Share

Bab 4

Author: Eyn Wija
last update Last Updated: 2022-04-06 12:04:38

“Apa kamu bilang?”

“Iya! Biar saya nggak dibuli lagi sama orang-orang di sekeliling.”

Attar segera mengecilkan api kompor lalu berjalan menuju Ayra. Membungkuk dengan menyangga tubuhnya menggunakan dua tangan tepat di depan bocah sekolah itu. Wajahnya sengaja dibuat jarak sedekat itu dengan wajah gadis di sepannya.

“Tugas kamu sekolah. Jangan memaksakan apapun yang nggak kamu inginkan, yang belum kamu sanggupi. Jika dunia itu membuatmu takut, menjauhlah.” Attar terus memajukan wajahnya hingga membuat Ayra harus mundur meskipun dia menahan badannya sendiri sebab kursi yang dia duduki tidak memiliki sandaran.

“Saya juga- maunya gitu, Pak.” Gadis itu menahan napasnya sedikit gugup.

Sekarang kegugupan Ayra bertambah saat Attar mengambil potongan buah di meja. Kemudian menyuapkannya ke mulut Ayra. Attar masih terus menatap mata gadis tersebut dengan tatapan tajam.

“Aku menunggumu jatuh cinta padaku, Ay. Dengan begitu, kamu akan tahu berbagai dunia dewasa bersamaku.”

“Uhhuk uhhuk!”

Tentu saja Ayra tidak merasa baik-baik saja. Ungkapan lelaki di depannya membuat jantung memompa lebih cepat. Meskipun dia punya pemikiran yang lugu, kalimat Attar berhasil dimengerti dengan mudah.

Menyadari Ayra yang terbatuk akibat ulahnya, Attar segera memundurkan diri dan menjauh. Dia kembali ke dekat kompor untuk menambahkan penyedap rasa, terakhir mengangkat makanan yang sudah matang.

Dulu tidak ada yang namanya interaksi hingga sedekat ini. Ayra pun kaget dengan sikap Attar. Ternyata perlakuan seperti ini masih terus berlanjut dari beberapa jam yang lalu. Semula dia kira kalau Attar hanya bergurau semata. Ternyata hal itu berhasil membuat jantung Ayra terus berdetak lebih kencang dari sebelumnya.

“Ayo makan.” Attar mengatur tata letak makanan dan peralatan lain di atas meja. Sambil melakukan itu, dia tidak henti-hentinya memperhatikan wajah Ayra yang merah dan menunduk. Mungkinkah dia telah berhasil menggoda gadis tersebut? Jika benar, kasihan juga Ayra yang masih bocah. Takutnya akan menjadi beban pikiran dan mengganggu mentalnya.

“Jangan terlalu dipikirkan, Ay. Makan dulu. Selama ini kita memang nggak pernah sedekat ini. Mungkin kamu kaget jika mendapatkan perlakuan seperti tadi. Maaf,” ungkap Attar sedikit menyesali perbuatannya. Dia terus memastikan keadaan Ayra agar baik-baik saja. Bagaimanapun, Ayra masih anak kecil di matanya.

“I-iya, Pak.” Akhirnya gadis itu mengangkat wajahnya kemudian mulai mengambil nasi dan juga sayur. Ucapan Attar masih saja terngiang dalam ingatannya. Andai saja tidak merasa lapar, Ayra pasti sudah pergi dari sana. Entah mengapa dia merasakan suasana menjadi sedikit berbeda dari sebelum-sebelumnya.

“Pak Attar,” panggil Ayra di tengah kegiatan mereka. Dia menghentikan kunyahannya beberapa saat selagi mengundang atensi orang di depannya. Ada sesuatu yang harus disampaikan.

“Hm? Kenapa, Ay?”

“Besok saya harus melunasi SPP sama bayar buku-buku yang belum lunas.”

“Oke. Nanti ke kamarku saja.”

Bukan jawaban itu yang Ayra inginkan. Sekarang otaknya berpikir keras. Pergi ke kamarnya? Semoga saja memang benar hanya untuk dikasih uang. Bukan untuk macam-macam. Mengingat lelaki pemilik surai hitam kecoklatan itu baru-baru ini mulai bersikap posesif terhadapnya.

Ayra menurunkan pandangan. Kembali ke arah piringnya. Sedikit mengangguk sebagai respon. Otaknya masih sibuk memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak akan terjadi. Attar saja sekarang masih fokus dengan makanan di piring. Tanpa ada ekspresi mencurigakan sama sekali.

“Ayra?” panggil Attar tiba-tiba. Membuyarkan lamunan Ayra. “Makanannya nggak enak? Kenapa masih banyak gitu? Biasanya kamu selalu lahap kalau makan. Kenapa? Ada masalah?”

“Nggak ada, Pak.” Situasi seperti ini sekarang sangat dibenci oleh gadis berambut panjang itu. Dia tidak suka canggung dengan siapapun. Lantas siapa yang harus disalahkan? Apakah Attar? Ataukah dirinya sendiri yang terlalu menanggapi Attar?

Siapa tahu lelaki dewasa itu hanya bercanda. Mana mungkin serius dengan bocah SMA yang bahkan masih terlihat tengil?

“Nggak usah khawatir. Nanti aku kasih uang SPP lebih. Sekalian uang jajan sama belanja. Kalau gitu, selesai makan langsung ke kamarku saja.”

Selesai makan, Attar langsung pergi ke kamar karena masih ada urusan lain yang harus dikerjakan.

“Iya, Pak,” jawab Ayra setelah memaksakan diri mengangguk pelan. Buru-buru menghabiskan makanan. Dia bahkan sempat lupa dengan rasa lapar yang masih bersarang.

Ayra tetap saja belum terbiasa dengan kondisi yang tiba-tiba seakan menyerang dirinya. Attar yang selalu menggunakan bahasa ‘saya’ berubah menjadi ‘aku’. Rasanya terdengar aneh. Dia bahkan merasa bukan gadis spesial untuk pria di sana yang telah mengajak sebuah pernikahan. Itu hanya gurauan semata, bukan? Akan tetapi, entah mengapa relung hatinya terasa sedikit sakit bila memang Attar hanya bercanda?

***

Ayra mengetuk pintu kamar milik Attar tanpa memanggil nama lelaki itu.

“Masuk, Ay,” jawab seseorang dari dalam kamar yang pintunya sudah terbuka sedikit.

Ini kali pertama bagi Ayra memasuki kamarnya Attar. Ayra yakin kalau Attar hanya akan memberikan uang untuknya. Bukan melakukan hal aneh lainnya.

Ayra mendorong daun pintu agar terbuka lebar. Kemudian masuk secara perlahan. Matanya disambut dengan pemandangan malam luar kamar yang tembus melalui kaca bening berukuran besar.

Lampu di dalam kamar memiliki nuansa hangat, tidak begitu terang.

Gadis berhidung sempit itu mengedarkan pandangan guna mencari keberadaan sosok Attar. Ada suara, tetapi wujudnya tidak tampak. Lantas, di manakah dia?

Ayra sedikit menerka. Mungkin saja Attar sedang berada di dalam walk in closet? Ayra tidak berani masuk ke sana karena itu pasti ruangan pribadi.

“Ay? Duduk sini.”

Benar saja. Attar terlihat keluar dari ruangan yang telah ditebak tadi sembari membawa sebuah kemeja yang dilipat rapi. Kemudian berdiri di depan nakas guna mencari sesuatu di laci.

Sesudahnya, Attar menepuk kasur agar Ayra mau duduk di sana. Dia hendak meminta bantuan pada Ayra.

“Du-duduk, Pak?” Ayra terkejut.

Tolonglah. Attar menyuruh Ayra untuk duduk di kasur milik lelaki itu. Bagaimana Ayra mau menurutinya? Sementara otaknya sedang berperang sendiri. Namun sejenak kemudian masa bodoh dengan pikiran yang pasti tidak benar itu.

Attar tidak akan mungkin berbuat macam-macam kepada Ayra, 'kan? Terlebih, dia sangat dijaga selama ini.

“Iya. Sini.” Attar meletakkan kemeja di atas kasur.

Sejujurnya, pikiran negatif Ayra tidak akan muncul jika Attar tidak pernah mengajaknya menikah ataupun memperlakukan hal yang membuat jantung gadis itu bekerja lebih cepat.

Ayra pun menurut saja. Sikap lugunya kembali. Tidak ada lagi yang namanya prasangka buruk. Dia duduk tepat di sebelah kemeja.

Attar memberikan tas kecil kepada Ayra. “Ay, tolong jahitkan kancing baju kemeja ini. Ada beberapa yang lepas. Bisa, kan?”

Melihat itu, Ayra memaklumi jika dia disuruh untuk menolong Attar dalam urusan menjahit. “Bisa, Pak,” kata Ayra sambil menerima tas kecil tersebut. Membuka dan langsung mengambil benang serta jarum jahit tangan.

Setelah berhasil memasukkan benang ke lubang jarum, Ayra meraih kemeja di sebelahnya. Meneliti kancing mana yang terlepas. Ternyata semuanya masih utuh. Tidak ada yang lepas. Hanya saja, sangat kendur dan minta dijahit ulang.

Di sisi lain, Attar duduk di sebelah Ayra dengan jarak yang tidak begitu dekat. Lelaki itu terlihat sedang mengeluarkan uang dari dompet tebal milik sendiri.

“Berapa, Ay?”

“Maaf? Berapa apanya, Pak?”

“Kamu butuh uang berapa untuk membayar semua kebutuhan sekolah sama jajan kamu?”

“Kalau untuk uang sekolahnya sendiri, lima juta, Pak. Itu sudah total sama bayar acara kelulusan.”

“Terus? Uang jajan kamu berapa?”

Ayra tidak merespon. Selama ini, uang yang Attar berikan kepadanya tidak pernah kurang untuk jajan. Rasanya tidak enak untuk meminta dengan menyebutkan nominal. Berapapun yang Attar kasih akan dia terima.

“Kalau begitu ... aku kasih sepuluh juta. Cukup?”

“Ini lebih dari cukup, Pak. Kenapa banyak sekali? Saya sekolah paling tinggal dua bulan lagi. Bapak nggak minta saya untuk mengganti uang ini dengan hal lain, 'kan?”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Goodbye School   Bab 136 (SELESAI)

    Bunyi bel rumah membuat Ayra berjalan cepat menuju ke pintu untuk segera membukakannya. “Iya sebentar!” teriaknya sembari menuruni tangga. “Siapa sih, pagi-pagi gini udah ada yang datang? Kalau itu tamu kurang sopan, sih. Tapi kalau Mbok Inah nggak mungkin datang sepagi ini,” gumamnya dengan heran. Pasalnya, tidak biasanya ada orang yang datang ke rumahnya saat hari masih begitu pagi. Langit pun baru terlihat sedikit terang. Ayra meninggalkan Attar yang tadi masih rebahan di kasur. Dia meraih gagang pintu lalu membukanya. Betapa terkejut Ayra saat dia mendapati wajah seorang wanita yang berdiri di depan pintu dengan penampilan lebih menarik dibanding dirinya. Melihat wajah wanita itu, Ayra langsung menahan amarahnya yang seketika menggebu. Ada urusan apa lagi dengan wanita itu? Kendati demikian, Ayra harus belajar untuk bersabar. Dia terpaksa memasang wajah senyum. “Mbak Sania? Ada apa?” Ayra sadar bahwa semenjak mendengar kabar Sania dirawat di rumah sakit, kini sudah berlalu sel

  • Goodbye School   Bab 135

    “Coba jelasin.”“Kok kamu keliatan nggak suka gitu, Mas? Harusnya senang?”“Bu-bukannya aku nggak suka. Tapi aku kaget aja.”“Loh, kaget kenapa, Mas?” Ayra menuntut penjelasan atas reaksi suaminya yang terlihat membingungkan setelah dia menyatakan kalau Attar akan menjadi calon ayah. Seharusnya lelaki manapun akan merasa senang dan bangga mengetahui istrinya yang tengah hamil.“Maksud dari perkataanmu tadi ... kamu hamil?” tanya Attar untuk memastikan kembali.Kepala Ayra mengangguk.“Dari mana kamu tahu?”“Aku udah cek tadi sambil nungguin kamu pulang.”“Loh, tapi ‘kan aku pergi buat beli test pack. Kamu dapat alat itu dari mana?”“Makanya kalau mau apa-apa itu tanya atau bicara dulu sama istrinya. Ya aku masih nyimpen test pack lah! Aku punya stok banyak.” Ayra nyaris dibuat emosi oleh suaminya.“Oh ... jadi ... kamu beneran hamil?” Attar masih saja seperti orang linglung.“Ih! Mas Attar kok gitu reaksinya?!” teriak Ayra sambil memukul dada Attar dengan keras karena benar-benar kesa

  • Goodbye School   Bab 134

    “Ay, sampai sekarang aku merasa masih punya hutang sama dia. Aku merasa sangat bersalah. Aku merasa berdosa karena perbuatanku waktu itu. Aku harap kamu ngerti.” Attar menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa gelisah sekaligus cemas. Takut apabila Ayra semakin marah.“Jadi ... kamu diam-diam masih mikirin dia, Mas?” Ayra mengusap air matanya yang menetes lagi, menyapu pori-pori di kulit wajahnya.Hati kecil Attar ingin sekali berteriak. Dia tidak bermaksud seperti itu. Namun dia gagal menyampaikan kepada Ayra dan wanita itu semakin salah paham terhadapnya.“Ay, kenapa kamu mikir sejauh itu?” tanya Attar sembari melangkah, mendekati Ayra. Kemudian perlahan meraih wajah Ayra dan berakhir memeluk tubuh istrinya.Tangis Ayra seketika pecah. Suaranya menggema di ruang tamu, teredam oleh dada Attar. Lelaki itu mempererat pelukannya.“Aku minta maaf. Ini salahku.”“Aku cuma takut kalau kamu diam-diam menjalin hubungan atau punya perasaan dengan wanita lain, Mas. Aku nggak mau sampai itu terjad

  • Goodbye School   Bab 133

    “Dari mana aja kamu, Mas?” tanya Ayra dengan nada dingin.Attar baru saja masuk ke rumah. Dia langsung mematung seketika mendapati istrinya berdiri tak jauh dari meja tamu, dengan posisi membelakanginya. Di sana sudah tidak ada kedua orang tuanya. Kemungkinan besar, ayah dan ibunya Attar sudah masuk ke kamar karena hari sudah berganti menjadi malam. Attar pergi selama kurang lebih dua jam.Keberanian Attar menciut. Terlebih lagi, Ayra terus memunggungi dirinya. Dapat disimpulkan bahwa wanita itu sungguh marah padanya.“Ay, aku habis—”“Siapa yang kamu bayarkan di rumah sakit?” Ayra memotong perkataan Attar dan ucapannya itu membuat sang suami menelan saliva dengan berat.Dari mana Ayra bisa tahu?Kini Ayra berbalik badan. Dia tidak mendengar jawaban dari Attar dan rasa kecewa itu terus menyelimuti hatinya hingga membuat napas Ayra terasa sesak.“Ayo jawab, Mas! Ada yang kamu sembunyiin dari aku? Jangan-jangan ada wanita lain yang diam-diam menjalin hubungan sama kamu di belakangku. Ta

  • Goodbye School   Bab 132

    “Mas? Kamu pergi? Jangan lama-lama, ya?” Ayra menyahut dari kejauhan sana.“Iya, Sayang. Nggak akan lama kok.”“Oke. Aku tunggu di rumah. Setengah jam lagi harus nyampe rumah. Daah.” Ayra mematikan panggilan secara sepihak.Sedang Attar menggigit bibir bawahnya. Perjalanan dia menuju rumah sakit terdekat saja memakan waktu sekitar dua puluh menit. Belum lagi dia harus menggunakan waktunya lagi untuk membeli makanan yang Ayra inginkan. Perjalanan pulang juga kembali memakan waktu.“Aku harus mencari cara supaya Ayra nggak marah. Atau aku harus mencari cara supaya bisa mencari alasan yang masuk akal kenapa aku bisa lama.” Attar bermonolog dalam hatinya.Attar kembali menoleh ke arah Sania. Wanita itu terlihat begitu malang. Ada apa dengan Sania? Mengapa terlihat rapuh seperti itu? Apakah terjadi sesuatu padanya?Attar mengontrol pikirannya. Itu bukan hak dan urusannya. Hanya saja, dia sedikit penasaran atas apa yang terjadi pada wanita yang ditempatkan di jok belakangnya.Dua puluh meni

  • Goodbye School   Bab 131

    “Ayra tidur?” tanya Sarah saat Attar kembali turun ke ruang tamu menemui kedua orang tuanya yang masih duduk di sana.“Iya, Bu. Badannya lagi kurang sehat. Mungkin dia sakit karena kecapekan.” Attar menjawab. Dia mengembuskan napas berat saat mengingat kalau keadaan istrinya saat ini sedang kurang baik meskipun jauh di lubuk hatinya, Attar merasa seperti ada kabar bahagia yang sebentar lagi hadir di rumah tangga mereka.“Jangan-jangan istri kamu nggak enak badan bukan cuma karena perjalanan aja? Gimana kalau ternyata Ayra sedang isi? Coba cek kehamilan,” usul Sarah yang langsung disetujui oleh suaminya.“Aku setuju banget, Bu. Attar, lebih baik sekarang kamu pergi ke apotek terdekat dan beli test pack. Nanti malam coba tes kehamilan. Ayah yakin kalau ini pertanda baik.”Attar mengalihkan perhatiannya ke wajah sang ayah. Dia belum sempat duduk dengan benar, tetapi perkataan ayahnya seakan menggugah hatinya untuk segera pergi ke suatu tempat dan mendapatkan alat kecil yang sedang dibica

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status