Share

05 - Hadiah dari Pertengkaran

Seorang lelaki berseragam SMA sama seperti gadis yang melipat tangan di depan dada, sedang menginjak-injak puntung rokok yang sebelumnya ia hisap hingga tak banyak lagi tersisa batang rokok itu.

Raut menakutkan dari Tasya hanya dibalas dengan cengiran tak bersalah dari Ghandara. Ghandara punya banyak keburukan, tapi yang paling tidak bisa Tasya maafkan adalah rokok. Tasya benci melihat Ghandara yang sembunyi-sembunyi darinya untuk merokok.

“Pacar, dengarkan aku dulu. Serius!!” Ghandara mencoba menahan tubuh Tasya yang hendak pergi dengan tubuh lebarnya ia memeluk gadis itu sembari mengelus lembut rambut hitam milik Tasya. “Dalam sebulan ini serius baru hari ini aku merokok lagi, serius, sumpah demi aku gak jodoh sama kamu, deh!”

Dengan penuh khidmat Ghandara menjelaskan berharap Tasya percaya pada perkataannya, namun, sepertinya tatapan mata Tasya jelas mengatakan kalau dia tidak memaafkan Ghandara semudah itu. Jelas sekali.

“Oke! Jadi aku harus ngapain supaya kamu gak marah lagi?” tanya Ghandara mencoba merayu pacar tercintanya. “Apa perlu aku … cium?!” ucapnya bersemangat sembari memoncongkan bibirnya mendekati wajah Tasya dan tentu saja mendapat tamparan pelan dari gadis itu.

Tasya berlalu tanpa kata.

“Yahhh pacar aku bener-bener marah, gawat!”

Ghandara menyusul Tasya yang mengeluarkan jurus berjalan cepat ala-ala cewek pada umumnya, sambil terus ia memanggil nama Tasya dengan suara beratnya yang menggoda sekali untuk didengarkan.

“Selamat pagi Kak Tas .. sya …”

Salah seorang murid menyapa Tasya namun terabaikan. Ghandara memberi tanda kepada siswi itu dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dada berbentuk huruf “X” yang artinya mood gadisnya sedang tidak baik-baik saja. Dan tentu saja itu ulahnya.

Langkah Ghandara masih sibuk untuk mengejar Tasya yang berjalan dengan amat cepat, ia harus meminta maaf sebelum bel berbunyi, jadi ia ia tidak punya waktu selain berlari mengejar ketinggalannya dari Tasya. Namun, langkah kakinya sontak terhenti saat telinganya secara tidak sengaja menangkap suara yang terus terngiang beberapa hari ini.

Sedang Tasya sudah semakin jauh, ia ragu, haruskah ia terus melangkah atau ia harus mengetuk pintu ruangan ini lalu rasa penasarannya terbunuh.

Ia mengepalkan tangannya, memegang gagang pintu adalah pilihan yang saat ini muncul di kepalanya. Ia menarik gagang pintu dengan pelan kemudian membuka pintu dengan perlahan pula.

Semesta tak mengijinkannya. Bel berbunyi tepat sebelum ia berhasil membuka pintu ruangan itu. Para siswi melewatinya untuk pergi ke lapangan dan berbaris. Entah siapa yang sedang bersenandung tadi tak ada yang tahu, hanya Ghandara yang mendengarnya. Aneh.

***

Seolah sudah ditakdirkan, Bulan lagi-lagi terlambat hari ini. Dengan alasan yang cukup tidak masuk akal sekali akhirnya ia diberi hukuman oleh guru BK super duper galak itu. Mengepel lantai Lab IPA bukan sesuatu hal yang sulit untuk Bulan lakukan, hanya saja jika ia terus terlambat seperti ini masa depan di SMA-nya tidak akan berjalan sesuai yang dia tulis di buku diarinya.

Membunuh waktu yang membosankan seperti biasa Bulan secara tak sadar bersenandung, bermain dengan nada yang dibuatnya pada saat itu juga. Tak ada lagu pasti, ia hanya menyenandungkan apa yang keluar dari bibir mungilnya. Anehnya, lagunya tak pernah sama. Selalu berbeda dan selalu indah untuk didengarkan.

Bel berbunyi, Bulan mempercepat pergerakan tangannya, menghabiskan lantai yang tersisa di pojok kanan kemudian dia selesai dengan hukumannya.

“Bantu aku, ayoo aku harus cepat selesai,” katanya kepada tangannya sendiri yang ia gerakkan dua kali lebih cepat. Mendengar suara derap langkah buru-buru dari para murid membuat tangannya otomatis bekerja lebih cepat dan berhasil selesai dalam waktu singkat.

Gadis berambut hitam dengan jepit putih di sisi kanan, jepit pemberian Bintang saat ulang tahun ke-11 nya masih ia simpan dan selalu ia pakai saat suasana hatinya bagus berjalan sambil membenarkan seragam agar terlihat rapi sebelum berbaris ke lapangan.

Acara orientasi siswa sudah selesai dibahas oleh kepala sekolah, yang tersisa adalah pengumuman pembagian kelas. Bulan berharap ia bisa sekelas dengan Rara, satu-satunya orang yang ia kenal secara pribadi dalam beberapa hari di sekolah ini.

Keduanya saling bertukar pandang, lalu tersenyum saat nama mereka dibacakan secara berturut-turut. Mungkin keberuntungan Bulan yang tertunda mulai datang sejak saat ini, akhir-akhir ini ia sangat beruntung.  

“Kita sekelas,” ucap Rara dengan wajah bahagia, menatap Bulan yang tersenyum menyisakan segaris lurus pada matanya.

***

“Masih marahan?”

Riki menatap kasihan kepada Ghandara yang menatap ke arah meja sebelah. Tidak lain adalah pacarnya yang memilih duduk memisahkan diri darinya.

“Dia jadi bisu, aku sedih,” ucap Ghandara dengan penuh pilu namun masih bersemangat menghabiskan semangkuk mie ayam dengan porsi jumbo. Tidak bisa dipungkiri, mie ayam di kantin sekolah adalah makanan yang menjadi favoritnya seumur hidup.

“Kamu sih, gak menghargai banget perjuangan Tasya yang nerima cowok aneh kayak kamu.”

“Aneh? Darimana aneh, Topan,” ucap Ghandara kesal.

“Riki.”

“Gak ah, aku manggilnya Topan aja mulai sekarang. Nama Riki terlalu keren buat muka kayak kamu, gak cocok!” Sempatnya ia mengejek Riki sambil tertawa. Kebetulan saat ia tertawa, Tasya malah melihatnya. Sangat tidak bersalah, jadi Tasya mengurungkan niat untuk memaafkan lelaki itu.

Bukan Ghandara namanya jika tidak punya cara untuk membuat Tasya memaafkannya. Ghandara tidak peduli pada hukuman dari guru, yang ia pedulikan hanya mendapat kembali perhatian dari pacarnya.

Eko. Malangnya dia selalu saja menjadi tumbal kebucinan Ghandara. Sangat mudah untuk diimingi oleh Ghandara melalui Siska, lelaki itu langsung bertekuk lutut kepada Ghandara meski terpaksa.

“Yakin nih? Pak BK gak ngamuk ntar?”

“Udah, Ko, kamu percaya aku aja, aku yang bakal tanggung jawab semuanya,” ucap Ghandara penuh keyakinan. “Daripada kalo pacar aku marah terus, trus aku putus sama Tasya jadi aku berniat untuk nerima Siska jadi pacar aku, gimana?”

“I-Iya!! Ini gambarnya dimana? Pake cat warna apa? Buruan bentar lagi bel masuk! Aku ada pelajaran olahraga sama Pak Ridwan penjaga pintu surga eh neraka!”

Namanya saja Ridwan, tapi profesinya malah menjaga pintu neraka. Sekalinya masuk ke dalam pintu, maka harus tersiksa.

Ghandara dan Eko berusaha keras, membuat lukisan menggunakan cat yang tadi dibeli Eko dengan alasan untuk dekorasi panggung kegiatan.

Firasat buruk selalu jadi nyata. Belum selesai tulisan sastra dengan puisi menjijikkan ditulis di tembok belakang gedung kesenian selesai, Pak BK datang dengan senjata rahasianya. Eko yang sudah merasakan kedatangan Pak BK segera melemparkan kuas cat ke sembarang arah, sedang Ghandara masih bergeming tak tahu harus lari kemana. Tapi meski ia lari pun ia tetap akan tertangkap, jelas sekali namanya tertulis dengan cat merah di pojok kanan bawah.

“Hehehe.” Ghandara menggaruk tengkuknya yang tak gatal sambil menyeringai seperti orang paling bodoh di dunia.

“Lagi-lagi kamu!!” Belum melanjutkan kalimatnya, Pak BK sudah sakit kepala hanya karena memikirkan nama Ghandara yang harus ia hadapi lagi hari ini. “Dengan siapa kamu mencoret-coret ini?!!”

“Saya sendiri, Pak!” ucap Ghandara bohong. Itu karena ia sudah berjanji kepada Eko untuk bertanggung jawab. Sebejat-bejatnya seorang Ghandaya Ayudhya, janji adalah hal yang selalu ia tepati. Itu pasti.

“Gak mungkin tulisan kamu sebagus itu! Jujur siapa yang kamu ajak kerja sama kali ini?”

“Benerang saya sen—“

“Kamu ya?!! Sini kamu!!”

Kalimat Ghandara terpotong saat tiba-tiba Pak BK, yang bernama asli Pak Rudianto itu memanggil seorang murid perempuan yang baru saja memungut kuas cat yang dilemparkan Eko ke tanah.

“Saya, Pak?” tanya gadis itu merasa tak bersalah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status