Mag-log in"Nggak waras kamu Indy!!!"
"Hah?" Indy kaget saat mendengar perkataan Dimas sampai tanpa sadar ia menunjuk hidungnya sendiri, "Aku? Nggak waras?" Dimas langsung melemparkan berkasnya ke atas pahanya dan membuka kacamata miliknya. Jemarinya memijat-mijat kedua matanya, sambil sesekali memanggil nama Indy dengan frustasi. "Cobaan apa lagi ini, Tuhan," batin Dimas sambil berusaha menenangkan hati juga pikirannya dan sesuatu yang tanpa permisi sedikit mengeras di antara kedua pahanya. "Om kenapa sih? Indy ini cuman mau liat Om, katanya Om sakit?" tanya Indy bingung kenapa Dimas bereaksi berlebihan akan kedatangannya. "Aku diminta sama Almira buat ngurus Om, dia katanya baru datang nanti siang." Sekali lagi Indy berdusta karena sejujurnya dia tidak tau kapan pastinya Almira datang apalagi kalau seandainya Almira tahu keadaan Dimas yang baik-baik saja. Dimas menggeleng dan menengadah sambil sesekali melirik Indy yang berjalan mendekati dirinya. Matanya mengerjap berusaha untuk tidak melihat ke satu titik yang membuat pikiran dan batinnya berteriak. "Om, nggak papa kan? Masih sesek nggak?" tanya Indy yang sudah sampi di samping ranjang Dimas dan menyentuh kening Dimas berusaha menerka-nerka apakah suhu tubuh Dimas normal. "Nggak panas Om, tapi kok ...." Indy menatap wajah Dimas yang entah kenapa terlihat lebih merah, "Muka Om kok merah banget, Om kaya orang demam ... ah ...." Tubuh Indy terhuyung ke depan saat tangannya ditarik oleh Dimas dan itu membuat wajahnya hanya berjarak beberapa inci dari wajah Dimas bahkan Indy bersumpah ia dapat mencium aroma tubuh Dimas yang membuat tubuhnya meraung penuh hasrat. Panas. "Om," bisik Indy sambil menggigit bagian bawah bibirnya. Mata Indy seolah terperangkap dalam sorot mata tajam nan sensual dari mata Dimas. Mata Dimas seolah menatap Indy dengan tatapan yang mampu membuat Indy melemparkan tubuhnya ke pelukan Dimas dan bergelung penuh hasrat panas detik itu juga. "Kamu ini mau jenguk saya atau ngapain?" tanya Dimas dengan suara serak yang menahan hasratnya sendiri. Pikirannya memaki Dimas yang bisa tergoda oleh anak ingusan bernama Indy tapi, tubuhnya menyerah kalah dan meminta Dimas untuk memuaskan hasratnya. "J-jenguk," bisik Indy sambil menjilat bibir bagian atasnya, berusaha menenangkan dirinya sendiri karena saat ini jantungnya berdebar sangat keras dan pikirannya kacau akibat terlalu dekat dengan Dimas. Ini kali pertama dirinya sedekat ini dengan Dimas setelah bertahun-tahun Indy menggoda pria matang tersebut. Iya, matang ... Indy tidak pernah menyebut Dimas tua karena menurut Indy, Dimas itu pria matang nan menggairahkan yang mampu membuat pikiran Indy berfantasi liar. Lelaki yang lebih pantas menjadi ayahnya dibanding kekasihnya, sering membuat Indy terpesona bahkan lebih gilanya jatuh cinta. Dia menyukai Dimas karena dia merindukan sosok ayah dan pria yang mampu melindungi dirinya. Awalnya Indy hanya berniat menggoda Dimas, tapi, lama-lama ia mulai terperangkap dalam permainannya sendiri dan menyukai pria matang itu. "Yakin?" tanya Dimas sambil melepaskan cengkraman tangannya dan menyentuh ujung hidung Indy dengan jemarinya dan terus turun ke arah bibir, leher dan berkahir di bagian belahan dada Indy. Napas indy tercekat, jantungnya berdetak tak karu-karuan dan tubuhnya langsung diselimuti gairah yang membuat tubuhnya bergidik hingga beberapa bagian tubuhnya meraung mendamba sentuhan jemari Dimas. "Om ...." "Kamu kalau menjenguk orang sakit, bajunya kaya gini?" tanya Dimas sambil mengaitkan telunjuknya ke kerah baju tidur Indy yang berbelahan rendah dan berhiaskan brukat yang hanya mampu menutupi sedikit dari keindahan belahan dada Indy. Iya, Dimas tadi langsung mengatakan Indy tidak waras karena melihat pakaian Indy yang lebih cocok digunakan untuk melakukan malam pertama daripada untuk menjenguk orang sakit. Dimas menarik pelan pakaian Indy dan mengintip ke bagian dada Indy, tubuhnya bergetar hebat dan bagian tubuh yang berada di antara pahanya makin meraung meminta untuk dipuaskan saat melihat dada Indy yang kencang. "Bagus juga." Napas Indy tercekat dan spontan Indy mendorong tubuh Dimas lalu berjalan ke arah ia menyimpan jaketnya. Buru-buru Indy mengenakannya kembali, "Maaf ... maaf, tadi aku buru-buru jadi nggak sempet ganti baju." "Bodoh kamu Indy," maki Indy di dalam hati sambil sesekali melirik Dimas yang sedang menatapnya dingin dan bahkan terlihat acuh. Indy mungkin suka menggoda Dimas, tapi, dia masih cukup waras untuk tidak melewati batas. Dia bukan cewe murahan! "Tadi, pagi aku kaget karena Almira nangis-nangis, jadi aku sangka Om mau meregang nyawa. Kalau Om mati kan, berabe ... jadi aku buru-buru ke sini, aku panik kan Om udah tua takutnya lebih cepat dipanggil yang kua ...." "Beneran nggak waras kamu, Indy!" seru Dimas yang kesal dengan perkataan Indy. Dimas terkadang takjub dengan kelakuan sahabat anaknya ini yang bisa membuat dirinya marah, bernafsu bahkan tertawa di waktu yang bersamaan. "Dih, Om ... bilang nggak waras mulu, aku ini waras Om. Cuman kadang suka error aja," ucap Indy yang bersyukur karena suasana di sekitarnya sudah tidak sepanas tadi. Entah apa yang terjadi kalau seandainya suasananya masih panas, mungking ia sudah tak mampu lagi menjaga dirinya sendiri. Iya, Indy mungkin senang menggoda Dimas baik sengaja maupun tidak di sengaja, tapi, untuk melangkah lebih jauh Indy belum berani. Ia tidak seliar itu. "Cuman orang nggak waras yang datang ke rumah sakit pakai baju kaya gitu, Indy. Kalau bukan aku, mungkin kamu udah abis sama laki-laki hidung belang." Dimas melirik dingin bercampur kesal pada Indy yang sedang memamerkan deretan gigi putihnya. Rese tapi lucu. Indy mendekati ranjang Dimas, mencoba menghilangkan suasana canggung. Ia mengambil gelas dan menyodorkannya secara tiba-tiba pada Dimas, "Om mau minum?" Dimas yang kaget, spontan menepis tangan Indy dan membuat gelas tersebut jatuh ke pangkuannya, "Ya Tuhan ... Indy!!!" "Ya ampun Om maaf," pekik Indy panik sambil mengambil tisu sebanyak mungkin dan melap paha Dimas, sesekali dia menekan-nekan lembut. "Sumpah yah, bisa stroke aku kalau kamu yang ngurus aku, Indy," ucap Dimas geram sambil menatap Indy yang terlihat panik. Dimas rasanya ingin memakan gadis itu saking kesalnya. "Eh ...." Indy menghentikan gerakkannya dan menatap wajah Dimas. "Ini apa Om?" tanya Indy polos sambil menekan sesuatu di antara paha Dimas. "Kok keras?" Seketika itu juga Dimas mengutuki bagian tubuh pribadinya! Sial! •••Sepanjang rapat Dimas hanya bisa mencuri-curi pandang ke arah Indy yang dengan luwes mengartikan semua perkataannya dan juga mensingkronkan dengan semua gambar juga berkas-berkas yang sudah ada di tangan Mister Chen dan semua anak buahnya.Rapat berjalan sangat lancar dan dengan gemilangnya Dimas mendapatkan kontrak yang ia inginkan dan bahkan dengan keuntungan yang tidak bisa Dimas bayangkan. Mister Chen sepertinya terpesona dengan keluwesan Indy."Tadi itu apa?" tanya Dimas setelah semua orang keluar dan hanya ada mereka berdua di ruangan. "Rapat," ucap Indy sambil menyelipkan rambutnya ke kuping membuat Dimas bisa melihat leher Indy yang jenjang.Dimas berusaha menahan hasratnya untuk menarik Indy ke pangkuannya lalu menarik kemeja yang menutupi setiap lekuk tubuh gadis itu, "Bukan rapatnya Indya tapi ....""Tapi ... kenapa aku bisa Bahasa Mandarin?" tanya Indy sambil tersenyum senang karena akhirnya ia bisa menunjukkan bakat terpendamnya."Kamu kan nggak pernah les Mandarin setah
"Pak Rei kenapa?" tanya Indy yang bingung melihat Rei berjalan mondar mandir di depan ruangan rapat yang akan Dimas pakai lima belas menit lagi untuk bertemu dengan salah satu petinggi perusahaan Jiayou."Astaga kenapa anda udah di sini? Mana Pak Dimas?" tanya Rei panik sambil melihat ke kanan dan ke kiri mencoba mencari Dimas."Pak Dimas masih di kamar, katanya dia mau bersiap. Saya ke sini duluan karena mau nyiapin ruangan." Indy mengangkat beberapa map yang sudah ia siapkan. "Dan lagi, saya baru selesai benerin jadwal yang anda buat. Pak Rei ngaco."Rei mengangguk, "Saya memang sedang dalam mode banyak masalah yang ...." Rei terdiam dan berpikir apakah harus ia menceritakan masalahnya pada Indy. Rasanya ia dan Indy tidak sedekat itu hingga ia harus memberitahukan kehidupan pribadinya. To much informasion.Indy yang seolah paham hanya mengangkat salah satu tangannya dan berkata, "Is oke ... semua orang punya masalah, ingat masalah itu akan berlalu tapi buat anda kayanya masalahnya m
"Aku masih perawan, Om!" Seketika itu juga gerakan jari Dimas terhenti, membuat Indy bersyukur sekaligus kesal karena ia suka jemari itu bergerak di bagian paling sensitif tubuhnya. Candu."Kamu nggak lagi mainin aku kan?" tanya Dimas sambil tertawa karena tebakannya benar. Pengalaman hidup membuat dia mampu menebak apalah Indy ini masih perawan atau bukan.Indy langsung menggeleng sambil menjauhi Dimas, otaknya saat ini kembali mengambil alih tubuh, hati dan juga pikirannya membuat ia kembali berpikir jernih dan waras tidak terbius dalam godaan penuh nikmat dari Dimas."Kamu beneran masih?"Indy mengangguk secepat mungkin, bahkan ia merasa kepalanya hampir lepas dari lehernya saking kerasnya Indy mengangguk. "Masih Om ... aku walau genit, nakal dan nyebelin ke Om tapi, aku masih perawa ... sumpah pramuka, Om."Seketika itu juga Diman tertawa keras mendengar perkataan Indy, celananya tiba-tiba tidak sempit lagi dan suhu tubuhnya sudah berangsur-angsur kembali normal. Bersama Indy mema
"Hah?" Seketika itu juga Indy merasa tuli, ia seolah tidak mendengar suara apa pun juga. Jantungnya hampir meloncat dari wadahnya saat buku-buku jari Dimas menyentuh pipinya dan bergerak ke arah bibir.Dimas memiringkan kepalanya dan berbisik pelan ke kuping Indy, "Om mau jadi Sugar Daddy kamu, Indy.""A-ah ...." desah Indy tiba-tiba saat ia merasakan hembusan napas Dimas di kupingnya. Hembusan itu terasa hangat dan mampu mematik gairah yang selama ini terkubur di dalam dirinya.Tubuh Indy bergetar hebat saat merasakan pucuk hidung Dimas yang bergerak sensual di telinganya. Entah kenapa tiba-tiba saya Indy tak mampu untuk bernapas lagi, seolah semua udara di muka bumi menolak untuk mengisi paru-paru Indy. "Kamu tau kan, apa yang dilakukan Sugar Daddy bersama Sugar Baby-nya?" tanya Dimas pelan sambil menjilat ujung telinga Indy hingga kembali lagi kuping Dimas dimanjakan oleh suara sensual Indy yang membuat gairahnya meronta memaksa Dimas untuk dipuaskan."A-aku ...." Indy mungkin gen
"Kamu di mana, Nak?""Di cina," jawab Indy singkat sambil menutup pintu kamar hotelnya. Baru tiga puluh menit yang lalu Indy sampai di salah satu hotel terbaik di Guangzhou Cina."Ngapain? Kamu mau jadi TKW, Nak?" "Ya salam, Bu ... ngapain Indy jadi TKW. Kan Indy masih kuliah dan lagi Indy lagi magang." Indy tertawa kecil mendengar celotehan Ibunya Andini. "Yah abis kamu tiba-tiba ke Cina. Kemarin kamu udah bilang sih, cuman Ibu kaget aja tiba-tiba kamu udah di Cina. Kamu nggak ada cita-cita buat daftar jadi pegawai di kebun binatang di Cina, kan?" tanya Andini dengan menahan tawanya akibat membayangkan Indy menjadi pelatih panda."Walaupun Indy suka banget panda tapi, Indy nggak mau jadi pengurusnya Ibu," kekeh Indy yang juga membayangkan dirinya menggendong panda ke mana-mana."Kamu di sana sama siapa dan kenapa kamu yang di ajak ke Cina? Kenapa nggak orang lain?" tanya Andini yang bingung kenapa tiba-tiba anaknya diminta untuk perjalanan dinas padahal dia masih anak magang.Indy
"Pak Rei ... Pak," panggil Indy sesaat setelah sampai di bandara."Iya Indy kenapa?" tanya Rei yang sedang sibuk mengurus sesuatu di ponselnya."Ini beneran aku ke Cina sekarang?" tanya Indy yang bingung sambil melihat ke sekeliling Bandara. "Tiket kamu sudah ada dan paspor kamu juga sudah ada. Semua sudah selesai, cuman jujur memang kemarin aku sibuk banget sampai lupa hubungi kamu ulang. Jadi, cuman hubungi kamu via email dan ternyata malah masuk ke spam," terang Rei sambil melirik Indy yang saat ini menatapnya kebingungan.Rasanya Rei ingin menepuk kepala Indy dan mengusapnya karena saat ini Indy terlihat seperti anak anjing yang kebingungan dan meminta perhatian. Menggemaskan. "Hah ... pantas saja Pak Dimas memberikan perhatian khusus pada Indy. Selain Indy itu sahabat anaknya, Indy pun terlihat sangat menggemaskan dan juga cantik," ucap Rei di dalam hati sambil tersenyum tulus."Tapi, Pak ... Bapak yakin perginya sekarang banget?" tanya Indy sambil menggaruk kepalanya yang tiba







