Share

Chapter>07.

last update Last Updated: 2025-10-09 09:43:11

Pagi itu, Gea berdiri di depan cermin dengan wajah yang tampak lelah namun tegas. Bajunya rapi, tas kerja sudah tergantung di bahunya, tapi matanya berkaca-kaca saat teringat Nina, putri kecilnya yang masih terbaring di ruang rawat rumah sakit. Nafasnya berat, tapi tekadnya lebih kuat daripada rasa letih yang merayap di tubuhnya.

Saat melangkah melewati ruang tamu, Aris duduk santai dengan wajah yang masih sedikit mengantuk. “Mau kemana kamu pagi-pagi gini?” tanyanya dengan nada setengah memerintah, setengah penasaran.

Gea berhenti sejenak, menatap Aris dengan mata yang tak lagi hangat seperti dulu. “Nina,” jawabnya singkat, suaranya datar tanpa ada sedikit pun rasa ingin berdebat.

Aris mengernyit, akan Gea yang sekarang beda dari yang dulu, sifat Gea mulai melawan. “Udah, anak itu lagi aja. Mending bikinin gue sarapan,” ucapnya sambil melemparkan pandangan mengharap Gea menurut.

Gea menghela napas panjang, menekan segala rasa lelah dan amarah yang menumpuk. “Aku buru-buru, Mas,” katanya tegas, lalu melewati Aris dengan langkah cepat tanpa menoleh ke belakang.

“Istri bodoh susah bangat jadi istri yang berguna buat suami, awas Lo ya nanti, udah mulai melawan gue Lo.” ucap Aris menyentak kesal dengan sifat Gea.

“Dibilangin biar anak itu mati aja gak usah dirawat lagi, tapi malah terus ngerawat huh! Bodoh dasar Lo jadi istri.”

.

“Mama..” Gea telah sampai di rumah sakit. Nina kebetulan sudah bangun dari tidurnya sejak tadi, dan menunggu Gea ibunya.

“Hai sayang, maaf ya Mama baru datang, maaf juga mama malam gak temenin kamu disini.” ucap Gea sambil mengusap-usap kening Nina.

“Ma itu apa?”

Kemarin Gea menyiapkan sebuah boneka untuk Nina, setelah mendapatkan uang dari Jonathan. Gea sengaja membelikan boneka untuk Nina.

“Mama ada beli boneka buat Nina, biar Nina pas Mama pergi gak kesepian.” Gea dengan rasa senangnya langsung menyerahkan boneka kepada Nina.

Mata Nina berbinar dan kesenangan.

“Wah ini beneran buat Nina ma?” tanya Nina, namun raut wajah Nina tiba-tiba berubah sedih.

“Loh Nina kenapa? Kok wajah cantiknya kaya sedih gitu? Nina gak suka yah??” tanya Gea khawatir melihat ekspresi wajah putrinya.

“Nina suka kok Ma. Tapi boneka ini pasti mahal ya ma? Mama gak pinjam uang lagi kan ke orang lain?” astaga anak umur lima tahun sudah paham hal itu, mungkin Nina sudah sangat sering melihat Gea ibunya pinjam uang kepada orang lain.

“Nina setelah ini mau pulang ma. Dirumah sakit pasti biayanya mahal yah?”

Gea yang mendengar hal itu dari mulut putrinya, seketika langsung mengalihkan wajah nya. Gea berusaha tersenyum dan berusaha terlihat baik-baik saja didepan Nina, putrinya yang pintar itu.

“Ini gak mahal kok, mama udah gak pinjam uang lagi ke orang lain, mama sudah kerja nak. Nina gak perlu khawatir yah, mama sekarang ada uang, makanya mama belikan Nina boneka.” ucap Gea, sambil menggenggam tangan kecil Nina.

“Mama gak bohongin Nina kan??” mata kecil yang Masih sayu, menatap wajah ibunya lirih.

“Nggak sayang, mana ada Mama bohongi Nina, udah sekarang Nina makan ya sama mama, habis ini Mama harus bekerja. Nina mama tinggal gak papa ya?”

“Iya ma. Nina gak papa kok.”

Gea merasa bersyukur sekali. Putrinya menjadi putri yang baik dan pengertian setiap keadaan Gea. Nina adalah penguat bagi Gea.

.

“Semuanya sudah saya siapkan tuan, baju anda untuk ke kantor sudah ada di ruang ganti.” Rasya sebagai bawahan Jonathan datang ke hotel Viceroy untuk menyiapkan keperluan tuanya, kebetulan Jonathan memang belum keluar dari hotel ini.

Pagi ini mood Jonathan sangat buruk, perihal Gea yang main pergi begitu saja setelah mendapatkan uang, membuat Jonathan menjadi emosi.

Jonathan maunya Gea Masih berada di dekatnya untuk kembali memuaskan Jonathan dipagi hari.

“Tuan setelah ini apakah anda langsung ke kantor, atau pulang ke rumah terlebih dahulu?” tanya Rasya sedikit gugup, melihat wajah Jonathan yang tidak mood.

“Kantor.” jawab Jonathan dingin.

“Ba-baik tuan..”

“Saya akan bersiap, kamu pergi dan tunggu di mobil.”

“Baik tuan.”

.

Jonathan melangkah masuk ke ruang kantor dengan langkah pasti, tubuhnya yang tinggi dan tegap langsung menarik perhatian setiap orang yang ada di sana. Mata para karyawan serentak menoleh, terpaku oleh pesona karismatiknya—wajah tampan yang seolah memancarkan aura penguasa. Suara serempak mengucapkan, “Selamat datang, Pak Jonathan...” menggema, namun Jonathan tak sekalipun menoleh atau mengangkat alisnya. Ia tetap melangkah lurus, tatapannya kosong seakan memisahkan dirinya dari keramaian yang menyambutnya.

Di dekat pintu masuk, Gea mencoba menyapa dengan suara lembut, “Selamat pagi, Pak Jonathan,” tapi sapaan itu nyaris tenggelam oleh sikap dingin Jonathan yang tak sedikit pun menanggapi. Gea menatapnya dengan ragu, hatinya berdegup cepat, berharap ada secercah perhatian darinya. Namun, Jonathan tetap berjalan tanpa memperlihatkan sedikit pun kerelaan untuk membalas, wajahnya tetap datar, bahkan bibirnya sedikit mengecil menahan rasa jengah yang mungkin menggerogoti dalam diamnya sekarang.

“Kemarin dia tidak begitu cuek, kenapa sekarang dia bahkan enggan menatapku? Aku ada buat salah?” Gea merasa heran atas sikap Jonathan.

“Lebih baik aku langsung ke ruangan, untuk memberitahu pekerjaan hari ini kepadanya.” cetus Gea dan menghiraukan sifat cuek Jonathan yang tadi.

.

“Masuk!”

Gea mengetuk-ngetuk ruangan Jonathan, untuk membicarakan jadwal pekerjaan hari ini, kebetulan sekarang ada jadwal rapat.

“Selamat pagi pak.” sapa Gea sebelum memberitahu jadwal rapat kepada Jonathan.

Tak ada jawaban. Jonathan hanya diam.

“Saya hanya mau memberitahu bahwa ada rapat penting yang diadakan di hari ini, di jam satu siang bertepatan di ruang rapat yang sudah disiapkan Pak.”

“Saya juga telah menyiapkan dokumen yang diperlukan untuk rapat hari ini, apakah ada lagi yang perlu saya siapkan Pak Jo?” Gea pun langsung menjelaskan pekerjaan hari ini kepada Jonathan, namun Jonathan Masih saja diam dan tak bergeming sedikitpun terhadap Gea yang berbicara.

“Hmmm!”

Gea menjelaskan panjang lebar tetapi Jonathan malah menjawab singkat? Apakah Jonathan tidak mau menggunakan mulutnya untuk berbicara? Gea merasa jengah sekali jika ada orang yang berbicara tapi malas. Tapi Gea tidak bisa marah, karena itu atasannya sendiri. Kalau bukan sudah Gea cekik lehernya.

“Oh iya ada lagi Pak. Aleskar Group mengajukan kerjasama dengan mereka yang mengirimkan sebuah email untuk pengajuan kerjasama, apakah anda ingin saya menjadwalkan pertemuan untuk membahas pengajuan kerjasama ini?”

“Jika bapak menyuruh saya untuk memproses pengajuan kerjasama Aleskar Group, saya akan segera memproses proposal yang akan bapak bahas.”

“Setelah mendapatkan uang, kenapa kamu main pergi begitu saja? Apakah saya menyuruh kamu untuk pergi? Sebelum persetujuan dari saya Gea?!” tanya Jonathan malah mengabaikan ucapan Gea tentang pekerjaan yang sedang dibahas.

Dan Gea pun seketika merasa canggung. Jonathan bertanya hal itu.

“Jawab Gea! Kamu punya mulut bukan saya suruh untuk menjadi bisu.” Jonathan berdiri mendekat kepada Gea.

Gea memundurkan sedikit langkahnya.

“Kenapa Pak Jo harus membahas itu? Terus aku sedari tadi berbicara tentang pekerjaan, dia tidak mendengarkannya gitu??” cetus Gea kesal didalam hatinya, pembicaraannya seakan sia-sia didepan Jonathan.

“Karena tugas saya sudah selesai Pak.” Gea menjawab dengan wajah yang menunduk.

“Apakah kamu berbicara dengan undur-undur, sehingga membuat wajah kamu menunduk??” ketus Jonathan kesal, lawan bicaranya tidak menatap dirinya sama sekali.

Gea pun cepat-cepat mengangkat wajahnya dan berusaha menatap Jonathan.

“Gak ada kata selesai sebelum persetujuan saya Gea!”

Jonathan menarik pinggang Gea lalu—Bruk. Tubuh Gea dipojokkan ke dinding oleh Jonathan, tangan Gea di tarik ke atas.

“Say-saya ada urusan pen—”

“Saya tidak menerima alasan kamu Gea, cepat jawab yang sebenarnya!” potong Jonathan Masih memojokkan Gea.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelora Panas: Di Atas Ranjang.   Chapter>42.

    Gea dengan cekatan menyuapkan nasi ke mulut Jonathan, matanya sesekali menatap lelaki itu yang tampak serius meskipun sedang makan. Setelah kotak bekal Gea kosong. Gea menarik nafas pelan, berusaha mengumpulkan keberanian untuk menyampaikan kabar yang hampir terlupa. "Pak, saya menerima undangan untuk Anda," katanya sambil menghindari tatapan Jonathan, seolah takut reaksinya akan berbeda.Jonathan mengangkat alis, menunggu kelanjutan perkataan Gea.Gea melanjutkan, "Daftar undangan ulang tahun dari putri Keluarga Hendra. Sampai saya cari tahu, ternyata Anda cukup dekat dengannya." Suaranya bergetar tipis, menandakan campuran rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran.Jonathan menatap Gea dengan mata yang tiba-tiba lebih tajam. "Acara akan diadakan Minggu besok," lanjut Gea, "Tepatnya di malam hari."Diam sejenak, Jonathan menghela nafas panjang lalu berkata, "Kamu ikut dengan saya ke sana."Gea terkejut, tubuhnya kaku seketika. "T

  • Gelora Panas: Di Atas Ranjang.   Chapter>41.

    “Nona Selly sebenarnya terus mengejar anda ada maksud lain tuan, dia bukan menyesali perbuatannya yang dulu. Melainkan ada sesuatu yang ingin direncanakan.”Rasya datang ke ruangan pribadi Jonathan, untuk memberitahu beberapa hal penting kepada Jonathan.Jonathan tampak duduk di bangku kebesaran nya, sambil di temenin tumpukan kertas-kertas yang belum ditandatangani.“Aku sebenarnya sudah mengetahui niat dia seperti itu, maka dari itu aku akan masuk ke dalam permainannya Nanti.”“Mungkin benar Anda harus masuk kedalam permainan nona Selly, untuk bisa mengambil kesempatan, membuat perusahaan Keluarga Hartono gulung tikar tuan.” “Nona Selly sangat haus akan kekuasaan, sehingga dia sangat tertarik kepada tuan, karena nona Selly tahu, tuan memiliki kekuasaan yang sangat besar.”“Aku sangat membenci wanita matre dan serakah akan uang, lihat saja setelah ini, apakah dia masih bisa berkutik.”“Kemarin tuan Gelar berusaha masuk

  • Gelora Panas: Di Atas Ranjang.   Chapter>40.

    Empat jam berlalu sejak Jonathan mulai menggempur Gea dengan semangat yang tak kenal lelah. Tubuh Gea kini benar-benar melemah, matanya terpejam rapat, nafasnya berat tertutup kantuk yang dalam. Keringat membasahi dahi dan lehernya, tanda betapa intensnya pertempuran ranjang yang baru saja mereka jalani. Jonathan pun ikut tertidur, tubuhnya membungkus Gea dalam pelukan erat, seolah takut kehilangan jejak kehangatan yang baru saja mereka bagi.Malam berganti pagi, cahaya lembut menyelinap lewat celah tirai kamar, menerangi sudut-sudut ruangan dengan hangat. Namun Gea masih terlelap, nafasnya teratur, tanpa tanda-tanda akan bangun segera. Sementara itu, Jonathan sudah terjaga lebih dulu, matanya menatap lembut ke arah wajah Gea yang tampak begitu tenang dan polos saat tidur. Bibirnya tersungging senyum tipis, tak bisa menyembunyikan kekaguman yang muncul tanpa disengaja.“Dia cantik juga,” gumam Jonathan pelan, suaranya nyaris tak terdengar, seolah takut mengganggu k

  • Gelora Panas: Di Atas Ranjang.   Chapter>39.

    Jonathan yang sudah kepalang nafsu dan sudah tidak kuat lagi.Jonathan pun langsung menghampiri Gea lalu menarik Gea cukup kasar.“Ahh— Pak.” Gea ditarik lalu didorong di atas kasur, tenaga Jonathan yang lebih kuat dari Gea, membuat Gea tidak bisa apa-apa.“Kamu ingin balas dendam hmm?” ucap Jonathan, suaranya sangat berat dan serak-serak gitu.Tubuh Gea ditindih oleh tubuh Jonathan.“N-nggak Pak.” jawab Gea berbohong.“Kamu pikir saya gak tahu Gea? Kamu sengaja mau membiarkan saya gila dengan tingkah laku menggoda kamu tadi?”“Lihat saja setelah ini, kamu gak akan bisa jalan kembali seperti di Dubai.” ancam Jonathan sambil mencengkram tangan Gea ke atas.“Jangan itu sangat sakit.” Gea pun ketakutan dan tidak ingin seperti kemarin lagi.Jonathan memasang senyum sinisnya ke arah Gea.“Terserah saya dong! Kan malam ini kamu sudah menjadi milik saya, bebas dong— Hahaha!” Jonathan yang te

  • Gelora Panas: Di Atas Ranjang.   Chapter>38

    Gea terbelalak, dadanya sesak seolah ada beban berat menindihnya. Matanya yang baru terbuka sulit menyesuaikan dengan cahaya ruangan yang hangat dan familiar sekaligus asing. Sosok pria di depannya—Jonathan—sedang menatapnya dengan senyum tipis yang sulit diartikan. Jantung Gea berdetak tak beraturan, antara takut dan bingung. "Pak Jonathan?" suaranya bergetar, nyaris tak percaya. Jonathan mengangguk perlahan, matanya menampakkan campuran rasa bersalah dan ketulusan. "Gea... kamu sudah aman di sini," katanya lembut, mencoba menenangkan. Namun, di balik senyum itu, ada berat yang tak tersampaikan. Gea menggeliat lemah, mencoba merangkai ingatan yang berantakan. Ia ingat gelapnya perjalanan, rasa dingin tangan yang menariknya, dan pengkhianatan terbesar—ibunya sendiri yang menjualnya seperti barang dagangan. Tapi sekarang, dia berada di rumah Jonathan, ia merasa dunia seolah aneh. Tangan Gea bergetar saat mencoba duduk, matanya terus menatap Jonathan penuh tanya dan luka. "Kenapa ak

  • Gelora Panas: Di Atas Ranjang.   Chapter>37.

    “Kenapa sih dia? Kenapa dia terus memegang pahaku? Memangnya paha ku ini tempat untuk di pegang-pegang oleh tangannya? Mentang-mentang dia seorang bos, dia boleh gitu seenaknya kepada ku?” “Kalau saja aku tidak butuh pekerjaan ini, sudah ku tikam sejak lama pria ini.” “Dia pikir aku takut dengan nya gitu? CK! Aku sama sekali tidak takut kepada-nya.” Gea menggerutu di dalam hatinya, merasa jengkel saja dengan tangan Jonathan yang nakal ini. Gea merasa sedikit risih, apalagi ada Nina putrinya. Walaupun iya Nina tidak melihat, tetapi Gea tetap takut. “Kenapa kamu kesal padaku?” Jonathan yang melihat ekspresi Gea yang cemberut kesal. Jonathan pun langsung bertanya. “Nggak!” jawab Gea singkat sekali, bahkan matanya tidak menoleh sedikitpun kepada Jonathan. “Sudah tau aku kesal, masih saja dia menyentuh paha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status