"Please... Ibu jangan sembarangan kalau ngomong!" tegurku cukup keras.
Aku memang selalu meluruskan segalanya agar tidak tercipta skandal dan gosip. Aku tak ingin melanjutkan obrolan tidak penting ini. Aku meminta wanita itu mengantarku ke tempat di mana Big Bos mengamuk. Baru saja aku membuka pintu ruangan inspeksi, sebuah sepatu melayang ke arahku, dan sukses mengenai kepalaku. Badanku terhuyung ke belakang. Untungnya ada Leon yang sigap menangkapku. Mataku yang buram, menatap wajah penuh khawatir Leon. Sungguh, Leon sangat tampan, seperti pahatan patung Dewa Yunani. Aku terpukau dengan visualnya. "Mbak Lia baik-baik saja?" tanyanya. Aku berusaha memperbaiki posisiku. Menunjukkan sikapku yang profesional. Lalu aku fokus pada Big Bos yang juga menatapku khawatir. "Ada apa, sih, Bos? Kok lempar-lempar sepatu segala?" Aku meraih sepatu yang barusan mengenaiku. Para mandor menatapku penuh harap. Dilihat dari ekspresi mereka, sepertinya mereka telah dimarahi habis-habisan oleh Big Bos. "Kamu itu tidak becus! Meloloskan sepatu buruk! Mangkanya aku sampai disuruh balik lagi ke sini!" makinya. "Can you please calm down, when talking to my boss?" Leon dengan berani menegur Big Bos, dan melindungiku. Big Bos menyipitkan matanya saat Leon berdiri tepat di hadapannya. Aku bisa merasakan hawa mencekam dari keduanya. Aku jadi panik, takut jika Leon membuat Big Bos marah, dan berakhir dipecat. "Bos... Mari kita bicarakan dengan baik-baik," pintaku, merayu Big Bos. "Jangan kebanyakan marah-marah. Nanti cepat tua loh...." Big Bos sepertinya mau mengerti. Terbukti dengan ia yang tak lagi mengomel, dan fokus memeriksa kualitas sepatu. "Kirim ke Amerika berapa pasang?" tanya Big Bos. Aku melihat data yang tertera di dalam berkas, lalu menjawb, "Hampir tiga ribu pasang, Bos. Kirim ke Hongkong seratus pasang, ke China tiga ratus pasang." "Semua barang ok?" tanyanya lagi. "Semua kirim besok, harusnya sih ok," kataku sambil melirik Kapten ruang inspeksi. "Kirim besok? No no no! Kualitas busuk begini! Saya mau bongkar semua! Hari ini harus selesai!" Waduh... Nih orang baru datang, tapi sudah mengacak-ngacak pabrik. Barang segitu banyaknya, masak bisa dibongkar dalam sehari? Tak ada logika. "Saya setuju. Memang harus dibongkar." Leon menimpali Big Bos. Aku melempar tatapan menusuk pada Leon yang sibuk melihat-lihat sepatu. Astaga... Dia tahu apa soal kualitas sepatu? Bisa-bisanya setuju dengan Big Bos. Bukankah tadi mereka berdua sempat berselisih? "Ok, perintahkan kepala pabrik untuk menyuruh anak buahnya lembur!" pinta Big Bos dengan suara keras dan tegas. *** Waktu berlalu, jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam, tapi... Kenapa aku masih di ruangan inspeksi bersama Big Bos dan mandor pabrik? Hey! Aku ini orang kantor! Seharusnya aku tidak berakhir di sini! Aku benar-benar ingin mengutuk Kevin! Aku menatap Big Bos secara seksama. Lelaki itu terlihat serius dengan pekerjaannya, sementara aku dan yang lainnya sudah mengantuk. Mungkin karena tidak menyukai suasana yang sunyi, Big Bos memutar musik berbahasa mandarin. Tentu saja, musik yang hanya ia saja yang memahami. "Nggak ada musik lain kah, Bos? Malah bikin makin ngantuk loh...." protesku. Big Bos meraih ponselnya, jemari panjangnya mematikan musik sambil matanya menatapku datar. "Besok lagi, ya," ucapnya. "Besok hari Sabtu, Bos! Saya nggak mau ikut. Waktunya istirahat," tolakku secara halus. Big Bos mengangkat sebelah alisnya. "Siapa juga yang mau ngajak kamu," celetuknya. "Aku mau orang yang membongkar yang lembur," jelasnya. Gege satu ini sungguh menyebalkan. Lagipula, siapa sih yang mengajarinya ngomong Bahasa Indonesia, pengen aku maki-maki tuh orang. Kendati demikian, aku tetap merasa lega, karena besok aku libur, dan bisa pergi ke panti asuhan untuk melihat anak-anak kecil. Big Bos meletakkan sepatu yang ia pegang. Ia menghela napas lelah. "Sudah ah... Capek. Aku mau pulang saja. See you...." pungkasnya sembari berjalan keluar. Aku dan Leon mengikuti Big Bos dari belakang. Aku tidak perlu membantu membereskan ruang inspeksi, karena itu bukan tugasku. Aku bernapas lega melihat Big Bos pulang bersama orang kepercayaannya. Aku berencana untuk kembali ke kantor pusat, tapi kantor pasti sudah tutup. "Mbak Lia, mau aku antar pulang?" Leon menawarkan diri. "Wanita nggak baik kalau pulang malam sendirian," terangnya. "Pakai mobil kantor yang kita pakai tadi pagi?" tanyaku, memastikan. Aku memang sering membawa pulang mobil kantor. Sedangkan Leon masih anak magang, dia tidak mungkin mengantarku pulang, lalu membawa mobil kantor 'kan? Bisa-bisa Kevin membunuhku. Leon sedikit merendahkan tubuhnya, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Tadi waktu makan siang, aku ngambil motorku, Mbak," jelasnya. "Mbak nggak keberatan naik motor?" tanyanya, melirik pakaian bawah yang aku kenakan. "Oh... Kalau gitu, aku pulang sendiri saja naik mobil kantor. Kamu nggak perlu nganterin aku. Kamu pulang saja. Rumahmu jauh dari sini." Tentu saja aku menolak perbuatan baik Leon. Bagamana pun juga, aku ini wanita bersuami. Akan sangat tidak elok apabila ada pria lain yang mengantarku. Apa kata tetangga? Ya, walaupun aku tinggal di apartemen sih. "Aku nggak bakal biarin Mbak Lia pulang sendirian!" tegas Leon, memaksaku. Baiklah, karena aku tidak memiliki tenaga untuk memulai perdebatan, aku memilih untuk menurut. Aku mengendarai mobil sendirian, sedangkan Leon dengan motor sportnya mengikutiku dari belakang. Leon... Benar-benar tipe boyfriend material. Duh, kalau aku masih remaja labil, pasti sudah tergila-gila dengannya. Untungnya... Aku wanita dewasa yang tak mungkin tergoda dengan lelaki macam Leon. Setelah membelah gelapnya malam, akhirnya aku sampai di apartemen tempat tinggalku. Aku menyimpan mobil di parkiran apartemen. Saat aku keluar dari mobil, aku agak terkejut dengan Leon yang sudah menungguku. "Loh, Leon? Kok kamu ada di sini? Tadi kamu nggak langsung pulang?" tanyaku, menghampirinya. Leon tersenyum tipis. "Aku ingin mengantar Mbak sampai pintu apartemen," ucapnya. Waduh... Kok ngeri ya? "Eh... Enggak perlu. Wilayah apartemen aman kok. Kamu nggak perlu nganterin," tolakku halus. "Aku mau nganterin Mbak Lia," tegas Leon. Aku bergidik ngeri saat ekspresi Leon berubah datar dan terkesan dingin. Mau tak mau aku membiarkannya mengantarku sampai ke unit apartemenku. Terpaksa ya! Leon mengikutiku dari belakang, karena aku memang tidak berkenan untuk berjalan berdampingan dengannya. Saat udah berada di depan pintu apartemenku, aku berterima kasih padanya. "Aku mau masuk," kataku, menekankan di setiap kata. "Silakan masuk. Aku ingin memastikan Mbak Lia beneran masuk ke dalam," balasnya, masih dengan wajahnya yang datar. Serius! Ada apa dengan Leon? Tingkahnya seperti seorang kekasih yang posesif kepada wanitanya. Dengan wajah aneh, aku masuk ke dalam apartemen. Ingin sekali aku mengacungkan jari tengah pada Leon sebelum menutup pintu. Namun aku justru tersenyum ramah padanya, dan melambaikan tanganku. Sambil melepas sepatu high heels, aku mengeluarkan napas panjang dan berat. Aku menyalakan lampu ruang tamu sebelum masuk ke dalam kamar. "Mas Yuan sudah tidur," lirihku, melihat suamiku berbaring pulas di atas kasur. Aku berjalan menghampirinya. Aku memandanginya sebentar, lalu membenarkan selimutnya yang berantakan. "Aku cinta banget sama kamu, Mas." Kalimat pengakuan itu meluncur begitu saja dari bibirku. *** Keesokan harinya, berhubung aku libur kerja, aku memutuskan untuk pergi ke panti asuhan yang letaknya tak jauh dari rumahku. Aku memang sering berkunjung untuk memberi makanan pada anak-anak dan sedikit uang untuk pengurus panti. Saat aku sedang asyik bermain dengan beberapa anak, aku terkejut dengan kehadiran Leon. Maksudku... Ngapain dia ada di sini! Terlebih, sepertinya anak-anak panti sudah mengenal Leon. Menandakan jika Leon sering berkunjung. "Mbak Lia?" Dia menyapaku terlebih dahulu. Aku tersenyum canggung. "Kamu juga suka anak kecil, ya?" tanyaku, basa-basi. "Tidak. Aku tidak suka anak kecil." Jawaban Leon langsung menghilangkan senyum di wajahku. "Tapi karena wanita yang aku sukai menyukukai anak kecil. Aku jadi berusaha menyukai anak kecil." Leon memberi keterangan. "Begitu, ya? Baguslah... Kamu juga harus menyukai apa yang wanita kamu sukai," timpalku, mengangguk mengerti. Entah mengapa, kami berdua malah duduk bersama di taman panti asuhan. Hanya sekedar mengobrolkan hal-hal yang tidak penting. "Suami Mbak Lia mana? Nggak ikut?" tanyanya. "Suamiku kerja," jawabku seadanya. "Kerja di mana kalau boleh tahu?" Aku memberitahu Leon bahwa suamiku merupakan seorang pemborong. Jam kerjanya pun tidak menentu. Mangkanya aku dan suamiku kerap tak memiliki waktu untuk bersama. Tunggu, kenapa aku memberitahu Leon terlalu banyak? Aku menengok pelan ke arahnya, berharap Lelaki itu tak terlalu mendengarkan jawabanku. "Tidak memiliki waktu bersama? Jangan bilang kalau Mbak Lia kesepian," cetus Leon, tersenyum miring. Sial, dia malah memperjelas. "Enggak gitu maksudku. Sudah ya, jangan dibahas. Nggak penting," kelitku. Dengan kilat, aku mengganti topik pembicaraan. Kini giliranku menanyakan perihal wanita yang ditaksir Leon. "Hm... Aku menyukai wanita yang sudah memiliki suami," lontar Leon, sepertinya dia berbicara tanpa berpikir. "Leon... Banyak gadis di luar sana. Ngapain kamu menyukai istri orang? Ya ampun. Jangan begitu. Gantengmu nanti sia-sia." Sebagai atasan, dan orang yang lebih dewasa dari Leon, aku tak sungkan untuk menasihatinya. "Mau gadis ataupun tidak, sama saja," timpal Leon, acuh tak acuh. Aku berdecap, "Ya nggak sama, dong! Gadis masih perawan." "Itu... Tidak penting," kata Leon. Aku menyerah, tidak ada gunanya menasihati orang yang sedang jatuh cinta. Aku hanya bisa mengingatkan Leon agar tidak terlalu jauh. Merusak rumah tangga orang lain, bukanlah sifat lelaki sejati. "Aku tidak berniat untuk merusak rumah tangganya. Aku...." Leon menarik daguku, memaksaku menatap matanya. "Aku hanya menunggunya menjadikanku yang kedua." Dalam kondisi shock berat, aku tak bisa melepaskan tatapan Leon yang mengunciku. Aku memaki diriku sendiri yang justru terlena dengan pesona Leon. Dia... Sangat... Aku yang tersadar dari jeratannya, langsung menarik tangan Leon, dan menjauh dari lelaki itu. Dia sangat berbahaya. "Leon! Kamu jangan macam-macam sama saya ya! Awas saja kalau kamu berani menyentuh saya sembarangan! Saya bakal pukulin kamu!" Aku yang gelagapan, malah mencerocos tak jelas. Sedangkan Leon santai. Seolah puas dengan perbuatannya. Wah... Leon pasti sering begini. Aku harus memberinya pelajaran. Tapi... Jangan sekarang. Lebih baik aku minggat dulu. Aku bergegas pergi meninggalkan Leon. Bahkan, saking terburu-buru, aku tak sempat berpamitan pada pemilik panti. *** Sampainya di apartemen, baru saja aku duduk di sofa kesayanganku, aku mendapat pesan dari Pak Direktur yang memintaku untuk menemuinya di hotel. "Apa sih, Kevin sialan!" Bersambung...Aku menggelengkan kepala, heran dengan pemikiran Intan. Kami berdua duduk bersama setelah mengambil nampan berisi makanan. "Intan, anakmu sekarang sudah kelas berapa, ya? Terakhir aku bertemu dengannya... Sekitar dua tahun lalu," tanyaku, teringat anak semata wayang Intan.Intan memasukkn sesuap nasi ke dalam mulutnya, lalu menjawab, "Anakku tinggal di asrama, sesuai keinginannya."Aku tidak menyangka, Intan akhirnya memperbolehkan anaknya dididik orang lain. Kalau aku jadi Intan, aku mungkin tak akan merelakan anakku dibawa jauh dariku.Setiap orang memiliki prinsip masing-masing. Aku tidak boleh membanding-bandingkan hidupku dengan Intan."Oh ya, gimana rumahmu yang di Prima Cube? Pasti sudah selesai dibangun dong...." Intan menyenggol pundakku, alisnya naik-turun saat memandangku. "Sudah pindah rumah?"Aku menghembuskan napas berat. "Boro-boro pindah rumah. Rumahku yang di Prima Cube saja belum rampung digarap," jelasku.Keterkejutan Intan membuatku tersentak. Ada apa dengannya?
"Mbak Lia...." Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. "Apa?" tanyaku, menggebu dan sedikit goyah. "Semua bahan sudah siap dicek," kata Leon, melaporkan. "Ya-yasudah! Kenapa kamu nggak pakai kemejamu!" Aku mengutuk diriku sendiri yang gugup, dan salah tingkah. "Maaf, bolehkah aku mandi dulu? Badanku mungkin bau." Dia meminta izin padaku. "Aku ngeceknya setelah makan siang kok. Kamu boleh istirahat dulu, sama kayak yang lain," kataku bijak, sambil mencoba menutupi kegugupanku. "Mbak Lia nggak mau mandiin aku?" godanya. Aku melotot, sopankah begitu pada atasan? "Mbak Lia dari tadi lihatin aku," ucapnya, dengan senyum genit. "Siapa juga yang lihatin kamu? GR banget...." kelitku. Ya masak aku ngaku? Leon tersenyum miring sambil menyentuh perutnya yang berbentuk kotak-kotak."Padahal kalau Mbak pengen, nggak cuma dilihat, aku bolehin nyentuh juga," tambahnya. Leon... Kenapa begini? Genit banget! "Sudah Leon! Sekarang kamu istirahat saja! Nanti kamu bantuin saya nyatet!" Aku harus
Sampainya di hotel, aku menemui Kevin yang ternyata sudah menungguku di lobi."Ada apa, Bos?" tanyaku, saat sudah di depan Kevin."Gawat! Big Bos marah besar. Dia berencana untuk memutus kerja sama dengan perusahaan. Kamu bisa merayunya, 'kan? Dia luluh sama cewek tobrut kayak kamu!" pinta Kevin, menggoyang-goyang kedua pundakku.Sambil menatapnya datar, aku bersedia merayu Big Bos agar tetap percaya pada perusahaanku bekerja."Di mana Big Bos?" tanyaku, ingin segera betindak."Big Bos sedang makan siang di ruang VIP restoran hotel. Cepat kamu temani. Dia uring-uringan, kayak remaja labil," desak Kevin sambil mendorong-dorong punggungku.Aku menemui Big Bos yang... Sedang makan siang bersama Leon? Leon lagi? Apa yang dia lakukan? Dia? Duduk bersama Big Bos? Apa ini? Bukannya Leon tadi ada di panti asuhan?Apakah Kevin juga memanggil Leon untuk merayu Big Bos? Tunggu, bukankah Big Bos sukanya sama cewek semok? Atau... Ah! Aku tidak ingin berpikir buruk! Big Bos tidak mungkin menyimpang
"Please... Ibu jangan sembarangan kalau ngomong!" tegurku cukup keras.Aku memang selalu meluruskan segalanya agar tidak tercipta skandal dan gosip.Aku tak ingin melanjutkan obrolan tidak penting ini. Aku meminta wanita itu mengantarku ke tempat di mana Big Bos mengamuk.Baru saja aku membuka pintu ruangan inspeksi, sebuah sepatu melayang ke arahku, dan sukses mengenai kepalaku. Badanku terhuyung ke belakang.Untungnya ada Leon yang sigap menangkapku.Mataku yang buram, menatap wajah penuh khawatir Leon. Sungguh, Leon sangat tampan, seperti pahatan patung Dewa Yunani. Aku terpukau dengan visualnya."Mbak Lia baik-baik saja?" tanyanya.Aku berusaha memperbaiki posisiku. Menunjukkan sikapku yang profesional. Lalu aku fokus pada Big Bos yang juga menatapku khawatir."Ada apa, sih, Bos? Kok lempar-lempar sepatu segala?" Aku meraih sepatu yang barusan mengenaiku.Para mandor menatapku penuh harap. Dilihat dari ekspresi mereka, sepertinya mereka telah dimarahi habis-habisan oleh Big Bos."
Dengan rambut setengah basah, aku menyambut kepulangan suamiku. Aku langsung merebut tas yang ia bawa, dan menuntunnya menuju meja makan. Wajah lelahnya membuatku prihatin."Mas... Gimana kerjanya hari ini?" Aku melontarkan pertanyaan pertama yang selalu aku tanyakan.Ketika aku menyentuh pundak suamiku, dan hendak memijatnya, ia dengan kasar mendepak tanganku.Aku mengerutkan kening. "Ada masalah di kantor?" tanyaku, khawatir.Suamiku, yang kerap aku panggil Mas Yuan, menggelengkan kepala sebagai jawaban.Aku memilih duduk di dekatnya. Aku memperhatikan suamiku dengan seksama. Senyumku merekah saat menyadari bahwa Mas Yuan tetap terlihat tampan di usianya yang sudah menginjak kepala empat."Mas... Kalau ada masalah, cerita dong... Kita 'kan sudah menikah selama lima tahun. Masak kamu masih nggak mau berbagi?" Aku merayunya.Nada suaraku sengaja aku buat lembut agar Mas Yuan nyaman, dan mau menyalurkan keluh kesahnya padaku. Tapi, sepertinya aku belum bisa meluluhkan hatinya yang kera