Share

09 - Keresahan

Bulan tak seperti ini biasanya. Menyanyi bukan hal yang sulit bagi Bulan. Tapi mengapa berdiri di depan lelaki ini membuat keringat Bulan memaksa untuk terus keluar dari dahinya. Mengerikan sekali.

“Lagu apa saja, aku hanya ingin denger nada kamu. Jangan bilang si Rey ngerekrut kamu cuman karena kamu cantik.”

Cantik? Ya tentu saja Bulan, seorang wanita memang cantik, mana ada wanita yang tampan, jangan bercanda.

“Aku hanya tau beberapa lagu lama,” ucap Bulan dengan keraguan.

Ghandara tak bersuara dalam waktu sebentar, Bulan mendongak penasaran mengapa Ghandara tidak bersuara.

“Apa aku semenakutkan itu?”

Buru-buru Bulan kembali menundukkan pandangannya ke lantai, menggerak-gerakkan sepatu hitamnya dengan canggung sambil menggeleng pelan.

“Kamu gadis aneh pertama yang aku jumpai,” ucap Ghandara. “Biasanya gadis-gadis akan berebut untuk melihat wajah tampanku, tapi kenapa kau malah ketakutan seperti itu? Aku bukan preman,” sambungnya. Mungkin Ghandara kesal karena Bulan sejak tadi menunduk, menyulitkan berkomunikasi.

Tapi yang Bulan yakini adalah, ia tidak boleh berurusan lebih lanjut kepada lelaki semacam Ghandara, sama sekali tidak boleh, ia tidak ingin mencolok di kalangan siswa.

“Jadi, kau benar-benar ingin bergabung bersama kami atau tidak? Jika kau berniat hanya ingin main-main setidaknya jangan ganggu kami. Bagi kamu, mungkin kegiatan ini hanya sebuah keisengan belaka, tapi ada seseorang yang menggantungkan hidupnya dengan ini.”

Ghandara bangkit setelah meletakkan gitarnya. Dari nada suaranya Bulan tau, Ghandara serius saat mengatakan itu. Tak ia sangka Ghandara memiliki pemikiran mendalam seperti itu.

“Akan kulakukan!” ucap Bulan. “Aku ingin bergabung.”

Ghandara menghentikan langkahnya, ia kembali menoleh ke belakang. Menatap mata Bulan yang terlihat yakin dan mantap. Kemudian ia kembali ke duduk dan mengambil gitarnya.

“Cobalah, dengan lagu apapun.”

***

Ghandara menyenderkan kepalanya di senderan kursi di ruang OSIS. Tatapannya kosong ke atas menandakan ia sedang berpikir. Entah apa yang sedang terjadi pada dirinya. Beberapa kali desahan ia keluarkan, mengganggu lelaki yang sedang bekerja di depan komputer.

“Marahan lagi?”

Ghandara menoleh sebentar tanpa berniat menjawab, ia menjawabnya di dalam hati.

“Rik, aku menemukannya.”

Riki memutar kursinya kini menghadap ke Ghandara, suara serius Ghandara berhasil mengalihkan perhatiannya.

“Ketemu? Ketemu siapa?” tanya Riki penasaran, ia tidak pernah tahu bahwa Ghandara mencari seseorang. “Orang hilang? Atau si manis?”

“Si Manis udah bahagia di alam sana, setan!!”

Mereka berbicara tentang kucing Ghandara yang mati sebulan yang lalu.

“Trsus ketemu siapa? Emang kamu lagi cari siapa?”

Alih-alih menjawab Ghandara hanya menghembuskan nafas kasar. Ia mengacak rambutnya yang memang tidak dirapikan sejak pagi kemudian merebahkan kepala ke sopa. Berharap saat matanya tertutup ia akan tertidur.

Sialnya, rekaman kejadian kemarin itu terus berulang semakin ia menutup matanya.

“Cobalah dengan lagu apapun.”

Ghandara mulai memainkan senar gitarnya, melakukan pemanasan sebelum gadis di depannya menentukan lagu apa yang akan dinyanyikannya. Namun, tak Ghandara sangka, saat ia memainkan melodi lagu kesukaannya sejak kecil itu, gadis yang ada di depannya langsung melantunkan lirik yang bahkan ia tak ingat dengan jelas.

“Kamu … suara itu … adalah kamu?”

Ghandara bangun secara tiba-tiba, membuat Riki yang duduk di dekatnya juga terlonjak kaget.

“Apaan sih!! Gak jelas banget!!” oceh Riki kesal mengelus dadanya.

“Mau ketemu mbak pacar dulu. Tasya dimana?”

“Tuh!” Riki menunjuk dengan dagunya. Kebetulan sosok yang dibicarakan datang ke ruang OSIS.

“Apa? Kalian ngomongin aku ya?” Tasya berlalu dan ditangkap oleh Ghandara ke dalam pelukannya. “Ghan!! Aku buru-buru!! Bucinnya ntar aja!” Tasya melepaskan pelukan Ghandara yang erat secara paksa.

Meski cemberut Ghandara tetap melepaskan pelukannya juga. “Padahal udah tiga hari gak manja-manjaan sama kamu,” ucapnya sedih dengan wajah preman itu membuat Riki ingin muntah karena jijik. Memang benar, Ghandara menjadi seorang manusia hanya ketika di depan Tasya.

“Ghan, kamu inget kan dua minggu lagi ada acara apa?” tanya Tasya.

Tentu saja Ghandara tidak mengingat itu. Buru-buru dia melirik ke arah Riki, mencoba mencari jawaban dan akhirnya Riki menyuruhnya untuk melihat ke arah papan kecil yang berisikan agenda kegiatan.

“Ahh inget dong! Bulan bahasa, kan?” ucap Ghandara bangga.

“Tugas kamu apa?” tanya Tasya lagi.

Ghandara yakin saat pembagian tugas ia mendengarkan dengan seksama apa saja yang menjadi tugasnya, tapi aneh sekarang ia melupakan semuanya.

“Catetannya ada di kelas, Bby,” ucapnya beralasan dan tentu saja Tasya tahu Ghandara tidak pernah mencatat saat rapat.

“Pulang sekolah pesen spanduk, jam tiga gak boleh telat.”

“Siapp, Bby!! Jam setengah tiga aku tunggu di depan kelas kamu!!”

“Jangan bolos kamu, Ghan!!” teriak Tasya dari lorong hendak kembali ke kelas.

Berbicara singkat seperti itu bersama Tasya sudah membuat Ghandara sangat bahagia, ia melupakan rasa lelah dan penatnya. Suara gadis itu selalu berhasil membuat Ghandara tersenyum setelahnya. Mungkin alasan Ghandara bertahan dari godaan semua wanita cantik yang mengincarnya adalah ini, rasa nyaman yang ia dapat dari Tasya.

“Bengong aja! Sana ke kelas!” usir Riki.

“Ehh, Rik, kirimin aku catatan hasil rapat ya, aku beneran lupa sama tugas aku!” Ghandara menepuk punggung Riki kemudian kembali ke kelas, karena sebentar lagi bel akan berbunyi dan Tasya selalu memiliki mata-mata jika Ghandara terlambat masuk ke kelas gadis itu akan kesal dan konsekuensi yang di dapat Ghandara adalah Tasya tidak mau pulang bersama dengannya. Ia benci itu.

Selepas kepergian Ghandara, Riki menghentikan jemarinya yang sibuk. Ia menatap layar ponselnya yang berisikan gambar dirinya dengan Tasya saat masih SMP dulu. Gambar yang diambil oleh mamahnya tiga tahun lalu.

“Aku rasa, saat ini aku jadi orang paling jahat di muka bumi,” ucapnya kepada benda mati di tangannya. “Gak wajar kan aku harus sedih saat liat kamu ketawa bahagia kayak gitu?”

Riki menyukai gadis itu. Namun, ia memutuskan untuk menghapus rasa itu sejak Tasya berkata ia mencintai seorang lelaki. Siapa yang salah sekarang? Riki sudah terlanjur jatuh terlalu dalam, sehingga setiap kali Tasya tersenyum di depan Ghandara, hatinya terasa pedih sekali, seperti luka yang disiram cuka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status