LOGINSetelah beberapa menit kemudian momen intim Jonathan dan Gea di ranjang akhirnya selesai. Jonathan tertidur lelap di samping Gea, berbeda dengan Gea yang Masih terjaga sambil menatap langit-langit kamar.
“Aku harus pergi ke klinik sekarang!” gumam Gea sambil menuruni ranjang dan memakai kembali pakaiannya usai membersihkan diri di kamar mandi.
Sebelum dirinya meninggalkan kamar hotel, tatapannya beralih pada Jonathan yang Masih terlelap di atas ranjangnya.
“Saya harus pergi sekarang, Pak. Anak saya pasti sudah menunggu, dan saya … harus segera membayar biaya berobatnya di klinik.” ucap Gea lirih, hatinya bahkan terasa perih seperti diiris oleh pisau yang tajam.
“Terima kasih atas bantuannya,” ucapan sebelum benar-benar meninggalkan kamar hotel.
Hujan turun dengan derasnya tepat saat Gea melangkah keluar dari pintu hotel Viceroy. Langit mendadak berubah kelam, menggantungkan awan gelap yang pekat seolah ingin menumpahkan semua beban dunia sekaligus.
Gea menatap langit dengan raut kecewa, lalu membuka handphonenya dengan tangan yang gemetar. "Yah, kenapa harus hujan sih, apalagi ini sinyalnya hilang," gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh dentuman air hujan yang menderu di atap mobil dan trotoar.
Ia mengangkat teleponnya ke atas, menggeser-geser layar dengan jari yang mulai basah, berharap mendapat sedikit tanda sinyal agar bisa memesan ojek online.
Namun layar tetap kosong, hanya terpampang ikon sinyal silang merah.
Gea menarik napas dalam, matanya berkaca-kaca menahan putus asa yang mulai merayap ke dalam dadanya. "Nina ... kamu harus sabar, Mama akan segera ke rumah sakit," bisiknya pelan, menyembunyikan kegelisahan yang mengoyak hatinya.
Langkahnya semakin cepat, tubuhnya menunduk sedikit untuk menghindari derasnya hujan, namun matanya tetap terpaku pada handphone yang tak kunjung memberi kabar baik.
Wajah Gea memerah karena dingin dan ketegangan, bibirnya bergetar menahan rasa takut yang membuncah.
Di dalam dada, detak jantungnya berlari kencang, seolah waktu berputar lambat sementara Nina, putri kecilnya yang berumur lima tahun, masih terbaring tak berdaya di rumah sakit, terhalang oleh urusan administrasi yang belum selesai.
Gea menggigit bibir bawahnya, air mata mulai menggenang di sudut matanya, bercampur dengan butiran hujan yang membasahi wajahnya.
“Ayo dong sinyal, bantu aku kali ini.” Gea menatap langit malam, matanya penuh harap kepada yang di atas.
“Huh syukurlah sinyalku kembali.” Gea buru-buru memesan taksi online begitu sinyal ponselnya kembali.
Beberapa saat kemudian, taksi online yang dia pesan tiba. Begitu mobil itu berhenti di hadapannya, Gea bergegas masuk dan menutup pintu.
“Ke Rumah sakit Husada ya, Pak.”
“Baik. Bu.”
Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya Gea tiba di klinik di mana sang anak tengah dirawat. Ia begitu senang setelah mendapatkan uang dan membayar lunas tagihan biaya berobat sang anak.
“Bu Gea, ya?” sapa staf administrasi dengan ramah.
“Iya, saya Gea. Saya mau melunasi biaya perawatan anak saya, Nina,” jawab Gea hati-hati, menahan gugup.
Staf itu membuka berkas. “Kemarin ibu sudah membayar lima ratus ribu, betul?”
“Iya, betul.”
“Baik. Untuk total sementara, termasuk rawat inap dua malam, obat, dan tindakan dokter, jumlahnya dua juta rupiah. Setelah dilunasi, Nina bisa lanjut dirawat intensif tanpa kendala administrasi.”
Gea menarik napas panjang, lalu mengangguk mantap. “Baik, Sus. Tolong segera proses, saya akan
melunasinya hari ini juga.”
Ia mengeluarkan lembaran uang, menyerahkannya dengan tangan bergetar. Begitu kuitansi diberikan pada Staf administrasi.
Tidak menyangka saja hal ini Gea telah berhasil berjuang untuk membayar pengobatan putrinya.
.
Tangan mungil Nina yang sempat dibiarkan kosong tanpa infus kini kembali ditusuk jarum halus oleh dokter dengan hati-hati. Wajah Nina yang pucat dan lemah menatap langit-langit ruangan, matanya berkaca-kaca seolah mencoba mengerti apa yang sedang terjadi.
Gea berdiri di samping tempat tidur dengan napas tertahan, matanya sesekali menatap tangan putrinya yang kini terhubung dengan infusan baru itu. Rasa lega dan bersalah bercampur menjadi satu dalam dadanya—leganya karena beban biaya rumah sakit akhirnya terbayar lunas, bersalah karena keterlambatan yang membuat Nina harus menanggung sakit lebih lama. Dokter yang mengenakan jas putih itu menatap Gea sejenak, lalu memberi isyarat tenang, “Sekarang perawatan bisa berjalan dengan baik.” Gea mengangguk pelan, menggenggam tangan kecil Nina yang dingin, berharap rasa sakit putrinya segera mereda, dan janji dalam hatinya untuk tak pernah lagi membiarkan hal seperti ini terulang.
“Akhirnya usaha mama tidak sia-sia nak, kamu sekarang mendapatkan perawatan intensif kembali..” air mata Gea lolos ke bawah pipinya, saat melihat putri kecilnya telah kembali mendapatkan perawatan medis.
“Semuanya sudah aman ya Bu Gea. Nina juga sudah mendapatkan perawatan intensif.” dokter telah selesai memberikan perawatan untuk Nina, setelah itu dokter itu menghampiri Gea yang berada di dekat pintu ruangan.
Gea tersenyum. “Iya dok, saya sekarang sudah tenang.” bales Gea.
“Kalau gitu saya permisi dulu ya Bu Gea, terus berdoa untuk kesembuhan Nina.”
Gea mengangguk pertanda itu jawaban.
.
Saat dokter keluar, wajahnya terlihat lelah namun penuh harap. Kini hanya ada dia dan Nina di dalam ruangan sunyi itu. Perlahan, Gea melangkah mendekati tempat tidur kecil yang terbaring seorang putrinya. Matanya menatap Nina yang kini terpejam, wajahnya masih pucat dan terpasang selang infus di lengan kecilnya.
"Semua akan mama usahakan buat kamu, nak," ucap Gea dengan suara serak, berusaha menahan air mata yang mengancam jatuh kembali. "Asalkan kamu jangan seperti ini lagi, ya? Mama benar-benar takut, nak. Di sini, mama cuma punya kamu."
Tangan Gea meraih dahi Nina dengan lembut, merasakan suhu tubuhnya yang masih hangat namun lemah. Ia menundukkan kepala, lalu menempelkan bibirnya di kening putrinya, memberikan ciuman yang penuh cinta dan harapan. Perlahan, Gea mengusap pelan rambut Nina, seolah mencoba menenangkan hati kecil yang sedang berjuang itu. Suasana ruangan terasa hening, hanya suara alat medis yang berdetak dan nafas Nina yang mulai teratur setelah infus menyebar ke tubuhnya.
“Yang harus kamu tahu nak, mama kuat selama ini, karena ada kamu, jika kamu tidak ada mungkin hidup mama sudah berantakan entah seperti apa.”
“Mama selalu takut untuk melangkah, karena banyaknya ujian yang selalu menyuruh mama untuk mundur—Namun karena ada Nina di sisi mama… Mama jadi berani buat melangkah lebih jauh.”
“Mama sayang sama Nina lebih dari apapun itu nak.”
“Di dunia ini Mama gak akan biarkan Nina berjalan seorang diri di dunia yang kelam ini, mama janji akan selalu ada Mama di sisi Nina.”
Suara bergetar saat mengatakan kata demi kata kepada putrinya yang sudah tidur lelap.
Betapa sayangnya kasih seorang ibu untuk putri kecilnya.
Ibu akan rela melakukan apapun demi putrinya agar baik-baik saja di dunia ini.
Drrt.
Tiba-tiba ponsel Gea berdering di dalam tas Gea kaget saat melihat nama suaminya yang tertera di layar ponsel.
“Halo, Mas?” sapanya begitu panggilan tersambung.
“Di mana sekarang kamu? Sudah dua hari tidak pulang, tidak ingat kamu masih memiliki suami? Istri macam apa kamu ini hah? Tidak becus sekali menjadi istri!”
Sebuah balok besar dari kayu usang, yang semula tergeletak tak berguna di sudut ruangan, kini diangkat dengan kasar oleh salah satu pria bertubuh kekar. Dengan suara geraman yang lebih menyerupai raungan binatang, balok itu diayunkan dan menghantam tubuh Gea yang ringkih, yang sedari tadi sudah terkapar tak berdaya di atas lantai beton yang dingin. Hantaman itu menciptakan bunyi gedebuk yang tumpul dan memuakkan, seolah mematahkan sesuatu yang vital di dalam dirinya.Seketika, rintihan Gea terhenti. Kepalanya terkulai ke samping, rambutnya yang lepek dan acak-acakan menutupi sebagian wajahnya yang kini membiru. Darah segar mulai merembes dari sudut bibirnya, membaur dengan keringat dan air mata yang telah mengering. Matanya yang sebelumnya dipenuhi ketakutan dan perlawanan, kini tertutup rapat. Keheningan yang tiba-tiba menyelimuti gudang itu terasa jauh lebih mencekam daripada jeritan yang barusan ada. Gea telah jatuh ke dalam jurang ketidaksadaran, sebuah jeda yang kejam dari siksaa
Selly, dalam balutan peran sebagai Gea, merasakan detak jantungnya berpacu brutal. Permintaan Jonathan yang tajam dan tak terduga pagi ini menusuk tepat ke inti kegelisahannya. Pria itu, dengan mata yang menggelap oleh hasrat, menatapnya penuh tuntutan, membuat dinding pertahanan Selly runtuh seketika."Iya, saya lagi mau," ulang Jonathan, suaranya yang berat dan sedikit serak pagi hari terdengar seperti ancaman sekaligus janji. Keinginan itu memancar kuat dari sorot matanya yang biasanya dingin dan dominan.Di balik wajah Gea yang harus ia tampilkan, Selly bergolak. Amarah dan rasa tidak terima membakar sanubarinya. "Apakah Jonathan setiap hari seperti ini dengan Gea? Brengsek! Bahkan jika denganku dia sangat menolak, tapi kali ini justru dia yang selalu mengajak Gea untuk ke hal yang intim," gerutu Selly dalam hati, sebuah perbandingan menyakitkan yang mengoyak harga dirinya.Kontras perlakuan ini bagaikan pukulan telak yang menguak jurang antara dia yang sebenarnya dan sosok yang d
Pagi itu, mobil mewah Jonathan membelah jalanan kota yang masih diselimuti embun tipis dan kesibukan yang baru menggeliat. Di kursi penumpang, Selly—yang kini terperangkap dalam peran sebagai Gea—duduk dengan punggung tegak, berusaha keras menjaga raut wajahnya tetap tenang. Namun, di balik topeng ketenangan itu, badai kecemburuan dan kebingungan berkecamuk hebat.Jonathan, dengan kemeja kantor yang tampak rapi sempurna dan tatapan fokus pada jalanan, memancarkan aura maskulin yang dingin, namun sesekali, kehangatan itu menyelinap."Sudah makan?"Pertanyaan itu meluncur santai dari bibirnya, sebuah perhatian sederhana yang justru terasa seperti sengatan listrik bagi Selly. Jari-jari Selly tanpa sadar meremas ujung tas tangan Gea yang ia pinjam. Telinganya terasa panas."Jonathan kenapa bisa seperhatian ini? Brengsek mereka sepertinya sudah jatuh cinta." Selly menggerutu di dalam hati, kata-kata itu memukulnya dengan kejengkelan yang mendalam. Kebenciannya terhadap Gea bercampur dengan
Udara malam yang dingin terasa menusuk tulang, membawa serta aroma debu dan karat yang pekat. Gea, dengan nafas yang mulai dangkal, terkapar tak sadarkan diri di lantai semen kasar yang dingin. Bibirnya sedikit terbuka, dan sehelai rambut coklatnya jatuh menutupi wajahnya yang kini tampak pucat. Kesadaran direnggut paksa darinya beberapa menit lalu, ketika sebuah kain yang dibasahi zat bius berbau tajam dan memabukkan mendarat cepat membungkam mulutnya.Anak buah Selly, seorang pria bertubuh besar dengan jaket kulit hitam, melirik gelisah ke sekeliling gang sempit yang remang-remang. "Cepat-cepat bawa ke nona Selly, sebelum dia sadar," bisiknya dengan suara serak, tatapannya menyapu bayangan di setiap sudut."Pastikan ini aman dan tidak ada jejak. Angkat dia, jangan seret!" Perintah itu disusul oleh gerakan cepat teman-temannya yang lain. Mereka mengangkat tubuh Gea yang lunglai, memperlakukannya lebih seperti karung berisi beban daripada seorang manusia. Kecepatan adalah kunci, dan d
Bawa anak buah lima saja, karena ini hanya penangkapan jalang kecil. Semuanya akan dimulai malam ini..”“Semuanya sudah terlaksana dan sudah disiapkan ketua.” jawab salah satu anak buah si perempuan asing.“Malam ini tepatnya gadis itu pulang kerumah, langsung kalian bawa ke hadapan gue, semua rencana harus sesuai apa yang gue mau!”“Lima tahun silam akan terulang, karena Jonathan masih berani menantang— hahahahaha..”Di sebuah penthouse mewah dengan pemandangan kota yang berkilauan, sekelompok orang berkumpul mengelilingi meja kaca. Di tengah mereka, duduk seorang wanita asing dengan mata tajam dan bibir yang menyunggingkan senyum penuh rencana busuk. Hal ini ada kaitannya dengan masa lalu Jonathan yang pernah meninggalkan Jonathan. Tetapi sekarang dia menyesal dan merasa gagal move on kepada Jonathan. dan Gea adalah sasaran kebencian barunya. Selly tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak mencapai matanya; matanya justru memancarkan kilau kebencian yang tajam dan perhitungan
Entah mata Jonathan salah atau benar. Namun, Jonathan melihat sosok Gea yang ada di dalam klub yang sama dengannya.Jantungnya berdebar tidak karuan, bukan karena gairah tempat itu, melainkan karena keterkejutan yang membingungkan. Itu adalah Gea, wanita lugu, sekretaris pribadinya yang selalu mengenakan kemeja rapi dan rok pensil yang memang cukup seksi, dan selalu bergerak dengan kesopanan yang hampir kuno. Tetapi, wanita yang kini ia lihat sangat berbeda.Jonathan melihat wanita yang seperti Gea mengenakan sebuah gaun yang sangat seksi dan warnanya sangat menyala—merah darah. Gaun itu memeluk setiap lekuk tubuhnya, memamerkan punggungnya yang mulus dan belahan dada yang sering ia lihat. Rambutnya, yang biasanya terikat rapi, kini tergerai bebas, berayun mengikuti irama musik."Tuan. Tuan mau kemana?" tanya Rasya, dengan sedikit bingung saat melihat Jonathan main pergi begitu saja.Tetapi Jonathan tidak menjawab. Logikanya memerintahkan untuk mengabaikannya, mengatakan bahwa itu ha







