"Ayah setuju jika Nich menikahiku?" Gwen bertanya kepada ayahnya untuk yang ke sekian kali. "Apa alasan Ayah setuju?"
Beberapa waktu yang lalu Nich telah menyampaikan niatnya yang hendak memperistri Gwen kepada Tuan Jimmy. Dan, yang paling mengejutkan adalah ayahnya itu langsung setuju tanpa berpikir panjang. Gwen jadi penasaran—mengapa ayahnya menyetujui pernikahannya.
'Jangan pernah berhubungan dengan pemuda bernama Nicholas. Ayah tidak suka kalian terlalu dekat. Cukup berteman dan jangan melibatkan perasaan.' Kata Tuan Jimmy kala itu.
Bahkan, Gwen masih mengingat betul bagaimana ayahnya dulu memperingatkan dirinya agar menjauh dari Nich. Lalu sekarang? Kenapa ayahnya berubah pikiran?
Tuan Jimmy tersenyum di balik alat bantu pernapasan. Alih-alih menjawab, dia malah bertanya, "Kau menyukainya, bukan? Karena itu ayah setuju. Lagi pula Nich pria yang baik. Dia mau membantu kita melunasi semua b
Di mobil Gwen terus merengut karena perintah sang ayah yang memintanya pulang bersama Nich. Padahal, malam ini Gwen ingin sekali menemani ayahnya di rumah sakit. Namun, Tuan Jimmy menolak dengan berbagai macam alasan yang menurut Gwen tidak masuk akal. ck!'Sihir apa yang dipakai Nich, sampai Ayah jadi baik dengannya.' Gwen membatin sambil melirik Nich yang fokus pada kemudinya.'Kau pulanglah, Gwen. Istirahatlah di rumah. Kau tidak perlu berjaga di sini. Nich sudah meminta suster untuk menjaga ayah di sini. Jadi, kau tidak perlu khawatir dan mencemaskan ayah.'Gwen mengingat lagi perintah ayahnya saat di Rumah Sakit."Hfuuh …." hela Gwen melipat tangannya di depan perut, seraya menatap ke luar jendela.Jalanan saat malam hari tidak begitu ramai ketika musim dingin seperti ini. Semua orang lebih memilih menghabiskan waktu di rumah, daripada berada di luar rumah. Menghadap
"Masuklah, Gwen. Di luar sangat dingin. Kau bisa membeku kalau terus berdiri di sana."Sudah ke tiga kalinya Nich membujuk perempuan bermantel tebal dengan raut wajah yang nampak masam. Gwen berdiri di depan pintu, dengan mulut merengut, sambil memicingkan sepasang mata bulatnya ke arah Nich."Tidak. Aku mau pulang ke rumah. Bukan ke hotelmu, Nich." Gwen berbalik, hendak pergi dari sana.Namun, pergerakannya dicegah oleh Nich yang reflek menahan sikunya. "Kau mau ke mana? Tetaplah di sini," tanya Nich sambil mendekat. "Kau tidak boleh ke mana-mana, Gwen. Kau sudah menjadi milikku sekarang. Jadi, kau tidak bisa pergi ke mana pun lagi tanpa izin dariku."Pernyataan Nich ditanggapi dengusan oleh Gwen. Perempuan itu menoleh, lantas menyahu
"Nich …."Gwen menyebut nama Nich dengan suaranya yang parau, nyaris terdengar mirip desahan, lantaran sentuhan melenakan dari pria itu. Hangat hingga membuat darahnya berdesir.Ini terlalu lembut dan Gwen seolah-olah tak ingin Nich buru-buru menghentikan aksinya. Telapak tangan Nich yang besar menangkup dada tak berpenutup milik Gwen. Bermain-main di puncaknya seraya mencumbu lekukan leher Gwen yang jenjang dan menguarkan aroma parfum favoritnya. Wangi, dan Nich enggan berpaling sedikit pun, sengaja meninggalkan jejak kepemilikannya di sana, nyaris si empunya memekik lantaran rasa geli bercampur nikmat."Eugh … Nich … He-n-ti-kaaaan … eugh …." Diantara beringasnya Nich mencumbu leher dan memainkan puncak dadanya, Gwen berusaha mati-matian agar tidak terlena dan terjebak dalam gairah yang sengaja disulut Nich.'Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Aku harus bisa mengenda
Setelah beberapa detik, Gwen lantas terkesiap. Dia tidak bodoh, dan bukannya tidak mengerti apa maksud perkataan Nich barusan.Membangunkan macan versi seorang Nich adalah hal paling menakutkan bagi Gwen. Kemudian, ingatan Gwen pun kembali berputar pada kejadian semalam. Saat Nich mencoba menyeretnya dalam kubang gairah persis pergumulan waktu malam itu. "Minggir, Nich!" Sekuat tenaga Gwen mendorong Nich dan usahanya pun berhasil. Gwen bangkit dari tidurnya, lalu beringsut mundur seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Manik birunya menyorot takut pada lelaki yang rupanya bertelanjang dada. "K-kau jangan mendekat, Nich!" Ketakutan Gwen membuat kening Nich mengerut, dia pun bangkit dan terduduk dengan kaki ditekuk. "Ada apa, Gwen? Kau kenapa? Tenanglah ..." bujuk Nich, berusaha untuk tidak menakut-nakuti Gwen. Dalam hitungan detik saja, sikap Gwen berubah 180derajat. Nich bisa melihat dengan jelas jika saat ini Gwen sangat ketakutan. Bola mata bulat itu bergerak gelisah d
London."Nich tidak menjawab telepon sejak kemarin. Apa sebenarnya yang dia kerjakan di sana? Sampai-sampai tidak sempat menjawab telepon dari ibunya." Seorang wanita paruh baya yang berpenampilan seperti wanita-wanita kalangan kelas atas menghempaskan bokongnya pada sofa berwarna krem. Sejak menuruni anak tangga rautnya nampak begitu gusar juga cemas, sambil menatap layar ponselnya yang menggelap. Sementara pria paruh baya berpenampilan sederhana di sampingnya hanya menghela, melipat kertas koran yang baru saja dibacanya, lalu menaruhnya ke meja, beserta kaca mata bacanya. "Mungkin dia sibuk." Komentar singkatnya membuat sang isteri di sampingnya hanya melirik sinis. "Sesibuk apa pun dia, paling tidak sempatkan waktu menghubungi ibunya. Apa dia lupa jika tiga hari lagi pesta pertunangannya?" Perempuan yang masih memiliki hubungan darah dengan Nich itu melempar begitu saja ponselnya ke meja dengan perasaan jengkel setengah hidup. Raut masam tak kunjung menghilang dari wajahnya yang
Di mobil, Nich yang biasanya agresif tiba-tiba berubah menjadi pendiam. Namun, lelaki itu tak pernah melepaskan genggaman tangannya pada perempuan yang beberapa saat lalu resmi menjadi istrinya. Bukan resmi dalam artian yang sebenarnya. Pernikahan Nich dan Gwen hanya sebatas di catatan sipil dan sebatas kontrak yang telah disepakati sebelumnya. Dean yang sedang fokus menyetir sampai dibuat terheran-heran. Padahal, sebelum ini Nich terlihat ceria dan yang paling antusias. Tetapi, tak lama baginya untuk memahami Nich yang kemungkinan tengah bergelung dengan pikirannya. Sebelumnya, Dean juga telah mengingatkan Nich. Namun, Nich tetap kukuh pada keputusannya dan memintanya untuk segera mengurus semuanya. Dan, dalam waktu yang singkat, Dean mempersiapkan surat kontrak pernikahan antara Nich dan Gwen.Pagi tadi sebelum berangkat, Gwen dan Nich telah menandatangani surat kontrak tersebut terlebih dahulu. Persis seperti keinginan dan syarat yang diajukan Gwen atas kesepakatan yang Nich tawar
"Ayah tidak mau ini semua sia-sia. Ayah harus segera pergi menyusul ibumu, Gwen. Ibumu sudah menunggu ayah," ujar Tuan Jimmy yang seketika membuat jantung Gwen terasa diremas."A-apa maksud Ayah bicara seperti itu?" tanya Gwen dengan suaranya yang serak, dia dapat melihat manik sang ayah yang berkaca-kaca. Apakah ayahnya berniat meninggalkan dirinya, pikir Gwen.Jemari Tuan Jimmy yang bebas mengusap jejak basah di pipi Gwen. "Sudah saatnya kau memikirkan dirimu sendiri, Gwen. Baktimu pada ayah sudah selesai. Sekarang, giliran Nich yang mendapatkan itu semua. Dia suamimu, maka kau harus menghormatinya sebagaimana mestinya," ujarnya berpesan, kendati dia tahu jika pernikahan putrinya hanya berlandaskan sebuah kontrak kerja sama. Akan tetapi, Tuan Jimmy tidak akan mengungkitnya sekarang. Gwen harus hidup berbahagia dengan pria yang sangat dicintainya itu, pikir Tuan Jimmy. Nich yang berdiri di sisi ranjang tak bisa berkomentar banyak. Namun, dia tentu sadar sepenuhnya, jika setelah in
Inginnya, semua yang terjadi hari ini hanyalah mimpi. Inginnya, kesedihan yang menelangsakan diri hanyalah ilusi. Namun sayangnya, semua duka yang menyelimuti, adalah sebuah kenyataan yang tak bisa dihindari. Gwen kini sendiri. Gwen hanya bisa menangisi kepergian sang ayah, merelakan satu-satunya orang terkasih yang paling dia sayangi. Beberapa saat yang lalu, dia baru saja kembali dari proses memakamkan ayahnya dengan ditemani Nich dan Dean tentunya. "Kenapa secepat ini Ayah pergi?" Gwen bergumam lirih, sembari menatap ke luar jendela mobil. Wajah cantiknya sembab, jejak tangisan masih belum sepenuhnya hilang dari sana. Jemari Nich terulur, meraih jemari sang isteri untuk dia genggam. "Kau harus tabah, Gwen. Ayahmu sudah berbahagia di surga. Ingat, masih ada aku. Sekarang aku yang berada di sisimu." Nich mengecup jemari lentik Gwen berulang-ulang. Duka yang melanda Gwen turut menyesakkan dadanya. Mulai sekarang Gwen adalah tanggung jawabnya. Janjinya kepada Tuan Jimmy tidak akan