Share

Chapter>05.

last update Last Updated: 2025-09-29 14:21:24

Setelah beberapa menit kemudian momen intim Jonathan dan Gea di ranjang akhirnya selesai. Jonathan tertidur lelap di samping Gea, berbeda dengan Gea yang Masih terjaga sambil menatap langit-langit kamar.

“Aku harus pergi ke klinik sekarang!” gumam Gea sambil menuruni ranjang dan memakai kembali pakaiannya usai membersihkan diri di kamar mandi.

Sebelum dirinya meninggalkan kamar hotel, tatapannya beralih pada Jonathan yang Masih terlelap di atas ranjangnya.

“Saya harus pergi sekarang, Pak. Anak saya pasti sudah menunggu, dan saya … harus segera membayar biaya berobatnya di klinik.” ucap Gea lirih, hatinya bahkan terasa perih seperti diiris oleh pisau yang tajam.

“Terima kasih atas bantuannya,” ucapan sebelum benar-benar meninggalkan kamar hotel.

Hujan turun dengan derasnya tepat saat Gea melangkah keluar dari pintu hotel Viceroy. Langit mendadak berubah kelam, menggantungkan awan gelap yang pekat seolah ingin menumpahkan semua beban dunia sekaligus. 

Gea menatap langit dengan raut kecewa, lalu membuka handphonenya dengan tangan yang gemetar. "Yah, kenapa harus hujan sih, apalagi ini sinyalnya hilang," gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh dentuman air hujan yang menderu di atap mobil dan trotoar.

Ia mengangkat teleponnya ke atas, menggeser-geser layar dengan jari yang mulai basah, berharap mendapat sedikit tanda sinyal agar bisa memesan ojek online. 

Namun layar tetap kosong, hanya terpampang ikon sinyal silang merah. 

Gea menarik napas dalam, matanya berkaca-kaca menahan putus asa yang mulai merayap ke dalam dadanya. "Nina ... kamu harus sabar, Mama akan segera ke rumah sakit," bisiknya pelan, menyembunyikan kegelisahan yang mengoyak hatinya.

Langkahnya semakin cepat, tubuhnya menunduk sedikit untuk menghindari derasnya hujan, namun matanya tetap terpaku pada handphone yang tak kunjung memberi kabar baik.

Wajah Gea memerah karena dingin dan ketegangan, bibirnya bergetar menahan rasa takut yang membuncah. 

Di dalam dada, detak jantungnya berlari kencang, seolah waktu berputar lambat sementara Nina, putri kecilnya yang berumur lima tahun, masih terbaring tak berdaya di rumah sakit, terhalang oleh urusan administrasi yang belum selesai.

Gea menggigit bibir bawahnya, air mata mulai menggenang di sudut matanya, bercampur dengan butiran hujan yang membasahi wajahnya. 

“Ayo dong sinyal, bantu aku kali ini.” Gea menatap langit malam, matanya penuh harap kepada yang di atas.

“Huh syukurlah sinyalku kembali.” Gea buru-buru memesan taksi online begitu sinyal ponselnya kembali.

Beberapa saat kemudian, taksi online yang dia pesan tiba. Begitu mobil itu berhenti di hadapannya, Gea bergegas masuk dan menutup pintu.

“Ke Rumah sakit Husada ya, Pak.”

“Baik. Bu.”

Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya Gea tiba di klinik di mana sang anak tengah dirawat. Ia begitu senang setelah mendapatkan uang dan membayar lunas tagihan biaya berobat sang anak.

“Bu Gea, ya?” sapa staf administrasi dengan ramah.

“Iya, saya Gea. Saya mau melunasi biaya perawatan anak saya, Nina,” jawab Gea hati-hati, menahan gugup.

Staf itu membuka berkas. “Kemarin ibu sudah membayar lima ratus ribu, betul?”

“Iya, betul.”

“Baik. Untuk total sementara, termasuk rawat inap dua malam, obat, dan tindakan dokter, jumlahnya dua juta rupiah. Setelah dilunasi, Nina bisa lanjut dirawat intensif tanpa kendala administrasi.”

Gea menarik napas panjang, lalu mengangguk mantap. “Baik, Sus. Tolong segera proses, saya akan

melunasinya hari ini juga.”

Ia mengeluarkan lembaran uang, menyerahkannya dengan tangan bergetar. Begitu kuitansi diberikan pada Staf administrasi.

Tidak menyangka saja hal ini Gea telah berhasil berjuang untuk membayar pengobatan putrinya.

.

Tangan mungil Nina yang sempat dibiarkan kosong tanpa infus kini kembali ditusuk jarum halus oleh dokter dengan hati-hati. Wajah Nina yang pucat dan lemah menatap langit-langit ruangan, matanya berkaca-kaca seolah mencoba mengerti apa yang sedang terjadi. 

Gea berdiri di samping tempat tidur dengan napas tertahan, matanya sesekali menatap tangan putrinya yang kini terhubung dengan infusan baru itu. Rasa lega dan bersalah bercampur menjadi satu dalam dadanya—leganya karena beban biaya rumah sakit akhirnya terbayar lunas, bersalah karena keterlambatan yang membuat Nina harus menanggung sakit lebih lama. Dokter yang mengenakan jas putih itu menatap Gea sejenak, lalu memberi isyarat tenang, “Sekarang perawatan bisa berjalan dengan baik.” Gea mengangguk pelan, menggenggam tangan kecil Nina yang dingin, berharap rasa sakit putrinya segera mereda, dan janji dalam hatinya untuk tak pernah lagi membiarkan hal seperti ini terulang.

“Akhirnya usaha mama tidak sia-sia nak, kamu sekarang mendapatkan perawatan intensif kembali..” air mata Gea lolos ke bawah pipinya, saat melihat putri kecilnya telah kembali mendapatkan perawatan medis.

“Semuanya sudah aman ya Bu Gea. Nina juga sudah mendapatkan perawatan intensif.” dokter telah selesai memberikan perawatan untuk Nina, setelah itu dokter itu menghampiri Gea yang berada di dekat pintu ruangan.

Gea tersenyum. “Iya dok, saya sekarang sudah tenang.” bales Gea.

“Kalau gitu saya permisi dulu ya Bu Gea, terus berdoa untuk kesembuhan Nina.”

Gea mengangguk pertanda itu jawaban.

.

Saat dokter keluar, wajahnya terlihat lelah namun penuh harap. Kini hanya ada dia dan Nina di dalam ruangan sunyi itu. Perlahan, Gea melangkah mendekati tempat tidur kecil yang terbaring seorang putrinya. Matanya menatap Nina yang kini terpejam, wajahnya masih pucat dan terpasang selang infus di lengan kecilnya.  

"Semua akan mama usahakan buat kamu, nak," ucap Gea dengan suara serak, berusaha menahan air mata yang mengancam jatuh kembali. "Asalkan kamu jangan seperti ini lagi, ya? Mama benar-benar takut, nak. Di sini, mama cuma punya kamu."  

Tangan Gea meraih dahi Nina dengan lembut, merasakan suhu tubuhnya yang masih hangat namun lemah. Ia menundukkan kepala, lalu menempelkan bibirnya di kening putrinya, memberikan ciuman yang penuh cinta dan harapan. Perlahan, Gea mengusap pelan rambut Nina, seolah mencoba menenangkan hati kecil yang sedang berjuang itu. Suasana ruangan terasa hening, hanya suara alat medis yang berdetak dan nafas Nina yang mulai teratur setelah infus menyebar ke tubuhnya.  

“Yang harus kamu tahu nak, mama kuat selama ini, karena ada kamu, jika kamu tidak ada mungkin hidup mama sudah berantakan entah seperti apa.” 

“Mama selalu takut untuk melangkah, karena banyaknya ujian yang selalu menyuruh mama untuk mundur—Namun karena ada Nina di sisi mama… Mama jadi berani buat melangkah lebih jauh.”

“Mama sayang sama Nina lebih dari apapun itu nak.”

“Di dunia ini Mama gak akan biarkan Nina berjalan seorang diri di dunia yang kelam ini, mama janji akan selalu ada Mama di sisi Nina.”

Suara bergetar saat mengatakan kata demi kata kepada putrinya yang sudah tidur lelap.

Betapa sayangnya kasih seorang ibu untuk putri kecilnya.

Ibu akan rela melakukan apapun demi putrinya agar baik-baik saja di dunia ini.

Drrt.

Tiba-tiba ponsel Gea berdering di dalam tas Gea kaget saat melihat nama suaminya yang tertera di layar ponsel.

“Halo, Mas?” sapanya begitu panggilan tersambung.

“Di mana sekarang kamu? Sudah dua hari tidak pulang, tidak ingat kamu masih memiliki suami? Istri macam apa kamu ini hah? Tidak becus sekali menjadi istri!” 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Gelora Panas: Di Atas Ranjang.   Chapter>05.

    Setelah beberapa menit kemudian momen intim Jonathan dan Gea di ranjang akhirnya selesai. Jonathan tertidur lelap di samping Gea, berbeda dengan Gea yang Masih terjaga sambil menatap langit-langit kamar.“Aku harus pergi ke klinik sekarang!” gumam Gea sambil menuruni ranjang dan memakai kembali pakaiannya usai membersihkan diri di kamar mandi.Sebelum dirinya meninggalkan kamar hotel, tatapannya beralih pada Jonathan yang Masih terlelap di atas ranjangnya.“Saya harus pergi sekarang, Pak. Anak saya pasti sudah menunggu, dan saya … harus segera membayar biaya berobatnya di klinik.” ucap Gea lirih, hatinya bahkan terasa perih seperti diiris oleh pisau yang tajam.“Terima kasih atas bantuannya,” ucapan sebelum benar-benar meninggalkan kamar hotel.Hujan turun dengan derasnya tepat saat Gea melangkah keluar dari pintu hotel Viceroy. Langit mendadak berubah kelam, menggantungkan awan gelap yang pekat seolah ingin menumpahkan semua beban dunia sekaligus. Gea menatap langit dengan raut kece

  • Gelora Panas: Di Atas Ranjang.   Chapter>04.

    Gea sudah pasrah dengan semua nya, demi uang Gea akan rela melakukan apapun.Tangan kekar Jonathan mulai menarik tali lingerie Gea, mulai melepaskan pakaian tipis itu dari sang pemilik tubuh.Sementara Gea dibawah kungkungan Jonathan menelan ludahnya kasar, saat melihat tubuh kokoh Jonathan di atasnya.“Saya akan mencoba kamu malam ini, jika saya merasa puas dengan permainan kamu, maka saya akan terus melanjutkannya! Namun jika permainan kamu buruk, saya akan segera mendepak kamu dari hadapan saya Gea.” Ucap Jonathan suaranya berat dan serak, tapi matanya tak lepas dari tubuh Gea yang berada dibawah kungkungan.Gea mengalunkan tangannya pada leher Jonathan, wajahnya tersenyum penuh godaan.“Main saja dulu pak, baru bapak bisa menilai permainan saya.” bisik Gea lembut tepat di telinga Jonathan.“Kebetulan punya saya memang sudah menegang.”Tangan kekar mengusap lembut punggung belakang Gea, sementara lidah panjangnya membasahi cuping telinga Gea. Dengan penuh godaan. Gea mendesah ket

  • Gelora Panas: Di Atas Ranjang.   Chapter>03.

    Jonathan merasa heran dengan keberadaan Gea di kamar ini. Bukannya dia meminta Gea untuk memesankan wanita malam?Tapi kenapa justru Gea sendiri yang ada di sana?“Kenapa malah ada kamu disini?” tanya Jonathan dingin, melangkah maju mendekati Gea, tatapan pria itu sinis.Tubuh Gea semakin gemetar.“Jangan diam saja! Cepat jawab!” bentak Jonathan, tangannya terulur mencengkram dagu Gea—agar wanita itu menatapnya.Gea menggigit bibirnya kuat. Ia sadar akan apa yang dia lakukan saat ini. Mengingat kondisi sang anak, serta biaya pengobatan—ia harus tegas mengatakan sebenarnya.“Saya butuh uang, Pak. Jadi saya yang akan memuaskan Bapak. Saya sudah berpengalaman, dan saya yakin … saya bisa membuat Bapak puas,” jawab Gea gugup.Jonathan terdiam sejenak, tatapannya masih tertuju pada Gea.“Kamu yakin bisa memuaskan saya? Permainan ranjang saya sangat kuat, kamu yakin bisa kuat bermain dengan pria maniak ranjang seperti saya?” ucap Jonathan tepat di dekat telinga Gea, suaranya pelan namun begi

  • Gelora Panas: Di Atas Ranjang.   Chapter>02.

    Gea terhenyak. Wanita yang ada di hadapannya seperti angin lalu. Bayang-bayang wajah Nina terlintas di pikirannya.Gadis yang biasanya aktif, murah senyum, apalagi dengan gingsul kiri yang manis itu, kini terbaring lemah tidak berdaya. Entah bagaimana rambut hitam lurusnya itu, sudah dua hari dia terbaring. Mungkin rambut Nina sudah kusut.Terlebih, wajahnya yang selalu ceria, sekarang berubah pucat.Gea tidak bisa membayangkan itu. “Dok, tapi dia tidak apa-apa, kan?”“kita harus menyuntikkan vitamin dan protein ke dalam infus agar penyakit gerd dan mualnya sembuh.”“Tolong, Dok, tolong beri dia infus. Saya janji, besok saya lunasi semua biayanya! Saya sudah bekerja dan saya akan mendapat gaji besok pagi. Setelah kerja, saya janji datang dan mengurus semua admininstrasi anak saya!”“Mohon maaf sebelumnya, Ibu, kita memiliki peraturan yang harus ditaati. Ibu harus melunasi biaya rawat inap agar kita bisa menjalankan penanganan!”“Pliss, Dok, saya benar-benar tidak memiliki uang sama se

  • Gelora Panas: Di Atas Ranjang.   Chapter<01.

    “Ini hari pertamaku, aku harus bersiap. Aku tidak boleh menyerah demi anak semata wayangku, aku harus bisa membiayai pengobatannya!”Baru saja kakinya hendak melangkah menuju lift, suasana langsung hening ketika seorang pria berwajah tegas memasuki lobi.Postur tubuhnya tegap, langkahnya mantap, dan sorot matanya dingin namun memikat. Semua karyawan menunduk memberi salam.Itu adalah Jonathan, CEO muda yang terkenal karismatik sekaligus ditakuti oleh para kalangan pengusaha yang bahkan sudah lama berkecimpung di dunia bisnis.Jonathan bersama asistennya langsung memasuki lift sambil membawa aura dominannya, sementara Gea masih tercengang karena kharisma pria muda itu.“Permisi,” sapa seseorang membuat Gea kaget.“Gea, kan?” wanita itu tersenyum “Mari ikut saya.”Gea, wanita itu menarik napas dalam-dalam sebelum menyusul wanita yang menyapanya tadi naik ke lantai atas menggunakan akses lift karyawan.Setibanya mereka di lantai tiga puluh lima, Gea langsung diarahkan ke meja kerjanya ya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status