Home / Romansa / Godaan Panas Pegawai Magang / Bab. 04. Desy, Keponakan Kesayangan Suamiku

Share

Bab. 04. Desy, Keponakan Kesayangan Suamiku

Author: Kurnia
last update Last Updated: 2025-10-03 16:56:13

"Mbak Lia...."

Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. "Apa?" tanyaku, menggebu dan sedikit goyah.

"Semua bahan sudah siap dicek," kata Leon, melaporkan.

"Ya-yasudah! Kenapa kamu nggak pakai kemejamu!" Aku mengutuk diriku sendiri yang gugup, dan salah tingkah.

"Maaf, bolehkah aku mandi dulu? Badanku mungkin bau." Dia meminta izin padaku.

"Aku ngeceknya setelah makan siang kok. Kamu boleh istirahat dulu, sama kayak yang lain," kataku bijak, sambil mencoba menutupi kegugupanku.

"Mbak Lia nggak mau mandiin aku?" godanya.

Aku melotot, sopankah begitu pada atasan?

"Mbak Lia dari tadi lihatin aku," ucapnya, dengan senyum genit.

"Siapa juga yang lihatin kamu? GR banget...." kelitku. Ya masak aku ngaku?

Leon tersenyum miring sambil menyentuh perutnya yang berbentuk kotak-kotak.

"Padahal kalau Mbak pengen, nggak cuma dilihat, aku bolehin nyentuh juga," tambahnya.

Leon... Kenapa begini? Genit banget!

"Sudah Leon! Sekarang kamu istirahat saja! Nanti kamu bantuin saya nyatet!" Aku harus tegas, dan memberi batasan.

Aku baik pada Leon karena waktu pertama kali Leon masuk menjadi karyawan magang, ia sering dimarahai Kevin. Mangkanya aku iba, dan berniat baik untuk mengajarinya. Tapi, dia malah kurang ajar begini.

***

Setelah istirahat, Leon kembali tepat waktu. Kami mulai mengecek bahan.

Aku melirik Leon, dia mengerjakan tugasnya dengan baik. Aku harus mengakui kemampuannya dalam belajar.

"Leon, kamu tinggal sendiri atau masih tinggal bareng orang tua?" tanyaku, hanya penasaran, tidak lebih.

"Kenapa? Kalau aku tinggal sendiri, Mbak mau nemenin?" Leon menjawab dengan tidak serius, aku sudah menduganya.

"Kamu kalau diajak bicara nggak pernah serius ya? Aku bakal diemin kamu," ancamku, sudah muak.

Leon tertawa kecil, ia meminta maaf dan membenarkan jawabannya.

"Aku tinggal sendirian, Mbak. Mbak boleh mampir kalau butuh teman," tuturnya, melirikku.

Entah mengapa, aku merasa jika Leon menyindirku yang tengah dilanda sepi.

"Iya, kapan-kapan aku mampir bareng teman-teman kantor lainnya," balasku, sekenanya.

"Apartemenku hanya terbuka untuk Mbak, bukan teman kantor," celetuknya yang membuatku memukul kepalanya pelan.

Berhubung semua pekerjaan telah rampung, aku memutuskan untuk pulang. Lagi-lagi, Leon mengikutiku dari belakang, padahal ini masih sore.

Sampainya di apartemen, baru saja aku membuka pintu, aku disambut hangat oleh Desy, keponakan jauh suamiku.

"Mbak... Ayo makan, aku sudah masak makanan enak loh...." ajaknya, menggenggam pergelangan tanganku.

Aku terkejut melihat suamiku duduk manis di meja makan.

Hm... Mereka berduaan ya?

Aku tahu, mereka saudara, dan usia Desy baru menginjak dua puluh tahun, tapi, kenapa perasaanku tidak enak?

"Masakan Desy selalu enak. Nggak pernah gagal." Dengan wajah semringah, suamiku memuji Desy.

Aku kurang nyaman. Interaksi yang terjalin antara Desy dan Mas Yuan terlau intens dan akrap.

"Mbak Lia, kuota buat anak magang di kantor Mbak masih ada kah? Aku pengen nambah pengalaman," ujar Desy, penuh harap.

"Desy? Jangan-jangan kamu baik begini, gara-gara pengen kerja di tempat Lia ya?" kelakar Mas Yuan.

Desy tertawa canggung sambil menyemtuh tengkuknya.

"Habisnya, mama sudah stop uang bulananku. Ya, mau nggak mau, aku cari uang sendiri," dalih Desy, sungkan.

Aku memperhatikan Desy. Gadis ini suka berdandan, dan tampilannya lebih ke dewasa dan seksi. Kalau dia masuk kantor, pasti sudah menjadi primadona. Dan mungkin bisa mengalihkan Leon dariku.

"Nanti aku lihat ya... Semoga saja masih bisa menerima karyawan magang," ucapku, memberinya harapan.

Desy terlihat senang. "Wah! Beneran? Terima kasih Mbak Lia.... Ayo habiskan semua makanan!"

Kami bertiga lanjut makan. Aku bisa merasakan bagaimana Mas Yuan yang cuek padaku, namun begitu tanggap ketika Desy mengajak ngobrol.

Aku... Jadi sedih.

***

Beberapa hari berlalu, aku berhasil memasukkan Desy ke kantor, dan aku menempatkannya di sebelah Leon.

"Leon... Kamu ajari Desy, ya," pintaku, sambil mengelus pundaknya.

"Nggak mau. Saya sibuk," tolak Leon, mentah-mentah.

Buset... Galak bener. Emangnya sibuk apa sih? Perasaan aku tidak memberinya pekerjaan berat hari ini.

Aku melirik Desy yang menyentuh lengan Leon, namun langsung ditepis oleh lelaki itu.

"Jangan sembarangan nyentuh orang," ketus Leon, tanpa menoleh sedikit pun ke arah Desy.

Aku menoyor pelan kepala Leon dari belakang. Sekarang dia protes ketika disentuh orang, kemarin-kemarin dia gemar menyentuhku tanpa izin. Dasar lelaki aneh.

"Yang lembut sama keponakanku." Aku menegur Leon.

"Nepotisme," gumam Leon, masih bisa terdengar telingaku.

Aku memang melakukan nepotisme. Kenapa? Tidak terima? Salah satu cita-citaku adalah menjadi orang dalam.

Maaf, aku hanya bercanda. Nyatanya, baru Desy orang yang aku masukkan ke

perusahaan menggunakan kekuatan jabatanku.

Semoga tidak ada yang lain ya. Nepotisme bukan tindakan yang dibenarkan.

"Mbak Lia, dipanggil Bos Kevin ke ruangannya." Asistenku mengabari.

Aku melangkah menuju ruangan Kevin sembari mendengus dan menerka-nerka, pekerjaan menyebalkan apa lagi yang akan pria jomblo itu berikan padaku.

Aku membuka pintu ruangan Kevin, nyelonong masuk tanpa permisi.

"Lia... Kamu lemot banget! Dipanggil dari tadi juga," semprot Kevin, menyambutku.

Seperti biasa, dia selalu marah-marah tidak jelas. Pantas saja, mendapat julukan orang gila di pabrik.

"Maaf, Bos. Saya 'kan jalan kaki, tidak terbang," balasku, seadanya.

"Kamu itu! Kenapa kasih masuk cewek krempeng, kurang gizi ke devisi yang saya pimpin?" protes Kevin, meninggikan suaranya.

"Eits, Bapak jangan body shaming dong! Desy itu masih keluarga saya loh! Keponakan yang saya sayangi!" Tenang saja, aku akan membela Desy.

Aku yang memasukkan Desy, otomatis ia menjadi tanggung jawabku.

"Dunia kerja kejam! Saya nggak peduli hubungan darah!" sahut Kevin, menatapku tajam.

Aku mangguk-mangguk mengerti. Aku harus mengeluarkan jurus pegawai tak berdaya dan tunduk ada atasan.

"Bos... Jangan galak-galak. Desy anaknya pintar kok. Dia lagi libur kuliah, mangkanya aku tarik ke sini untuk cari pengalaman. Siapa tahu, nanti kalau sudah lulus, bisa mahir dan siap bekerja secara profesional."

Aku mengatakannya dengan cepat. Sengaja supaya Kevin berpikir keras.

"Sth... Kamu ngomong apa?"

Tuh kaaan... Lemot otaknya.

"Oh ya, saya mau kamu mengawasi Leon," perintahnya, sesuai dengan dugaanku. Dia memberiku pekerjaan yang melenceng dari jobku.

Sebagai pegawai yang patuh, aku mengiyakan.

"Kemarin aku lihat Leon ada di acara pameran mobil mewah. Gayanya udah kayak Bos Mafia aja," cibir Kevin.

"Ya, mungkin Leon cuma iseng ke sana, Bos. Jangan berpikir buruk dulu." Sebagai manusia yang menjunjung tinggi positif vibes, aku harus menasihati Bosku.

"Iseng katamu? Kamu belain dia, ya!" sungutnya, tiba-tiba menyudukanku tanpa alasan jelas.

Yang pasti, Kevin memintaku untuk mengawasi gerak-gerik Leon, dan sebisa mungkin memberi pekerjaan yang sulit pada Leon.

"Pokoknya... Bikin Leon menderita di sini! Saya nggak mau ada yang menyaingi kegantengan dan kekerenan saya! Nggak ada yang boleh lebih tajir dari saya! Mengerti kamu!" lontarnya dengan suara tinggi.

Walau aku waras, aku tetap mengiyakan tugas tidak penting dari Kevin. Ingat... Dia adalah atasanku.

"Oh ya, satu hal lagi. Carikan aku pacar. Masak kamu tega, biarin titidku hanya digunakan untuk pipis?" Satu lagi permintaan atau tugas dari manusia gila ini.

"Bos... Aku mana ada waktu untuk mencarikanmu pacar? Cari sendiri 'kan bisa." Tentu saja aku menolak.

"Hey! Kalau saya bisa, pasti sudah cari sendiri! Haduh... Kamu ini bikin kesal saja!" geramnya sambil menyentuh batang hidungnya yang tinggi.

"Kalau nggak, kamu cerai saja sama suamimu, terus nanti nikah sama aku," cetusnya, makin ngawur.

Aku menatapnya tanpa ekspresi, lalu berkata, "Bapak jangan sembarangan ngomong. Lagian, Bapak bukan tipe saya."

Mendengar penolakan dingin dariku, Kevin berlagak patah hati. Ia menyentuh dadanya, dan mengeluarkan ekspresi terkejut.

Aku sudah sering melihatnya seperti itu, jadi tidak kaget. Apalagi menganggapnya serius.

"Kamu hari ini senggang 'kan?" tanyanya.

Belum sempat aku menjawab, ia menyosor dengan memintaku menyiapkan menu makan siang untuknya. Lagi-lagi aku mengiyakan.

Aku harus sabar, Kevin ini tipe atasan yang tidak senang melihat bawahannya sedikit bersantai, tapi ia sendiri sering menganggur dan ngeteh di ruangannya.

"Begitu saja, kamu boleh kembali bekerja," usirnya, mengibas-ngibaskan tangan, seperti mengusir ayam. Sialan memang.

Aku merasa lega saat sudah berada di luar ruangan Kevin. Berlama-lama dengannya bisa membuatku sesak napas.

Saat aku berjalan melewati koridor menuju kantin, secara kebetulan aku memergoki Desy dan Leon yang lagi mojok.

Karena aku sangat penasaran, aku memutuskan untuk menguping pembicaraan mereka.

Apa yang sedang mereka lakukan di jam kerja

Dalam posisi bersembunyi, aku masih bisa melihat Desy yang berusaha menyentuh Leon, namun selalu ditolak oleh Leon.

Halah, Leon sok jual mahal.

"Mas Leon... Bentar lagi makan siang. Temani aku ya," pinta Desy, suaranya terdengar manja. Duh, imutnya.

"Ck, lagi puasa, nggak makan." Leon menolak dengan keji.

Awas saja, aku bakal kasih pelajaran pada Leon kalau dia berani menyakiti keponakan kesayangan suamiku.

Kesayangan suamiku, otomatis kesayanganku juga. Jangan salah paham ya.

"Aku baru di sini... Belum punya teman. Aku cuma kenal kamu." Desy masih berusaha menarik perhatian Leon.

"Lah, bodo amat," sahut Leon, dingin.

"Mas Leon...."

Aku menghembuskan napas melihat Leon pergi meninggalkan Desy yang mengejar. Leon ini benar-benar songong, dan tak berperasaan. Dia memperlakukan wanita semena-mena.

Aku ingin menyusul mereka, tapi aku harus mengurus menu makan siang Kevin.

Sampainya di kantin, aku bertemu dengan salah satu temanku yang juga ada di posisi Buyer, cuma bedanya, dia selalu berada di pabrik, dan bertanggung jawab untuk memastikan kualitas produksi.

"Lia, kemarin aku melihat suamimu bareng wanita lain di hotel."

Aku menegur temanku yang kerap aku panggil Intan itu.

"No foto berarti hoax," celetukku. "Mana buktinya, kasih unjuk," desakku sambil menggelitik pinggangnya.

"Ya, aku nggak punya bukti sih... Tapi aku nggak bohong," ujar Intan. Ia mendempet ke arahku, lalu berkata lirih, "Mending kamu selidiki suamimu."

Aku menolak saran dari Intan. "Aku percaya suamiku. Dia nggak mungkin macam-macam," tegasku.

"Wanita jaman sekarang beringas semua. Laki udah setia pun, bisa didapat."

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Godaan Panas Pegawai Magang   Bab. 05. Istri Lain Suamiku

    Aku menggelengkan kepala, heran dengan pemikiran Intan. Kami berdua duduk bersama setelah mengambil nampan berisi makanan. "Intan, anakmu sekarang sudah kelas berapa, ya? Terakhir aku bertemu dengannya... Sekitar dua tahun lalu," tanyaku, teringat anak semata wayang Intan.Intan memasukkn sesuap nasi ke dalam mulutnya, lalu menjawab, "Anakku tinggal di asrama, sesuai keinginannya."Aku tidak menyangka, Intan akhirnya memperbolehkan anaknya dididik orang lain. Kalau aku jadi Intan, aku mungkin tak akan merelakan anakku dibawa jauh dariku.Setiap orang memiliki prinsip masing-masing. Aku tidak boleh membanding-bandingkan hidupku dengan Intan."Oh ya, gimana rumahmu yang di Prima Cube? Pasti sudah selesai dibangun dong...." Intan menyenggol pundakku, alisnya naik-turun saat memandangku. "Sudah pindah rumah?"Aku menghembuskan napas berat. "Boro-boro pindah rumah. Rumahku yang di Prima Cube saja belum rampung digarap," jelasku.Keterkejutan Intan membuatku tersentak. Ada apa dengannya?

  • Godaan Panas Pegawai Magang   Bab. 04. Desy, Keponakan Kesayangan Suamiku

    "Mbak Lia...." Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. "Apa?" tanyaku, menggebu dan sedikit goyah. "Semua bahan sudah siap dicek," kata Leon, melaporkan. "Ya-yasudah! Kenapa kamu nggak pakai kemejamu!" Aku mengutuk diriku sendiri yang gugup, dan salah tingkah. "Maaf, bolehkah aku mandi dulu? Badanku mungkin bau." Dia meminta izin padaku. "Aku ngeceknya setelah makan siang kok. Kamu boleh istirahat dulu, sama kayak yang lain," kataku bijak, sambil mencoba menutupi kegugupanku. "Mbak Lia nggak mau mandiin aku?" godanya. Aku melotot, sopankah begitu pada atasan? "Mbak Lia dari tadi lihatin aku," ucapnya, dengan senyum genit. "Siapa juga yang lihatin kamu? GR banget...." kelitku. Ya masak aku ngaku? Leon tersenyum miring sambil menyentuh perutnya yang berbentuk kotak-kotak."Padahal kalau Mbak pengen, nggak cuma dilihat, aku bolehin nyentuh juga," tambahnya. Leon... Kenapa begini? Genit banget! "Sudah Leon! Sekarang kamu istirahat saja! Nanti kamu bantuin saya nyatet!" Aku harus

  • Godaan Panas Pegawai Magang   Bab. 03. Big Bos Berulah, Dasar Bayi Sialan!

    Sampainya di hotel, aku menemui Kevin yang ternyata sudah menungguku di lobi."Ada apa, Bos?" tanyaku, saat sudah di depan Kevin."Gawat! Big Bos marah besar. Dia berencana untuk memutus kerja sama dengan perusahaan. Kamu bisa merayunya, 'kan? Dia luluh sama cewek tobrut kayak kamu!" pinta Kevin, menggoyang-goyang kedua pundakku.Sambil menatapnya datar, aku bersedia merayu Big Bos agar tetap percaya pada perusahaanku bekerja."Di mana Big Bos?" tanyaku, ingin segera betindak."Big Bos sedang makan siang di ruang VIP restoran hotel. Cepat kamu temani. Dia uring-uringan, kayak remaja labil," desak Kevin sambil mendorong-dorong punggungku.Aku menemui Big Bos yang... Sedang makan siang bersama Leon? Leon lagi? Apa yang dia lakukan? Dia? Duduk bersama Big Bos? Apa ini? Bukannya Leon tadi ada di panti asuhan?Apakah Kevin juga memanggil Leon untuk merayu Big Bos? Tunggu, bukankah Big Bos sukanya sama cewek semok? Atau... Ah! Aku tidak ingin berpikir buruk! Big Bos tidak mungkin menyimpang

  • Godaan Panas Pegawai Magang   Bab. 02. Godaan Anak Magang

    "Please... Ibu jangan sembarangan kalau ngomong!" tegurku cukup keras.Aku memang selalu meluruskan segalanya agar tidak tercipta skandal dan gosip.Aku tak ingin melanjutkan obrolan tidak penting ini. Aku meminta wanita itu mengantarku ke tempat di mana Big Bos mengamuk.Baru saja aku membuka pintu ruangan inspeksi, sebuah sepatu melayang ke arahku, dan sukses mengenai kepalaku. Badanku terhuyung ke belakang.Untungnya ada Leon yang sigap menangkapku.Mataku yang buram, menatap wajah penuh khawatir Leon. Sungguh, Leon sangat tampan, seperti pahatan patung Dewa Yunani. Aku terpukau dengan visualnya."Mbak Lia baik-baik saja?" tanyanya.Aku berusaha memperbaiki posisiku. Menunjukkan sikapku yang profesional. Lalu aku fokus pada Big Bos yang juga menatapku khawatir."Ada apa, sih, Bos? Kok lempar-lempar sepatu segala?" Aku meraih sepatu yang barusan mengenaiku.Para mandor menatapku penuh harap. Dilihat dari ekspresi mereka, sepertinya mereka telah dimarahi habis-habisan oleh Big Bos."

  • Godaan Panas Pegawai Magang   Bab. 01. Aku Ditolak Berhubungan Intim

    Dengan rambut setengah basah, aku menyambut kepulangan suamiku. Aku langsung merebut tas yang ia bawa, dan menuntunnya menuju meja makan. Wajah lelahnya membuatku prihatin."Mas... Gimana kerjanya hari ini?" Aku melontarkan pertanyaan pertama yang selalu aku tanyakan.Ketika aku menyentuh pundak suamiku, dan hendak memijatnya, ia dengan kasar mendepak tanganku.Aku mengerutkan kening. "Ada masalah di kantor?" tanyaku, khawatir.Suamiku, yang kerap aku panggil Mas Yuan, menggelengkan kepala sebagai jawaban.Aku memilih duduk di dekatnya. Aku memperhatikan suamiku dengan seksama. Senyumku merekah saat menyadari bahwa Mas Yuan tetap terlihat tampan di usianya yang sudah menginjak kepala empat."Mas... Kalau ada masalah, cerita dong... Kita 'kan sudah menikah selama lima tahun. Masak kamu masih nggak mau berbagi?" Aku merayunya.Nada suaraku sengaja aku buat lembut agar Mas Yuan nyaman, dan mau menyalurkan keluh kesahnya padaku. Tapi, sepertinya aku belum bisa meluluhkan hatinya yang kera

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status