggak? Udah sih gak usah ngurusin anak lagi anak lagi! Emang surga Lo ada di anak? Bukan kan?! Biarin aja tuh anak sebentar. Mati juga nggak apa-apa, nggak usah pedulikan!” Air mata Gea jatuh deras. “Kamu … kamu tega, Mas. Nina itu darah dagingmu sendiri…” suaranya lirih, hampir hilang ditelan tangis. Dada Gea bahkan sampai sesak dan panas, melihat kelakuan suaminya yang melebihi iblis. “Aku nggak peduli, Gea, sama anak penyakitan itu! Hidupnya cuma nyusahin! Oh, aku tahu sekarang kenapa kamu dua hari ini menghilang.” “Bukanya kamu yang menghilang Mas?” “Aku hilang?? Hei wanita bodoh! Aku ini main, yang hilang itu kamu, dasar bodoh.” sahut Aris dengan nada suara yang tidak santai. Gea tersentak kaget juga, mendengar ucapan Aris yang mengetahui dirinya menghilang juga. “Dan Ka-kamu tahu apa, Mas?” suaranya bergetar. Tangan Gea bahkan terkepal di samping tubuhnya. “Kamu sekarang kerja, kan? Bahkan langsung jadi sekretaris di perusahaan besar. Pantesan aja tiba-tiba hilang. Jangan-jangan kamu bisa masuk karena jual diri, ya?” Gea membelalak kaget. “Kamu dapat kabar itu dari mana, Mas?” “Halah, kamu nggak perlu tahu aku dengar dari mana. Tapi coba pikir! Bisa-bisanya kamu kerja tanpa izin suami? Jangan bohong, Gea. Kamu beneran jadi pelacur buat bos kamu? Makanya langsung diterima jadi sekretaris, kan?” nada Aris sinis, penuh sindiran. “Jaga mulut kamu, Mas!” “Aku tanya sekali lagi—kamu beneran jadi simpanan bos kamu, Gea? Jawab aku!!” bentaknya, suara Aris meninggi tepat didepan Gea, mata Aris bahkan melotot tajam. “Nggak, Mas! Aku kerja di sana hasil usaha aku sendiri! Aku melamar, aku berjuang ke mana-mana, bukan karena hal kotor yang kamu tuduhkan!” “Sudahlah, Gea! Jangan bohongi aku! Kamu pikir aku percaya? Dasar wanita murahan! Wanita kantoran itu sama aja, gatal, nggak punya harga diri lagi!” “Cukup, Mas!!” suara Gea pecah. “Seharusnya kamu introspeksi diri. Lihat diri kamu—apa sudah jadi suami yang benar? Bukan malah menghina istri yang sudah berjuang! Aku capek, Mas … aku benar-benar capek!” Bruk! “Jahat kamu Mas! Kamu benar-benar jahat..” Gea meraung sambil seg-segan nangisnya. Tubuhnya yang gemetar langsung jatuh terduduk di lantai. Isak tangis sudah tidak bisa dibendung lagi, beban kehidupan Gea seakan menekan relung ulu hatinya. “Alah gak becus benar-benar gak becus kamu ini Gea!! Istri macam apa kamu ini, yang hilang begitu saja, dengan alasan mengurus anak? Padahal kamu itu jual diri sama orang kaya.” Aris berdiri di tengah ruang tamu dengan wajah memerah, matanya menyala penuh amarah. "Kamu itu wanita murahan, Gea! Tak punya harga diri!" teriaknya dengan suara yang pecah, seolah semua kebencian dunia ini tertumpah pada istrinya yang selalu Aris anggap tak berguna. Gea yang terus dimaki oleh suaminya sendiri hanya bisa menangis dan terus menangis Tanpa henti, sampai tubuhnya semakin gemetar hebat, bibirnya bergetar, Ia menarik nafas dalam-dalam, mencoba menguatkan diri, tapi kata-kata kasar Aris terus menusuk hatinya seperti pisau. Setiap makian yang keluar dari mulut Aris membuat Gea merasa hancur, seolah seluruh dunia menolak keberadaannya. Tubuhnya terkulai lemas ke kursi, tangan gemetar menyeka air mata yang terus mengalir tanpa henti. Di balik kesedihan itu, ada luka yang dalam, luka yang tak bisa diobati hanya dengan kata maaf yang tak pernah datang. “Kenapa Mas? Disaat aku berjuang demi kehidupan dan darah daging kamu sendiri, kamu justru terus menuduhku ini dan itu! Kamu gak pernah lihat perjuangan aku selama ini Mas, aku selalu berusaha untuk kehidupan kita, tapi yang ada di otakmu, hanya mabuk, main judi, dan obat-obatan gak jelas itu, hanya itu yang selalu kamu pikirkan! Kamu gak pernah mikirin gimana perasaan aku yang selalu kamu injak-injak Mas! AKU CAPEK MAS AKU CAPEK—” Gea merasa muak dengan setiap makian yang keluar dari mulut suaminya. Gea lelah dengan semuanya, tetapi Gea seakan terkunci oleh ruang kegelapan yang tidak pernah ada cahaya apapun. “Kenapa kamu yang jadi marah? Seharusnya aku suami kamu yang marah Gea! Kamu ini keras kepala dan gak pernah becus, anak sakit-sakitan tapi malah kamu rawat terus, bukanya dibiarkan mati saja, ini malah kamu rawat, kamu tahu gak? Itu hanya akan menghabiskan uang jika terus kamu rawat. Perempuan bodoh otak pun tidak dipakai.” cerca Aris dan terus menyalahkan Gea, tanpa mau introspeksi diri sendiri. Mata Gea terpejam berusaha menahan emosinya yang seakan ingin meledak besar-besaran. “Aku bukan kamu Mas yang gak punya hati! Itu putri aku, sampai kapanpun akan aku rawat semampu aku.” “Aku yang mengandung Nina selama sembilan bulan, aku yang ngerasain gimana beratnya jadi seorang ibu, dan bahkan saat aku hamil Nina, aku gak pernah dapat gizi yang baik, aku selalu makan-makanan yang gak sehat, sampai aku benar-benar berjuang buat ngelahirin Nina ke dunia yang kejam ini, dan mulut kamu dengan seenaknya, menyuruh aku untuk membiarkan putri aku dan darah daging kamu buat mati dan tidak mengurusnya lagi. Dimana hati kamu mas, dimana?!” Gea memukul dada suaminya, berharap suaminya memiliki hati yang bisa berubah, bahkan tangan Gea mengetuk-ngetuk dada suaminya. Aris terdiam, entah bingung atau justru malas menjawab ucapan Gea yang baginya cerewet. “KAMU DIAM! AKU PUSING.” bentak Aris keras. “Aku juga capek Mas.” Gea pun pergi meninggalkan Aris untuk masuk ke dalam kamar. *** Pagi menjelang di kamar hotel Viceroy. Jonathan baru saja terbangun dari tidur lelap semalamnya. Matanya melirik ke samping, mencari sesuatu yang hilang—Gea tidak ada disampingnya. “Gea, dimana kamu?” Tak ada jawaban. “Gea!” panggil Jonathan lagi. “Brengsek apa setelah dia dapat uang, dia pergi begitu saja??” “Dasar cewek matre. Sudah dapat uang baru pergi, semalam dia memohon seperti pengemis!” suara Jonathan serak karena baru bangun tidur, tangannya mengepal merasa emosi oleh Gea yang pergi begitu saja.Hening kembali menguasai ruangan itu, hanya menyisakan bunyi bip statis dari monitor jantung yang seolah mengejek keputusasaan Jonathan. Namun, tepat saat Jonathan hendak melepaskan genggamannya untuk membasuh wajah, ia merasakan sesuatu.Sesuatu yang sangat halus. Hampir tidak terasa.Ujung jari manis Gea bergerak sedikit—sebuah kedutan kecil yang nyaris tak kasat mata—menyentuh telapak tangan Jonathan.Jonathan membeku. Jantungnya berdegup kencang, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. "Gea?" bisiknya, nyaris tak terdengar. "Gea, kamu dengar saya?"Ia tidak berani berkedip. Matanya terpaku pada kelopak mata Gea yang mulai bergetar hebat. Di layar monitor, grafik aktivitas otak yang tadinya landai mulai menunjukkan lonjakan-lonjakan tajam. Suara alarm alat medis mulai berbunyi nyaring, menandakan adanya perubahan mendadak pada ritme tubuh pasien."Dokter! Dr. Sanjaya!" teriak Jonathan tanpa melepaskan tangan Gea.Dr. Sanjaya yang baru saja mencapai pintu segera berlari kembali
BRENGSEK! LEPASIN GUE SIALAN!" Raungan Selly memecah kesunyian lorong, suaranya serak karena terus memberontak. Tiga pasang tangan kekar mengunci pergelangan dan lengannya, menyeret paksa tubuhnya yang melawan ke tengah ruangan. "JANGAN MAIN-MAIN YA SAMA GUE SETAN! LEPASKAN! LEPASKAN!" Setiap kata terlempar dengan getar kebencian yang murni.Cengkeraman pada lengannya mengeras, seolah berusaha meremukkan tulangnya. Selly meludah, matanya liar mencari celah untuk meloloskan diri, namun sia-sia. Para penjaga itu seolah patung batu tak tergerak.PLAK!Suara tamparan itu begitu nyaring, memantul dari dinding semen yang dingin. Kepala Selly terlempar ke samping, rasa panas dan denyutan seketika menjalar di pipinya. Bintang-bintang kecil seakan meletup di retinanya, dan rasa logam darah memenuhi mulutnya."ANJING!" Selly sontak menjerit, kata umpatan yang tajam itu keluar tanpa sempat ia tahan.Andre, pria bertubuh paling besar dengan rahang persegi, menarik tangannya yang memerah. Matanya
Di luar ruang perawatan intensif tempat Gea terbaring, Rasya berdiri terpaku di koridor yang sedikit lengang. Udara malam yang sejuk menusuk kulitnya, membawa aroma antiseptik rumah sakit yang kental. Matanya, yang biasanya tajam dan penuh perhitungan, kini memancarkan kecemasan yang tersembunyi. Ia menggenggam ponselnya erat-erat, cahaya layarnya memantul tipis di wajahnya yang tegang. Ia sedang berbicara dengan salah satu anak buah terpercaya Jonathan."Oke, sekarang nona Selly ada di mana?" desis Rasya, suaranya pelan namun penuh otoritas, khawatir suaranya akan menembus pintu ruang rawat Gea yang kedap."Selly ada sama Andre sekarang, dia sudah diamankan," jawab suara di seberang, nadanya lega bercampur kepastian.Alis Rasya terangkat sedikit. Ini adalah kabar baik yang sudah lama ditunggu tuannya. "Jaga nona Selly! Jangan sampai dia lepas... Tuan sudah benar-benar menunggu hal ini." Ada penekanan kuat pada kata 'lepas', karena Selly adalah kunci dari segala kekacauan yang terjadi
Dinding putih ruang perawatan VIP itu menjadi saksi bisu atas penantian yang menyiksa. Sudah dua hari sejak insiden mencekam itu, namun Gea masih terperangkap dalam alam bawah sadarnya. Tubuhnya yang biasanya memancarkan aura ceria dan penuh kehidupan, kini terbaring kaku, dikelilingi oleh detak ritmis alat-alat medis yang menjadi penanda rapuh bahwa nyawanya masih ada. Selang infus terpasang di pergelangan tangannya, sementara monitor menampilkan garis-garis elektrokardiogram yang naik turun, menggambarkan perjuangan sunyi di dalam diri gadis itu.Jonathan, sang penguasa yang biasanya dingin dan tak tersentuh, telah berubah menjadi penjaga yang setia dan gelisah. Sejak kemarin, ia praktis menjadikan lorong di depan ruang perawatan Gea sebagai singgasananya. Pakaiannya tampak kusut, dan matanya memerah karena kurang tidur, namun ia tak beranjak. Dokter belum mengizinkannya masuk; larangan itu terasa seperti hukuman yang semakin menggerogoti kesabarannya.Tiba-tiba saja Rasya asiste
Luka-luka yang menggerogoti sekujur tubuh Gea bukan hanya sekadar cedera fisik; mereka adalah peta penderitaan yang kini membawanya ke jurang kritis. Tiap helai kulitnya, kini diselimuti oleh warna lebam keunguan dan goresan-goresan merah, memancarkan kegetiran yang seolah merasuk ke dalam jiwanya. Nafas Gea, yang sejak tadi tersendat-sendat seakan berjuang melawan hantu yang mencekik, kini tiba-tiba berhenti. Alarm mesin monitor jantung yang semula berdetak stabil berubah menjadi garis lurus nan memekakkan, memicu kepanikan senyap di ruang perawatan intensif itu.Dokter dan perawat sigap bergerak cepat, seolah tersengat listrik. Dengan gerakan terampil, sebuah alat bantu nafas, yang bentuknya dingin dan impersonal, langsung dipasang, menopang paru-paru yang kini terlalu lelah untuk berfungsi. Kini, Gea terbaring di tengah gugusan selang, kabel, dan jarum infus—sebuah patung hidup yang sepenuhnya bergantung pada teknologi medis. Wajahnya pucat pasi, hanya bisa dihiasi oleh kepulan uap
Jonathan merasakan dinginnya tubuh Gea menembus kain tipis kemejanya, dingin yang menyesakkan, jauh lebih menusuk daripada angin malam yang menerpa jendela mobil. Setiap langkahnya, mulai dari ambang pintu gedung tua yang berbau debu dan pengkhianatan, hingga ia memosisikan Gea dengan hati-hati di kursi belakang mobil, terasa seperti mengangkat beban duka yang tak terperikan. Ia tidak lagi peduli pada rasa sakit di punggungnya atau lumpur yang mengotori celananya; satu-satunya fokusnya adalah detak jantung rapuh di dekapannya.Gea. Wajahnya yang biasa cerah kini pucat pasi, seperti porselen yang retak. Di balik kotoran dan noda darah yang samar, kulitnya terlihat transparan. Rambutnya yang seharusnya berkilauan kini lepek dan kusam, menutupi sebagian dari mata yang terpejam damai—kedamaian yang mematikan.Ia memangku tubuh Gea. Posisinya canggung dan menyakitkan, tapi ia tidak akan melepaskannya. Tangan kirinya memeluk pinggang Gea, menopang agar tubuh itu tidak tergelincir, sementara







