Happy Reading
***** "Mut, aku duluan, ya," ucap seorang perempuan berseragam sama seperti Mutia. "Udah dijemput sama Pak Su, ya?" tanya balik gadis berumur 29 tahun dengan rambut lurus sebahu. "Iya, nih. Dia sudah ada di depan katanya. Kamu tak tinggal sendiri, nggak masalah, kan?" Pemilik nama Novita itu menatap sang sahabat dengan khawatir. "Nggak papa, tinggal aja. Bentar lagi, aku juga sudah selesai. Lagi satu anak yang belum aku masukkan," jawab Mutia. "Beneran, nih. Di sekolah udah nggak ada orang, lho," kata Novita, memastikan. Mutia menganggukkan kepala dengan senyum yang begitu meyakinkan. "Daripada aku diperkarakan sama Pak Pengacara karena kasus eksploitasi. Mendingan kamu pulang sekarang, deh." "Oke ... oke. Aku pulang sekarang." Novita mulai membereskan barang-barang yang ada di mejanya. Lalu, merangkul sang sahabat dan berpamitan. "Ingat! Jangan pulang terlalu malam. Ini sudah pukul sembilan. Jalanan di sekitar sekolah cukup sepi di malam hari." "Siap." Mutia menyatukan jari telunjuk dan jempolnya, setelahnya tersenyum lebar. "Salam sama pak Pengacara, ya." "Siap." Sepeninggal sahabatnya, Mutia kembali menatap layar laptop. Berusaha secepat mungkin menyelesaikan semua pekerjaannya sebelum jam sepuluh. Sebenarnya, dia bisa saja mengerjakan rapor anak didiknya di rumah, tetapi tidak dilakukannya karena laptopnya rusak, sedangkan yang ada di sekolah tidak boleh dibawa pulang. Beberapa saat kemudian, Mutia berhasil menyelesaikan semua pekerjaannya. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih. Teringat akan kata-kata Novita tadi, perempuan itu dengan cepat membereskan semua barang-barang yang berserakan. Keluar dari ruangan guru, Mutia bertemu dengan penjaga. "Sudah selesai, Bu?" "Sudah, Pak. Terima kasih sudah mau menunggu dan maaf kalau mengganggu waktu istirahatnya." "Nggak apa-apa, Bu. Sudah tugas saya menjaga keamanan sekolah." "Baiklah, Pak. Saya permisi pulang, ya." "Iya, Bu." Malam yang menegangkan bagi Mutia karena dia pulang pada jam yang terbilang cukup larut. Sebenarnya, jarak rumah kontrakannya dengan sekolah tidak begitu jauh. Cuma karena keadaan sepi, jadi rasa was-was itu muncul dalam dirinya. Jika siang, wilayah itu memang ramai karena lokasi perkantoran. Menoleh ke belakang, bulu kuduk Mutia berdiri. Tadi, dia sempat merasakan ada seseorang yang mengikuti, tetapi ketika dilihat tak ada seorang pun. Mempercepat langkah supaya segera keluar dari jalan gelap dan sepi, Mutia semakin merasakan seseorang sedang mendekatinya. Sampai di tempat yang benar-benar gelap, tidak ada penerangan apa pun kecuali sinar rembulan, tiga orang lelaki berperawakan dempak dan menakutkan menghadang jalannya. "Siapa kalian?" tanya Mutia dengan suara bergetar. "Untuk apa kamu bertanya siapa kami," kata salah satu dari mereka yang sepertinya adalah pemimpin dari dua lelaki yang mengelilingi Mutia. "Cepat tangkap dia. Kalian bisa langsung mencicipinya. Lumayan cantik juga target kita kali ini." Dua lelaki itu bergerak cepat memegang tangan Mutia. Kekuatan yang cukup besar tidak mampu perempuan itu tandingi. "Kalian mau apa? Aku nggak punya harta benda yang berharga," ucap Mutia ketakutan. "Kata siapa kami menginginkan hartamu. Kami cuma ingin tubuhmu," sahut lelaki yang memegang tangan kanan Mutia dengan erat. "Jangan lakukan ini." Mutia berusaha melepaskan diri, tetapi tetap saja tidak bisa karena pegangan pada kedua lelaki itu cukup kuat di pergelangannya. Di saat Mutia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman dua preman itu, pemimpin mereka mendekat dan mulai berusaha mendaratkan ciuman di wajah sang guru. Mutia berusaha menghindari ciuman dari lelaki tak dikenalnya itu dengan membuang muka ke kanan dan kiri. "Diam, kalau pengen selamat. Asal kamu menurut padaku, kami nggak akan membunuhmu." Sang pemimpin preman mencengkeram wajah Mutia supaya tidak bisa bergerak lagi. Brutal, dia mulai mendekatkan bibirnya. Mutia berusaha sekuat tenaga agar lelaki bejat itu tidak bisa menyentuh tubuhnya. Namun, semakin dia berusaha untuk melepaskan diri, perempuan itu akan semakin kesakitan. Tiga preman tersebut benar-benar seperti binatang. Menampar, memukul bahkan telah berhasil mengoyak kemeja putih yang dikenakan Mutia. "Tolong jangan lakukan ini," teriak Mutia. Diam-diam, dia berusaha meraih tas dan berniat mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi siapa pun yang bisa membantunya. Ketiga preman itu tertawa keras. "Kamu kira kami akan melepaskanmu dengan mudah. Kami dibayar untuk memberimu pelajaran bahkan jika mungkin, nyawamu harus kami lenyapkan." "Lanjut, Bos. Nggak perlu kita banyak bicara dan menjelaskan apa pun pada perempuan ini," saran salah satu preman tersebut. Plak ... Sebuah tamparan mendarat di pipi lelaki yang berkata tadi. "Beraninya kamu memerintahku!" bentak si pemimpin. Lelaki yang ditampar tadi mengusap pipinya karena terasa begitu menyakitkan. "Bukan gitu, Bos. Aku cuma takut ada orang lewat dan membantu dia melarikan diri. Tugas kita bisa gagal kalau begini." Selagi dua preman itu berdebat, Mutia mencoba melarikan diri dan menghubungi Novia. "Hei, jangan lari!" teriak si preman yang tidak terlibat dalam perdebatan. "Bos, dia mau kabur." Dua preman yang berdebat langsung bertindak mengejar Mutia. Ketika salah satunya berhasil menangkap, tamparan yang keras dilayangkan pada gadis tersebut. Mutia tersungkur ke tanah. Darah segar keluar dari pipinya. "Apa salahku? Aku nggak kenal sama kalian?" tangis Mutia pecah. "Kamu memang nggak mengenal kamu, tapi seseorang yang menyuruh kami mengenalmu," bentak si pimpinan preman. "Siapa orang yang sudah menyuruh kalian?" tanya si perempuan dengan tubuh gemetar. "Nggak perlu kamu mengetahui." Si pimpinan menyuruh anak buahnya dengan mata untuk memegang tubuh gadis berkulit kuning Langsat di depannya. "Pegangi dia. Aku sudah tak sabar mencicipi tubuh mulusnya." Gairah sang pimpinan berkobar ketika melihat dua bukit kembar Mutia yang terekspos. "Jangan! Tolong!" teriak Mutia sekencang mungkin. Namun, semua itu percuma. Tak akan ada seorang pun yang lewat di jalan tersebut. Ketika tubuhnya mulai dijamah dan bajunya dibuka satu per satu. Air mata perempuan itu mengalir deras. Cuma bisa berdoa akan datang suatu keajaiban yang membawanya keluar dari semua pelecehan itu. "Jika memang takdirku harus terhina, maka matikan aku sekarang juga," doa Mutia di tengah siksaan yang menderanya. Baru saja selesai merapalkan doa dalam hati, sorot lampu mobil menyilaukan mata ketiga preman tersebut. Mutia memanfaatkan kesempatan itu untuk berlari dan mengetuk kaca mobil tersebut. "Tolong!" pinta Mutia dengan pakaian berantakan yang menampakkan sebagian tubuhnya pada lelaki pemilik mobil. Orang yang berada di dalam mobil menurunkan kaca. Melihat Mutia dengan tatapan mematikan. "Apa yang aku dapatkan ketika aku mampu menolongmu?" Sorot mata lelaki itu tajam ke arah bukit kembar Mutia bahkan tatapannya tak jauh berbeda dari ketiga preman tersebut. "Saya ...," sahut Mutia dengan suara bergetar ketika mengetahui siapa lelaki pemilik mobil tersebut.Happy Reading***** Mutia bersiap menutup pintu rumahnya lagi ketika melihat wajah Bagas. Namun, gerakan lelaki itu jauh lebih cepat untuk mencegah niatan si perempuan. "Sayang, Mas mau ngomong penting," ucap Bagas. Mutia menatap lelaki di depannya dengan malas. "Nggak ada yang perlu kita omongin lagi. Pergi sana," usir si ibu guru. Dia kembali akan menutup pintu, tetapi tangannya Bagas jauh lebih cepat menarik pinggang perempuan itu sehingga bibir keduanya menempel satu sama lain.Bagas malah dengan sengaja melumatnya sebentar membuat Mutia meronta-ronta dan saat itulah, si kecil Fardan memanggil keduanya."Mama sama Papa ngapain, sih? Kalau mau mesra-mesraan di dalam saja, deh. Malu kalau di luar gitu. Dilihat tetangga juga nggak enak," ucap si kecil. Mutia tak menjawab, melangkah pergi meninggalkan keduanya. Setelah jaraknya cukup jauh, perempuan itu menoleh dan berkata. "Suruh dia pergi, Sayang. Kita harus segera berangkat sekolah," suruhnya pada si kecil.Fardan menyilangkan
Happy Reading*****Mutia benar-benar menghentikan langkahnya. Dia berbalik menatap Surya dan Bagas bergantian. Sementara Bagas, dia terpaku. Ucapan Surya membuatnya mematung. "Jadi, Papa sudah mengetahui semua ini?" tanya Bagas. Sempat tak percaya jika orang yang membelanya saat ini adalah Surya.Surya menoleh pada putra dan istri sahnya. "Maaf, jika selama ini Papa terkesan selalu membela Nazar," ucapnya.Mutia mendengkus. "Jadi, beginilah kelakuan semua keluarga Anda. Salah satu anggota keluarga melakukan tindak kriminal, tapi Anda malah melindunginya. Maaf, jika saya semakin yakin untuk membawa Fardan pergi dari sini." Perempuan yang berprofesi sebagai guru itu kembali melanjutkan langkahnya sambil menggandeng tangan si kecil yang sejak tadi sama sekali belum membuka suara."Tia, tunggu!" teriak Bagas. Akan tetapi, orang yang dia panggil makin mempercepat langkahnya."Gas, biarkan saja. Beri kesempatan pada Mutia untuk bersama Fardan dulu," nasihat Anjani yang ikut mengejar langk
Happy Reading*****"Nggak mungkin, ini sangat nggak mungkin," ucap Mutia berkali-kali, air matanya sudah menganak sungai di pipi."Sayang, kenapa?" Bagas mengguncang kedua bahu perempuan yang sudah menguasai seluruh hatinya itu.Surya langsung merebut selembar kertas di tangan Mutia. Lalu, membaca isi yang tertera di sana. Sebagaimana reaksi si ibu guru, lelaki paruh baya itupun cukup terkejut ketika membacanya."Pa, ada apa?" tanya Anjani. Perempuan itu merebut kertas di tangan suaminya. "Lho," ucapnya tak percaya."Itulah kenyataannya," kata Fardan, "semula, aku juga berharap bahwa Mama adalah orang yang melahirkanku, tapi kenyataannya nggak sesuai harapan. Padahal dari foto ini, aku sudah berharap banyak."Si kecil menyerahkan dua lembar foto berbeda tempat, tetapi pakaian yang digunakan si bayi sama.Bagas menyambar foto yang disodorkan si kecil. Lalu, dia mencermati kedua foto tersebut. "Bukankah ini fotomu ketika Mama baru pertama kali melihatmu di rumah sakitnya Satya waktu it
Happy Reading*****"Mana mungkin dia?" teriak Elvina setelah cengkeraman tangan kekasihnya terlepas dari leher.Tama menyipitkan mata, dia menatap lurus ke arah perempuan cantik dan anggun yang kini berjalan mendekati mereka semua. Dia seperti mengenal perempuan itu, tetapi tidak ingat di mana. "Sayang, apa bener yang kamu katakan itu?" tanya Bagas. Dia maju, berusaha menggenggam tangan si perempuan. Namun, perempuan itu menepisnya dengan cepat. "Benar atau nggaknya, tanyakan pada hatimu sendiri. Aku sudah mengingat semuanya." Perempuan itu menatap ke arah Surya. "Saya sudah mengingat semuanya bahkan ketika Anda mengambil anak yang telah saya lahirkan di rumah sakit saat itu. Saya telah salah menilai kebaikan kalian semua. Ternyata, kalianlah orang yang telah menghancurkan hidupku selama ini," ucapnya.Tanpa menghiraukan keberadaan Surya dan Bagas yang tertegun dengan semua ucapan perempuan itu, dia melangkahkan kaki menuju kamar Fardan. "Aku akan membawa anak itu pergi," katanya.
Happy Reading*****Bagas dan semua orang yang ada di ruang tamu menoleh pada lelaki tak diundang yang kini berdiri di pintu rumah tersebut. "Tama?" kata Bagas dan Surya bersamaan."Hai, Gas," sapa lelaki berbadan tegap dengan tinggi sekitar 175 cm. "Selamat malam, Om, Tante," lanjutnya menyapa kedua orang tua Bagas. Tama melangkahkan kakinya mendekati mereka semua walau sang pemilik rumah belum mempersilakan. Dia berdiri tepat di samping Elvina yang perkataannya sengaja dipotong karena jelas mengandung kebohongan."Ada perlu apa kamu ke rumahku, Tam?" tanya Bagas. Tama melirik perempuan yang beberapa waktu lalu masih menghangatkan ranjangnya, tetapi kini sudah berbalik arah mendekati Bagas. "Kedatanganku ke sini, jelas berkaitan dengan dia," ucapnya pada Bagas."Apa hubunganmu dengan dia, Tam?" Bukan Bagas yang bertanya, tetapi Surya. "Dia salah satu wanitaku, Om. Dan, sekarang, sepertinya dia ingin merangkak naik ke ranjang Bagas. Ingat, El. Nggak semudah itu kamu bisa mendekati
Happy Reading*****"Pa, ada apa kok ribut sekali?" tanya Anjani. Di samping perempuan paruh baya itu sudah ada Fardan yang menatap bingung dua lelaki yang ada di hadapannya."Eyang, apakah yang dikatakan Papa itu benar?" tanya si kecil dengan wajah sedih. Surya menatap semua orang bergantian, mengembuskan napas panjang. Berat mengatakan sebuah kebenaran yang selama ini sudah dia tutup rapat-rapat. Kehadiran Fardan sudah banyak membawa perubahan dalam hidupnya yang saat itu hampir berada di jurang kehancuran. Lelaki yang sudah memiliki kerutan di wajahnya itu kembali mengembuskan napas panjang. "Sudah saatnya Papa harus menceritakan kebenaran yang selama sebelas tahun terpendam rapat," ucap Surya. Dia kembali menatap ke arah Elvina. "Mungkin, perempuan yang kamu nodai malam itu benar Elvina, tetapi dia bukan perempuan yang melahirkan Fardan. Sejujurnya, Fardan memang bukan anak kandungmu, Gas.""Nggak mungkin," kata Anjani keras."Eyang pasti bohong," teriak Fardan."Pa, tidak usah