Share

07 - Antara Keberuntungan dan Celaka

Malam sendu dengan rintik hujan yang entah berniat turun atau tidak, Bulan di tempat favoritnya, duduk di depan pintu rumah, tersihir dengan dinginnya angin yang menyapa hingga ke tulangnya, namun sama sekali tak membuat dirinya merasakan kedinginan itu.

Setelah selesai mengantar gula-gula jawa ke rumah pemesan, ia langsung pulang ke rumah tidak seperti biasa ia akan mengambil kerjaan lain agar dapat upah tambahan. Bukan karena ia lelah, hanya saja ia tidak fokus, ia terus memikirkan kalimat Ghandara siang tadi.

Sampai saat ini pun, melihat kertas yang sudah remuk ada di tangannya itu, hatinya bergerak. Ia tidak yakin dan tidak setuju dengan apa yang ada di pikirannya saat ini, tapi ia sangat ingin untuk mencoba.

“Coba aja, Kak!”

Bulan buru-buru kembali melipat kertas itu dan memasukkan sembarang ke kantongnya setelah mendapati Awan ada di belakangnya. Awan memang masih berusia enam tahun, tapi anak kecil ini belajar dengan sangat baik dari anak seusianya, jadi ia sudah menguasai huruf dan membaca dengan baik.

“Kamu udah selesai belajarnya?” Bulan mencoba mengalihkan pembiaraan. “Langit?”

“Lagi sama Bintang warnain gambar.”

Bulan mengangguk, sedang Awan duduk di samping kakaknya. Meski Awan masih terbilang terlalu kecil, tapi anehnya Bulan sangat mudah berkomunikasi kepada adiknya itu. Segala keluh kesah yang kadang tak mampu ia tahan lagi, Awan siap mendengarkan meski dirinya tak seratus persen paham.

“Wan,” panggil Bulan. Awan menoleh dengan wajah polos nan dinginnya seperti biasa. “Kenapa wajahnya kayak gitu sih? Bisa lebih ramah gak?” ucap Bulan, bukannya ia merasa terintimidasi, tapi ia khawatir jika Awan terus berekpresi seperti itu nantinya orang akan mendapuknya dengan sebutan anak sombong.

Padahal Bulan tahu, alasan Awan selalu menampilkan ekspresi datar itu tidak lain adalah sebagai pertahanan diri. Ia ingin dianggap galak sehingga tidak ada yang berani mengganggu Bintang maupun Langit. Tapi tidak selamanya itu baik.

“Awan pernah nyesel jadi adik Kak Bulan, gak?” tanya Bulan berbasa-basi meski ia tahu setelah ini Awan akan merajuk.

“Kak Bulan!!”

“Hahahaha!! Iya, maaf, Kakak stop sampe di sini aja!”

Awan tau, di balik nada bercanda kakaknya itu ada pertanyaan serius yang benar-benar membuat kakaknya itu penasaran. Tapi sungguh, Awan sendiri merasa beruntung menjadi adik dari kakak hebat seperti Bulan, tak pernah sedikit pun ia berpikir bahwa hidupnya malang hingga saat ini. Ia tahu kakaknya juga sering kali merasa bersalah, tapi sungguh, ia juga merasa bersalah ketika melihat kakaknya merasa bersalah.

***

Bersyukurnya Bulan pagi buta tadi Langit menangis karena kepanasan, jika tidak entahlah apa yang akan terjadi lagi pagi ini, mungkin Bulan akan diberikan hukuman membersihkan kamar mandi di seluruh lantai.

Pintu gerbang masih terbuka lebar, danbelum terlalu banyak murid yang datang sepagi ini. Beruntungnya Bulan, jadi ia bisa berkeliling sebentar sambil melihat suasana sekolahnya di pagi hari. Karena selama ini ia selalu tidak memiliki kesempatan untuk itu.

“Heiii Dinda!”

Bulan tau ini bukan urusannya, tapi ia punya mata dan pastinya bisa melihat dengan jelas keromantisan yang terjadi di depannya. Tidak mau ikut campur lebih dalam ia mempercepat langkahnya. Masih banyak tempat yang bisa ia datangi selain tempat para siswa beromansa pagi buta.

Ia bersenandung dengan tas punggung yang masih setia di punggungnya, berjalan di sekitara tempat olahraga menjadi hal yang mungkin akan menjadi kesukaannya. Sebab embun dan udara di sini terasa sangat berbeda, hawa dingin yang selalu di sukainya, dan selalu ia rindukan tergambar jelas di sini.

Dan satu lagi, seorang yang tengah mendribel bola basket dengan putus asa. Otomatis Bulan mengingat kembali kejadian kemaren.

*Flashback.

“Kak Ghandara!!”

Ghandara yang tergesa itu meluangkan waktu untuk menoleh ke asal suara. Saat dilihatnya hanya gadis tak jelas yang tidak terlalu penting memanggilnya ia kembali mempercepat langkah mengejar Tasya yang semakin menghilang.

Namun, Bulan sudah berhasil menghadang jalan lelaki itu. Bulan membuka lebar-lebar kertas yang diremas mungkin oleh Ghandara kemudian membentangkan dengan berani di depan wajah Ghandara.

Senyum tipis muncul di wajah Ghandara diiringi dengan mata yang sendu dan putus asa itu.

“Tidak berguna,” ucap Ghandara menatap ke dalam mata Bulan kemudian pergi tanpa kata setelahnya.

Yang menjadi pertanyaan di kepala Bulan sejak semalam. Siapa yang dimaksud oleh Ghandara sebagai hal yang tidak penting. Apakah kertas yang berisikan surat lolos seleksi musik modern yang diselenggarakan gubernur atau dirinya yang menghadang jalan Ghandara? Pikiran itu terus mengusik kepala Bulan sejak semalam.

Tepat pada saat Bulan sedang sibuk pada pemikirannya, ia tak sadar bahwa laki-laki yang menjadi fokusnya saat ini sekarang sudah berjarak tak lebih dari lima meter darinya.

“Aku tahu aku ganteng, tapi aku udah gak jomblo lagi dan gak akan pernah jomblo, jadi jangan sia-siain waktu kamu buat ngeliatin aku gitu.”

Bulan terbatuk-batuk mendengar kepercayaan diri Ghandara yang sangat tinggi. Seperti yang diharapkan dari Ghandara.

“Kamu si cewek cat gerbang, kan?”

Bulan mengalihkan pandangannya lagi-lagi seperti itu. Fakta bahwa Ghandara hanya menyebutkan cat dan gerbang, itu artinya Ghandara tak ingat tentang kemarin. Namun, ya, Bulan mengerti karena kemarin Ghandara nampak hancur sekali.

“I-Iya, permisi!”

“Maaf ya!!”

Langkah Bulan tertahan. Namun, ia memilih untuk tetap tidak berbalik dan hanya bergeming di tempat.

“Buku-buku kamu yang kemarin jatuh ada di atas meja kamu.”

Mata Bulan otomatis bulat membola, tangannya semakin gemetar tak keruan, padahal ia tak bersalah tapi entah kenapa ia merasa sangat takut saat ini.

“Jadi …” Bulan memberanikan diri untuk berbalik.

“Jadi?” Alis Ghandara ikut berkerut penasaran karena Bulan tak melanjutkan kalimatnya.

“Ja-jadi … maksudnya … kemarin Kak Ghan—“

“Ghan!!!” Seorang memanggil Ghandara. Mengalihkan perhatian Ghandara juga Bulan.

Tanpa permisi Ghandara memasukkan bola ke dalam ring, lalu berlari ke arah lelaki yang memanggilnya di pinggir lapangan itu, seolah Bulan ini tak nampak.

“Ya, memang selalu seperti ini. Dan ini lebih baik, tidak usah terlalu menonjol dan jalani kehidupan di sekolah dengan baik,” ucap Bulan memuji dirinya sendiri, menasihati dirinya sendiri, tapi entah apa yang salah ada rasa kecewa di dalam hatinya meski sedikit.

***

Ghandara tidak berbohong, buku-buku yang kemarin ia lupakan sekarang ada di mejanya. Padahal Bulan sudah berniat untuk meminjam catatan miliki Rara kemarin untuk ia salin ulang, dan beruntung catatan itu kini kembali kepadanya.

“Ada hubungan spesial sama Kak Ghandara ya?” Rara menyenggol lengannya berniat menggoda.

“Enggak, Ra,” tolak Bulan jujur, memang dia tidak ada hubungan yang spesial, hanya sebuah kebetulan saja.

“Anak-anak lain pada heboh tadi pagi liat Kak Ghan masuk ke kelas kita dan nanyak bangku kamu dimana,” ucap Rara lagi dengan suara yang menggebu-gebu.

Bulan termenung melihat buku di atas mejanya.

“Kamu beruntung bangett, Lan!!”

Helaan nafas panjang terdengar cukup berat keluar dari hidung Bulan. Entah ini sebuah keberuntungan atau awal dari sebuah celaka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status