LOGINPagi itu, Gea berdiri di depan cermin dengan wajah yang tampak lelah namun tegas. Bajunya rapi, tas kerja sudah tergantung di bahunya, tapi matanya berkaca-kaca saat teringat Nina, putri kecilnya yang masih terbaring di ruang rawat rumah sakit. Nafasnya berat, tapi tekadnya lebih kuat daripada rasa letih yang merayap di tubuhnya.
Saat melangkah melewati ruang tamu, Aris duduk santai dengan wajah yang masih sedikit mengantuk. “Mau kemana kamu pagi-pagi gini?” tanyanya dengan nada setengah memerintah, setengah penasaran. Gea berhenti sejenak, menatap Aris dengan mata yang tak lagi hangat seperti dulu. “Nina,” jawabnya singkat, suaranya datar tanpa ada sedikit pun rasa ingin berdebat. Aris mengernyit, akan Gea yang sekarang beda dari yang dulu, sifat Gea mulai melawan. “Udah, anak itu lagi aja. Mending bikinin gue sarapan,” ucapnya sambil melemparkan pandangan mengharap Gea menurut. Gea menghela napas panjang, menekan segala rasa lelah dan amarah yang menumpuk. “Aku buru-buru, Mas,” katanya tegas, lalu melewati Aris dengan langkah cepat tanpa menoleh ke belakang. “Istri bodoh susah bangat jadi istri yang berguna buat suami, awas Lo ya nanti, udah mulai melawan gue Lo.” ucap Aris menyentak kesal dengan sifat Gea. “Dibilangin biar anak itu mati aja gak usah dirawat lagi, tapi malah terus ngerawat huh! Bodoh dasar Lo jadi istri.” . “Mama..” Gea telah sampai di rumah sakit. Nina kebetulan sudah bangun dari tidurnya sejak tadi, dan menunggu Gea ibunya. “Hai sayang, maaf ya Mama baru datang, maaf juga mama malam gak temenin kamu disini.” ucap Gea sambil mengusap-usap kening Nina. “Ma itu apa?” Kemarin Gea menyiapkan sebuah boneka untuk Nina, setelah mendapatkan uang dari Jonathan. Gea sengaja membelikan boneka untuk Nina. “Mama ada beli boneka buat Nina, biar Nina pas Mama pergi gak kesepian.” Gea dengan rasa senangnya langsung menyerahkan boneka kepada Nina. Mata Nina berbinar dan kesenangan. “Wah ini beneran buat Nina ma?” tanya Nina, namun raut wajah Nina tiba-tiba berubah sedih. “Loh Nina kenapa? Kok wajah cantiknya kaya sedih gitu? Nina gak suka yah??” tanya Gea khawatir melihat ekspresi wajah putrinya. “Nina suka kok Ma. Tapi boneka ini pasti mahal ya ma? Mama gak pinjam uang lagi kan ke orang lain?” astaga anak umur lima tahun sudah paham hal itu, mungkin Nina sudah sangat sering melihat Gea ibunya pinjam uang kepada orang lain. “Nina setelah ini mau pulang ma. Dirumah sakit pasti biayanya mahal yah?” Gea yang mendengar hal itu dari mulut putrinya, seketika langsung mengalihkan wajah nya. Gea berusaha tersenyum dan berusaha terlihat baik-baik saja didepan Nina, putrinya yang pintar itu. “Ini gak mahal kok, mama udah gak pinjam uang lagi ke orang lain, mama sudah kerja nak. Nina gak perlu khawatir yah, mama sekarang ada uang, makanya mama belikan Nina boneka.” ucap Gea, sambil menggenggam tangan kecil Nina. “Mama gak bohongin Nina kan??” mata kecil yang Masih sayu, menatap wajah ibunya lirih. “Nggak sayang, mana ada Mama bohongi Nina, udah sekarang Nina makan ya sama mama, habis ini Mama harus bekerja. Nina mama tinggal gak papa ya?” “Iya ma. Nina gak papa kok.” Gea merasa bersyukur sekali. Putrinya menjadi putri yang baik dan pengertian setiap keadaan Gea. Nina adalah penguat bagi Gea. . “Semuanya sudah saya siapkan tuan, baju anda untuk ke kantor sudah ada di ruang ganti.” Rasya sebagai bawahan Jonathan datang ke hotel Viceroy untuk menyiapkan keperluan tuanya, kebetulan Jonathan memang belum keluar dari hotel ini. Pagi ini mood Jonathan sangat buruk, perihal Gea yang main pergi begitu saja setelah mendapatkan uang, membuat Jonathan menjadi emosi. Jonathan maunya Gea Masih berada di dekatnya untuk kembali memuaskan Jonathan dipagi hari. “Tuan setelah ini apakah anda langsung ke kantor, atau pulang ke rumah terlebih dahulu?” tanya Rasya sedikit gugup, melihat wajah Jonathan yang tidak mood. “Kantor.” jawab Jonathan dingin. “Ba-baik tuan..” “Saya akan bersiap, kamu pergi dan tunggu di mobil.” “Baik tuan.” . Jonathan melangkah masuk ke ruang kantor dengan langkah pasti, tubuhnya yang tinggi dan tegap langsung menarik perhatian setiap orang yang ada di sana. Mata para karyawan serentak menoleh, terpaku oleh pesona karismatiknya—wajah tampan yang seolah memancarkan aura penguasa. Suara serempak mengucapkan, “Selamat datang, Pak Jonathan...” menggema, namun Jonathan tak sekalipun menoleh atau mengangkat alisnya. Ia tetap melangkah lurus, tatapannya kosong seakan memisahkan dirinya dari keramaian yang menyambutnya. Di dekat pintu masuk, Gea mencoba menyapa dengan suara lembut, “Selamat pagi, Pak Jonathan,” tapi sapaan itu nyaris tenggelam oleh sikap dingin Jonathan yang tak sedikit pun menanggapi. Gea menatapnya dengan ragu, hatinya berdegup cepat, berharap ada secercah perhatian darinya. Namun, Jonathan tetap berjalan tanpa memperlihatkan sedikit pun kerelaan untuk membalas, wajahnya tetap datar, bahkan bibirnya sedikit mengecil menahan rasa jengah yang mungkin menggerogoti dalam diamnya sekarang. “Kemarin dia tidak begitu cuek, kenapa sekarang dia bahkan enggan menatapku? Aku ada buat salah?” Gea merasa heran atas sikap Jonathan. “Lebih baik aku langsung ke ruangan, untuk memberitahu pekerjaan hari ini kepadanya.” cetus Gea dan menghiraukan sifat cuek Jonathan yang tadi. . “Masuk!” Gea mengetuk-ngetuk ruangan Jonathan, untuk membicarakan jadwal pekerjaan hari ini, kebetulan sekarang ada jadwal rapat. “Selamat pagi pak.” sapa Gea sebelum memberitahu jadwal rapat kepada Jonathan. Tak ada jawaban. Jonathan hanya diam. “Saya hanya mau memberitahu bahwa ada rapat penting yang diadakan di hari ini, di jam satu siang bertepatan di ruang rapat yang sudah disiapkan Pak.” “Saya juga telah menyiapkan dokumen yang diperlukan untuk rapat hari ini, apakah ada lagi yang perlu saya siapkan Pak Jo?” Gea pun langsung menjelaskan pekerjaan hari ini kepada Jonathan, namun Jonathan Masih saja diam dan tak bergeming sedikitpun terhadap Gea yang berbicara. “Hmmm!” Gea menjelaskan panjang lebar tetapi Jonathan malah menjawab singkat? Apakah Jonathan tidak mau menggunakan mulutnya untuk berbicara? Gea merasa jengah sekali jika ada orang yang berbicara tapi malas. Tapi Gea tidak bisa marah, karena itu atasannya sendiri. Kalau bukan sudah Gea cekik lehernya. “Oh iya ada lagi Pak. Aleskar Group mengajukan kerjasama dengan mereka yang mengirimkan sebuah email untuk pengajuan kerjasama, apakah anda ingin saya menjadwalkan pertemuan untuk membahas pengajuan kerjasama ini?” “Jika bapak menyuruh saya untuk memproses pengajuan kerjasama Aleskar Group, saya akan segera memproses proposal yang akan bapak bahas.” “Setelah mendapatkan uang, kenapa kamu main pergi begitu saja? Apakah saya menyuruh kamu untuk pergi? Sebelum persetujuan dari saya Gea?!” tanya Jonathan malah mengabaikan ucapan Gea tentang pekerjaan yang sedang dibahas. Dan Gea pun seketika merasa canggung. Jonathan bertanya hal itu. “Jawab Gea! Kamu punya mulut bukan saya suruh untuk menjadi bisu.” Jonathan berdiri mendekat kepada Gea. Gea memundurkan sedikit langkahnya. “Kenapa Pak Jo harus membahas itu? Terus aku sedari tadi berbicara tentang pekerjaan, dia tidak mendengarkannya gitu??” cetus Gea kesal didalam hatinya, pembicaraannya seakan sia-sia didepan Jonathan. “Karena tugas saya sudah selesai Pak.” Gea menjawab dengan wajah yang menunduk. “Apakah kamu berbicara dengan undur-undur, sehingga membuat wajah kamu menunduk??” ketus Jonathan kesal, lawan bicaranya tidak menatap dirinya sama sekali. Gea pun cepat-cepat mengangkat wajahnya dan berusaha menatap Jonathan. “Gak ada kata selesai sebelum persetujuan saya Gea!” Jonathan menarik pinggang Gea lalu—Bruk. Tubuh Gea dipojokkan ke dinding oleh Jonathan, tangan Gea di tarik ke atas. “Say-saya ada urusan pen—” “Saya tidak menerima alasan kamu Gea, cepat jawab yang sebenarnya!” potong Jonathan Masih memojokkan Gea.Hening kembali menguasai ruangan itu, hanya menyisakan bunyi bip statis dari monitor jantung yang seolah mengejek keputusasaan Jonathan. Namun, tepat saat Jonathan hendak melepaskan genggamannya untuk membasuh wajah, ia merasakan sesuatu.Sesuatu yang sangat halus. Hampir tidak terasa.Ujung jari manis Gea bergerak sedikit—sebuah kedutan kecil yang nyaris tak kasat mata—menyentuh telapak tangan Jonathan.Jonathan membeku. Jantungnya berdegup kencang, seolah ingin melompat keluar dari dadanya. "Gea?" bisiknya, nyaris tak terdengar. "Gea, kamu dengar saya?"Ia tidak berani berkedip. Matanya terpaku pada kelopak mata Gea yang mulai bergetar hebat. Di layar monitor, grafik aktivitas otak yang tadinya landai mulai menunjukkan lonjakan-lonjakan tajam. Suara alarm alat medis mulai berbunyi nyaring, menandakan adanya perubahan mendadak pada ritme tubuh pasien."Dokter! Dr. Sanjaya!" teriak Jonathan tanpa melepaskan tangan Gea.Dr. Sanjaya yang baru saja mencapai pintu segera berlari kembali
BRENGSEK! LEPASIN GUE SIALAN!" Raungan Selly memecah kesunyian lorong, suaranya serak karena terus memberontak. Tiga pasang tangan kekar mengunci pergelangan dan lengannya, menyeret paksa tubuhnya yang melawan ke tengah ruangan. "JANGAN MAIN-MAIN YA SAMA GUE SETAN! LEPASKAN! LEPASKAN!" Setiap kata terlempar dengan getar kebencian yang murni.Cengkeraman pada lengannya mengeras, seolah berusaha meremukkan tulangnya. Selly meludah, matanya liar mencari celah untuk meloloskan diri, namun sia-sia. Para penjaga itu seolah patung batu tak tergerak.PLAK!Suara tamparan itu begitu nyaring, memantul dari dinding semen yang dingin. Kepala Selly terlempar ke samping, rasa panas dan denyutan seketika menjalar di pipinya. Bintang-bintang kecil seakan meletup di retinanya, dan rasa logam darah memenuhi mulutnya."ANJING!" Selly sontak menjerit, kata umpatan yang tajam itu keluar tanpa sempat ia tahan.Andre, pria bertubuh paling besar dengan rahang persegi, menarik tangannya yang memerah. Matanya
Di luar ruang perawatan intensif tempat Gea terbaring, Rasya berdiri terpaku di koridor yang sedikit lengang. Udara malam yang sejuk menusuk kulitnya, membawa aroma antiseptik rumah sakit yang kental. Matanya, yang biasanya tajam dan penuh perhitungan, kini memancarkan kecemasan yang tersembunyi. Ia menggenggam ponselnya erat-erat, cahaya layarnya memantul tipis di wajahnya yang tegang. Ia sedang berbicara dengan salah satu anak buah terpercaya Jonathan."Oke, sekarang nona Selly ada di mana?" desis Rasya, suaranya pelan namun penuh otoritas, khawatir suaranya akan menembus pintu ruang rawat Gea yang kedap."Selly ada sama Andre sekarang, dia sudah diamankan," jawab suara di seberang, nadanya lega bercampur kepastian.Alis Rasya terangkat sedikit. Ini adalah kabar baik yang sudah lama ditunggu tuannya. "Jaga nona Selly! Jangan sampai dia lepas... Tuan sudah benar-benar menunggu hal ini." Ada penekanan kuat pada kata 'lepas', karena Selly adalah kunci dari segala kekacauan yang terjadi
Dinding putih ruang perawatan VIP itu menjadi saksi bisu atas penantian yang menyiksa. Sudah dua hari sejak insiden mencekam itu, namun Gea masih terperangkap dalam alam bawah sadarnya. Tubuhnya yang biasanya memancarkan aura ceria dan penuh kehidupan, kini terbaring kaku, dikelilingi oleh detak ritmis alat-alat medis yang menjadi penanda rapuh bahwa nyawanya masih ada. Selang infus terpasang di pergelangan tangannya, sementara monitor menampilkan garis-garis elektrokardiogram yang naik turun, menggambarkan perjuangan sunyi di dalam diri gadis itu.Jonathan, sang penguasa yang biasanya dingin dan tak tersentuh, telah berubah menjadi penjaga yang setia dan gelisah. Sejak kemarin, ia praktis menjadikan lorong di depan ruang perawatan Gea sebagai singgasananya. Pakaiannya tampak kusut, dan matanya memerah karena kurang tidur, namun ia tak beranjak. Dokter belum mengizinkannya masuk; larangan itu terasa seperti hukuman yang semakin menggerogoti kesabarannya.Tiba-tiba saja Rasya asiste
Luka-luka yang menggerogoti sekujur tubuh Gea bukan hanya sekadar cedera fisik; mereka adalah peta penderitaan yang kini membawanya ke jurang kritis. Tiap helai kulitnya, kini diselimuti oleh warna lebam keunguan dan goresan-goresan merah, memancarkan kegetiran yang seolah merasuk ke dalam jiwanya. Nafas Gea, yang sejak tadi tersendat-sendat seakan berjuang melawan hantu yang mencekik, kini tiba-tiba berhenti. Alarm mesin monitor jantung yang semula berdetak stabil berubah menjadi garis lurus nan memekakkan, memicu kepanikan senyap di ruang perawatan intensif itu.Dokter dan perawat sigap bergerak cepat, seolah tersengat listrik. Dengan gerakan terampil, sebuah alat bantu nafas, yang bentuknya dingin dan impersonal, langsung dipasang, menopang paru-paru yang kini terlalu lelah untuk berfungsi. Kini, Gea terbaring di tengah gugusan selang, kabel, dan jarum infus—sebuah patung hidup yang sepenuhnya bergantung pada teknologi medis. Wajahnya pucat pasi, hanya bisa dihiasi oleh kepulan uap
Jonathan merasakan dinginnya tubuh Gea menembus kain tipis kemejanya, dingin yang menyesakkan, jauh lebih menusuk daripada angin malam yang menerpa jendela mobil. Setiap langkahnya, mulai dari ambang pintu gedung tua yang berbau debu dan pengkhianatan, hingga ia memosisikan Gea dengan hati-hati di kursi belakang mobil, terasa seperti mengangkat beban duka yang tak terperikan. Ia tidak lagi peduli pada rasa sakit di punggungnya atau lumpur yang mengotori celananya; satu-satunya fokusnya adalah detak jantung rapuh di dekapannya.Gea. Wajahnya yang biasa cerah kini pucat pasi, seperti porselen yang retak. Di balik kotoran dan noda darah yang samar, kulitnya terlihat transparan. Rambutnya yang seharusnya berkilauan kini lepek dan kusam, menutupi sebagian dari mata yang terpejam damai—kedamaian yang mematikan.Ia memangku tubuh Gea. Posisinya canggung dan menyakitkan, tapi ia tidak akan melepaskannya. Tangan kirinya memeluk pinggang Gea, menopang agar tubuh itu tidak tergelincir, sementara







