Di Panti Asuhan Dolorice, Jakarta Pusat. Seorang gadis kecil berusia sekitar delapan sampai sembilan tahun terlihat dikelilingi oleh anak-anak lain seusianya, dengan ekspresi menyedihkan di wajahnya yang cantik, dia tampak menangis,
"Aku tidak mencurinya, itu milikku, kamu mencurinya dariku." Dia menunjuk gadis di depannya, hampir seumuran dengannya tetapi yang terakhir itu gemuk dan gadis yang menangis itu sangat kurus tapi cantik,
"Itu bohong, Jejen kami bukan pencuri dan dia tidak akan mencuri liontimu." Seorang gadis muda dari kerumunan berteriak.
"Aku tidak berbohong, liontin itu milikku, ibuku telah memberikannya kepadaku sebelum dia….”
"Kamu pembohong dan pencuri, teman kami Jejen bukan pencuri sepertimu." Anak lain berteriak.
Gadis yang dituduh tidak mengucapkan sepatah kata pun, dia hanya berdiri dan melihat anak-anak lain membela si anak bertubuh gemuk dari yang menangis, dengan ekspresi jahat di wajahnya, dia tampak puas melihat anak kurus menangis.
"Pencuri!"
"Pencuri!"
"Pencuri" Anak-anak bernyanyi mengejek anak kurus, dia mencoba membela diri tetapi tidak ada yang memperhatikannya,
"Gina!” Sebuah suara yang lebih tua memanggil, anak-anak lain tetap diam melihat penampilan wanita muda yang merupakan salah satu guru mereka.
"Aku tidak mencurinya, itu milikku." Gina tergagap tetapi tidak ada yang mau mendengarkannya,
"Gina dan Jejen, ikut aku." Dia memerintahkan, kedua gadis itu mengikutinya sementara anak-anak lain terus bergumam ketika beberapa masuk ke kamar, lalu yang lain kembali bermain.
Ketika mereka sampai di kantor kepala panti, kedua gadis itu diminta untuk menunggu,
Kepala panti asuhan keluar, "Jejen, apa kau yakin itu milikmu?" Miss Lena bertanya lagi untuk memastikan, gadis itu mengangguk sementara Gina tidak bisa berkata apa-apa,
Tidak ada yang pernah mendengarkannya.
Seorang pria yang lebih tua berusia empat puluhan pun datang, tidak terlalu tinggi dan memiliki perut buncit, dengan rambut cepak berponi dan helai itu jatuh di wajahnya yang kasar,
"Ada apa ini?" Dia meminta Miss Lena segera duduk.
"Jejen melaporkan kepada saya pagi ini bahwa Gina berkelahi dengannya untuk merebut liontin ini, dia mengklaim itu miliknya tetapi Jejen mengatakan itu miliknya." Wanita muda itu menjelaskan kepada pria itu, dia mengeluarkan kacamatanya, membersihkannya dan memakainya lagi menyesuaikannya dengan pangkal hidungnya.
"Jen, bisakah kamu menjelaskan padaku apa yang terjadi?" Dia bertanya dengan penuh kasih dan melemparkan pandangan marah pada Gina,
"Saya melihat liontin saya di tempat tidur Gina dan saya mengambilnya, lal pagi ini dia menuduh saya mencuri liontinnya." Kata Jejen.
"Ini Li ...!" Satu pandangan dari kepala panti, gadis yang menangis tidak bisa menyelesaikan kata-katanya, air mata mengalir di matanya,
Kepala panti menoleh ke Gina dengan wajah marah, tidak memberinya kesempatan untuk menjelaskan, Kamu pencuri kecil, bagaimana kamu bisa mencuri milik temanmu sendiri!" Dia memarahinya, air matanya tidak mengenal batas.
Bagaimana dia bisa dituduh dan tidak diberi kesempatan untuk membela dirinya sendiri.
Ini sangat tidak adil.
"Ini milikku, dia mencurinya….” Marah pada kebohongannya, Kepala panti memberinya tamparan keras, anak satunya tersenyum saat dia meratap, "Bawa dia ke ruang hukuman, tidak ada makanan untuknya hari ini dan besok." Dia memerintahkan, Nona Lena dengan paksa menyeretnya dari kantor,
"Aku tidak melakukannya, aku tidak mencuri liontin itu, itu milikku." Kamar pun terkunci.
Tidak ada yang bisa menyelamatkannya sekarang.
SEMINGGU KEMUDIAN
"Anak-anak, ingatlah untuk berperilaku baik ketika dia datang, salah satu dari kalian akan beruntung diadopsi oleh keluarga Addington hari ini." Kepala pantl
memberi tahu anak-anak saat mereka duduk di kursi mereka,
"Ingat apa yang saya katakan tadi malam, siapa pun yang tidak baik akan tinggal di kamar terkunci untuk malam ini, siapa yang menginginkannya?" Dia bertanya kepada anak-anak,
"Bukan saya!"
"Bukan saya!"
"Bukan saya!" Mereka semua bersorak, kecuali satu anak, Gina. Dia duduk sendirian, tidak ada teman dan tidak ada orang untuk diajak bicara, diam-diam berharap bahwa keluarga yang baik dan penuh kasih akan membawanya pergi dari sini selamanya.
"Sekarang kalian semua tunggu di sini dan bersikap baik, mereka akan tiba di sini sebentar lagi." Anak-anak mengangguk dan Kepala panti pergi dengan beberapa guru yang bekerja dengan mereka di panti asuhan.
Setelah mereka pergi, anak-anak menoleh ke diri mereka sendiri, berbicara atau melakukan satu atau lain hal dalam satu kelompok mereka.
Beberapa saat kemudian, Tuan Henry Addington yang telah lama ditunggu-tunggu datang, dia adalah seorang pengusaha sukses berdarah Inggris dan dia datang untuk mencari sesuatu yang berharga.
Anak putrinya yang hilang, baru-baru ini dia mendapat laporan bahwa anak itu ada di panti asuhan ini, jadi dia datang untuk menjemputnya dan membawanya ke rumah mereka untuk hidup sebagai nyonya muda, cucunya bernama Clara.
"Tuan, selamat datang tuan." Kepala panti menyapa orang tua itu, "Hmm, di mana anak-anak?" Dia bertanya tidak sempat membalas sapaannya, yang sebenarnya dia inginkan adalah gadis itu.
"Mereka di taman bermain, Pak anak seperti apa yang ingin Anda adopsi?” Kepala panti bertanya kepada pria itu,
"Saya mendapat kabar bahwa nyonya muda dari keluarga saya ada di sini, jadi saya datang untuk menjemputnya." Dia mengeluarkan liontin dari sakunya,
"Anak itu memiliki sesuatu seperti ini." Menunjukkan liontin kepada pria itu, sesuatu menghantam ingatannya, Jejen memiliki pasangan liontin ini. Apakah dia nyonya muda Addington?” Dia bertanya pada dirinya sendiri,
"Tuan jika demikian, maka saya harus pergi mencari gadis itu, dia ada di sini.” Dengan sangat yakin, dia berlari ke taman bermain,
"Jejen!" Dia memanggil gadis muda yang sedang sibuk mengobrol dengan teman-temannya, "Jejen, kemarilah.” Sadar dia telah dipanggil, gadis itu berdiri dan pergi ke pria itu,
"Bapak memanggilku?" Dia bertanya pada pria itu sambil tersenyum, pria itu mengangguk,
"Ikuti aku." Dia mengikuti pria itu tanpa bertanya. Ketika mereka sampai di kantornya, lelaki tua itu masih duduk memandangi potongan liontin di tangannya.
Tuan, ini gadis itu." Kepala panti mendorong Jejen ke pria itu, yang tatapannya jatuh ke lehernya, memperlihatkan potongan liontin.
"Gadis kecil, siapa yang memberikannya padamu?" Tuan Addington bertanya kepada gadis itu, yang tampak bingung tetapi memiliki jawaban yang sempurna,
"Ibuku…." Sebelum dia bisa menyelesaikannya, pria itu menariknya ke pelukannya.
"Cucuku yang telah lama hilang telah kembali.” Kedua pasang liontin itu cocok, dia menoleh ke asistennya.
"Kirim pesan ke rumah, Aku telah menemukan putri Cindy." Menarik gadis itu mendekat, dia tidak bisa melepaskannya dari pelukannya, seolah gadis itu akan menghilang jika dia melepaskannya dan dia akan kesulitan menemukannya seperti yang terjadi pada ibunya.
Henry Addington menyelesaikan semua formalitas yang diperlukan dan mentransfer sejumlah besar uang ke rekening Kepala panti,
"Trimakasih telah merawat Clara kecilku untukku, aku akan pergi sekarang." Dia mengambil tangan gadis itu dan mereka masuk ke mobil, pergi dengan cepat seperti ketika mereka datang.
“Selamat siang,benar ini orangtua dari Rain Wijaya? Tanya suara perempuan dari seberang ponsel itu.“Iya, saya Ibunya. Ada apa ya?”“Maaf Ibu, kami dari pihak sekolah ingin memberitahukan kalau anak Ibu yang bernama Rain saat ini sedang dilarikan ke rumah sakit karena kecelakaan.”Gina tersentak, “Apa? Bagaimana keadaan anak saya sekarang, Bu?”“Lebih baik anda segera ke rumah sakit saja, karena Rain terluka dan sepertinya membutuhkan donor darah.” Tanpa pikir panjang, Gina melompat dari bak mandi dan segera memakai handuk kimononya.Willy bingung ada apa dengan Gina, dia bertanya padanya dan Gina menjawab dengan isak tangis sambil terburu-buru menjelaskan.“Rain kecelakaan dan dia butuh donor darah.”Willy ikut tersentak mendengarnya lalu berkata, “Kita ke rumah sakit sekarang,” sambil melompat dari bak mandi dan segera berganti pakaian.Belum tahu keadaan Rain seperti apa, di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit yang kira-kira mereka tempuh selama sekitar dua puluh menit, Gina t
***Malam itu saat Gina mengepak buku-buku Rain, sebuah surat terjatuh dari tangannya.Awalnya, dia mengira itu adalah surat cinta yang sering didapat Rain dari penggemarnya dan Gina ingin membuangnya, tapi setelah dipikir-pikir, Gina memutuskan untuk melihat lebih dulu apa isi surat tersebut.Ternyata itu bukan surat cinta, melainkan surat pemberitahuan untuk rapat orangtua di sekolah Rain.Gina Heran, kenapa anaknya tidak memberikan surat ini padanya?Gina segera mengambil ponselnya dan menelpon guru Rain.“Halo, ini saya Ibu dari Rain Wijaya.” Gina memperkenalkan diri.“Oh, Ibunya Rain, ada yang bisa saya bantu?” Tanya guru itu.“Begini, saya baru saja menemukan surat undangan rapat di antara buku-buku Rain, sepertinya rapat itu sudah terlewatkan karena Rain tidak memberitahu saya. Kalau boleh saya tahu, isi rapat tersebut apa perihal apa ya Bu?”“Hmm… Jadi begini, Bu. Rapat itu untuk memberitahukan pada wali murid bahwa siswa kelas satu akan ada kegiatan study outdoor di akhir pek
"Ayah jangan lakukan itu." Gina mencoba membujuknya agar Toni mengurungkan niatnya untuk menceraikan istrinya tetapi pikirannya tetap pada pendiriannya."Tidak nak, aku harus melakukan ini. Aku bosan dengan gubuk yang disebut pernikahan itu." Toni meratap.Gina mengerti, bukan tugas yang mudah memiliki Rindu dan Melissa sebagai keluarga.Toni menarik napas dalam-dalam, “Inilah yang seharusnya yang kulakukan sejak dulu.”"Tapi Ayah, Ayah tahu ibu pasti akan menggunakan cara apapun untuk mendapatkan rumah dan semua properti lain yang kalian miliki, bagaimana Ayah akan mengatasi itu semua?" Gina bertanya,"Jangan khawatir, aku sud
"Apa yang baru saja Anda katakan?" Anak itu bertanya lagi. Leonardo merasa kesal, mengapa seorang anak kecil mengganggunya, "Hei anak kecil, apa yang kamu lakukan di sini?" Dia bertanya tetapi punggungnya tidak mundur. Dia berjalan di depan pria dengan tangan bertolak pinggang, menatapnya tajam, "Apa yang kamu katakan, apa yang dia lakukan pada Mamaku?" Dia bertanya lagi. Semua orang disana kecuali Agen Harun terkejut mendengar kata-kata berani anak itu, “Rain, ini bukan …” Tatapannya membuat Rindu terdiam, dia belum pernah melihat anak itu begitu marah seperti ini sebelumnya. "Berapa dia berhutang padamu?" Rain bertanya pada pria itu.
Willy mengantar Gina ke kamar kecil, Willy tidak ingin Gina terlihat menangis di hadapan putranya.Itu sebabnya Willy membawanya ke kamar kecil, jadi dia bisa menenangkan dirinya sendiri.“Apa kamu sudah baik-baik saja sekarang?” Willy bertanya dengan penuh perhatian,Gina menyeka air matanya dan mengangguk, "Sudah ... terima kasih telah membelaku tadu." Gina basa basi.Jadi dia bisa mengucapkan kata terima kasih? Batin Willy mencemooh.Willy kembali tersenyum padanya, "Sekarang ayo kita cari Rain, dia pasti menunggumu." Pria itu meraih tangannya dan mereka meninggalkan kamar kecil.
Selama dua hari berikutnya, Willy masih juga menolak membiarkan Gina pulang.Gina sudah sangat lelah dan kesal.Sebenarnya tidak ada yang Gina lakukan disana selain melayani Willy yang memaksakan diri padanya ketika Willy sedang dalam gairah tinggi dan itu hampir setiap saat.Meskipun Gina selalu menggerutu padanya, karena setelah Willy puas, Dia tidak melakukan apa-apa selain langsung kembali tidur sementara Pria yang selalu penuh vitalitas itu melanjutkan pekerjaannya di kantor.Willy memberinya ponsel lain ketika Dia kembali dari kantor malam itu. Orang pertama yang dia hubungi adalah putranya."Halo Mama!” Anak laki-