Share

06 - Entah Keajaiban atau Bencana

Beruntungnya mereka berdua. Ghandara si pembuat onar dan Bulan yang tidak tahu apa-apa juga ikut terkena hukuman. Pasalnya Bulan tidak diberikan kesempatan untuk menjelaskan, guru BK itu sudah terlanjur menuduh bahwa Bulan merupakan kaki tangan dari Ghandara hanya karena kuas cat yang dia pungut dengan tujuan untuk dibuang itu ada di tangannya.

“Kamu … siswa baru ya?”

Bulan tak ambil pusing dan tidak berniat untuk angkat bicara, pasalnya setelah ini dia ada pelajaran olahraga yang gurunya super duper galak, bisa-bisa dia kehilangan kesan pertamanya pada guru olahraga yang ingin ia ambil hatinya itu. Kebetulan sama seperti Eko yang sekelas dengan pacar Ghandara, kelas Bulan memang mendapat jadwal olahraga bersama.

“Maaf, tapi bisakah kau lakukan itu lebih cepat? Kita harus menghapus semua cat ini sebelum pelajaran keempat dimulai!” Dengan memberanikan diri Bulan angkat bicara, walau ia tidak berani secara langsung menatap mata lawan bicaranya.

“Apa aku semenakutkan itu?”

Bulan memandang lelaki itu dengan ragu. “Ti-tidak juga,” sahutnya.

“Jika begitu bicaranya liat orangnya dong, kamu nyakitin hati orang kalo ngomong sama mereka tapi gak liat mata mereka.”

Tidak disangka oleh Bulan bahwa lelaki ini memiliki manners yang cukup baik. Yang dia katakan itu benar, Bulan juga tak suka dengan orang yang berbicara tapi tidak memandang mata lawan bicara, tapi baginya saat ini melakukan itu cukup sulit. Kesan pertamanya dengan lelaki ini tidak begitu baik.

“Anggap aja ini bayar hutang budi.”

Bulan tak mengerti dengan pernyataan Ghandara yang berani.

“Ya anggap aja ini bayaran hutang karena aku udah bantu kamu lolos masuk ke sekolah saat pertama kali masuk, tidak ingat?”

Seperti ditampar, Bulan langsung kebingungan mencari sesuatu untuk di pandang walaupun ada banyak yang bisa di pandang.

Tentu saja Bulan ingat, siapa yang melupakan paras tampan namun menakutkan itu. Anting yang tergantung di telinga, rambut yang tidak berwarna hitam melainkan cokelat juga seragam yang tidak terkancing rapih mana mungkin mudah untuk di lupakan, terlebih sosok lelaki itu adalah orang terkenal seantero sekolah, terkenal karena nakal dan bucinnya.

Seperti yang di harapkan, setelah berganti dengan pakaian olahraga Bulan disuruh keliling lapangan sebanyak tiga kali karena ia terlambat. Dia ingin sekali mengeluh, tapi hidup seperti ini sudah biasa baginya, ia sudah terbiasa menanggapi candaan semesta. Jadi ia hanya tersenyum saja, ia selalu menganggap dunia ini sangat lucu kepadanya.

Totalnya sudah sebanyak tiga kali dalam sehari ini dia terkena hukuman. Meski begitu ia tetap saja tidak menyerah gadis dengan mata sipit itu masih sekuat tenaga lari supaya cepat menyelesaikan hukuman dan mengikuti pelajaran yang sepertinya menyenangkan.

“Nih ambilah.”

Bulan mengangkat kepalanya, ia baru saja duduk setelah menyelesaikan tiga kali putaran. Lari memang tidak pernah mengecewakan, selalu membuat ingin mati setelahnya.

“Ahh tidak masalah, Kak,” ucap Bulan menolak dengan sopan air mineral yang ditawarkan seorang gadis cantik dan anggun yang Bulan kenal sebagai ketua OSIS dan pacar Ghandara.

“Ambil aja, aku belum minum ini, kok.” Gadis cantik dan baik hati itu mnecekoki sebotol air mineral ke tangan Bulan, jadi tidak ada pilihan selain menerimanya. “Kalau sungkan, anggap aja ini ucapan permintaan maaf,” ucap gadis itu sembari tersenyum kepada Bulan. “Aku denger tadi kamu terlambat sebab dihukum sama pak BK, dan itu karena ulah pacar aku.”

Bulan akhirnya tersenyum canggung. Apa pasangan memang selalu seperti ini, meminta maaf melalui pasangan mereka alih-alih melakukannya secara langsung.

“Tasya,” ucap gadis itu sekali lagi sembari menjulurkan tangan. “Namaku Tasya, kamu?”

Bulan masih tidak mengerti, ia bengong sampai Tasya memegang pundaknya barulah ia kembali sadar. “Bu-Bulan, Kak,” sahutnya. Ia tidak mengerti kebaikan apa yang sudah ia lakukan sehingga ia dikelilingi oleh orang-orang baik. Bodo amat dengan kesialan yang dia lewati seharian ini, tapi sungguh berjabat tangan dengan Tasya adalah anugrah terindah baginya hari ini.

***

“Ghandara Ayudhya!”

Celaka bagi Ghandara. Sungguh bencana yang tidak akan bisa Ghandara hadapi. Jika seorang Tasya sudah menyebut nama lengkapnya dengan nada tinggi seperti itu, artinya Ghandara dalam masalah.

“Kali ini kamu keterlaluan, kamu gak cuman ngerugiin diri sendiri tapi orang lain juga!”

Pantas saat Tasya masuk ke dalam kantin rasanya sangat aneh. Ia yakin sudah terlambat ke kantin karena harus mengurus jadwal kegiatan untuk minggu depan, yang artinya seharusnya ia harus mengantri kurang lebih dua puluh menit untuk bisa memesan makanan di kantin.

Tapi, apa ini? Kantin kosong, tak ada orang sama sekali kecuali laki-laki dengan hoodie hitam bertudung yang tersenyum kepadanya dengan sangat tulus.

“Kamu nyewa kantin kayak gini buat apa? Buat pamerin harta? Atau mau bikin anak-anak kelaparan?”

Ghandara ingin berlutut jika diperbolehkan. Matanya sudah sendu menatap mata Tasya yang penuh amarah.

“A-aku gak ada niat apa-apa, aku cuman gak mau pacar aku—“

“Egois! Gak usah jadiin aku alasan di setiap hal yang kamu lakuin, Ghan. Seharusnya kamu akui aja kalo kamu itu egois!”

Bersamaan dengan hilangnya bayangan Tasya dari kantin, kekuatan Ghandara untuk berdiri juga hilang. Ia tersungkur di lantai dengan sebuah kertas di tangannya. Hilang harapannya. Kesempatan sekali dalam seumur hidup? Ia tidak peduli lagi.

“Tasya!!”

Saat mengejar Tasya keluar dari kantin memaksakan kakinya yang lemah untuk tetap melangkah, akhirnya ia gontai dan terjatuh saat tak sengaja tubuhnya menabrak tubuh gadis kecil yang berjalan di depannya.

“Ahh maaf,” kata gadis itu berjongkok berniat membantu tapi yang ia dapat hanya tatapan sendu dari lelaki yang awalnya ingin ia hindari.

Bulan berdiri selepas kepergian Ghandara yang buru-buru. Ia tidak mengerti masalahnya, tapi ia paham betul tatapan putus asa dari Ghandara membuktikan bahwa lelaki itu sangat mencintai Tasya. “Aku iri,” keluhnya tiba-tiba.

Lantas ia berpikir, bukankah menyenangkan jika ada seorang yang mencintai kita? Bukankah menyenangkan jika ada seseorang yang selalu menemani kita? Seandainya Bulan pernah merasakan itu maka dia tidak akan sepenasaran ini.

“Aku memiliki mereka,” ucap Bulan kemudian tersenyum ketika teringat akan wajah-wajah menggemaskan para adiknya yang selalu menyambut kedatangannya di rumah.

Saat ia memunguti beberapa buku yang terjatuh, sebuah kertas yang sepertinya berniat untuk dibuang oleh pemiliknya menarik perhatian Bulan sebab terjatuh tak jauh dari sana. Bulan yakini kertas itu adalah milik Ghandara.

Sedikit ragu, Bulan memungut kertas itu, ingin membukanya tapi takut jika di dalamnya berisikan sesuatu yang tidak seharusnya ia lihat.

Setelah ia lihat, ia langsung berlari melupakan buku-bukunya yang tergeletak di tanah.

“Kak Ghandara!!!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status