Share

Bab 4

“Apa kamu bilang?”

“Iya! Biar saya nggak dibuli lagi sama orang-orang di sekeliling.”

Attar segera mengecilkan api kompor lalu berjalan menuju Ayra. Membungkuk dengan menyangga tubuhnya menggunakan dua tangan tepat di depan bocah sekolah itu. Wajahnya sengaja dibuat jarak sedekat itu dengan wajah gadis di sepannya.

“Tugas kamu sekolah. Jangan memaksakan apapun yang nggak kamu inginkan, yang belum kamu sanggupi. Jika dunia itu membuatmu takut, menjauhlah.” Attar terus memajukan wajahnya hingga membuat Ayra harus mundur meskipun dia menahan badannya sendiri sebab kursi yang dia duduki tidak memiliki sandaran.

“Saya juga- maunya gitu, Pak.” Gadis itu menahan napasnya sedikit gugup.

Sekarang kegugupan Ayra bertambah saat Attar mengambil potongan buah di meja. Kemudian menyuapkannya ke mulut Ayra. Attar masih terus menatap mata gadis tersebut dengan tatapan tajam.

“Aku menunggumu jatuh cinta padaku, Ay. Dengan begitu, kamu akan tahu berbagai dunia dewasa bersamaku.”

“Uhhuk uhhuk!”

Tentu saja Ayra tidak merasa baik-baik saja. Ungkapan lelaki di depannya membuat jantung memompa lebih cepat. Meskipun dia punya pemikiran yang lugu, kalimat Attar berhasil dimengerti dengan mudah.

Menyadari Ayra yang terbatuk akibat ulahnya, Attar segera memundurkan diri dan menjauh. Dia kembali ke dekat kompor untuk menambahkan penyedap rasa, terakhir mengangkat makanan yang sudah matang.

Dulu tidak ada yang namanya interaksi hingga sedekat ini. Ayra pun kaget dengan sikap Attar. Ternyata perlakuan seperti ini masih terus berlanjut dari beberapa jam yang lalu. Semula dia kira kalau Attar hanya bergurau semata. Ternyata hal itu berhasil membuat jantung Ayra terus berdetak lebih kencang dari sebelumnya.

“Ayo makan.” Attar mengatur tata letak makanan dan peralatan lain di atas meja. Sambil melakukan itu, dia tidak henti-hentinya memperhatikan wajah Ayra yang merah dan menunduk. Mungkinkah dia telah berhasil menggoda gadis tersebut? Jika benar, kasihan juga Ayra yang masih bocah. Takutnya akan menjadi beban pikiran dan mengganggu mentalnya.

“Jangan terlalu dipikirkan, Ay. Makan dulu. Selama ini kita memang nggak pernah sedekat ini. Mungkin kamu kaget jika mendapatkan perlakuan seperti tadi. Maaf,” ungkap Attar sedikit menyesali perbuatannya. Dia terus memastikan keadaan Ayra agar baik-baik saja. Bagaimanapun, Ayra masih anak kecil di matanya.

“I-iya, Pak.” Akhirnya gadis itu mengangkat wajahnya kemudian mulai mengambil nasi dan juga sayur. Ucapan Attar masih saja terngiang dalam ingatannya. Andai saja tidak merasa lapar, Ayra pasti sudah pergi dari sana. Entah mengapa dia merasakan suasana menjadi sedikit berbeda dari sebelum-sebelumnya.

“Pak Attar,” panggil Ayra di tengah kegiatan mereka. Dia menghentikan kunyahannya beberapa saat selagi mengundang atensi orang di depannya. Ada sesuatu yang harus disampaikan.

“Hm? Kenapa, Ay?”

“Besok saya harus melunasi SPP sama bayar buku-buku yang belum lunas.”

“Oke. Nanti ke kamarku saja.”

Bukan jawaban itu yang Ayra inginkan. Sekarang otaknya berpikir keras. Pergi ke kamarnya? Semoga saja memang benar hanya untuk dikasih uang. Bukan untuk macam-macam. Mengingat lelaki pemilik surai hitam kecoklatan itu baru-baru ini mulai bersikap posesif terhadapnya.

Ayra menurunkan pandangan. Kembali ke arah piringnya. Sedikit mengangguk sebagai respon. Otaknya masih sibuk memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak akan terjadi. Attar saja sekarang masih fokus dengan makanan di piring. Tanpa ada ekspresi mencurigakan sama sekali.

“Ayra?” panggil Attar tiba-tiba. Membuyarkan lamunan Ayra. “Makanannya nggak enak? Kenapa masih banyak gitu? Biasanya kamu selalu lahap kalau makan. Kenapa? Ada masalah?”

“Nggak ada, Pak.” Situasi seperti ini sekarang sangat dibenci oleh gadis berambut panjang itu. Dia tidak suka canggung dengan siapapun. Lantas siapa yang harus disalahkan? Apakah Attar? Ataukah dirinya sendiri yang terlalu menanggapi Attar?

Siapa tahu lelaki dewasa itu hanya bercanda. Mana mungkin serius dengan bocah SMA yang bahkan masih terlihat tengil?

“Nggak usah khawatir. Nanti aku kasih uang SPP lebih. Sekalian uang jajan sama belanja. Kalau gitu, selesai makan langsung ke kamarku saja.”

Selesai makan, Attar langsung pergi ke kamar karena masih ada urusan lain yang harus dikerjakan.

“Iya, Pak,” jawab Ayra setelah memaksakan diri mengangguk pelan. Buru-buru menghabiskan makanan. Dia bahkan sempat lupa dengan rasa lapar yang masih bersarang.

Ayra tetap saja belum terbiasa dengan kondisi yang tiba-tiba seakan menyerang dirinya. Attar yang selalu menggunakan bahasa ‘saya’ berubah menjadi ‘aku’. Rasanya terdengar aneh. Dia bahkan merasa bukan gadis spesial untuk pria di sana yang telah mengajak sebuah pernikahan. Itu hanya gurauan semata, bukan? Akan tetapi, entah mengapa relung hatinya terasa sedikit sakit bila memang Attar hanya bercanda?

***

Ayra mengetuk pintu kamar milik Attar tanpa memanggil nama lelaki itu.

“Masuk, Ay,” jawab seseorang dari dalam kamar yang pintunya sudah terbuka sedikit.

Ini kali pertama bagi Ayra memasuki kamarnya Attar. Ayra yakin kalau Attar hanya akan memberikan uang untuknya. Bukan melakukan hal aneh lainnya.

Ayra mendorong daun pintu agar terbuka lebar. Kemudian masuk secara perlahan. Matanya disambut dengan pemandangan malam luar kamar yang tembus melalui kaca bening berukuran besar.

Lampu di dalam kamar memiliki nuansa hangat, tidak begitu terang.

Gadis berhidung sempit itu mengedarkan pandangan guna mencari keberadaan sosok Attar. Ada suara, tetapi wujudnya tidak tampak. Lantas, di manakah dia?

Ayra sedikit menerka. Mungkin saja Attar sedang berada di dalam walk in closet? Ayra tidak berani masuk ke sana karena itu pasti ruangan pribadi.

“Ay? Duduk sini.”

Benar saja. Attar terlihat keluar dari ruangan yang telah ditebak tadi sembari membawa sebuah kemeja yang dilipat rapi. Kemudian berdiri di depan nakas guna mencari sesuatu di laci.

Sesudahnya, Attar menepuk kasur agar Ayra mau duduk di sana. Dia hendak meminta bantuan pada Ayra.

“Du-duduk, Pak?” Ayra terkejut.

Tolonglah. Attar menyuruh Ayra untuk duduk di kasur milik lelaki itu. Bagaimana Ayra mau menurutinya? Sementara otaknya sedang berperang sendiri. Namun sejenak kemudian masa bodoh dengan pikiran yang pasti tidak benar itu.

Attar tidak akan mungkin berbuat macam-macam kepada Ayra, 'kan? Terlebih, dia sangat dijaga selama ini.

“Iya. Sini.” Attar meletakkan kemeja di atas kasur.

Sejujurnya, pikiran negatif Ayra tidak akan muncul jika Attar tidak pernah mengajaknya menikah ataupun memperlakukan hal yang membuat jantung gadis itu bekerja lebih cepat.

Ayra pun menurut saja. Sikap lugunya kembali. Tidak ada lagi yang namanya prasangka buruk. Dia duduk tepat di sebelah kemeja.

Attar memberikan tas kecil kepada Ayra. “Ay, tolong jahitkan kancing baju kemeja ini. Ada beberapa yang lepas. Bisa, kan?”

Melihat itu, Ayra memaklumi jika dia disuruh untuk menolong Attar dalam urusan menjahit. “Bisa, Pak,” kata Ayra sambil menerima tas kecil tersebut. Membuka dan langsung mengambil benang serta jarum jahit tangan.

Setelah berhasil memasukkan benang ke lubang jarum, Ayra meraih kemeja di sebelahnya. Meneliti kancing mana yang terlepas. Ternyata semuanya masih utuh. Tidak ada yang lepas. Hanya saja, sangat kendur dan minta dijahit ulang.

Di sisi lain, Attar duduk di sebelah Ayra dengan jarak yang tidak begitu dekat. Lelaki itu terlihat sedang mengeluarkan uang dari dompet tebal milik sendiri.

“Berapa, Ay?”

“Maaf? Berapa apanya, Pak?”

“Kamu butuh uang berapa untuk membayar semua kebutuhan sekolah sama jajan kamu?”

“Kalau untuk uang sekolahnya sendiri, lima juta, Pak. Itu sudah total sama bayar acara kelulusan.”

“Terus? Uang jajan kamu berapa?”

Ayra tidak merespon. Selama ini, uang yang Attar berikan kepadanya tidak pernah kurang untuk jajan. Rasanya tidak enak untuk meminta dengan menyebutkan nominal. Berapapun yang Attar kasih akan dia terima.

“Kalau begitu ... aku kasih sepuluh juta. Cukup?”

“Ini lebih dari cukup, Pak. Kenapa banyak sekali? Saya sekolah paling tinggal dua bulan lagi. Bapak nggak minta saya untuk mengganti uang ini dengan hal lain, 'kan?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status