Sementara, mereka memiliki perbedaan usia yang cukup jauh. Terlebih, Ayra menganggap dirinya sebagai orang tua.
Hati Attar merasa resah. Pertanyaan seputar Ayra bersarang di dalam otaknya. Dia menjadi tidak mengerti dengan diri sendiri yang tiba-tiba berubah pikiran dengan begitu cepat.Sebentar lagi Attar akan bertunangan dengan kekasihnya yang baru-baru ini terjalin baik. Namun, belum lama ini tergoda dengan sosok Ayra yang mulai tumbuh menjadi dewasa.
Ayra pun menoleh dengan ekspresi wajah tanda tanya. “Hm?”Mereka berdua saling menatap lekat. Ayra tidak mengerti dengan raut wajah Attar. Tidak bisa menebak sama sekali. Tidak ada pikiran aneh sedikitpun.Di sisi lain, Attar menatap Ayra dengan tatapan sesak di hati. Ingin sekali mengatakan apa yang dia rasakan.
Kesadaran Attar kembali. Tidak ingin membuat mental Ayra menjadi kacau. Bisa jadi gadis itu akan syok jika mengetahui perasaannya yang sesungguhnya.“Habis ini segeralah tidur.” Attar mengalihkan isi otaknya. Melihat Ayra yang sudah selesai, dia membatalkan niat untuk mengatakan sesuatu. Lebih baik meneruskan hubungan dengan kekasihnya.“Iya, Pak.” Kepala Ayra kembali menunduk. Sudut matanya melihat kepergian Attar dari kamar tersebut. Semula sempat berpikir sedikit aneh. Naluri sebagai perempuan biasanya tidak salah, tetapi Ayra akhirnya mengabaikan rasa aneh yang mengganggu.***“Rendra!” Ayra memanggil nama mantannya. Dia mencegah langkah kaki Rendra yang hendak masuk ke kelas. Tepat, mereka adalah satu kelas.“Mau ngapain lagi?” sinis Rendra menatap Ayra dengan ekspresi benci.“Aku masih suka sama kamu, Ren,” ungkap gadis itu dengan mata berkaca-kaca. Tidak rela jika kekasihnya melepaskan hubungan keduanya. Perlahan Ayra meraih tangan Rendra. Berharap masih ada perasaan cinta untuknya.“Ra, kita udah putus! Kamu nggak perlu mohon-mohon gini ke aku!” Rendra menepis tangan Ayra, tetapi tidak begitu kasar. Dia menerobos tubuh Ayra dan segera masuk ke kelas. Kebetulan mereka berdua hadir pada waktu yang masih begitu pagi sehingga belum ada orang lain di ruang tersebut. Hanya ada mereka berdua.“Aku bisa jadi kayak cewek yang kamu mau, Ren. Aku akan mencoba!” Ayra menyusul langkah Rendra. Lagi-lagi menghalagi jalan lelaki itu.Namun, Rendra tetap meneruskan langkah tanpa peduli akan menabrak Ayra. Kursi Rendra berada di paling belakang. Otomatis, gadis itu memundurkan kakinya terus-menerus.Merasa begitu gemas, Rendra menyudutkan tubuh Ayra hingga menabrak dinding. “Apa yang akan kamu coba, Ra?”Ayra memulai aksi nekatnya dengan perasaan penuh gugup karena ditatap seintens itu oleh Rendra. Dia membuka kancing bajunya satu-persatu diiringi dengan napas yang memburu.“Ayra, kamu jangan nekat!” Lelaki itu panik sendiri dan menoleh ke sana kemari, ke penjuru ruang kelas. Takut jika tiba-tiba ada siswa lain yang masuk. “Aku tahu ini bukan kamu, Ra!”“Kamu suka cewek yang kayak gini 'kan, Ren?”“Iya. Aku memang suka. Tapi bukan kamu, Ra! Bukan kamu yang harus kayak gini!”Sebelum Ayra membuka kancing ke-tiganya, Rendra menutup tubuh bagian depan Ayra menggunakan jaket yang baru saja dia lepas. Kemudian lelaki itu memeluk Ayra dengan erat.***“Maafin aku, Ra,” sesal Rendra. Jauh di lubuk hatinya dia masih mencintai gadis tersebut. “Kamu masih cinta sama aku 'kan, Ren?” “Eum.” Dia mengusap rambut Ayra dengan lembut. Ini merupakan kali pertama mereka berpelukan. Di dalam kelas pula. Padahal ada CCTV yang memantau kegiatan mereka. “Jangan lakuin ini lagi, Ra. Kamu cukup jadi diri sendiri. Nggak perlu mengubah jadi orang lain.” Rendra melepas pelukan itu. Kemudian membalutkan jaket miliknya dengan lebih kencang di tubuh Ayra. “Aku mau keluar. Kamu benerin pakaianmu dulu sebelum anak-anak lain datang.” Rendra tentu saja bukan lelaki berengsek yang memanfaatkan keadaan. Terkadang memang terbawa dengan suasana liar sebab teman-teman sepergaulannya. Dia juga sering kali dirayu oleh Reti, perempuan yang selalu menyalakan mata kepada sosok Rendra. Sangat menyukai lelaki tersebut. Reti juga memiliki gaya yang Rendra suka. Namun hanya untuk bersenang-senang dan sebagai hiburan. “Kita nggak putus 'kan, Ren?” Langkah Rendra terhen
Bukan sesuatu yang seperti Ayra harapkan. Dia hanya mendapatkan pelukan hangat dari seorang Rendra. Lelaki itu paling bisa membuat hati Ayra meleleh berkali-kali.“Minta dicium, ya?” desis Rendra menggoda Ayra. Dia mengusap ujung kepala gadis di dekapannya.“Ng-nggak, kok!” bantah Ayra dengan nada sinis. Merasa dipermainkan begitu saja oleh Rendra karena sebelumnya dia merasa bahwa Rendra sungguh akan melakukan hal itu. Dalam pelukan lelaki yang resmi menjadi kekasihnya kembali, Ayra menyembunyikan wajah kesalnya. Dia memukul lengan Rendra dua kali.“Kamu belum cukup umur. Aku nunggu umurmu delapan belas tahun.”“Emang harus? Bukannya tujuh belas tahun sudah boleh?” tanya Ayra seolah sudah sangat menginginkan sentuhan lembut itu. Dia juga penasaran bagaimana rasanya. Apakah benar seperti ada ribuan kupu-kupu terbang di dalam perutnya?“Bagiku belum. Dan ingat, jangan sampai ada yang nyuri lebih dulu sebelum aku.”“Setelah kamu yang dapat lebih dulu, aku bakal dibuang, gitu?”“Nggak ju
“Maksud kamu bakal jagain aku itu apa, Ren? Apa kamu bakal bersamaku terus selama dua puluh empat jam? Gila kamu, ya?” sewot Ayra. Dia melonggarkan tautan tangannya. Sedikit memberi jarak dengan tubuh Rendra. Mencoba menatap wajah Rendra walaupun sudah tahu bahwa itu tidak akan bisa jika Rendra tidak menoleh ke samping. “Tapi boleh juga kok, Ren. Kita bisa tidur bareng, hihi.” “Ayra!” Rendra membentak, menginterupsi supaya Ayra berhenti dari sikap yang benar-benar bisa membahayakan gadis itu sendiri. Lelaki itu semakin sadar bahwa Ayra sungguh membutuhkan dirinya. Tidak akan membiarkan lelaki manapun mendekati kekasihnya. Rendra tidak berencana memutuskan Ayra lagi.“Kenapa, Ren?” Bukannya takut atau menjauhkan diri, Ayra justru semakin menempel di punggung Rendra. Meletakkan dagu di pundak lelaki itu sehingga membuat Rendra merinding.“Huh, sabar banget jadi aku. Ra, kamu bahaya banget tahu nggak, sih? Mundur dikit!” bentak Rendra. Dia benar-benar marah atas sikap Ayra kepadanya. Hal
“Astaga! Tobat gue punya cewek kayak lo. Masuk sana!” Rendra tampak mengusir keberadaan Ayra dari hadapannya supaya gadis itu segera masuk ke rumah. Rendra juga menjadi ragu untuk mampir ke sana. Takut jika Ayra terus menggodanya meskipun hanya iseng atau bergurau belaka.“Ayo, ikut.” Benar saja, Ayra bahkan sekarang sudah memeluk lengan tangan Rendra yang masih terduduk di atas motor. Lelaki itu terpaksa menuruti kemauan Ayra. Jangan sampai kekasihnya marah lagi.Dengan pasrah, Rendra mengimbangi langkah kaki Ayra yang berjalan masuk ke rumah. Tanpa mengetuk pintu karena pintu rumah mereka menggunakan sandi, Ayra dan Rendra bisa langsung masuk.Langkah kaki Rendra terhenti saat mereka melewatkan ruang tamu dan hendak menaiki anak tangga. “Stop,” pekik Rendra. Mencegah Ayra yang terus membawanya menyusuri ruangan asing baginya.“Kenapa, Ren?” Ayra mengerjapkan mata. Tidak menyadari apa kesalahannya, apa yang membuat kekasihnya itu menginterupsi mereka untuk berhenti.“Itu ruang tamuny
Ayra mendelikkan matanya, sedangkan Rendra menahan napas. Beruntung saja ada tisu yang berguna menghalangi kulit mereka. Sentuhan keduanya tidak resmi menjadi ciuman pertama. Ayra tersadar dengan kejadian mereka yang tidak disengaja. Dia reflek memundurkan diri hingga terjungkal ke lantai. Gadis itu mengaduh kesakitan sambil mengusap bokongnya yang terasa sakit. “Awh ....”Sementara itu, Rendra masih terkejut atas apa yang terjadi. “Ra, kamu nggak apa-apa?” tanya Rendra dengan khawatir. Dia menetralkan dirinya yang masih setengah sadar setelah terlelap beberapa menit. Kemudian mendekati Ayra.Ayra menggelang pelan, masih mendesis kesakitan. Rendra membantunya berdiri lalu duduk di sofa. Keduanya menjadi sedikit canggung karena kejadian baru saja.“Maaf, aku nggak tahu, Ra. Lagian kamu ngapain gangguin orang tidur?”“Kita udah ciuman, Ren,” kata Ayra dengan wajah memelas sekaligus tatapan lugu. Tidak sadar jika keberadaan dirinya membuat Rendra bergidik ngeri. Perlahan Rendra berings
Setelah Attar memasang pendengarannya, dia menangkap suara isak tangis dari dua bocah sekolah yang duduk di sofa dan tidak begitu jauh dari tempatnya berdiri. Attar terdiam sesaat. Dalam hatinya ingin sekali memisahkan mereka berdua. Enak sekali berpelukan di rumah orang lain meskipun sedang bersedih.“Ra. Kenapa kamu nggak pernah sekalipun keliatan sedih meskipun udah ditinggal pergi oleh orang tuamu?” Rendra bertanya dengan lirih. Kemudian melepas pelukan mereka berdua. Rendra menatap Ayra dengan berlinangan air mata yang masih membasahi pipinya.“Bukan gitu, Ren. Aku cuma nyembunyiin kesedihanku dari dunia. Aku nggak mau orang-orang memandangku kasihan. Aku nggak suka nunjukkin diriku di saat aku lemah.” Ayra menjelaskan dengan suara paraunya. Tangannya mengusap air mata Rendra, begitu pula sebaliknya dengan yang Rendra lakukan.“Ternyata dibalik sifatmu yang nyebelin, kamu cewek yang kuat, Ra.” Tatapan Rendra menelisik wajah Ayra sampai pandangannya bergulir ke belakang Ayra dan me
“Mana Pak?! Nggak bisa jawab, ‘kan?”“Aku.” Attar menjawab sembari menunjuk diri sendiri. “Pak Attar sakit kali, ya?” Ayra bertanya lagi dengan nada kesal penuh amarah. Lebih tepatnya itu bukan kalimat tanya, melainkan tuduhan. Kemudian Ayra pergi meninggalkan Attar dengan cara mengentakkan kakinya ke lantai. Pikiran Ayra bertambah kacau usai lelaki dewasa itu sesimpel mengatakan ‘aku’ yang maknanya tidaklah sederhana.Sementara, Attar merasa hatinya seperti tercekik kuku-kuku tajam ketika gadis yang memang membuatnya merasakan hal berbeda, melontarkan kalimat yang menunjukkan kalau dirinya sakit atau gila. Ayra pasti mengira bahwa ini hanya lelucon semata.Pada saat seperti inilah, Attar selalu tidak mampu bertindak. Jauh di lubuk hatinya, ada rasa ingin memiliki sosok Ayra untuk hidupnya meskipun itu hanya sekecil batu kerikil. Namun, keinginan tersebut lebih kuat dibanding magnet yang saling tarik menarik. Untuk sementara, sebaiknya Attar membiarkan situasi tetap seperti ini dulu.
Ayra terdiam dan bermonolog di dalam hatinya yang bertanya mengapa lelaki di hadapannya memperlakukan dirinya layaknya seorang kekasih, tetapi terkadang juga seperti anak kecil. Ayra merasakan debaran jantungnya meningkat saat berada begitu dekat dengan Attar. “Aku rasa kamu bukan demam, Ay.” “Saya nggak apa-apa, Pak.” Ayra langsung menepis kedua tangan Attar yang semakin membuat kewarasan otaknya hampir hilang. Dia duduk di depan meja. Buru-buru mengambil makanan untuk dilahap. Ayra tidak lagi menghiraukan keberadaan Attar yang masih berdiri di sebelahnya, memperhatikan dirinya. Ayra bahkan tidak tahu malu karena melahap makanan dengan cepat “Pelan-pelan. Nanti tersedak.” Attar terkekeh. Dia berujar lalu menuangkan air putih ke dalam gelas kosong di sebelah piring makan Ayra. Kemudian Attar menempati kursi yang ada di depan Ayra. Pria itu mulai mengambil nasi sambil matanya menatap kegiatan Ayra. Mendapatkan perlakuan yang akhir-akhir ini terasa berbeda, sebenarnya Ayra ingin mem