Dalam pelukan lelaki yang resmi menjadi kekasihnya kembali, Ayra menyembunyikan wajah kesalnya. Dia memukul lengan Rendra dua kali.
“Kamu belum cukup umur. Aku nunggu umurmu delapan belas tahun.”“Emang harus? Bukannya tujuh belas tahun sudah boleh?” tanya Ayra seolah sudah sangat menginginkan sentuhan lembut itu. Dia juga penasaran bagaimana rasanya. Apakah benar seperti ada ribuan kupu-kupu terbang di dalam perutnya?“Bagiku belum. Dan ingat, jangan sampai ada yang nyuri lebih dulu sebelum aku.”“Setelah kamu yang dapat lebih dulu, aku bakal dibuang, gitu?”“Nggak juga, My Girl,” tutur Rendra membuat hati Ayra semakin meleleh. Panggilan ‘My Girl’ merupakan pertanda bahwa Rendra benar-benar sedang berada dalam mode baik terhadap hubungan mereka.“Aku percaya, Ren.”“Ra, kamu sejak dulu nggak ada rencana bikin nama panggilan kesayangan buat aku?” protes Rendra sambil menjauhkan wajahnya supaya bisa melihat wajah Ayra secara lebih jelas.Ayra mendongak seraya memamerkan senyuman indahnya. “Nggak bakal. Sebelum kamu nyium aku, nggak akan aku buatin nama panggilan,” ujar Ayra kemudian menjulurkan ujung lidahnya.Hal itu justru semakin menggoda Rendra untuk menyerang gadis di depannya saat itu juga. Akan tetapi, Rendra selalu memegang prinsip diri sendiri untuk tidak melakukan sesuatu sebelum mereka benar-benar dewasa. Apalagi Ayra adalah kekasihnya. Gadis yang sangat dia cintai.Rendra benar-benar harus menjaga Ayra. Lagipula, Rendra bisa saja kebablasan jika sudah sekali saja memenuhi permintaan Ayra. Mungkin bisa lebih dari sekadar itu.
“Jangan bikin aku gila, Ra. Aku takut kamu hamil muda.” Rendra berniat ingin menakuti Ayra supaya tidak lagi berani menggodanya.“Kalau hamilnya sama kamu, aku nggak masalah, Ren.” Tidak mampu dimengerti lagi. Sepertinya otak Ayra isinya benar-benar hanya Rendra. Gadis itu bukannya takut, justru semakin menantang dengan entengnya.“Ayra! Kamu itu perempuan. Jaga image sedikit aja bisa, 'kan?! Apalagi di depan pacar! Bayangin kalau kita lagi terjebak di dalam kamar berdua. Aku pastikan kamu habis sama aku, Ra!” Rendra kembali dibuat frustrasi. Dia mengguncangkan tubuh Ayra supaya sadar dengan apa yang baru dikatakan itu sangatlah berbahaya. Beruntung saja gadis itu tidak bertemu dengan lelaki hidung belang.Ayra menghela napas dengan santai. Kemudian dia mengambil tas miliknya yang masih berada di bahu Rendra. Ayra bahkan tidak merespon ucapan Rendra sebelumnya. Padahal kalimat itu bisa saja membuat Ayra semakin tergila-gila karena kepedulian Rendra yang masih bisa menjaganya.“Anterin aku pulang.” Sepenggal kalimat yang terdengar tidak seperti permintaan, tetapi pada kenyataannya Ayra meminta. Gadis itu membelai wajah Rendra dan mendekat sedekat mungkin hingga ujung hidung mereka bersentuhan.Sementara, Rendra dibuat ketar-ketir oleh aksi kekasihnya. Lelaki itu memejamkan mata guna menormalkan akalnya. Jangan sampai tergoda. Tahan. Memiliki kekasih bernama Ayra yang tadinya lugu, kenapa jadi menggoda seperti ini?Jujur saja, Rendra belum pernah berciuman dengan siapapun. Dia simpan untuk melakukannya bersama Ayra nanti saat mereka sudah menikah. Namun, entah mengapa Ayra justru membuatnya ingin bertindak sebelum menikah.
Rendra balas menangkup kedua belah pipi Ayra. Kemudian dia sedikit mendorong gadis itu dan mengatakan, “ayo, pulang. Aku antar kamu sampai rumah.”“Beneran? Yeay!” girang Ayra sambil mengangkat kedua tangan layaknya anak kecil. Wajahnya sungguh tampak menggemaskan. Sebahagia itulah.Selama ini Rendra tak pernah mengantarkan Ayra pulang. Padahal gadis itu sudah menjelaskan dengan siapa dia tinggal. Bukankah itu membuat hubungan mereka bebas? Bahkan jika Rendra mau masuk ke rumah Attar sampai ke dalam kamar Ayra pun, dirasa aman-aman saja. Jika Mbok Inah bertanya, jawab saja hendak mengerjakan tugas. Meskipun aslinya entah apa yang akan mereka berdua perbuat.
Ayra mengambil helm yang bertengger di atas spion motor miliknya. Selanjutnya menghampiri di mana Rendra berparkir. Mereka berdua mulai menumpangi kendaraan beroda dua itu dan meninggalkan area sekolah.***“Aku nyaman banget sama kamu, Ren. Ayo kita nikah,” ucap Ayra antusias. Kedua tangannya melingkar di perut Rendra. Otomatis, tubuhnya tiada jarak dengan pria remaja di depannya.Rendra semakin mengeratkan lengan tangan Ayra di perutnya. Rasanya memang sangat nyaman hingga dia memejamkan mata setengah detik. Jantungnya mampu merasakan kembali debaran hebat. Darahnya berdesir hangat.“Aku akan nikahin kamu ketika umur kita udah dua puluh delapan tahun, Ra. Aku harus ngejar sarjana sampai magister.” Rendra menyampingkan wajah untuk berbicara dengan Ayra agar suaranya bisa terdengar.“Aa! Kelamaan. Aku maunya lulus sekolah kita langsung nikah,” rengek gadis di belakang Rendra seperti anak kecil yang meminta es krim.“Ra. Kenapa sekarang omongan kamu jadi sering ngaco gini? Apa karena kamu takut diputus lagi?”“Makanya jangan pernah putusin aku lagi.” Arya menggumam dengan manja.“Iya, Ra. Maaf. Tingkahmu ini jangan sampai ketemu sama lelaki hidung belang. Aku bakal jagain kamu,” ujar Rendra dengan tulus. Penyesalan datang padanya ketika masih saja tergoda untuk mencoba-coba dekat dengan wanita berpenampilan dewasa. Seharusnya dia juga menjaga diri. Bukan hanya menjaga Ayra untuk dirinya sendiri.***“Maksud kamu bakal jagain aku itu apa, Ren? Apa kamu bakal bersamaku terus selama dua puluh empat jam? Gila kamu, ya?” sewot Ayra. Dia melonggarkan tautan tangannya. Sedikit memberi jarak dengan tubuh Rendra. Mencoba menatap wajah Rendra walaupun sudah tahu bahwa itu tidak akan bisa jika Rendra tidak menoleh ke samping. “Tapi boleh juga kok, Ren. Kita bisa tidur bareng, hihi.” “Ayra!” Rendra membentak, menginterupsi supaya Ayra berhenti dari sikap yang benar-benar bisa membahayakan gadis itu sendiri. Lelaki itu semakin sadar bahwa Ayra sungguh membutuhkan dirinya. Tidak akan membiarkan lelaki manapun mendekati kekasihnya. Rendra tidak berencana memutuskan Ayra lagi.“Kenapa, Ren?” Bukannya takut atau menjauhkan diri, Ayra justru semakin menempel di punggung Rendra. Meletakkan dagu di pundak lelaki itu sehingga membuat Rendra merinding.“Huh, sabar banget jadi aku. Ra, kamu bahaya banget tahu nggak, sih? Mundur dikit!” bentak Rendra. Dia benar-benar marah atas sikap Ayra kepadanya. Hal
“Astaga! Tobat gue punya cewek kayak lo. Masuk sana!” Rendra tampak mengusir keberadaan Ayra dari hadapannya supaya gadis itu segera masuk ke rumah. Rendra juga menjadi ragu untuk mampir ke sana. Takut jika Ayra terus menggodanya meskipun hanya iseng atau bergurau belaka.“Ayo, ikut.” Benar saja, Ayra bahkan sekarang sudah memeluk lengan tangan Rendra yang masih terduduk di atas motor. Lelaki itu terpaksa menuruti kemauan Ayra. Jangan sampai kekasihnya marah lagi.Dengan pasrah, Rendra mengimbangi langkah kaki Ayra yang berjalan masuk ke rumah. Tanpa mengetuk pintu karena pintu rumah mereka menggunakan sandi, Ayra dan Rendra bisa langsung masuk.Langkah kaki Rendra terhenti saat mereka melewatkan ruang tamu dan hendak menaiki anak tangga. “Stop,” pekik Rendra. Mencegah Ayra yang terus membawanya menyusuri ruangan asing baginya.“Kenapa, Ren?” Ayra mengerjapkan mata. Tidak menyadari apa kesalahannya, apa yang membuat kekasihnya itu menginterupsi mereka untuk berhenti.“Itu ruang tamuny
Ayra mendelikkan matanya, sedangkan Rendra menahan napas. Beruntung saja ada tisu yang berguna menghalangi kulit mereka. Sentuhan keduanya tidak resmi menjadi ciuman pertama. Ayra tersadar dengan kejadian mereka yang tidak disengaja. Dia reflek memundurkan diri hingga terjungkal ke lantai. Gadis itu mengaduh kesakitan sambil mengusap bokongnya yang terasa sakit. “Awh ....”Sementara itu, Rendra masih terkejut atas apa yang terjadi. “Ra, kamu nggak apa-apa?” tanya Rendra dengan khawatir. Dia menetralkan dirinya yang masih setengah sadar setelah terlelap beberapa menit. Kemudian mendekati Ayra.Ayra menggelang pelan, masih mendesis kesakitan. Rendra membantunya berdiri lalu duduk di sofa. Keduanya menjadi sedikit canggung karena kejadian baru saja.“Maaf, aku nggak tahu, Ra. Lagian kamu ngapain gangguin orang tidur?”“Kita udah ciuman, Ren,” kata Ayra dengan wajah memelas sekaligus tatapan lugu. Tidak sadar jika keberadaan dirinya membuat Rendra bergidik ngeri. Perlahan Rendra berings
Setelah Attar memasang pendengarannya, dia menangkap suara isak tangis dari dua bocah sekolah yang duduk di sofa dan tidak begitu jauh dari tempatnya berdiri. Attar terdiam sesaat. Dalam hatinya ingin sekali memisahkan mereka berdua. Enak sekali berpelukan di rumah orang lain meskipun sedang bersedih.“Ra. Kenapa kamu nggak pernah sekalipun keliatan sedih meskipun udah ditinggal pergi oleh orang tuamu?” Rendra bertanya dengan lirih. Kemudian melepas pelukan mereka berdua. Rendra menatap Ayra dengan berlinangan air mata yang masih membasahi pipinya.“Bukan gitu, Ren. Aku cuma nyembunyiin kesedihanku dari dunia. Aku nggak mau orang-orang memandangku kasihan. Aku nggak suka nunjukkin diriku di saat aku lemah.” Ayra menjelaskan dengan suara paraunya. Tangannya mengusap air mata Rendra, begitu pula sebaliknya dengan yang Rendra lakukan.“Ternyata dibalik sifatmu yang nyebelin, kamu cewek yang kuat, Ra.” Tatapan Rendra menelisik wajah Ayra sampai pandangannya bergulir ke belakang Ayra dan me
“Mana Pak?! Nggak bisa jawab, ‘kan?”“Aku.” Attar menjawab sembari menunjuk diri sendiri. “Pak Attar sakit kali, ya?” Ayra bertanya lagi dengan nada kesal penuh amarah. Lebih tepatnya itu bukan kalimat tanya, melainkan tuduhan. Kemudian Ayra pergi meninggalkan Attar dengan cara mengentakkan kakinya ke lantai. Pikiran Ayra bertambah kacau usai lelaki dewasa itu sesimpel mengatakan ‘aku’ yang maknanya tidaklah sederhana.Sementara, Attar merasa hatinya seperti tercekik kuku-kuku tajam ketika gadis yang memang membuatnya merasakan hal berbeda, melontarkan kalimat yang menunjukkan kalau dirinya sakit atau gila. Ayra pasti mengira bahwa ini hanya lelucon semata.Pada saat seperti inilah, Attar selalu tidak mampu bertindak. Jauh di lubuk hatinya, ada rasa ingin memiliki sosok Ayra untuk hidupnya meskipun itu hanya sekecil batu kerikil. Namun, keinginan tersebut lebih kuat dibanding magnet yang saling tarik menarik. Untuk sementara, sebaiknya Attar membiarkan situasi tetap seperti ini dulu.
Ayra terdiam dan bermonolog di dalam hatinya yang bertanya mengapa lelaki di hadapannya memperlakukan dirinya layaknya seorang kekasih, tetapi terkadang juga seperti anak kecil. Ayra merasakan debaran jantungnya meningkat saat berada begitu dekat dengan Attar. “Aku rasa kamu bukan demam, Ay.” “Saya nggak apa-apa, Pak.” Ayra langsung menepis kedua tangan Attar yang semakin membuat kewarasan otaknya hampir hilang. Dia duduk di depan meja. Buru-buru mengambil makanan untuk dilahap. Ayra tidak lagi menghiraukan keberadaan Attar yang masih berdiri di sebelahnya, memperhatikan dirinya. Ayra bahkan tidak tahu malu karena melahap makanan dengan cepat “Pelan-pelan. Nanti tersedak.” Attar terkekeh. Dia berujar lalu menuangkan air putih ke dalam gelas kosong di sebelah piring makan Ayra. Kemudian Attar menempati kursi yang ada di depan Ayra. Pria itu mulai mengambil nasi sambil matanya menatap kegiatan Ayra. Mendapatkan perlakuan yang akhir-akhir ini terasa berbeda, sebenarnya Ayra ingin mem
“Brengsek!” pekik Attar saat dirinya telah sampai di luar kamar Ayra. Dia mengepalkan dua tangannya dengan erat karena merasa begitu gemas. Apakah orang yang berada di dalam video tadi adalah Rendra bersama wanita lain? Sayang sekali kamera ponsel tidak menampakkan seluruh isi ruang kamarnya Rendra. Attar menjadi semakin yakin jika Rendra merupakan lelaki mesum. Mengapa Ayra masih saja berhubungan dengan anak itu? Attar tahu kalau Ayra memang sosok gadis polos. Namun, apakah Ayra tidak bisa melihat mana lelaki baik-baik dan mana lelaki berengsek? Attar berjalan meninggalkan kamar Ayra. Dia masuk ke kamarnya untuk menenangkan pikirannya. Sayang sekali, saat berada di dalam kamar, Attar merasa gelisah dan tidak tenang. Haruskah sekarang Attar kembali ke kamar Ayra dan langsung mengatakan supaya gadis tersebut memutuskan hubungan dengan Rendra saja? Tidak, Attar rasa hanya akan membuat Ayra marah balik, apalagi Ayra tengah tertidur. Lebih baik Attar menunggu waktu yang tepat. Dia juga
"Suara aneh apa, Ra?" sahut Rendra. Dia merasa aneh atas pertanyaan Ayra yang tentu saja tidak dia mengerti. Ayra mengernyit. Satu sudut bibirnya terangkat. "Aku beneran dengar suara aneh dari kamarmu. Aku yakin kalau aku nggak mimpi." Ayra masih penasaran dan ingin memastikan lagi. "Suara kayak apa? Di kamarku nggak mungkin ada setan." Kini Rendra mulai was-was. Jangan-jangan yang Ayra maksud adalah suara yang tidak-tidak? "Bukan setan. Mirip suara perempuan teriak atau nafas gitu. Suaranya gini 'aahh ahh', gitu." Dengan bodohnya, Ayra mempraktikkan suara tersebut di telinga Rendra. Tentu saja aksi Ayra membuat Rendra langsung bergidik ngeri dan sedikit meremang pada tubuhnya. Tubuh Rendra sedikit maju agar dia terhindar dari tubuh Ayra yang sedikit menempel dengan punggungnya. Rendra merasa posisi Ayra saat ini sangat berbahaya baginya. "Terus ada juga suara laki-lakinya. Intinya suara cewek sama cowok di dalam kamar. Jangan-jangan …?" Ucapan Ayra terjeda sesaat. Dia berpikir bu