Share

04 - Suara

“Awan!! Bintang! Langit!!” Bulan terburu masuk ke dalam rumah Mbok Intan. Ia sudah berteriak bahkan dari pagar rumah memanggil ketiga adiknya yang berada di dalam rumah Mbok Intan.

“Assalamualaikum dulu, Neng,” tegur Mbok Intan yang disalami oleh Bulan.

Bulan tersenyum cengengesan sambil mengucap salam yang ia lupakan saking tak sabarnya ia untuk bercerita kepada adik-adiknya.

Mbok Intan menjawab salam sambil tersenyum senang. Bagaimana bisa seorang gadis yang masih butuh kasing sayang seperti Bulan menjadi tulang punggung keluarga, bagaimana bisa tangan mungil itu setiap harinya mengangkat berkilo-kilo gula jawa  selama lebih dari dua tahun, bagaimana bisa ia tidak sama sekali mengeluh akan kehidupannya padahal hidupnya sungguh berat. Bagaimana bisa ia masih tersenyum manis seperti itu?

Mungkin Mbok Intan yang bergeming di pintu memikirkan banyak hal itu di kepalanya. Ia menatap gadis itu dan hampir saja menangis karenanya.

“Kak Bulan, ada apa?” tanya Awan dengan sifat dinginnya.

Bulan menggiring ketiga adiknya untuk duduk di karpet milik Mbok Intan. Ia menyiapkan nafas yang masih menderu sebelum mulai bicara dan bercerita.

Bahagia sekali raut wajahnya. Banyak hal bahagia yang harus ia ceritakan dan banggakan hari ini kepada ketiga adiknya.

***

Tidak seperti biasanya, hari ini Ghandara banyak diam. Saat pulang sekolah ia tidak langsung masuk ke dalam kamar tetapi ia singgah sebentar ke perusahaan papahnya. Entah apa yang sedang ia lakukan di sini sekarang, tapi ia hanya ingin memastikan sesuatu.

Beberapa karyawan menyapanya. Meski perusahaan papahnya ini terbilang baru tetapi sudah memiliki cukup banyak karyawan jadi mau tidak mau Ghandara yang menjadi calon pengganti papahnya nanti harus bisa bersosial terlebih dahulu kepada para karyawan yang akan menjadi calon karyawannya.

“Pah!”

“Lho, Nak? Tumben singgah, ada apa?”

Ghandara itu nakal. Tapi tidak jika di depan papahnya. Sebab ia tahu papahnya sudah sangat kesulitan dalam menjadi hidup semenjak bercerai dengan mamahnya. Jadi setidaknya ia tidak menjadi beban papahnya lagi.

Lantas bagaimana dengan kenakalan Ghandara di sekolah? Memanggil orangtua? Tentu saja tidak. Ghandara punya Tasya untuk segalanya. Anak kesayangan guru itu beruntung Ghandara dapatkan dan jadikan pacar.

“Papah udah makan siang belum?” tanya Ghandara meneliti papahnya yang ia tebak belum makan sian sebab berbagai kertas yang tak dipahaminya masih berserakan di meja kerja papahnya.

“Setelah ini Papah makan siang, kamu kenapa kesini? Ada apa?”

Ghandara menggaruk belakang kepalanya tak sama sekali tak gatal. Ia kikuk. Ia sendiri tidak tahu apa yang tengah ia lakukan saat ini. Dia hanya otomatis menarik pedal gas motornya dan tiba-tiba sampai di sini.

“Enggak ada, Pah, cuman pengen makan bareng Papah aja.”

Bohong. Ghandara baru saja selesai makan siang bersama Tasya tadi. Ia bahkan makan milik Tasya yang tidak dihabiskan oleh pemiliknya. Dengan kata lain ia makan satu setengah porsi.

“Kalau begitu ayo makan di kantin bawah saja.”

***

Ghandara memainkan sendoknya, mengaduk kuah sop yang tidak ingin ia makan. Ia menunggu papahnya selesai makan dengan diam.

“Katanya pengen makan.”

“Tau deh, Pah, sampe sini malah gak nafsu.”

Seorang Ghandara yang dikenal oleh papahnya tidak akan pernah tidak nafsu makan. Kepekaan papahnya lebih tinggi dari yang Ghandara kira. Papahnya meletakkan sendok, meminum air untuk membersihkan mulut kemudian menatap Ghandara dengan tenang. Mata tenang itu selalu membuat Ghandara takut untuk berbuat salah. Lalu entah darimana sifat nakal Ghandara ini ia dapatkan.

Ahh benar. Ia lupa bahwa ia terlahir dari rahim seorang perempuan kurang ajar itu.

“Ada apa? Ada masalah sama Tasya lagi?”

Ghandara menggeleng dengan cepat, tidak ingin perkataan itu nantinya menjadi kenyataan. “Bukan, Pah, cuman pengen aja main kesini.”

Bohong. Ghandara tidak pernah suka jika disuruh datang ke perusahaan meskipun hanya sekedar mengantarkan file papahnya yang tertinggal di computer rumah.

“Tumben banget, biasanya gak mau disuruh kesini.”

Kali ini Ghandara memilih untuk diam masih memainkan sendok di tangannya. “Pah,” panggilnya pelan kemudian. Tapi bukannya melanjutkan kalimat, ia malah menggeleng, menolak untuk berkata lebih banyak.

“Aku pulang aja deh, ntar malem mau nememin Tasya beli buku.”

Setelah berpamit dan disetujui oleh papahnya, Ghandara kembali ke parkiran seorang diri tak diantar oleh papahnya, bukan papahnya tak mau mengantar tapi Ghandara yang menolak untuk diantar, memangnya anak kecil.

***

Suara gadis siang tadi menghantui Ghandara. Saat mandi, makan, bermain game dan apapun serta kapanpun. Bahkan suara mersu Tasya dikalahkan oleh suara gadis itu. Ghandara yakin ia tidk salah pendengaran. Ghandara pemusik yang baik, ia juga mengenal nada dengan sangat baik, jadi setidaknya ia bisa menilai mana orang yang bisa bernyanyi dan mana yang tidak.

“Ahh siialan.” Ghandara membanting ponselnya ke atas kasur. Setelah mendapat pesan dari Tasya bahwa mereka tidak jadi pergi karena keponakan Tasya ada di rumahnya maka ia tidak tahu harus melakukan apa di kamar ini. Ia sangat bosan. Ingin menghubungi Riki ia sudah tahu kegiatan apa yang dilakukan lelaki itu saat ini.

Eko.

“Halo, Man!” sapanya sok akrab padahal ia menelpon Eko bukan dari kontak ponselnya melainkan menelpon nomor Eko yang tadi ia cari di grup obrolan OSIS. Alias ia tidak menyimpan nomor Eko secara pribadi. Untung saja Eko menggunakan foto asli jika tidak ia yakin tak bisa menemukan kontak Eko.

“Gimana kencan kamu sama Siska tadi siang?” tanya Ghandara cukup penasaran apa yang mereka berdua lakukan setelah Ghandara tinggalkan berdua di kantin siang tadi.

“Kacau.”

Ghandara ingin tertawa tapi ia tahan sebab ia tahu Eko anaknya sensi. “Parah, kacau gimana?”

“Pokoknya kacau.”

“Ahh kamu mah, Ko! Coba beraniin diri langsung tembak aja!”

“Ghan,” panggil Eko dengan suara sabar. “Aku tau kamu itu ibaratnya permata, tapi sadar dong aku ini umbi-umbian, jadi cara dia mandang kita sudah jelas beda.”

Sekali lagi Ghandara menutup bibirnya rapat kali ini dibantu dengan tangan kiri, ia menyumpal agar suara tawanya tak terdengar oleh Eko.

Banyak hal yang mereka bicarakan sekitar dua puluh menit itu. Tapi tetap saja setelah panggilan berakhir malam belum hilang juga, kesepian masih menghantui Ghandara di rumah itu. Ia yakin papahnya lembur malam ini jadi setelah bibi rumah tangga pulang ia mengunci rapat gerbangnya dan mematikan lampu rumah. Yang tersisa hanya lampu di dalam kamarnya.

Kembali ia merebahkan badannya yang tidak benar-benar lelah, hanya kesepian dan tidak tahu harus melakukan apa.

Kemudian keheningan di telinganya membuat suara merdu gadis siang tadi kembali terngiang. Bahasa inggris fasih dan tidak ada terdeteksi buta nada. Ghandara menyukai suara manis itu.

“Astaga!!” Ghandara menyadarkan pikirannya. Ia memukul kedua telinganya yang tengah berhalusinasi.”Gak ada suara yang lebih indah dari suara Tasya!”

Ghandara berbohong. Dan ia tahu itu. Ia tahu kali ini ia berbohong pasal mengatakan bahwa suara Tasya adalah suara terindah. Ya setidaknya hingga hari ini.

“Siapa gadis itu?” Ghandara termenung sendirian. Mencari suara tanpa sosok yang ia lihat. Mana mungkin bisa ditemukan. Akan sangat gila jika Ghandara menyuruh para murid baru untuk bernyanyi satu persatu dan menemukan suara yang hampir membuatnya gila ini.

***

Bulan tengah menatap bulan. Senyum indah itu menggambarkan betapa indahnya lukisan bulan diatas sana. Entah siapa yang ia ajak berbicara, tapi Bulan sedang bahagia saat ini. Ia bercerita kepada semesta, ia mengatakan bahwa ia sangat bahagia dan berharap setiap harinya ia akan merasakan hal yang sama.

Setelah menidurkan Langit dan mengecek Awan dan Bintang sudah tertidur ia mulai menikmati waktu kesendiriannya. Di tempat favoritnya, duduk di depan pintu sambil menopang dagu menatap indahnya bulan bersinar berharap ia bisa menjadi sama indahnya seperti bulan asli di atas sana.

Sebab bahagia, secara tidak sadar ia mulai bersenandung lagi. Ia sering sekali bersenandung secara tidak sadar. Mungkin karena ia terbiasa bernyanyi di yayasan dulu jadi bibirnya terbiasa mengeluarkan nada-nada acak yang terdengar merdu.

“Siang tadi, aku sudah melakukan yang terbaik. Aku harap aku bisa melewati semua hari seperti hari ini, terima kasih,” ucapnya menangkupkan tangan kemudian masuk ke dalam rumah, sebab hawa dingin mulai menyerang tubuhnya membuat tulang-tulangnya terasa ngilu. Lagipula besok ia harus sekolah.

“Ayo tidur.”

Lampu rumah sudah padam dan tersisa lampu tidur using yang sudah tua, menyala menitip cahaya menemani Bulan yang tertidur dengan senyum indah di wajah cantiknya.

Tanpa Bulan tahu, lelaki berusia enam tahun itu sedari tadi mencuri pandang. Mendengar suara merdu yang Bulan lantunkan. Awan bangun, membuka selimut yang bulan pasangkan ke tubuhnya, dan menutupi tubuh Bulan yang hanya menggunakan kaos tipis. Awan memeluk tubuh Bintang dengan semakin erat seiring bertambahnya malam demi menghangatkan tubuhnya tanpa selimut itu.

“Terima kasih, Awan,” ucap Bunga dengan bibir tersenyum dan mata yang masih menutup.

“Kak Bulan belum tidur?”

“Siapa yang bisa langsung segera tidur setelah merebahkan badan?”

Awan hanya diam.

“Kakak harap, Awan juga berlaku yang sama kepada Langit. Sebagaimana Awan sayang sama Kak Bulan, Awan juga harus sayang sama Langit, ya?”

“Tapi, Kak, Langit—“

“Dia keluarga kita.”

Awan segera terdiam.

Kadang, Bulan merasa bersalah. Ia merasa paling bersalah kepada Awan, lelaki kecil yang seharusnya tidak berpikir untuk menjadi tulang punggung keluarga.

“Wan,” panggil Bulan lagi.

“Apa, Kak?”

“Awan gak pengen sekolah?”

Awan diam-diam menelan ludah.

“Awan udah sekolah. Udah bisa baca dan nulis.”

“Maksud Kakak bukan sekolah di yayasan, tapi sekolah di sekolah umum kayak temen-temen Awan.”

Bulan tau Awan sangat ingin itu, hanya saja Awan tak ingin memberati biaya kepada Kakaknya.

“Awan lebih pinter dari mereka. Meskipun sekolah di yayasan, tapi Awan belajar dengan baik, jadi gak usah khawatir! Awan pasti bisa jadi orang hebat.”

Air mata Bulan mengalir begitu saja. Segera ia usap dengan punggung tangannya. Ia menyesal atas segalanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status