LOGINBesoknya, karena hari ini masih termasuk hari libur, aku bisa bangun sedikit lebih siang dan menikmati waktu luang tanpa terburu-buru.
Tinggal di apartemen Leon yang megah bagai istana di tengah kota, membuat rasa penat dan stres yang sempat menumpuk perlahan menguap.Aku benar-benar menikmatinya.Kalau dipikir-pikir, Leon memang termasuk orang yang beruntung. Ia mendapatkan fasilitas super mewah dari bos ayahnya.Dari cerita yang kudengar, Ketua Vici Industri memang dikenal dermawan dan sangat memperhatikan kesejahteraan bawahannya.Tak heran kalau Vici Industri tumbuh menjadi salah satu perusahaan raksasa di Asia. Mungkin, semua itu karena pemimpinnya memiliki hati yang tulus, nyaris seperti malaikat dalam dunia bisnis yang kejam.Berbicara soal perusahaan, pikiranku tiba-tiba melayang pada nama Geo Grup, perusahaan yang sempat disinggung Leon semalam.Meskipun Vici Industri sudah begitu besar dan berpengaruh, nyatanyaNama lengkapku Alia Yuanita Baskoro. Aku terlahir di sebuah desa yang aman dan damai. Ayahku meninggal akibat terkena serangan jantung.Beliau meninggalkan warisan berupa sawah satu hertar yang akhirnya dikelola ibuku seorang. Meski sederhana, hidupku di kampung bisa dibilang cukup, tak kekurangan. Bahkan ibuku bisa menyekolahkanku hingga aku lulus S2. Ibuku... Sangat hebat, bukan? Setelah lulus kuliah, aku langsung diterima kerja menjadi Sekretaris di sebuah perusahaan besar, Vici Industri. Aku harus meninggalkan ibuku di desa, dan merantau di ibu kota untuk bekerja. Tenang saja, komunikasi kami berjalan lancar. Aku sempat mengajari ibuku bermain ponsel pintar. Saat sedang santai di sebuah kedai kopi, aku bertemu dengan Mas Yuan, pria yang lembut, dewasa, dan baik (Pada saat itu). Mas Yuan secara blak-blakan mengajakku berkenalan, dan meminta bertukar nomor ponsel. Dari sinilah hubungan kami dimulai.
"Bos Kevin terlalu berlebihan," sahutku, menolak pernyataan tak berdasar yang baru saja dilontarkannya.Kevin hanya menatapku sekilas, lalu kembali memfokuskan pandangannya pada Mas Yuan."Ini kesempatan yang bagus... Jangan terlalu lama berpikir," kata Kevin pada Mas Yuan."Tanpa mengurangi rasa hormat, aku agak... Ragu. Tapi...." Mas Yuan menggantung kalimatnya. Ia menarik napas panjang, seolah ada beban berat di dadanya yang sulit diungkapkan."Karena Tuan CEO tak ada di sini, bukan berarti ajakan kerja sama dengan perusahaanmu hanya bualan semata," sahut Kevin menegaskan. "Bos Kevin, wajar jika Tuan Yuan tidak yakin. Bagaimana jika mengikuti rencana cadangan dari Pak CEO?" usul Leon, nada suaranya tenang namun berwibawa.Dari caranya berbicara, aku bisa menebak Leon punya hubungan cukup dekat dengan CEO baru Vici Industri.Kevin menoleh pada Leon dengan senyum tipis. Ekspresinya menunjukkan seolah ia setuju dengan s
Dari awal pertandingan, aku sudah unggul. Pukulan demi pukulan terasa begitu ringan, seperti tubuhku dipenuhi energi positif.Untung saja rekan setimku ternyata jago bermain voli. Ia berkali-kali mencetak poin dengan mudah, membuat semangatku semakin membara.Sebaliknya, tim lawan terlihat mulai kewalahan.Desy dan Mas Yuan sama sekali tidak kompak. Gerak mereka kaku, seperti orang yang terpaksa bermain bersama.Aku bisa menebak penyebabnya.Sepertinya Desy marah pada Mas Yuan setelah mengetahui kebiasaan bejat Mas Yuan yang suka bermain dengan banyak wanita.Aduh, Desy... Kadang aku kasihan juga padamu."Mbak Lia! Semangat!" teriak seseorang yang langsung disambut sorak-sorai dari lainnya.Refleks aku menoleh ke arah sumber suara, dan mataku langsung terpaku pada sosok Leon yang berdiri di pinggir lapangan sambil mengangkat spanduk besar bertuliskan 'Go Mbak Lia!' dengan tinta warna mencolok.Aku melon
Aku tak menyangka, Leon benar-benar mendatangi kamarku, dan tidur bersamaku. Bahkan kami juga bercinta semalaman suntuk, sampai aku lemas dan tak berdaya.Aku akui, Leon memang jago di atas ranjang. Mungkin karena ia masih muda, tenaga yang ia miliki pastinya sangat melimpah."Leon... Sebenarnya, rencana apa yang sedang kamu jalankan?" tanyaku dengan suara serak, masih dibalut sisa kelelahan.Leon menoleh, senyum miring menghiasi wajah tampannya."Hanya... Memberi sedikit balasan pada orang-orang yang pernah menyakitimu," jawabnya, santai.Aku terkejut, lalu tersenyum canggung. Ada perasaan hangat, tapi juga cemas yang menjalari tubuhku."Leon... Kamu tidak perlu repot-repot melakukan itu," kataku."Sayang... Kamu tenang saja. Aku punya kemampuan untuk menghancurkan suamimu. Jadi, aku akan melakukannya," tandas Leon dengan nada tenang namun penuh tekad.Dengan sisa tenaga, aku bangkit perlahan, melangkah mendeka
Besoknya, karena hari ini masih termasuk hari libur, aku bisa bangun sedikit lebih siang dan menikmati waktu luang tanpa terburu-buru.Tinggal di apartemen Leon yang megah bagai istana di tengah kota, membuat rasa penat dan stres yang sempat menumpuk perlahan menguap.Aku benar-benar menikmatinya.Kalau dipikir-pikir, Leon memang termasuk orang yang beruntung. Ia mendapatkan fasilitas super mewah dari bos ayahnya.Dari cerita yang kudengar, Ketua Vici Industri memang dikenal dermawan dan sangat memperhatikan kesejahteraan bawahannya.Tak heran kalau Vici Industri tumbuh menjadi salah satu perusahaan raksasa di Asia. Mungkin, semua itu karena pemimpinnya memiliki hati yang tulus, nyaris seperti malaikat dalam dunia bisnis yang kejam.Berbicara soal perusahaan, pikiranku tiba-tiba melayang pada nama Geo Grup, perusahaan yang sempat disinggung Leon semalam.Meskipun Vici Industri sudah begitu besar dan berpengaruh, nyatanya
Setelah tiga hari berlalu, kasus akun penyebar hoaks milik Desy akhirnya terlupakan begitu saja. Aku... Sunggung kecewa. Padahal aku berharap bisa melihat Desy digerebek oleh orang-orang kantor, diseret keluar sambil menangis minta maaf. Baiklah... Kali ini dia memang beruntung, lolos tanpa ganjaran atas perbuatannya yang menjijikkan. Di tengah lamunanku, sesuatu yang dingin tiba-tiba menempel di pipiku. Aku refleks menoleh. "Jangan melamun terus," tegur Leon sambil menyodorkan es krim padaku. Aku tersenyum kecil dan menerima es krim itu, sembari berkata, "Makasih, ya." Pandangan mataku sempat menelusuri wajah Leon yang duduk di sebelahku. "Kamu juga beliin es krim buat anak-anak?" tanyaku. Leon tersenyum lembut, "Iya," jawabnya singkat. Kami sedang berada di panti asuhan. Satu-satunya tempat yang paling aman untuk kami bertemu, atau mungkin, berkencan diam-diam. Lagipula, tempat ini memang paling cocok, karena kami berdua suka anak kecil. Aku memandangi es kr







