“Ger, pu…pu,…punya kamu ge..gede amat,” Bisikan yang sudah kuduga sebelumnya. “Ini beneran punya kamu?” tanyanya sambil terus meremas dan menggenggam batang rudalku. “Iya Mi, masa punya orang saya bawa-bawa, emangnya kenapa, Mi?” tanyaku pura-pura tak mengerti. “Gila, ini punya kamu gede amat, Gerald. Usia kamu berapa, sih?” Umi Yani tampak makin penasaran. “Hehehe, umi suka gak sama yang gede panjang dan keras?” Aku balik bertanya dengan mengacuhkan pertanyaannya. “Ini sih udah kaya punya orang bule, Ger. Kamu keturuan Arab sih ya.” Umi Yani semakin penasaran namun tangannya semakin gemas mencengkeram batangku yang masih dalam celana pendekku. “Emang Umi tahu punya orang Arab atau orang bule itu gede panjang?” tanyaku iseng dan sejujrunya penasaran dari mana dia tahu itu. “Pernah liat di internet, tapi…” ucapnya tidak selesai. Mungkin dia malu merasa keceplosan. “Hehehe Umi mau menikmatinya yang ada digenggaman Umi gak?” godaku sambil mengedut-ngedutkan batang rudalku yang maki
Subuh-subuh aku sudah kembali ke kostan karena harus kuliah. Umi Yani menyelipakan uang buat sarapan yang jumlahnya aku pikir lebih dari cukup buat 20 kali sarapan. Aku sudah menolaknya namun dia memaksa. Sungguh tidak terduga keberuntunganku minggu-minggu ini. Mungkinkah setelah bertemu dengan Tante Sonya aku menjadi sangat bersemangat dan percaya diri hingga semua terasa sangat mudah dan ringan untuk dijalani. Di kampus pun aku sudah kembali gaul dan berinteraksi dengan teman-teman karena pikiranku mulai tidak terlalu terganggu dengan problema keuangan. “Eh Dit kapan kerjaan dari Tante Intan itu pastinya?” tanyaku saat sama-sama hendak ke kantin. “Gak tahu, gua juga belum ketemu lagi sama dia. Lu hubungi langusng aja, kan ada nomornya,” saran Dito. “Gak enak juga sih. Entar aja deh nunggu dia ke sini, hehehe,” balasku seraya cengengesan malu-malu. “Proyek tambahannya, ngelonin dia, mau gak, Bro?” Tiba-tib Dito berbisiki di telingaku. “Hah! pala lu bau asbak! Dia kan mertua kak
“Oh gitu?” tanggapku seraya melongo karena tadi malam tak secuil pun Umi Yani membahasnya. “Iya, makanya kami datang mendadak untuk mengurus dan memastikan segalanya. Kalau deket sih, mungkin kami juga masih butuh tenaga Gerald. Tapi kalau di Jakarta kan bisa ngeganggu kuliah Gerald, iya gak?” “Iya sih Mas. Wah syukur kalau mau dirawat yang lebih baik. Saya hanya bisa turut mendoakan semoaga Pak Ustad bisa segera cepat sembuh dan kembali seperti biasa.” “Amin.” “Dan ini, maaf, jangan dianggap penghinaan. Mohon diterima, bukan gaji tapi sekedar ganti uang sabun dan uang lelah aja, Ger,” ucap Mas Budiana serya menyerahkan amplop yang kurasa sangat tebal. “Aduh Maaas, sa..” Aku berseru kaget. “Sssst, sudahlah jangan ditolak, mohon diterima. Mohon maaf jika jumlahnya tidak sesuai. Intinya kami menghaturkan terima kasih atas kebaikan hati Gerlad.” Belum sempat aku menjawab, tak lama berselang Ustad Umar, Umi Anisa dan Bang Andre datang. Sepertinya mereka juga akan ikut ke Jakarta men
Saat tiba di rumah sakit, aku benar-benar tersentak tak percaya. Ternyata di sana sudah ada Tante Sonya yang sedang menjenguk Ustad Buyamin. Awalnya aku hampir tak percaya jika Tante Sonya benar-benar menjenguk suaminya Umi Yani. Mengapa mereka saling kenal? Setelah dijelaskan baru aku paham. Perushaan Mas Budiana ternyata salah satu partner bisnis perusahaan Tante Sonya. Antara mereka sudah sering bekerja sama, bahkan Tante Sonya sudah lama saling mengenal. Ketika mengetahi Mas Budiana ada di Bogor, Tante Sonya langsung menemuinya sekalian menjenguk Abinya Mas Budianan yang perawatannya akan dipindah ke Jakarta. “Seperi sebuah sinetron ya, Ger,” ucap Tante Sonya saat kami berdiri berdua melepas ambulance yang akan membawa suaminya Umi Yani ke Jakarta. “Amazing banget Tante, hehehe,” balasku masih sedikit excited. “Tante aja sampe kaget saat Umi Yani bilang kalau yang nemein dia selam di rumah sakit itu Gerald. Aku rasa pasti kamu, karena nama Gerald di sini sangat jarang. Dan ter
Oh my God, dia bahkan lebih cantik dari mantan pacar kilatku, atau siapapun gadis-gadis yang pernah tertidur di bawah perutku. Ini benar-benar cantik yang mengundang hasratku. Dan seketika itu juga aku merasakan dunia dan juga waktu berputar sangat lambat. Setelah aku mengunci pintu, Tante Sonya duduk di ujung ranjang putih, menghadap ke jendela membelakangiku. Aku duduk di kursi yang tersedia di sana dan kami saling diam-diaman untuk beberapa saat. Aku bingung harus memulai dari mana. Kami benar-benar dua insan berbeda kelamin yang terjebak di sebuah kamar dalam keadaan saling ragu. Mungkin berasa ingin khilaf tapi tipis-tipis aja. Apakah Tante Sonya merasa menyesal telah mengundangku ke kamar ini? Kamar terasa hening dan beku. “Gerald…” “Sonya..” Kami saling menyapa dalam waktu yang bersamaan hingga membuat kami tertawa. Aneh sekali seperti ada sebuah kesepakatan untuk saling memanggil nama. Ini baru pertama terjadi dan syukurlah, suasana kamar kembali mencair setelah kami sa
Suara ponsel Tante Sonya menghentikan semua aktivitas kami. ‘Anjing!’ Suara hape itu, benar-benar telah menghancurkan semuanya. Kami bangkit dan saling bertatapan. Tante Sonya lalu berdiri dan berjalan mendatangi tasnya yang berisi hape sialan itu. “Stttt!” Tante Sonya memberi isyarat agar aku tidak bersuara, sesaat setelah membaca nama yang masuk dalam panggilan ponselnya. ‘Sepertinya dari suaminya!’ batinku. Aku pasrah, mungkin Tante Sonya akan merapikan semua pakaiannya lalu mengajakku pulang. Sepertinya mood dia pun akan hancur dan birahinya pun sudah pergi entah kemana. Atau jangan-jangan dia sadar jika semua ini tidak seharusnya terjadi. Aku melirik jam dinding dan ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 13.53 WIB. Lama juga kami tadi bercumbu. Aku masih telanjang dada, menatap jendela yang juga masih tertutup tirai. Dan tiba-tiba ada sesuatu yang hangat menempel di punggungku. Terasa sangat kenyal tapi terbungkus. Dua lengan pun kemudian melingkar di ketiakku dan ada yang m
Saat bicara demikian, batang rudalku makin menegang, hingga terkesan makin besar dan panjang. Tante Sonya kembali tersenyum menatapku dari bawah sana. Lalu dia mainkan jemarinya pelan dan lembut sekali. Tak berapa lama, kepalanya pun mulai maju mendekat. Lalu dia mengecup batang rudalkuku seraya memejamkan mata. “Ooooh ssssst..” Aku mendesis seraya mendongak menatap langit-langit meresapi nikmatnya jilatan pertama lidah Tante Sonya pada kepalanya rudalku. Mendengar desisan dan lenguhnaku, Tante Sonya mengulangnya terus dari bawah ke atas. Dan dengan penuh perasaan dia pun melenguh dan mendesis, membangkitkan datah mudaku kian bergelora. Benar-benar aku bisa menikmati tiap ulasan ujung lidahnya pada hampir seluruh kepala dan batang rudalku. Pengalaman memang tidak bisa berbohong. Permainan Tante Sonya jelas beda dengan beberapa wanita yang sudah sangat berpengalaman. Dia masih terasa sedikit kaku dan ragu. Ya, sesuai pengakuannya memang baru dua kali bercinta dengan lelaki yang buka
Dua hari setelah keberangkatan Tante Sonya ke Jepang, hidupku terasa agak hampa. Selain karena di kostan tinggal sendirian, ibu kost pun menjenguk cucunya entah untuk berapa lama. Bisasanya tak kurang dari satu minggu. Aku pun mulai sedikit bingung dengan keadaanku saat ini. Selama ini aku selalu kekuarangan dalam bidang keuangan. Terlalu lama hidup dalam keprihatinan, namun sejak bertemu dengan Tante Sonya, aku merasa kehidupan ekonomiku berubah, terlebih lagi setelah bertemu dengan Umi Yani dan keluarganya yang juga sangat baik. Selain aku memiliki pinjaman motor dari Umi Yani, aku pun memiliki tabungan uang tak kurang dari 30 juta. Jumlah yang bahkan tidak pernah aku impikan sebelumnya. Berasa mendadak jadi sultan. Uang tersebut memang sudah aku alokasikan untuk membantu modal warung ibuku di kampung, namun…. Saat ini ibuku memang sedang sangat membutuhkan sejumlah uang untuk menambah modal usahanya, namun dia tidak pernah memintaku untuk mencari uang. Dia hanya memintaku untuk b