Share

08 - Ekstrakulikuler

Subuh tadi Langit menangis entah sebab apa. Anak lelaki itu menangis dengan cukup keras sampai membangunkan semua saudara tirinya. Awan, Bintang juga Bulan.

“Apa badannya panas, Kak?” tanya Awan dengan nada cemas, Bintang juga ikut menunggu jawaban Bulan yang menggendong Langit sambil berusaha menidurkannya kembali.

“Tidak, jangan khawatir, kalian tidur saja lagi, Langit sudah tidak nangis lagi, kok.” Bulan tersenyum sambil menyuruh Awan untuk menyelimuti Bintang sebab udara di subuh hari masih begitu dingin tapi tidak untuk dirinya.

Lelah sekali rasanya, semakin hari Langit sudah semakin berat, dan untuk menggendong Langit butuh tenaga ekstra. Setelah Langit kembali tertidur, sambil merilekskan tulangnya Bulan melirik ke arah jam dinding yang sudah nampak usang namun masih berfungsi dengan baik.

Tidak lama lagi, mungkin sekitar empat puluh lima menit lagi ia sudah harus bangun dan menyiapkan makanan untuk adik-adiknya sebab ia harus ke sekolah. Setiap harinya Bulan selalu bangun sejam lebih awal dari waktu anak lain biasanya bangun. Karena sejam itu ia gunakan untuk membereskan rumah, belanja dan memasak untuk adik-adiknya kemudian memandikan Langit. Seperti itu setiap harinya. Setelah semua itu beres barulah dia bisa mandi dan berangkat ke sekolah.

Meski lelah, tapi Bulan tidak menemukan alasan untuk mengeluh apalagi menyerah. Bersyukur dirinya ada orang baik hati yang masih menerima dirinya bekerja walaupun ia sering ijin saat ini karena sudah bersekolah di sekolah formal. Hasil pekerjaan itu yang menghidupi mereka berempat, meski ada sebuah amplop yang selalu rutin datang entah darimana.

***

Keadaan sekolah tak sehening biasanya di telinga Bulan. Tatapan-tatapan aneh juga ia dapatkan sejak berjalan memasuki gerbang hingga ia sampai di dalam kelasnya. Rasa bingung ada, hanya saja ia memilih untuk mengabaikan. Sampai Rara yang menjelaskan kepadanya.

“Apa? Anak pemilik pabrik gula jawa?” Bulan tak habis pikir dan masih terus-terusan mengulang kalimat itu di dalam kamar mandi ini. Ia melarikan diri sebab tak tahu harus bereaksi apa terhadap tuduhan teman-temannya yang ia harapkan benar adanya.

Jadi, kemarin sore Bulan memang ada pengiriman ke salah satu rumah pembeli, ia tersesat dan pulang agak terlambat sore itu. Seorang teman yang melintas di sana melihat Bulan baru keluar dari rumah Mbok Intan yang tiada lain adalah bosnya.

Memikirkan bagaimana cara meluruskan kesalahpahaman ini membuat Bulan sedikit prustasi, sampai bel berdenting barulah ia keluar dari dalam kamar mandi.

Entah Bulan harus senang atau tidak, kesalahpahaman yang belum bisa ia luruskan itu membuat dirinya jauh lebih dihargai dari sebelumnya. Siswa-siswi yang biasanya tidak menyapa saat berpapasan, atau yang sengaja mengabaikan kalimatnya, sekarang orang-orang menjadi lebih respect kepada Bulan.

Saat hendak pergi ke kantin pun begitu. Banyak sekali dari mereka yang menawarkan untuk pergi bersama Bulan. Mungkin setidaknya Bulan diberikan kesempatan untuk merasakan hidup sebagai orang normal. Ya setidaknya dalam sehari ini, ia akan membiarkannya.

“Lihat itu!” Rara mencolek punggung Bulan yang langsung berbalik.

Suasana kantin jadi sedikit ramai saat Ghandara yang di puja-puja oleh siswi di sekolah ini datang dengan Riki juga Eko di sisi kanan dan kirinya, bagai seorang pendekar yang membawa pengawal. Meski tak terlalu menawan, Riki masih bisa dimasukkan ke dalam kategori orang tampan. Jika Eko sepertinya perlu di pikirkan ulang untuk bisa masuk ke dalam lingkaran orang tampan.

“Semua orang suka sama dia, ya?” Bulan bertanya serius, ia bingung apa yang menarik dari orang seperti Ghandara. Dari segi fisik memang Bulan akui, tapi tidak lebih dari itu. Penampilan yang selalu berantakan tidak mencerminkan murid yang baik, juga wajah songong yang selalu menyebalkan sudah cukup menjadi alasan Bulan untuk tidak menyukai lelaki itu.

Bergidik ngeri badannya saat memikirkan betapa mengerikannya jika ia sampai jatuh cinta pada lelaki itu.

Kabar baiknya juga, sepertinya Ghandara dan Tasya sudah baikan entah bagaimana ceritanya Bulan juga tak ingin tahu dan benar-benar tidak peduli pada hal itu.

“Rara,” panggil Bulan. Ia berniat untuk memberitahukan kepada Rara dahulu bagaimana situasinya saat ini. Bagaimana pun juga Rara adalah teman terdekatnya untuk saat ini. “Ra, aku—“

“Lan! Kak Ghandara liat kamu tuh!!”

Bulan tertarik untuk menatap balik kepada lelaki itu. Dan benar seperti yang dikatakan oleh Rara, lelaki itu tetap menatap Bulan meski Bulan sudah membuang muka. Untuk apa?

“Jarang banget tau gak sih, Lan, Kak Ghandara itu peduli sama orang lain kecuali kak Tasya,” oceh Rara dengan sungguh-sungguh.

Peduli apa Bulan dengan hal seperti itu, ia sama sekali tidak tertarik pada Ghandara, sosok itu malah sangat ingin ia hindari selama akan bersekolah di sini.

“Waktu SMP dia juga jadi inceran banyak gadis, dulu waktu SMP penampilan Kak Ghandara gak kayak gitu. Semenjak papah sama mamahnya cerai dia jadi berubah seratus delapan puluh derajat,” jelas Rara lagi tanpa Bulan minta.

“Ce-cerai?” Kali ini nada suara Bulan nampak tertarik.

Rara mengangguk kemudian kembali menjelaskan. “Waktu kelas dua SMP kalo gak salah, waktu itu aku kelas satu, ya bener. Mungkin itu masa-masa keterpurukannya Kak Ghandara.”

Entah kenapa, hati Bulan sedikit terenyuh. Ternyata benar kata Awan, mereka bukan yang paling menyedihkan di dunia ini. Ada banyak orang yang mempunyai masalah sama, hanya saja mereka pandai menyembunyikan apinya dengan sangat baik hingga tak di ketahui oleh orang lain.

“Oh ya, tadi mau ngomong apa?”

Bulan tersenyum kepada Rara sambil menggeleng kepala, mungkin akan ia biarkan hari ini berlalu dengan tenang.

***

Bulan tak bisa menolak, saat salah satu anggota OSIS yang dulu menarik tangannya naik ke atas panggung itu mencatat namanya untuk ikut serta bergabung dengan ekstrakulikuler musik. Padahal, Bulan lebih ingin masuk ke dalam ekstrakulikuler yang bisa membantunya baik dalam mata pelajaran terutama fisika dan biologi.

“Siang semuanya!”

Para anak-anak ikut berdiri saat suara yang tak asing memasuki ruangan kesenian. Hari ini adalah kali pertama Bulan mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. Kegiatan dilakukan sejak sore hingga petang, beruntung tadi Bulan sempat menelpon ke ponsel Mbok Intan untuk menitipkan adik-adiknya.

“Hai Bulan, kamu satu-satunya anak baru di sini!”

Bulan tersenyum canggung, ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana kecuali menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

“Anak baru? Siapa? Kenapa gak kasih tes ke anak baru?” Seorang baru saja masuk ke dalam ruangan dan mendengar percakapan singkat itu.

Suara itu sukses membuat bulu kuduk Bulan merinding. Beberapa detik kemudian mata mereka bertatapan dan mungkin Bulan benar, dunia kembali bercanda kepadanya. Dia hanya ingin damai tanpa berurusan dengan manusia-manusia seperti Ghandara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status