Aku menggelengkan kepala, heran dengan pemikiran Intan.
Kami berdua duduk bersama setelah mengambil nampan berisi makanan. "Intan, anakmu sekarang sudah kelas berapa, ya? Terakhir aku bertemu dengannya... Sekitar dua tahun lalu," tanyaku, teringat anak semata wayang Intan. Intan memasukkn sesuap nasi ke dalam mulutnya, lalu menjawab, "Anakku tinggal di asrama, sesuai keinginannya." Aku tidak menyangka, Intan akhirnya memperbolehkan anaknya dididik orang lain. Kalau aku jadi Intan, aku mungkin tak akan merelakan anakku dibawa jauh dariku. Setiap orang memiliki prinsip masing-masing. Aku tidak boleh membanding-bandingkan hidupku dengan Intan. "Oh ya, gimana rumahmu yang di Prima Cube? Pasti sudah selesai dibangun dong...." Intan menyenggol pundakku, alisnya naik-turun saat memandangku. "Sudah pindah rumah?" Aku menghembuskan napas berat. "Boro-boro pindah rumah. Rumahku yang di Prima Cube saja belum rampung digarap," jelasku. Keterkejutan Intan membuatku tersentak. Ada apa dengannya? Kebiasaannya yang over reaction tidak pernah berubah. "Satu tahun yang lalu adikku membeli tanah di Prima Cube. Dia membangun rumah tiga lantai, dan kemarin selesai, malah sekarang sudah ditempati," beber Intan, panjang lebar. *Cepat sekali?" timpalku, berpikir keras. "Kamu pasti lagi bangun rumah mewah, ya? Mangkanya belum selesai-selesai," sindir Intan, tersenyum jahil. Aku sebal sekali, semua perkataan yang diucapkan Intan meracuni isi kepalaku, membuatku pusing karena berpikir negatif mengenai suamiku tercinta. Tak berselang lama, Leon muncul bersama Desy yang seperti terus berusaha menempeli Leon. Leon duduk di hadapanku tanpa permisi, atau hanya sekedar mengucapkan sepatah kata. "Wah... Siapa laki-laki tampan yang duduk di depanmu, Lia?" Intan menggodaku sambil mencolek-colek lenganku. Dih, dia kira aku sabun colek? "Perkenalkan, saya calon suami kedua Mbak Lia," ucap Leon, penuh kebanggaan. Tentu, detik itu juga aku menyangkal, dan membeberkan bahwa Leon ini orangnya memang doyan nyablak. Kalau ngomong suka nggak di pakai otaknya. "Mbak Lia di kantor didekati cowok ganteng. Pantesan betah kerja terus," sahut Desy. Nada suaranya terdengar tak ramah. Pasti Desy kesal dengan perkataan Leon yang seolah-olah tertarik denganku. Aku menyentuh punggung tangan Desy. "Kamu jangan salah paham. Leon hanya bercanda," terangku, meyakinkannya. "Warna dan gaya rambutmu... Seperti familiar. Aku kayak pernah lihat. Tapi di mana ya??" Intan menarik perhatiaannya untuk Desy. "Oh iya! Kamu 'kan wanita yang aku lihat di hotel bersama suami Lia!" cetus Intan, heboh sendiri. Aku menatap Desy dengan seksama, memperhatikan bagaimana wajahnya mulai pucat. Jemarinya saling meremas gelisah, seakan tidak tahu harus berpegangan pada apa. Sorot matanya yang bergetar, gelagatnya yang kikuk, jelas menunjukkan bahwa Desy menyimpan sesuatu dariku. Dengan napas yang terasa berat, aku menuntut jawaban dari Desy atas pernyataan atau tuduhan berani yang dilontarkan Intan, sahabatku. Dengan tingkah manja, Desy mencoba menenangkan suasana. Ia meraih ujung rambutnya, memutarnya dengan gugup sambil sesekali melirikku. Senyum tipis ia paksa, tapi sorot matanya yang penuh kecemasan, tidak bisa ia tutupi dariku. "Mbak Lia... Aku memang pernah pergi ke hotel bersama Paman Yuan. Tapi... Bukan untuk melakukan hal-hal aneh, kok. Mbak Lia percaya padaku, 'kan?" ucapnya, berusaha membujukku dan membela dirinya sendiri. Aku tersenyum lembut sambil menganggukan kepala. "Iya, aku percaya sama kamu. Lagipula, kamu dan Mas Yuan adalah keluarga," balasku, bijaksana. Intan berdecap, seakan tak senang dengan tanggapan yang aku berikan. "Kalau aku sih... Aku nggak bakal mau pergi ke hotel bersama pamanku sendiri. Buat apa? Menggelikan sekali," cibir Intan tanpa ragu. Selain suka bertingkah berlebihan, dan blak-blakan, Intan juga kerap kali melontarkan kalimat atau kata-kata pedas untuk sesuatu yang tak sepemikiran dengannya. "Ngapain kamu pergi ke hotel bersama pamanmu? Pakek pegangan tangan segala?" sosor Intan menyudutkan Desy. "Orang lain yang nggak tahu hubungan kalian, bakal ngira kalau kalian sepasang kekasih," imbuhnya, heran. Aku meminta Intan untuk tak lagi memojokkan Desy, dan melanjutkan makan siang. "Lia... Kamu bodoh sekali," gerutu Intan, kesal. Aku hanya membalasnya dengan senyum. Tak lama kemudian, notifikasi ponselku berbunyi, aku pun membuka pesan yang ternyata dari suamiku. Dalam pesan, suamiku mengirim foto rumah kami yang sedang dikerjakan. Suamiku juga memintaku mengirim sejumlah uang untuk membeli bahan bangunan. Tanpa pikir panjang, aku mengirim uangku ke rekening suamiku. Setelah menyimpan kembali ponselku ke dalam saku, tatapanku bertemu dengan tatapan Leon. "Leon, jangan lupa. Nanti kamu lembur," ucapku mengingatkannya. "Lembur untuk apa? Semua tugas yang kamu berikan, sudah selesai," jawab Leon, santai. "Apa?" Aku tidak percaya. Hey, aku memberi Leon setumpuk dokumen yang harus ia input. Mana mungkin ia bisa menyelesaikannya dalam sekejap. Memangnya ia sakti? Tak masuk akal. "Aku lihat sendiri kok, Mas Leon memang sudah mengerjakan semuanya. Soalnya aku yang diminta Mas Leon untuk menandai kertasnya,” sahut Desy, membela Leon. Intan bertepuk tangan sebagai bentuk apresiasi pada kinerja Leon yang gesit. "Lia memiliki bawahan yang mempuni. Kamu akan menjadi orang sukses." Tanpa ragu Intan memuji Leon. "Terima kasih, aku selalu bersemangat saat mengerjakan tugas dari Mbak Lia," timpal Leon, tersenyum tipis untuk Intan. "Aduh... Gantengnya. Jadi pengen nikah lagi, nih," kelakar Intan, tertawa kecil. Aku merinding dengan kegenitan Intan. Janda satu ini memang lagi gatal-gatalnya. "Pengen nikah lagi? Kenapa kamu tidak bilang? Aku bisa menikahimu," sahut Kevin, entah muncul dari mana, tapi ia sudah berdiri di dekat Intan. "Kenapa orang gila ada di kantin kantor?" gumamnya, melototiku. Aku mengalihkan perhatian Kevin dengan memberitahunya bahwa menu makan siang untuknya telah disiapkan khusus. Tapi sepertinya Kevin tidak peduli. Ia terus memandang Intan, seolah menunggu sahabatku menyapanya. Dengan senyum yang amat sangat terlihat tidak iklas, Intan menyambut Kevin. Ia mempersilakan Kevin duduk di samping Leon, berhadap-hadapan dengannya. "Pak Direktur... Apa kabar? Lama tidak bertemu, ya. Dilihat-lihat makin ganteng aja, nih." Mode penjilat Intan keluar. Benar saja, pujian palsu Intan mampu membuat Kevin luluh, dan memasang wajah tolol. Sebenarnya aku sudah tahu kalau Intan dan Kevin dulu pernah berpacaran. Namun, berhubung perusahaan tak memperbolehkan sesama karyawan memiliki hubungan romantis, mereka pun mengakhiri kisah cinta mereka dan memilih karier. Bahkan aku ingat, Intan sempat dipindahkan ke Thailand beberapa tahun akibat skandal ini, dan Kevin harus dijatuhi denda yang jumlahnya tidak sedikit. Pokoknya, perusahaan ini... Anti-romantic. "Intan, apa yang kamu lakukan di sini? Apakah kantin di kantormu tidak masak?" tanya Kevin, heran. Intan tertawa kecil. "Pengen aja makan di sini. Sekalian bertemu teman lamaku," jawabnya, sok manis. "Hanya itu?" tanya Kevin, agak kecewa. "Ah... Aku juga hendak mengurus surat dinas untuk diriku dan Lia yang akan dikirim perusahaan ke Singapura," terang Intan. Aku sudah mengetahui hal itu. Aku ditunjuk secara pribadi oleh CEO Vici Industri untuk datang ke acara penting yang akan diselenggarakan di Singapura. Aku juga tidak mengerti, mengapa CEO baru memilihku. Mungkin karena dulu aku pernah menjadi Sekretaris pribadi CEO lawas. Suatu kehormatan untukku. "Bagus, kalian bisa bertemu CEO baru. Sampaikan salamku padanya, ya," pesan Kevin. Pasti akan kami sampaikan, itu pun... Kalau kami bertemu secara langsung dengan Pak CEO. *** Gara-gara Intan yang ngoceh sembarang soal suamiku tadi, aku jadi kepikiran. Maka dari itu, untuk menghilangkan kecemasanku, aku mendatangi rumahku di Prima Cube. Begitu sampai di rumahku yang masih dibangun, aku merasa janggal dan aneh. Sesuai ingatanku, dulu aku membeli tanah kaplingan di dekat aliran sungai. Tapi, kenapa rumahku berpindah di dekat pintu masuk? Bukannya menghubungi suamiku untuk mengonfirmasi, aku justru menghubungi Pak Yulian pemilik perumahan. Entah sebuah keruntungan atau hanya sekedar kebetulan, Pak Yulian berada di cafe yang letaknya tak jauh dari perumahan. Aku pun bergegas menemuinya. Begitu sampai di cafe, Pak Yulian yang tak sendirian, melainkan bersama Pak RT, menyambutku dengan baik. "Mbak Lia ini... Berhati malaikat. Membeli tanah dan membangun rumah tiga lantai, lalu memberikannya pada suami dan istri muda Pak Yuan," beber Pak Yulian, disela obrolan basa-basi kami. "Apa maksud anda?" tanyaku, menganggap jika telingaku tuli. Pak Yulian dan Pak RT saling memandang bingung satu sama lain. Aku meminta penjelasan mengenai sungai di dekat tanah yang aku beli. Maksudku, mengapa sungai itu menghilang? Dan jawaban yang diberikan Pak Yulian membuatku terkejut, sekaligus tercengang. Suamiku selama ini menipuku, dan mengirim foto palsu mengenai rumah kami yang masih dibangun. Padahal, faktanya, rumah kami sudah selesai dibangun dua tahun lalu. Bahkan sudah ditempati oleh suamiku dan istri barunya. Jantungku terasa sangat sakit, seperti dihantam keras oleh palu raksasa. Dadaku sesak mengetahui bahwa suamiku memiliki wanita lain. Aku... Sama sekali tidak menyangka. Ini... Terlalu mengejutkan. Gongnya, sertifikat tanah dan bangunan yang awalnya atas namaku, kini berubah menjadi hak milik suamiku. Bagaimana ini bisa terjadi? Apakah karena aku terlalu percaya pada suamiku. Untuk membuatku lebih yakin, Pak RT dan Pak Yulian mengajakku melihat rumah yang seharusnya menjadi rumah impianku. Begitu melihat rumah yang aku disain sendiri, aku tak kuasa menahan air mataku. Aku menangis sesenggukan. "Mbak Lia, saya minta maaf. Seharusnya saya menghubungimu saat Pak Yuan mengalihkan kepemilikan rumah." Pak RT sepertinya merasa bersalah. Aku mencoba tetap tegar, dengan menghapus air mataku, dan memaksa untuk tersenyum. "Bukan kesalahan, Bapak," kataku, bersuara parau. "Pak Yuan bersama istri mudanya, hanya sesekali menginap di rumah ini," terang Pak RT. "Pak... Siapa istri muda suamiku?" tanyaku, pelan. "Soal itu... Karena mereka menikah siri, datanya tidak tercatat dengan benar. Dan juga, karena mereka hanya sesekali datang, nama isri muda Pak Yuan juga tidak diketahui." Dalam kekecewaan, aku mengangguk mengerti. Aku akan mencari tahu sendiri, siapa istri Mas Yuan yang lain. Aku juga meminta Pak RT dan Pak Yulian untuk melupakan hari ini. "Anggap saja kita tidak pernah bertemu, dan tolong... Jangan bilang suamiku kalau aku datang. Ini, urusan rumah tanggaku. Aku tidak ingin melibatkan kalian." Kalimat itu bukan permintaan, melainkan ancaman terselubung untuk Pak Yulian dan Pak RT. Jika mereka memberitahu Mas Yuan kalau aku datang ke Prima Cube, aku akan menyeret mereka. Dan menuduh mereka sebagai mafia tanah. Dasar sinting, bisa-bisanya mereka memindahkan nama kepemilikan tanpa persetujuan dariku. "Mas Yuan... Beraninya kamu menginjak-nginjakku. Lihat saja, apa yang akan aku lakukan padamu." Bersambung...Aku menggelengkan kepala, heran dengan pemikiran Intan. Kami berdua duduk bersama setelah mengambil nampan berisi makanan. "Intan, anakmu sekarang sudah kelas berapa, ya? Terakhir aku bertemu dengannya... Sekitar dua tahun lalu," tanyaku, teringat anak semata wayang Intan.Intan memasukkn sesuap nasi ke dalam mulutnya, lalu menjawab, "Anakku tinggal di asrama, sesuai keinginannya."Aku tidak menyangka, Intan akhirnya memperbolehkan anaknya dididik orang lain. Kalau aku jadi Intan, aku mungkin tak akan merelakan anakku dibawa jauh dariku.Setiap orang memiliki prinsip masing-masing. Aku tidak boleh membanding-bandingkan hidupku dengan Intan."Oh ya, gimana rumahmu yang di Prima Cube? Pasti sudah selesai dibangun dong...." Intan menyenggol pundakku, alisnya naik-turun saat memandangku. "Sudah pindah rumah?"Aku menghembuskan napas berat. "Boro-boro pindah rumah. Rumahku yang di Prima Cube saja belum rampung digarap," jelasku.Keterkejutan Intan membuatku tersentak. Ada apa dengannya?
"Mbak Lia...." Aku mengerjapkan mataku berkali-kali. "Apa?" tanyaku, menggebu dan sedikit goyah. "Semua bahan sudah siap dicek," kata Leon, melaporkan. "Ya-yasudah! Kenapa kamu nggak pakai kemejamu!" Aku mengutuk diriku sendiri yang gugup, dan salah tingkah. "Maaf, bolehkah aku mandi dulu? Badanku mungkin bau." Dia meminta izin padaku. "Aku ngeceknya setelah makan siang kok. Kamu boleh istirahat dulu, sama kayak yang lain," kataku bijak, sambil mencoba menutupi kegugupanku. "Mbak Lia nggak mau mandiin aku?" godanya. Aku melotot, sopankah begitu pada atasan? "Mbak Lia dari tadi lihatin aku," ucapnya, dengan senyum genit. "Siapa juga yang lihatin kamu? GR banget...." kelitku. Ya masak aku ngaku? Leon tersenyum miring sambil menyentuh perutnya yang berbentuk kotak-kotak."Padahal kalau Mbak pengen, nggak cuma dilihat, aku bolehin nyentuh juga," tambahnya. Leon... Kenapa begini? Genit banget! "Sudah Leon! Sekarang kamu istirahat saja! Nanti kamu bantuin saya nyatet!" Aku harus
Sampainya di hotel, aku menemui Kevin yang ternyata sudah menungguku di lobi."Ada apa, Bos?" tanyaku, saat sudah di depan Kevin."Gawat! Big Bos marah besar. Dia berencana untuk memutus kerja sama dengan perusahaan. Kamu bisa merayunya, 'kan? Dia luluh sama cewek tobrut kayak kamu!" pinta Kevin, menggoyang-goyang kedua pundakku.Sambil menatapnya datar, aku bersedia merayu Big Bos agar tetap percaya pada perusahaanku bekerja."Di mana Big Bos?" tanyaku, ingin segera betindak."Big Bos sedang makan siang di ruang VIP restoran hotel. Cepat kamu temani. Dia uring-uringan, kayak remaja labil," desak Kevin sambil mendorong-dorong punggungku.Aku menemui Big Bos yang... Sedang makan siang bersama Leon? Leon lagi? Apa yang dia lakukan? Dia? Duduk bersama Big Bos? Apa ini? Bukannya Leon tadi ada di panti asuhan?Apakah Kevin juga memanggil Leon untuk merayu Big Bos? Tunggu, bukankah Big Bos sukanya sama cewek semok? Atau... Ah! Aku tidak ingin berpikir buruk! Big Bos tidak mungkin menyimpang
"Please... Ibu jangan sembarangan kalau ngomong!" tegurku cukup keras.Aku memang selalu meluruskan segalanya agar tidak tercipta skandal dan gosip.Aku tak ingin melanjutkan obrolan tidak penting ini. Aku meminta wanita itu mengantarku ke tempat di mana Big Bos mengamuk.Baru saja aku membuka pintu ruangan inspeksi, sebuah sepatu melayang ke arahku, dan sukses mengenai kepalaku. Badanku terhuyung ke belakang.Untungnya ada Leon yang sigap menangkapku.Mataku yang buram, menatap wajah penuh khawatir Leon. Sungguh, Leon sangat tampan, seperti pahatan patung Dewa Yunani. Aku terpukau dengan visualnya."Mbak Lia baik-baik saja?" tanyanya.Aku berusaha memperbaiki posisiku. Menunjukkan sikapku yang profesional. Lalu aku fokus pada Big Bos yang juga menatapku khawatir."Ada apa, sih, Bos? Kok lempar-lempar sepatu segala?" Aku meraih sepatu yang barusan mengenaiku.Para mandor menatapku penuh harap. Dilihat dari ekspresi mereka, sepertinya mereka telah dimarahi habis-habisan oleh Big Bos."
Dengan rambut setengah basah, aku menyambut kepulangan suamiku. Aku langsung merebut tas yang ia bawa, dan menuntunnya menuju meja makan. Wajah lelahnya membuatku prihatin."Mas... Gimana kerjanya hari ini?" Aku melontarkan pertanyaan pertama yang selalu aku tanyakan.Ketika aku menyentuh pundak suamiku, dan hendak memijatnya, ia dengan kasar mendepak tanganku.Aku mengerutkan kening. "Ada masalah di kantor?" tanyaku, khawatir.Suamiku, yang kerap aku panggil Mas Yuan, menggelengkan kepala sebagai jawaban.Aku memilih duduk di dekatnya. Aku memperhatikan suamiku dengan seksama. Senyumku merekah saat menyadari bahwa Mas Yuan tetap terlihat tampan di usianya yang sudah menginjak kepala empat."Mas... Kalau ada masalah, cerita dong... Kita 'kan sudah menikah selama lima tahun. Masak kamu masih nggak mau berbagi?" Aku merayunya.Nada suaraku sengaja aku buat lembut agar Mas Yuan nyaman, dan mau menyalurkan keluh kesahnya padaku. Tapi, sepertinya aku belum bisa meluluhkan hatinya yang kera