Untung saja aku masih bisa fokus dengan materi yang disampaikan oleh orang dari BPJS Kesehatan ini. Setidaknya intinya aku paham, karena memang bukan materi sulit seperti kuliah. Mereka hanya mempromosikan aplikasi terbaru mereka untuk menggantikan aplikasi yang lama dan cara penggunaannya.
Peserta yang hadir adalah para perwakilan dari seluruh perusahaan yang didirikan di kota ini. Karena itu bukan hanya dari rumah sakit saja.
Aku duduk di samping seorang perempuan berusia 30-an yang bekerja di sebuah perusahaan retail yang cukup besar. Namanya Mbak Shinta. Aku mengenalnya sejak beberapa tahun yang lalu, karena sama-sama sering ditugaskan ke pertemuan semacam ini. Berkat dia lah sampai sekarang aku tidak terbengong-bengong di setiap acara luar. Karena berbeda denganku yang malu-malu kucing untuk kenalan, dia adalah orang yang mudah bergaul dengan orang-orang baru.
Acara kemudian dilanjut dengan makan siang bersama. Aku dan Mbak Shinta segera menuju restoran hot
“Yah... mau gimana lagi. Semangat ya skripsiannya.” Ucapku pada Gio melalui telefon.“Maafin aku ya, Cil. Padahal hari minggu, tapi aku gak bisa luangin waktu buat kamu.” Sahut Gio.“Uhm... gapapa, kok. Lagian gak urgent juga kencan mah hehehe.”“Kalau gitu, aku tutup telefon dulu, ya. Masih revisi banyak, nih.” Pungkasnya.Gio pun langsung menutup telfonnya, tanpa menunggu balasanku.Sudah berkali-kali dia bersikap begini kepada ku. Aku terpaksa pasrah saja, karena dia beralasan bahwa tugas skripsinya sangat menyita waktu. Katanya lagi, skripsinya juga sangat membuatnya stres, sehingga kadang dia tidak ingin diganggu.Ini adalah pertama kalinya aku punya pacar, jadi aku mencari tahu banyak informasi tentang bagaimana menyikapi hal seperti ini. Kebanyakan beranggapan bahwa sebaiknya aku saja yang sabar, jadi itu lah yang sedang aku lakukan. Meskipun sebetulnya aku ingin sekali bertemu dengan Gi
Bab 18 Gosipin Si BossSepuluh tahun yang lalu...Seseorang pernah berkata bahwa kita adalah tokoh utama di hidup kita. Jadi, terserah kita mau dibawa ke mana ceritanya nanti. Aku juga berpikir seperti ini sebelumnya.Setiap malam, aku selalu membayangkan bagaimana hidupku nanti saat cita-citaku tercapai serta bagaimana reaksi orang-orang di sekitarku yang begitu bangga. Karena itu, aku selalu berusaha keras menggapainya.‘Plok! Plok! Plok!’Riuh tepuk tangan penonton memenuhi seluruh aula. Seorang gadis yang berdiri di atas panggung membungkukan diri memberi salam kepada mereka yang mendukungnya serta para juri. Setelah menegakkan badannya, dengan percaya diri gadis itu melambaikan tangannya.Hari ini adalah audisi final regional untuk sebuah kompetisi menyanyi terbesar di Indonesia yang disiarkan di stasiun televisi swasta nasional. Setiap daerah mengirimkan wakil mereka yang dipilih melalui audisi dan nantinya finalis
Sekarang boleh kabur tidak, ya? Serius canggungnya gak nahan banget. Coba tadi aku tidak dengar omongan dokter Hilman. Ah, parah!“Hari ini lumayan sepi ya, food court.” ujar Pak Alfa.“Eng.” aku cuma bisa mengiyakan.“Tadi dokter Hilman bawain pilus, nih. Lumayan buat dimakan sama bakso.” dia menunjukkan pilus di tangannya yang dibungkus plastik bening dan dimasukkan ke dalam kresek hitam putih.“Banyak banget, Pak.” responku.Ini aku tidak melebih-lebihkan, guys. Karena, memang banyak banget. Pilusnya dua bungkus pakai plastik ukuran satu kilo.“Ya, nanti kita bagi-bagi di kantor buat ngemil. Lumayan, kan?”Pak Alfa mengambil salah satu bungkus pilus, lalu membukanya.“Kita makan aja dulu sambil nunggu bakso kita dateng.” lanjutnya yang kemudian mengambil beberapa pilus, lalu dimasukannya ke dalam mulut.Untuk mengatasi k
Kejutan untukku kemarin belum berakhir begitu saja. Pagi ini, aku benar-benar disadarkan bahwa aku terlalu mudah ditipu orang.Ini masih ada hubungannya dengan status yang diunggah Wina sabtu lalu. Entah Wina yang bodoh atau bagaimana, seharusnya dia sadar bahwa kalau diunggah di status otomatis semua orang di kontaknya bisa melihatnya. Kalau ingin lebih aman sedikit, sebaiknya statusnya dipasang privasi. Jadi, setidaknya hanya orang-orang tertentu saja yang dia izinkan agar bisa melihat.Karena alasan inilah, Pak Alfa memanggilnya untuk diberikan SP 1.Masalahnya bukan semata soal minuman keras yang Wina minum. Karena, halal dan haram yang seseorang yakini itu berbeda-beda. Tetapi, lebih karena kumpul-kumpul semasa pandemi yang dia lakukan bersama temannya. Ditambah lagi, Wina sama sekali belum pernah divaksin. Jelas, untuk karyawan ruma sakit ini hal yang sangat tabu dilakukan.“Wah… kebablasan banget emang ini anak.” guman Raga yang
Seperti biasanya, setiap informasi yang ku dapatkan mengenai Pak Alfa pasti akan ku bagikan pada Mbak Bella dan Raga. Begitu pun tentang Pak Alfa dan Wina yang kemungkinan besar akan memiliki anak sebelum menikah. Karena, bisa saja kan Wina juga merasa cemburu pada Mbak Bella, seperti Wina yang cemburu padaku."Gak mungkin, Cil. Itu Wina kayaknya ngarang banget, deh." Mbak Bella memberi pendapat.Wajar saja dia beranggapan seperti itu. Pak Alfa tidak pernah memiliki imagejelek sebelumnya. Meskipun dia begitu populer di kalangan karyawan perempuan di rumah sakit ini, tidak sekali pun dia terlihat menyentuh mereka secara langsung. Termasuk pula Wina yang selama ini digosipkan dengannya."Tapi, Wina sendiri yang bilang ke gue, Mbak. Makanya gue jadi kepikiran.""Hhhhhh...." dengusan lelah keluar dari mulut Mbak Bella.Sebelum berkata lagi, dia lebih dulu fokus untuk membelokkan stir mobilnya."Lo tuh gak usah gampang percaya sama
Pembicaraan di antara aku dan Pak Alfa berlangsung seperti biasa. Aku tetap berusaha profesional dengan mendengarkan setiap instruksi yang dia berikan padaku. Meskipun sebetulnya sebagian otakku lari untuk memikirkan hal lain.“Kira-kira gitu aja sih, Cil. Masih ada yang perlu ditanyakan?”Aku menggelengkan kepalaku.“Oke. Kalau gitu diskusinya cukup sampai di sini.” tutupnya.Lalu, aku berdiri untuk bersiap keluar ruangan. Karena, kupikir pembicaraan kami sudah selesai.“Oh iya, Cecil.” panggilnya.Ditutupnya cover tablet di tangannya dan dia taruh di meja. Matanya yang menatapku nampak melengkung memberikan senyum.“Ehem!”“Sepulang kantor, ada yang perlu saya bicarakan. Kamu ada waktu kan?”Entah apa yang ingin dia bicarakan nanti, tapi jujur aku sedang malas meladeninya.“Hm… gimana ya, Pak? Sore nanti orang tua saya mau ke kontrakan. Jad