Dengan rambut setengah basah, aku menyambut kepulangan suamiku. Aku langsung merebut tas yang ia bawa, dan menuntunnya menuju meja makan. Wajah lelahnya membuatku prihatin.
"Mas... Gimana kerjanya hari ini?" Aku melontarkan pertanyaan pertama yang selalu aku tanyakan. Ketika aku menyentuh pundak suamiku, dan hendak memijatnya, ia dengan kasar mendepak tanganku. Aku mengerutkan kening. "Ada masalah di kantor?" tanyaku, khawatir. Suamiku, yang kerap aku panggil Mas Yuan, menggelengkan kepala sebagai jawaban. Aku memilih duduk di dekatnya. Aku memperhatikan suamiku dengan seksama. Senyumku merekah saat menyadari bahwa Mas Yuan tetap terlihat tampan di usianya yang sudah menginjak kepala empat. "Mas... Kalau ada masalah, cerita dong... Kita 'kan sudah menikah selama lima tahun. Masak kamu masih nggak mau berbagi?" Aku merayunya. Nada suaraku sengaja aku buat lembut agar Mas Yuan nyaman, dan mau menyalurkan keluh kesahnya padaku. Tapi, sepertinya aku belum bisa meluluhkan hatinya yang keras. Mas Yuan lebih memilih beranjak dari tempat duduknya, lalu berjalan menuju kamar. Aku hanya bisa menghela napas dengan sikap suamiku yang kian hari kian dingin. Padahal, di awal pernikahan kami, Mas Yuan sering menunjukkan cintanya padaku, meski ia selalu menutup rapat urusan pribadinya dariku. Mataku menatap gelas berisi teh hangat yang tidak disentuh oleh suamiku. "Mas Yuan kenapa, sih?" Aku tak mau ambil pusing. Aku menyusul suamiku, dan langsung memeluknya dari belakang ketika ia sedang memilih baju di depan lemari. "Mas... Aku pengen nih. Yuk... Kita basah-basahan di atas kasur," ajakku, mengeratkan pelukanku. Mas Yuan menghembuskan napas berat. Bukannya menerima ajakanku, beliau justru menarik lenganku dengan sekali hentak. Responsnya yang kasar, dan tak terduga itu membuatku terhuyung. Aku hampir jatuh jika saja aku tidak bisa mempertahankan keseimbanganku. "Mas Yuan?" Dengan mata terbelalak, aku menuntut penjelasan. Mas Yuan memijat batang hidungnya. "Lia, maaf. Banyak hal yang aku pikirkan. Aku mandi dulu ya," ucapnya. Mas Yuan sempat mengelus pundakku sebelum masuk ke dalam kamar mandi. Dengan kesal, aku duduk di ranjang sembari berusaha mengerti keadaan suamiku. Nanti, aku akan mencoba untuk bertanya secara pelan-pelan. Sebagai istri, aku juga ingin ikut terlibat dalam urusan pribadi suamiku. Setelah menunggu beberapa menit, suamiku keluar dari kamar mandi. Aku memberinya tatapan genit. Aku yang tadi sudah mengganti baju tidurku dengan lingeri super seksi, kini bergerak-gerak gelisah di hadapannya. "Mas... Aku kangen sentuhanmu. Sudah lama kita tidak melakukan hubungan suami-istri. Masak kamu tega anggurin lubangku sih?" Aku sungguh malu saat mengatakannya, tapi... Aku harus! Karena aku memang menginginkannya. "Aku capek." Dengan dinginnya Mas Yuan menolakku. Dia melenggang melewatiku. Walaupun agak sakit hati. Aku tidak akan menyerah! Malam ini, aku harus membuatnya menumpahkan cairannya di dalam rahimku! Aku buru-buru menyusul suamiku yang rebahan di atas ranjang. Saat aku hendak naik ke atas tubuhnya, ia mendorongku, membuatku terjatuh di atas lantai yang dingin. Aku meringis kesakitan sambil mengelus pergelangan kakiku yang terkilir. Sedangkan Mas Yuan hanya melihatku tanpa belas kasih, seolah aku ini hanya selembar tisu yang terhempas. "Mas Yuan, kamu keterlaluan," kataku, memandangnya nyalang. "Sudah enam bulan kamu tidak menyentuhku sama sekali. Apa kekuranganku? Aku sudah tidak enak?" cecarku, sedikit meninggikan suaraku. Mas Yuan mengubah posisinya menjadi duduk. Ia memiringkan kepalanya sambil membalas tatapanku dengan wajah malas dan mengantuk. "Lia, sebenarnya aku tidak mau mengatakan ini, dan memulai perdebatan, tapi kali ini aku akan mengungkapkan unek-unekku," tutur Mas Yuan, terlihat serius. "Katakan semua yang pengen Mas katakan. Nggak usah ditahan-tahan. Aku nggak bakal ngajak kamu berdebat," tandasku, meyakinkan. Mas Yuan mendengus sebelum berkata, "Kita sudah menikah hampir lima tahun. Tapi kamu masih belum juga hamil. Kamu pikir itu tidak membebaniku?" Aku menunduk sedih, bibirku bungkam seribu bahasa. Tak ada kata-kata yang pas untuk menanggapi atau membalas ungkapan hati suamiku. "Untuk apa kita berhubungan intim? Toh... Kamu tak mampu memberiku keturunan. Rahimmu itu tidak berfungsi. Huh... Buang-buang tenaga saja!" ketusnya. Dia bilang apa? Buang-buang tenaga? Jujur, hatiku sakit mendengar kalimat pedas Mas Yuan. "Kayaknya kamu memang enggan memiliki keturunan, dan lebih memilih kariermu yang luar biasa itu! Atau jangan-jangan... Kamu ogah mengandung karena takut tubuhmu jadi jelek?" Mas Yuan mulai menuduhku. Aku melongo sambil menggelengkan kepalaku pelan. Aku tidak menyangka, pria yang dulu selalu mengatakan kalimat cinta padaku, kini berbalik mengatakan hal-hal buruk tentangku. "Mas Yuan, kenapa kamu ngomong kayak gitu? Aku beneran pengen punya anak dari kamu. Aku juga... Selama ini sudah berjuang agar bisa hamil. Aku harus gimana lagi, Mas?" Kali ini aku membalas. Aku tidak pernah menyerah dalam usaha memperoleh keturunan. Aku selalu rutin datang ke dokter kandungan. Melakukan progam hamil berkali-kali. Namun, jika Tuhan belum memberi, aku sebagai manusia hanya bisa pasrah, sambil terus berusaha. "Kamu yakin kalau kamu subur?" tanyanya, seakan tak percaya dengan hasil tes dari rumah sakit yang pernah aku tunjukkan. "Kamu... Tidak memalsukan surat keteranga itu 'kan?" Ia menyudutkanku. "Mas... Aku ini siapa, sampai bisa memalsukan surat penting?" balasku, berdecap kesal. "Kenapa kamu tidak melakukan tes kesuburan?" cetusku. "Lia! Kamu meragukan kesuburanku?!" sungut Mas Yuan, meninggikan suaranya. "Sudah lah, Mas... Kita istirahat saja. Besok aku harus berangkat pagi, pemilik brand dari Taiwan datang." Aku yang lelah, memilih untuk menghentikan obrolan. Bagaimana pun juga, jika diteruskan, tidak akan menemui ujung. Aku tidak ingin hubunganku dengan Mas Yuan menjadi canggung. *** Besoknya, saat aku menginjakkan kakiku di lantai satu kantor, aku dikejutkan dengan seorang pria tinggi besar yang terjatuh dari tangga pendek. Tubuhku sempat membeku, sebelum aku membantunya berdiri. "Are you okay?" tanyaku, memastikan kondisinya. "Menurutmu aku okay? Kenapa tangga di kantor ini pendek-pendek? Kamu pengen bikin kakiku patah ya? Ya ampun.... Kamu gimana sih bangunnya? Nggak ahli ya! Makan gaji buta ya!" cerocosnya. Loh, kenapa aku yang disalahkan? Bukan aku kulinya. Lagipula, dia 'kan jatuh sendiri. Aku baru datang. Apa seharusnya tadi aku cuekin dia aja ya? Pria bernama Kevin itu memarahiku, dan sialnya aku tidak bisa membantah atau membela diri karena ia merupakan salah satu pimpinan di kantor. Aku hanya menatapnya tanpa ekspresi. "Kamu Lia! Hari ini kamu pergi ke pabrik, dan cek pengiriman. Temani pemilik brand sampai pulang!" perintahnya, seenak jidat. "Tapi... Bos-" Aku melotot saat jari telunjuknya menyentuh bibirku. Aku yang anti romantis club, langsung menepis tangannya. Apa-apaan dia? "Nggak usah banyak alasan. Kamu bisa bawa salah satu anak buahmu untuk menemanimu. Pokoknya! Hari ini aku nggak mau lihat wajah kamu!" pungkas Kevin, berlalu pergi. Kedua pundakku merosot. Aku berjalan menuju mejaku dengan lesu. Setelah menyalakan komputer, aku merapikan berkas-berkas penting milikku. "Selamat pagi, Mbak Lia," sapa Leon, karyawan magang di kantor. Dia membawa secangkir kopi untukku, dan aku menerimanya dengan suka rela. "Terima kasih...." ucapku. "Kamu nggak perlu repot-repot kayak gini. Kesannya aku bully kamu," imbuhku. "Kopi ini, sebagai rasa terima kasih, karena Mbak sudah sabar mengajariku," tutur Leon. Aku selalu nyaman setiap kali berinteraksi dengan Leon. Mungkin karena suara Leon selalu rendah dan dalam. "Leon, kamu sibuk nggak hari ini?" tanyaku. "Tidak terlalu, hanya input data saja," jawab Leon. Dengan semringah, aku mengajak Leon untuk pergi ke pabrik. Dan Leon sama sekali tidak keberatan. Lumayan, Leon 'kan tubuhnya berotot, pasti dia kuat mengangkat barang. Sebelum menemui Big Bos, orang yang mempercayakan brand untuk digarap di perusahaan, aku mendempulkan wajahku dulu. Bagiku, make up sudah menjadi bagian terpenting dari hidupku. "The original beauty of Mbak Lia," puji Leon, yang sedari tadi memperhatikanku. Ya ampun, Leon ini, walaupun wajahnya kayak bad boy, tapi aslinya sweet banget. Doyan memujiku, dan super perhatian. Kalau saja aku tidak memiliki suami, sudah aku jadikan pacar. Aku menggelengkan kepalaku, bisa-bisanya otakku berkhayal seperti itu. Aku harus ingat! Leon masih berusia dua puluh tiga tahun. Dia saja belum lulus kuliah. Bagiku yang kini menginjak usia tiga puluh lima tahun, Leon termasuk anak ingusan. Aku harus menjaga pikiran kotorku. Setelah selesai berdandan, aku membereskan alat riasku. Sebelum berangkat ke pabrik, aku menitipkan pekerjaanku di kantor pada asistenku. "Susul Big Bos dulu, dong! Beliau sudah ada di ruangan Direktur!" Aku bersyukur, asistenku mengingatkanku. Aku pun meminta Leon untuk menyiapkan mobil. Leon itu menurut tanpa protes. Benar-benar anak baik. Aku buru-buru menuju ruangan Pak Direktur. Dan orang pertama yang menyambutku adalah Kevin. Si keparat itu menyambutku dengan ramah. Cih, pasti pura-pura belaka. "Di mana Big Bos?" tanyaku, tidak sudih berbasa-basi dengan Kevin. "Ouh... Dia sudah meluncur ke pabrik. Kamu lemot banget kayak siput," ledeknya, membuatku muak. Dengan kesal aku keluar ruangan Direktur. Aku bertanya-tanya, kenapa aku bisa memiliki Direktur menyebalkan macam Kevin? Orang Jerman itu suka sekali bikin aku menderita. *** Sampainya di pabrik, aku langsung meluncur ke kantor yang berada di sebelah pabrik. Namun... Belum sempat aku membuka pintu kantor, seorang wanita berpakaian mandor menghampiriku. "Haduh... Big Bos marah-marah nggak jelas! Untung Mbak Lia datang tepat waktu! Ayo!" Wanita itu menyeretku. Leon menahan tangan wanita itu, dan meminta wanita itu untuk melepaskan genggamannya pada tanganku. "Bisa jalan pelan-pelan. Tidak perlu menarik Mbak Lia," kata Leon, sedikit mengintimidasi wanita itu. "Ehh? Kamu ganteng banget... Kamu pacar Mbak Lia ya?" Bersambung...Aku menggelengkan kepala, heran dengan pemikiran Intan. Kami berdua duduk bersama setelah mengambil nampan berisi makanan. "Intan, anakmu sekarang sudah kelas berapa, ya? Terakhir aku bertemu dengannya... Sekitar dua tahun lalu," tanyaku, teringat anak semata wayang Intan.Intan memasukkn sesuap nasi ke dalam mulutnya, lalu menjawab, "Anakku tinggal di asrama, sesuai keinginannya."Aku tidak menyangka, Intan akhirnya memperbolehkan anaknya dididik orang lain. Kalau aku jadi Intan, aku mungkin tak akan merelakan anakku dibawa jauh dariku.Setiap orang memiliki prinsip masing-masing. Aku tidak boleh membanding-bandingkan hidupku dengan Intan."Oh ya, gimana rumahmu yang di Prima Cube? Pasti sudah selesai dibangun dong...." Intan menyenggol pundakku, alisnya naik-turun saat memandangku. "Sudah pindah rumah?"Aku menghembuskan napas berat. "Boro-boro pindah rumah. Rumahku yang di Prima Cube saja belum rampung digarap," jelasku.Keterkejutan Intan membuatku tersentak. Ada apa dengannya?
"Mbak Lia...." Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. "Apa?" tanyaku, menggebu dan sedikit goyah. "Semua bahan sudah siap dicek," kata Leon, melaporkan. "Ya-yasudah! Kenapa kamu nggak pakai kemejamu!" Aku mengutuk diriku sendiri yang gugup, dan salah tingkah. "Maaf, bolehkah aku mandi dulu? Badanku mungkin bau." Dia meminta izin padaku. "Aku ngeceknya setelah makan siang kok. Kamu boleh istirahat dulu, sama kayak yang lain," kataku bijak, sambil mencoba menutupi kegugupanku. "Mbak Lia nggak mau mandiin aku?" godanya. Aku melotot, sopankah begitu pada atasan? "Mbak Lia dari tadi lihatin aku," ucapnya, dengan senyum genit. "Siapa juga yang lihatin kamu? GR banget...." kelitku. Ya masak aku ngaku? Leon tersenyum miring sambil menyentuh perutnya yang berbentuk kotak-kotak."Padahal kalau Mbak pengen, nggak cuma dilihat, aku bolehin nyentuh juga," tambahnya. Leon... Kenapa begini? Genit banget! "Sudah Leon! Sekarang kamu istirahat saja! Nanti kamu bantuin saya nyatet!" Aku harus
Sampainya di hotel, aku menemui Kevin yang ternyata sudah menungguku di lobi."Ada apa, Bos?" tanyaku, saat sudah di depan Kevin."Gawat! Big Bos marah besar. Dia berencana untuk memutus kerja sama dengan perusahaan. Kamu bisa merayunya, 'kan? Dia luluh sama cewek tobrut kayak kamu!" pinta Kevin, menggoyang-goyang kedua pundakku.Sambil menatapnya datar, aku bersedia merayu Big Bos agar tetap percaya pada perusahaanku bekerja."Di mana Big Bos?" tanyaku, ingin segera betindak."Big Bos sedang makan siang di ruang VIP restoran hotel. Cepat kamu temani. Dia uring-uringan, kayak remaja labil," desak Kevin sambil mendorong-dorong punggungku.Aku menemui Big Bos yang... Sedang makan siang bersama Leon? Leon lagi? Apa yang dia lakukan? Dia? Duduk bersama Big Bos? Apa ini? Bukannya Leon tadi ada di panti asuhan?Apakah Kevin juga memanggil Leon untuk merayu Big Bos? Tunggu, bukankah Big Bos sukanya sama cewek semok? Atau... Ah! Aku tidak ingin berpikir buruk! Big Bos tidak mungkin menyimpang
"Please... Ibu jangan sembarangan kalau ngomong!" tegurku cukup keras.Aku memang selalu meluruskan segalanya agar tidak tercipta skandal dan gosip.Aku tak ingin melanjutkan obrolan tidak penting ini. Aku meminta wanita itu mengantarku ke tempat di mana Big Bos mengamuk.Baru saja aku membuka pintu ruangan inspeksi, sebuah sepatu melayang ke arahku, dan sukses mengenai kepalaku. Badanku terhuyung ke belakang.Untungnya ada Leon yang sigap menangkapku.Mataku yang buram, menatap wajah penuh khawatir Leon. Sungguh, Leon sangat tampan, seperti pahatan patung Dewa Yunani. Aku terpukau dengan visualnya."Mbak Lia baik-baik saja?" tanyanya.Aku berusaha memperbaiki posisiku. Menunjukkan sikapku yang profesional. Lalu aku fokus pada Big Bos yang juga menatapku khawatir."Ada apa, sih, Bos? Kok lempar-lempar sepatu segala?" Aku meraih sepatu yang barusan mengenaiku.Para mandor menatapku penuh harap. Dilihat dari ekspresi mereka, sepertinya mereka telah dimarahi habis-habisan oleh Big Bos."
Dengan rambut setengah basah, aku menyambut kepulangan suamiku. Aku langsung merebut tas yang ia bawa, dan menuntunnya menuju meja makan. Wajah lelahnya membuatku prihatin."Mas... Gimana kerjanya hari ini?" Aku melontarkan pertanyaan pertama yang selalu aku tanyakan.Ketika aku menyentuh pundak suamiku, dan hendak memijatnya, ia dengan kasar mendepak tanganku.Aku mengerutkan kening. "Ada masalah di kantor?" tanyaku, khawatir.Suamiku, yang kerap aku panggil Mas Yuan, menggelengkan kepala sebagai jawaban.Aku memilih duduk di dekatnya. Aku memperhatikan suamiku dengan seksama. Senyumku merekah saat menyadari bahwa Mas Yuan tetap terlihat tampan di usianya yang sudah menginjak kepala empat."Mas... Kalau ada masalah, cerita dong... Kita 'kan sudah menikah selama lima tahun. Masak kamu masih nggak mau berbagi?" Aku merayunya.Nada suaraku sengaja aku buat lembut agar Mas Yuan nyaman, dan mau menyalurkan keluh kesahnya padaku. Tapi, sepertinya aku belum bisa meluluhkan hatinya yang kera